Wednesday, December 4, 2019

BIOGRAFI ABDULLAH AHMAD AN-NA`IM



BIOGRAFI ABDULLAH AHMAD AN-NA`IM

A.    Riwayat Hidup Abdullah Ahmad An-Na`im
Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan seorang ahli hukum dan aktivis yang sangat dikenal di Sudan. Dalam beberapa catatan menjelaskan bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im dilahirkan di Sudan pada tanggal 19 November 1946.
Secara histori Sudan merupakan negara yang memiliki banyak konflik Internal. Dalam sebuah tulisan dikatakan bahwa Sudan termasuk kategori negara yang memiliki tingkat pembangunan manusia yang rendah (low development index countries) akan tetapi Sudan tetap memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan negara-negara Afrika lainnya.[1] Sebagai salah satu negara yang selama ini terus berkembang, Sudan juga termasuk negara yang belum beruntung karena kesejahteraan yang dicapai oleh Sudan dapat dikatakan masih dalam taraf yang pas-pasan, selain itu perkembangan di bidang ekonomi pun Sudan belum menunjukkan indikasi yang menggemberikan.[2] Sedangkan sektor yang paling menonjol dari Sudan adalah pendidikan, yang membuat tingkat literasi di negara tersebut mencapai 71.9 persen.
Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan anak pertama dari sebelas bersaudara yang berasal dari pasangan Ahmed An-Na`im dan Aisha al-Awad Osman. Abdullah Ahmad An-Na`im memiliki enam saudara laki-laki dan empat saudara perempuan, tetapi dua dari saudara perempuannya telah meninggal di masa kanak-kanak. Ayahnya Ahmed hanya belajar al-Qur`an, menulis dan membaca di madrasah, dan tidak pernah mendapat pendidikan formal lagi di atasnya dan ibunya buta huruf.[3]
Ahmed An-Na`im, ayah Abdullah Ahmad An-Na`im mulai bekerja sebagai petani kampung pada usia sebelas tahun. Ia kemudian pergi untuk bekerja sebagai pelayan di Angkatan pertahanan Sudan di kota Shendi, melewati Nile dari al-Maqawir. Akhirnya ia menjadi anggota prajurit biasa pada usia 17 tahun dan karirnya sebagai prajurit terus naik pengkatnya hingga ia mengundurkan diri sebagai brigadier General tahun 1973[4]
Jika dilihat dari stratifikasi sosial, keluarga besar Abdullah Ahmad An-Na`im terbilang keluarga yang tergolong memiliki ekonomi sederhana, akan tetapi kedua orang tuanya memiliki visi pendidikan yang sangat bagus. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Abdullah Ahmad An-Na`im dapat menyelesaikan pendidikan formalnya hingga program doktor.
Kehidupan masa kecil Abdullah Ahmad An-Na`im tidak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak kecil di Afrika. Kemudahan fasilitas yang memanjakan seperti yang ada di negara-negara maju, tidak dirasakan oleh Abdullah Ahmad An-Na`im ketika masa kecil dan masa remajanya, sehingga tidak mengherankan juga jika dirinya tumbuh dengan sosok yang memiliki karakter yang kuat, dan tegas. Meskipun demikian ia juga dikenal memiliki sifat yang lemah lembut dan bijaksana.[5]
Sebagai sarjana Islam yang diakui secara internasional, ia terkenal sangat aktif dalam bidang hak asasi manusia dalam persfektif internasional serta hak asasi manusia dalam perspektif lintas budaya. Kesungguhan Abdullah Ahmad An-Na`im dalam memperjuangkan hak asasi manusia di dunia international dapat dilihat dalam keterlibatannya di berbagai lembaga-lembaga hak asasi manusia international. Seperti aktifnya Abdullah Ahmad An-Na`im dalam lembaga The International Council on Human Rights Policy di Genewa, Swiss. Selain itu ia juga aktif di lembaga International Advisory Council of the International Center for the Legal Protection of Human Rihts (Interrights), London.[6]
Karena perhatian Abdullah Ahmad An-Na`im yang begitu besar terhadap hak asasi manusia, Abdullah Ahmad An-Na`im dikategorikan kepada kelompok yang melihat bahwa antara Hak Asasi Manusia dan Islam tidak ada pertentangan sama sekali, sehingga keduanya dapat berjalan beriringan. Di samping itu ia juga dianggap sebagai orang yang melakukan interpretasi terhadap doktrin yang dianggap bertentangan tersebut dengan melakukan langkah yang lebih berani dan ekstrim untuk mereformasi dan merekonstruksi doktrin hukum Islam tersebut.[7]
Di samping keaktifannya dalam melindungi hak asasi manusia di dunia international, Abdullah Ahmad An-Na`im juga mengajar mata kuliah hukum internasional, hukum komparatif, hak asasi manusia, dan hukum Islam. Dalam beberapa penelitiannya, Abdullah Ahmad An-Na`im sangat tertarik dengan tema-tema konstitusionalisme di negara-negara Afrika, sekularisme, Islam serta politik.[8]
Abdullah Ahmad An-Na`im juga dikenal sebagai pembicara di berbagai forum lokal dan international. Ia dikenal sangat getol bersuara mengenai penegakan hak asasi manusia, bahkan hal tersebut menjadi inisiator rekonstruksi konseptualnya, yang dalam hal ini ia mewakili kelompok Islam. Ia sering bersafari ke berbagai negara baik barat maupun timur. Bahkan ia juga pernah memberi kuliah umum di salah satu universitas di Indonesia. Serta ia juga menjadi Indonesia sebagai topik pembahasan dalam bukunya yang berjudul Islam and Secular State Negotiating the Future of Shari`ah.[9]
Abdullah Ahmad An-Na`im juga kerap menulis karya ilmiah baik berupa buku ataupun jurnal-jurnal. Jika dilihat dari buku-buku yang telah ia karang, Abdullah Ahmad An-Na`im termasuk sosok yang memiliki komitmen terhadap Islam sekaligus mempunyai dedikasi yang tinggi dalam persoalan hak asasi manusia. Tersirat dalam bukunya juga (seperti, Dekonstruksi Syari’ah, yang merupakan terjemahan dari buku asli yang berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law Civil), ia menawarkan metodologi baru yang di dalamnya menguak pandangan Islam terhadap hak asasi manusia. Perhatian utama Abdullah Ahmad An-Na’im adalah hukum Islam dalam kaitannya dengan isu-isu international, konstitualisme modern dan hukum pidana modern. Menurutnya hukum Islam saat ini membutuhkan reformasi total atau rekonstruksi menyeluruh.[10]
Dalam perjalanan hidupnya sebagai aktifis dan akademisi, Abdullah Ahmad An-Na`im banyak memperoleh gelar-gelar kehormatan yang diberikan oleh berbagai institusi pendidikan dan lembaga-lembaga international yang digelutinya. Hal ini membuktikan bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im memiliki integritas yang tinggi dalam melaksanakan setiap aktifitasnya baik sebagai aktifis maupun sebagai akademisi. 

B.     Pendidikan Abdullah Ahmad An-Na`im
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas meski Sudan merupakan negara yang memiliki banyak konflik internal, akan tetapi keluarga Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan keluarga yang memiliki visi pendidikan yang sangat bagus. Sehingga hal tersebut merupakan faktor terbesar yang menjadikan Abdullah Ahmad An-Na`im sukses dalam karir pendidikannya.
Dilihat dari pendidikan formal yang telah dijalani oleh Abdullah Ahmad An-Na`im, ia mengawali pendidikan formal di negara kelahirannya sendiri. Karena dalam beberapa tulisan ditemukan bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (S1) di Sudan.
Abdulah Ahmad An-Na`im menyelesaikan studi S1-nya di Universitas Khartoum Sudan. Universitas Khartoum merupakan sebuah perguruan tinggi negeri yang terletak di Khartuom Sudan. Secara histori Universitas Khartoum didirikan sebagai Gordon Memorial Collage pada tahun 1902 dan didirikan atas nama Universitas Khartoum pada tahun 1956 ketika sudan telah memperoleh kemerdekaan.[11] Pada saat ini Universitas Khartoum bernama Khartoum International for Arabic Language (KIIAL). Kosentrasi perguruan tinggi ini dalam program sarjana maupun pasca sarjana adalah dalam bidang Tarbiyah terutama bahasa Arab.[12]
 Saat kuliah di Universitas Khartoum, Abdullah ahmad An-Na`im mengambil konsentrasi di fakultas hukum khususnya di jurusan hukum pidana. Pendidikan S1-nya ini ia selesaikan pada tahun 1970 dengan gelar LL.B.[13] Setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Khartoum, Abdullah Ahmad An-Na`im melanjutkan pendidikan S2 dan S3 nya di Inggris. Ia memulai pendidikannya di Inggris pada tahun 1970-1976.
Abdullah Ahmad An-Na`im yang melanjutkan pendidikan S2-nya di Inggris, tepatnya di Universitas Cambridge. Di Universitas Cambridge ini Abdullah Ahmad An-Na`im mengambil konsentrasi di bidang hukum yang berkaitan dengan kebebasan sipil, hukum konstitusional, dan hukum perdata International. Dari Universitas Cambridge inilah Abdullah Ahmad An-Na`im memperoleh gelar LL.M pada tahun 1973, dengan karya ilmiah yang berjudul Judicial Review of Administrative Action, The Law Relating to Civil Liberties, Constitutional Law, and Private International Law. Selain itu pada universitas yang sama dan juga pada tahun yang sama, Abdullah Ahmad An-Na`im juga dapat menyelsaikan studi S-2 di bidang kriminologi dengan karya ilmiah Criminal Proses, Phenology, Sociology of Crime and Research Metodology.[14]
Perlu diketahui juga bahwa Universitas Cambridge merupakan salah satu universitas tertua di dunia yang berbahasa Inggris. Universitas cambridge diketahui merupakan universitas yang memiliki persyaratan untuk masuk paling ketat di Britania Raya. universitas ini tumbuh dari sebuah perhimpunan sarjana di kota Cambridge, Cambridgeshire, Inggris, yang kemungkinan dibentuk pada 1209 oleh sarjana yang kabur dari Universitas Oxford setelah bertengkar dengan penduduk kota.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Universitas Cambridge bangga dengan banyaknya peraih nobel dan alumni ternama di dunia. Universitas Cambridge telah memenangkan 80 Penghargaan Nobel lebih banyak dari universitas lain di dunia. Dari 80 pemenang Penghargaan Nobel ini, 70 pernah menghadiri Cambridge sebagai murid prasarjana atau pasca-sarjana, dan bukan sebagai "associate" riset, "fellow" atau profesor. Hal ini bisa dibandingkan dengan Universitas Chicago, misalnya, yang berada di urutan ke-2 dalam afiliasi pemenang Penghargaan Nobel, dengan 79 orang, tetapi hanya 30 yang pernah belajar di Universitas Chicago itu, baik sebagai mahasiswa prasarjana maupun pascasarjana. Jika dihitung total output paper ilmiah, maka London adalah kota paling produktif di Eropa. Tetapi jika jumlah yang terpublikasikan dihitung perkapita, maka Cambridge dapat mengklaim diri sesuai dengan kajian baru yang berusaha merangking produktifitas ilmiah kota-kota besar di seluruh Eropa. Kota kecil yang didominasi universitas-universitas besar dan tua itu memimpin rangking perkapita diikuti kemudian oleh Oxfrod.[15]
Sejarah Kristen di Cambridge memang sedikit banyak terkena dampak Revolusi Amerika dan Perancis. Revolusi agama di Perancis, menurut Suzanne Desan dan Stewart J. Brown misalnya, meninggalkan warisan berupa agen sekularisasi dan stimulus revivalisme. Selain itu, Era Pencerahan (enlightenment), yang sebenarnya terjadi di semua agama, juga dianggap sebagai faktor yang bertanggungjawab bagi munculnya sekularisme di Cambridge. Kecenderungan sekularisme ini dilihat oleh para pemikir muncul di abad XVIII bersamaan dengan kritisisme intelektual terhadap Kristen. Para pemikir menunjukkan adanya kontras antara kesalehan massa yang masih berlanjut dengan trend dekristenisasi di kalangan elit urban kiran-kira tahun 1750-an. Margaret Jacob berpendapat bahwa sekularisme praktis telah berhasil di Inggris. Joris van Eijnatten juga mengatakan, para pendeta mempercayai bahwa di abad XVIII itu juga berkembang skeptisisme. Hanya saja, masih menurutnya, hal ini merupakan tema yang terabaikan, mengapa, karena sekularisasi tidak dapat diukur secara sederhana hanya dengan melihat praktik kesalihan populer atau cara pikir dan mengatakan bahwa yang nampak itu sebagai kemunduran agama, bukan sesuatu yang suatu saat dapat didefinisikan lebih baik sebagai perubahan agama. Di sisi lain, muncul juga British Radicalisme yang berkembang cepat pada tahun 1790an. Faham yang disebut terakhir ini juga mempunyai dimensi pemikiran bebas yang signifikan. Memang secara umum pada abad XIX ada gelombang urban miskin yang lepas dari gereja karena gereja sendiri sudah tidak mempunyai respon yang cukup.[16]
Pada tahun 1976 Abdullah Ahmad An-Na`im meraih gelar Ph. D dalam bidang hukum pada Universitas Edinburgh Skotlandia dengan disertasi tentang Comparative Pre-Trial Criminal Procedur: English, Scotlish, U.S, and Sudanese Law (Perbandingan Prosedur Pra Percobaan Hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, Dan Sudan).[17]
Jika dilihat dari perjalanan intelektual yang telah dijalani oleh Abdullah Ahmad An-Na`im, tidak mengherankan jika ia merupakan sosok tokoh yang berusaha dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Selain faktor pendidikan formalnya tentu hal ini juga dipengaruhi oleh faktor sosial politik dan lingkungan yang mengitari Abdullah Ahmad An-Na`im. Sehingga keseluruhan hal tersebut adalah hal yang memiliki pengaruh besar terhadap konsep pemikiran yang diusung oleh Abdullah Ahmad An-Na`im.

C.    Aktivitas Abdullah Ahmad An-Na`im
Pemikiran Abdullah Ahmad An-Na`im tentu tidak lahir dari suatu kevakuman. Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan salah seorang generasi kontemporer dari sarjana-sarjana aktifis yang telah membina karir kesarjanaannya dengan melibatan diri dalam masalah-masalah sosial. Pengalamannya sebagai mahasiswa dan pengacara yang terlibat dalam masalah-masalah sosial di Sudan sangat membentuk pemikirannya. Dalam hal ini yang sangat berpengaruh terhadap pemikirannya adalah ketika Abdullah Ahmad An-Na`im melibatkan diri dalam organisasi Persaudaraan Republik di Sudan (The Republican Brotherhood).
Abdullah Ahmad An-Na`im ikut bergabung dengan organisasi The Republican Brotherhood di Sudan ketika dia masih menyadang status sebagai mahasiswa di fakultas hukum Universitas Khartoum. Dia sering menghadiri sejumlah kuliah yang disampaikan Mahmoud Thaha dan juga sering bergabung dalam diskusi-diskusi informal yang dilakukan di kediaman pribadi Mahmoud Thaha[18]. Menjelang awal tahun 1968 Abdullah Ahmad An-Na`im resmi menjadi anggota The Republican Brotherhood.[19]
Perlu diketahui bahwa The Republican Brotherhood adalah organisasi yang awalnya merupakan partai republikan yang didirikan oleh Mahmoud Thaha. Karena Mahmoud Thaha beranggapan bahwa pergerakan serta perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang selalu dicita-citakan tidak akan pernah terwujud tanpa ditampung oleh wadah yang dapat menampung aspirasi perjuangan. Oleh karena itu pada Oktober tahun 1945 Mahmud Thaha yang juga didukung oleh para kalangan intelektual yang juga kritis terhadap situasi negara Sudan pada saat itu mendirikan sebuah partai yang bernama Republican Brotherhood. Tujuan utama partai ini agar dapat dijadikan sebagai fasilitas yang mampu mewadahi perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Sudan. Selain itu, dengan wadah ini Thaha berharap konfrontasi secara terbuka dengan penguasa kolonial dapat mulai diperlihatkan. Sedangkan agenda politik dari partai Republican Brotherhood ini adalah guna untuk merefleksikan kekuatan orientasi Islam modernis, yang pada waktu itu belum sepenuhnya berkembang.[20]
 Akan tetapi  Pasca kudeta militer oleh Ja’far al-Numaery pada Bulan Mei 1969, Partai Republikan yang didirikan oleh Mahmoud Thaha kemudian berubah dari partai politik menjadi sebuah organisasi bernama Republican Brothers (al-Ikhwan al-Jumhuriyyun). Anggota-anggota Republican Berothers yang masih menginginkan peran politis yang lebih sekular keluar menuju ke partai-partai lain. Sementara bagi mereka yang masih bersama Mahmoud Thaha, partai itu berubah menjadi semacam lingkungan spiritual di bawah bimbingan Mahmoud Thaha. Republican Brothers kemudian menjadi musuh yang diakui terus terang oleh al-Ikhwan al-Muslimin, sebuah gerakan islamis noefundamentalis yang didirikan di Mesir. Al-Ikhwan al-Muslimin ingin membangun sebuah aturan yang totalitarian sebagaimana kejayaan teokrasi abad tengah, sebaliknya Mahmoud Thaha percaya kepada demokrasi, parlementer maupun presidensil, dan sosialisme Fabian.[21]
Selain menjadi pengajar yang aktif, Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjadi juru bicara Mahmoud Thaha, menulis surat kabar lokal dan juga berbicara dengan berbagai kalangan. Ini merupakan peran penting Abdullah Ahmad An-Na`im sebagai anggota dari Republican Berothers. Sebenarnya hal ini disebabkan karena  Mahmoud Thaha dilarang berpatisipasi dalam kegiatan publik sejak awal tahun 1970-an. Meskipun Republican Berothers tidak secara aktif memusuhi Numaery, namun Numaery tetap membatasi aktifitas-aktifitas angota Republican Berothers yang merupakan pengikut Thaha.
Pembatasan yang dilakukan oleh Numaery mencapai puncaknya pada awal tahun 80-an, ketika Numaery mulai menjalankan politik islamisasi. Sebenarnya Numaery mulai menyusun kekuatan sebagai pemimpin kelompok gerilyawan muda pada tahun 1969 dan berlanjut terus pada fase awal sosialisme radikal. Pada pertengahan tahun 1970-an, posisi Numaery makin kuat ketika dia bernegosiasi untuk mengakhiri perang sipil, pertentangan antara muslim di Sudan Utara dengan non-muslim di Sudan Selatan. Meskipun demikian, pada awal tahun 1978 Numaery mulai mengidentifikasikan dirinya lebih jelas lagi dengan menggunakan sentimen-sentimen Islam di Sudan Utara, mencapai puncaknya dengan penerapan interpretasinya atas hukum Islam pada tahun 1983.[22]
Keputusan Numaery ini diterapkan tepatnya pada bulan September 1983. Sebelum itu Numaery juga telah menunjuk sebuah komite yang diketuai oleh Hasan al-Turabi. Komite ini berguna untuk menguji serta membuat undang-undang sesuai syari`at Islam. Komite tersebut mulai bekerja pada tahun 1977 dalam rangka mengkompilasikan sejumlah hukum konsep seperti rancangan Undang-undang pembayaran zakat, dll.
Akan tetapi perlu diketahui di sini juga bahwa program hukum yang diterapkan melalui undang-undang September merupakan hasil kelompok kecil para pengacara muda yang dipimpin oleh Nayan Abu Qarun dan Awad al-Jid Ahmas. Proses aktual pembuatan Undang-undang baru ini dapat dikatakan diselesaikan secara serampangan dan tergesa-gesa oleh para ahli hukum muda tersebut, yang mendapat tekanan langsung dari Numaery untuk bekerja dengan cepat. Bahkan banyak sarjana seperti Hasan al-Turabi menganggap bahwa Undang-Undang tersebut tidak memenuhi standar.[23]
Interpretasi Numaery sendiri atas ajaran Islam adalah dengan meletakkan hukum Islam sebagai pengatur ketatanegaraan dan karena itu, ia menerapkan hukuman-hukuman yang terdapat dalam fiqh klasik, seperti sanksi pidana pendurian, rajam, sanksi zina, dan sanksi pidana mati bagi orang yang murtad. Hukuman hukuman tersebut dirumuskan di bawah kendali otoritas Numaery sendiri tanpa melakukan konsultasi dengan Jaksa Agung dan Mahkamah Agung. Disinyalir bahwa hukuman tersebut diterapkan Numaery semata-mata untuk melindungi kekuasaannya. Beribu orang ditangkap dan diadili, layaknya pengadilan militer dengan menggunakan hukum Islam.[24]
Pada waktu itulah Mahmoud Thaha dan Republican Berothers melawan politik Numaery yang dikampanyekan secara gigih. Hal ini menyebabkan selama lebih satu setengah tahun, Mahmoud Thaha dan kira-kira 30 orang pemimpin Republican Berothers termasuk Abdullah Ahmad An-Na`im ditahan tanpa proses pengadilan. Kemudian mereka dibebaskan pada akhir tahun 1984, akan tetapi Mahmoud Thaha ditangkap kembali, dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya dan dihukum mati pada bulan Januari 1985. Pemimpin yang lain juga ditangkap dan diadili, akan tetapi hanya Mahmoud Thaha yang dihukum mati. Dalam posisi ini Abdullah Ahmad An-Na`im mengambil langkah untuk menegosiasikan pembebasan 400 anggota, tetapi dia tidak menjamin pengampunan gurunya. Sejak saat itu kelompok Republican Berothers sepakat untuk tidak terlibat dalam aktifitas politik dan secara resmi membubarkan diri.[25]
Meskipun demikian Abdullah Ahmad An-Na`im tetap memberikan ceramah dan tulisan khususnya untuk luar Sudan. Karena dia merasa memiliki tanggung jawab untuk mengambil dasar ajaran Mahmoud Thaha dan mengembangkannya. Abdullah Ahmad An-Na`im telah menulis untuk spesialisasi bidangnya, yaitu hukum publik, dan menginterpretasikan hukum Islam dari perspektif ajaran Mahmoud Thaha.
Selain menjadi aktifis yang aktif di organisasi Republican Berotherhood, Abdullah Ahmad An-Na`im juga aktif sebagai akademisi. Secara umum aktiftas yang dijalani Abdullah Ahmad An-Na`im sebagai akademisi, pada November 1976 Abdullah Ahmad An-Na`im mengawali karirnya sebagai akademisi dengan menjadi staf pengajar di bidang hukum di universitas Khartoum. Karir yang dijalaninya sebagai staf pengajar di bidang hukum universitas Khartoum ini berakhir hingga Juni 1985. Tercatat Abdullah Ahmad An-Na`im menjadi staff pengajar di bidang hukum kurang lebih selama 9 tahun.
Secara bersamaan pada tahun 1979 Abdullah Ahmad An-Na`im menjabat sebagai ketua jurusan hukum publik di fakultas hukum Universitas Khartoum hingga tahun 1985. Kurang lebih Abdullah Ahmad An-Na`im menjadi ketua jurusan hukum publik selama 6 tahun.[26]
Setelah berkontribusi dalam dunia pendidikan di Khartoum, pada tahun pada Agustus 1985 Abdullah Ahmad An-Na`im diminta untuk menjadi profesor tamu di fakultas hukum UCLA, yang terletak di USA. Abdullah Ahmad An-Na`im menjadi profesor tamu berlangsung hingga tahun 1987.[27]
Kemudian di bulan Agustus pada tahun 1988 Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjadi profesor tamu Ariel F. Sallows yang bergelut khusus di bidang Hak Asasi Manusia di fakultas hukum University Saskatchewan di Kanada sampai tahun 1991. Antara Agustus hingga Juni 1992, Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjadi profesor tamu di Olof Palme di fakultas hukum, University of Upshala, Swedia.[28]
Pada bulan Juli di tahun 1992 Abdullah Ahmad An-Na`im diangkat menjadi sarjana tinggal di kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo Mesir. Ia menjadi sarjana tinggal ini di Kairo Mesir kurang lebih satu tahun. Pada bulan Juli tahun 1993 hingga April 1995 Abdullah Ahmad An-Na`im diangkat menjadi direktur eksekutif pengawas Hak Asasi Manusia Afrika di Washington D.C. Pada bulan Juni 1995 Abdullah Ahmad An-Na`im diangkat menjadi guru besar dan menjadi profesor di bidang hukum di Unversitas Emory, Afrika, G.A, Amerika Serikat.[29]
Pada bulan Februari 2009, Abdullah Ahmad An-Na`im menerima gelar kehormatan doktor dari Universitas Chatoulique de Louvain (UCL Louvain-la Neuvu) dan dari Katholieke Universiteit Leuven (K.U. Leuven, Leuven), Belgium. Ia juga berperan sebagai Sarjana Hukum Global di Fakultas Hukum, Universitas Warwick, Inggris  pada bulan September 2007 hingga Agustus 2010 dan menjadi Profesor Luar Biasa di Pusat Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum, Universitas Pretoria pada bulan Januari 2009 hingga Desember 2010.[30]

D.    Karya-Karya Abdullah Ahmad An-Na`im
Abdullah Ahmad An-Na`im yang dikenal sebagai akademisi dan aktivis yang produktif. Ia telah banyak menuangkan pemikirannya dalam bentuk karya-karya ilmiah. Selain menulis Abdullah Ahmad An-Na`im juga memiliki peran sebagai editor dalam beberapa tulisan ilmiah. Di antara karya-karya yang telah ditulis Abdullah Ahmad An-Na`im;
Muslims and Global Justice. Buku ini diterbitkan di Philadelphina oleh penerbit Universitas Pennsylvania Press pada tahun 2010.[31]
Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari'a. Buku ini diterbitkan di Cambridge, MA and London, England oleh penerbit Harvard University Press pada tahun 2008.[32] Buku yang ditulis oleh Abdullah Ahmad An-Na`im ini juga dipublikasikan di Arab dan Indonesia. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Bengali, Persia, Urdu, Turki dan Rusia.
Buku Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari'a diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Azyumardi Azra demgan judul Islam dan Negara Sekular Mengasosiasikan Masa Depan Syariah. Dalam buku ini Abdullah Ahamd An-Na`im memaparkan beberapa negara yang mayoritas Islam termasuk di dalamnya Indonesia dan melihat potensi yang ada dalam beberapa negara tersebut untuk dijadikan negara yang bersifat sekular. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bahasan sebelumnya bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im yang merupakan tokoh dan aktifis HAM, tentu dalam karyanya juga banyak berbicara masalah HAM. Dan hal tersebut juga dibicarakan dalam buku ini. Di mana Abdullah Ahmad An-Na`im membahas secara panjang lebar konstitualisme, Hak Asasi Manusia dan kewarganegaraan baik itu dari persfektif Islam dan persfektif yang lain. Selain itu Abdullah Ahmad An`Na`im juga membahsa bagaimana menegosiasikan kontekstual sekularisme dalam persfektif komparatif dengan memaparkan beberapa pengalaman dari negara-negara barat seperti Inggris, Swedia, Rusia, Prancis, Italia, Spanyol dan Amerika Serikat.
African Constitutionalism and the Contingent Role of Islam. Buku ini diterbitkan di Philadelphia, PA, oleh penerbit University of Pennsylvania Press pada tahun 2006.
Kemudian buku yang berisi konsep pemikiran Abdullah Ahmad An-Na`im mengenai teori evolusi syari`ahnya (nasakh) adalah buku Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law. Buku ini diterbitkan di Syracuse, oleh penerbit Syracuse University Press, pada tahun 1990. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1994, bahasa Indonesia pada tahun 1995, bahasa Rusia pada tahun 1999, dan bahasa Persia pada tahun 2003.[33]
Jika dilihat buku ini diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dengan judul Dekonstruksi Syari`ah. dalam buku Abdullah Ahmad An-Na`im menuangkan pemikirannya yang diwarisi dari gurunya Mahmoud Taha mengenai konsep nasakh. Dalam buku ini Abdullah Ahmad An-Na`im berbicara panjang lebar terkait dengan konsep-konsep ijtihad dalam Islam. konsep ijtihad yang dikritik Abdullah Ahmad An-Na`im dalam buku ini adalah mengenai konsep nasakh yang dianggap oleh Abdullah Ahmad An-Na`im memiliki peran penting dalam merealisasikan konsep Hak Asasi Manusia dalam suatu negara. Seperti pada buku sebelumnya, buku ini juga banyak membahas tentang konstitualisme dan Hak Asasi Manusia. Dalam buku ini juga ia menyajikan sebuah bentuk ijtihad modern agar syari`ah Islam sesuai dengan konsep masyarakat modern dan dapat terealisasikan dalam kehidupan masyarakat modern.
Abdullah Ahmad An-Na`im melihat bahwa jika umat Islam memahami konsep nasakh sebagaimana yang dipahaminya maka kemungkinan bahwa Hak Asasi Manusia akan terealisasikan secara sempurna sehingga tidak ada perbenturan antara Islam dan konsep konstitualisme yang dijalankan dalam suatu negara.
Sudanese Criminal Law: General Principles of Criminal Responsibility (Arabic). Buku ini diterbitkan di Omdurman, Sudan oleh penerbit Huriya Press, pada tahun 1985.
The Legitimacy of Constitution-Making Processes in the Arab World: An Islamic Perspective, in Constitutionalism, Human Rights and Islam after the Arab Spring. Buku ini diedit oleh Rainer Grote, Tilmann Röder and Ali al-Haj, kemudian diterbitkan di Oxford/New York, oleh penerbit OUP pada tahun 2016.[34]
Selain menjadi penulis yang aktif, Abdullah Ahmad An-Na`im juga berkontribusi dalam mengedit beberapa karya ilmiah. Dalam hal ini Abdullah An-Na`im menjadi editor dalam beberapa tulisan di antaranya;
Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves. Buku ini diterbitkan di Philadelphia, PA, yang diterbitkan oleh penerbit di University of Pennsylvania Press pada tahun 2003. Kemudian buku Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book. Buku ini diterbitkan di London oleh penerbit Zed Books pada tahun 2002. Cultural Transformation and Human Rights in Africa. Juga diterbitkan di London oleh penerbit Zed Books, dan juga pada tahun 2002.
Proselytization and Communal Self-Determination in Africa. Diterbitkan di kota Maryknoll, New York oleh penerbit Orbis Books pada tahun 1999. Buku merupakan judul ketiga yang telah dipulikasikan dalam seri Religion and Human Right oleh Law and Region Program of Emory University. Jika dilihat pada dua judul sebelumnya Abdullah Ahmad An-Na`im membahas mengenai Eropa timur dan Amerika Latin. Dari ketiga buku itu  dapat dilihat bahwa ia menyajikan bukti  hubungan antara agama dan Hak Asasi Manusia yag merupakan sebuah problematik yang tidak dapat dihindarkan oleh berbagai negara.[35] Isu-isu mengenai pindah agama dan penentun nasib sendiri di Afrika disajikan dalam sebelas bab. Secra garis besar isi dari buku ini mendeskripsikan dan menyajikan pertimbangan teoritis bagi aspek-aspek politik hukum dan religius dalam kasus pindah agama. Studi itu dilakukan di beberapa negara yaitu, Kongo, Sudan, Mali, Nigeria, Ghana, Kenya, serta Algeria.
Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights under the Constitutions of African Countries. Diterbitkan di London oleh penerbit Interights pada tahun1999.  Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus. Diterbitkan di Philadelphia, PA oleh penerbit di University of Pennsylvania Press pada tahun 1992. Dan terakhir Abdullah Ahmad An-Na`im sebagai edittor The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic). Diterbitkan di Cairo oleh penerbit Ibn Khaldoun Center pada tahun 1993.[36]
Selain menjadi editor, Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjadi co. Editor dalam beberapa tulisan di antaranya; dengan Ifi Amadiume  dengan judul  buku The Politics of Memory: Truth, Healing and Social Justice. Buku ini diterbitkan di London oleh penerbit Zed Books pada tahun 2000. Kemudian dengan J. D. Gort, H. Jansen, & H. M. Vroom, dengan judul buku Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?. Buku ini diterbitkan di Grand Rapids, MI, oleh penerbit William B. Eerdmans Publishing Company pada tahun 1995. Dan terakhir dengan Francis Deng dengan judul buku Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives. Buku ini diterbitkan di Washington, DC, oleh penerbit The Brookings Institution pada tahun 1990.[37]

E.     Pemahaman Abdullah Ahmad An-Na`im Terhadap Sumber-Sumber Hukum Islam 
Sebagaimana para ahli hukum Islam yang lain yang memiliki pemahaman yang dapat dikatakan berbeda dalam memahami sumber-sumber hukum Islam, begitu juga Abdullah Ahmad An-Na`im. Ia juga memiliki definisi sendiri dalam memahami sumber-sumber hukum Islam.
Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan pemahaman Abdullah Ahmad An-Na`im terhadap beberapa sumber hukum Islam. dan perananya dalam ranah ijtihad.
1.      Al-Qur`an
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im seluruh teks al-Qur`an diyakini secara literal dan final sebagai firman Allah. al-Qur`an yang dikumpulkan sangat dini dalam sejarah Islam. Teks al-Qur`an dianggap sangat akurat dan tidak perlu diperdebatkan lagi oleh seluruh umat Islam.
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im al-Qur`an berisi gagasan yang mendasari tingkah laku masyarakat beradab, seperti tenggang rasa, kejujuran dan kepercayaan dalam berdagang, integritas dan kejujuran dalam administrasi peradilan dan mengekspresikannya sebagai sebuah etika keagaam Islam.
Menurutnya al-Qur`an bukanlah kumpulan hukum atau bahkan buku hukum, akan tetapi al-Qur`an merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik bagi umat manusia untuk mentaati hukum Tuhan yang sudah lebih dahulu diwahyukan atau mungkin dapat ditemukan.[38]
2.      Sunnah
Berangkat dari pemahaman terhadap sunnah secara etomologi bahwa selama ini telah dikenal sunnah terambil dari bahasa Arab yang memiliki arti jalan yang biasa ditempuh, kebiasaan.[39] Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im kata sanna memiliki arti menciptakan segala sesuatu dan mewujudkannya untuk dijadikan suatu model.[40] Menurut Amir Syarifudin bahwa kebiasaan itu baik segala kebiasaan yang baik maupun yang buruk.[41]
Abdullah Ahmad An-Na`im mengungkapkan bahwa komunitas muslim paling tua mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dapat dibuktikan sebagai praktik Nabi dan pengikutnya yang paling awal. Bahkan ia menganalogikan seperti suku Badui yang setia kepada sunnah para leluhurnya. Sehingga ia menyimpulkan secara sederhana bahwa sunnah merupakan suatu varian dari konsep Arab kuno.[42]
Pada dasarnya pemahaman terhadap sunnah di kalangan para ahli hukum Islam pun berbeda. Seperti istilah sunnah yang dikenal dalam ulama ushul adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhamad baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi. Sedangkan ulama fiqh mendefenisikan bahwa sunnah merupakan sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.[43]
Abdullah Ahmad An-Na`im setuju sebagaimana pada umumnya bahwa sunnah Nabi memiliki peranan utama sebagai sumber syari`ah selama abad II Hijriyah, sehingga hal yang berkaitan dengan otensitasnya dan berbagai keadaan asal-usulnya menjadi hal yang sangat begitu penting. Akan tetapi menurutnya bahwa upaya apa pun untuk mengubah keaslian dari kepalsuan, atau mengembalikan seunnah yang tercemar sebelumnya adalah suatu tugas yang hampir-hampir mustahil dilakukan pada saat sekarang ini.[44]
Dalam memahami sunnah secara aplikatif sebenarnya Abdullah Ahmad An-Na`im dipengaruhi oleh pemahaman gurunya terhadap sunnah. Thaha menjelaskan bahwa sunnah yang perlu diikuti adalah cara mempraktikkannya, bukan mengikuti sunnahnya yang bersifat verbal. Menurut Thaha bawah seorang muslim dilarang berhenti di syari`ah, melainkan seorang muslim seharusnya berjalan menuju sunnah. Hal ini dikarenakan pemahamannya yang menjelaskan bahwa syari`ah adalah praktik hidup muslim awal yang diberlakukan oleh Nabi dan para sahabatnya untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul pada saat itu. dengan alasan yang demikian maka ia menghasilkan suatu konsekuensi bahwa pemberlakuan syari`ah yang rinci dan jelas tidak dapat dihindarkan karena yang dihadapi adalah realitas konkrit.
Kemudian Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjelaskan sebagaimana yang dijelaskan oleh gurunya Thaha,umat muslim untuk zaman kontemprer ini sangat ditunggu, maksudnya umat yang menjadi sasaran dari misi kedua, dan hukumnya adalah sunnah, bukan syari`ah masa lalu yang dipraktikkan.[45]
Dapat dipahami bahwa konsep sunnah yang dipahami oleh Abdullah Ahmad An-Na`im tidak ada perbedaan yang signifikan dengan pemahaman sunnah yang dipahami secara umum selama ini. Akan tetapi ia berbeda dalam memahami aplikasi dari sunnah, ia lebih menganggap sunnahlah yang mesti dipraktikkan dan bukanlah syari`ah. Sebenarnya hal ini sangat berhubungan dengan peran ijtihad, di mana secara tidak langsung ia menekankan bahwa semestinya untuk saat ini umat Islam lebih diminta untuk membaca sunnah kembali bukan hanya mempraktikkan syari`ah yang dihasilkan oleh sunnah yang merupakan produk hukum para ulama klasik terdahulu.
3.      Ijma`
Ijma` secara etimologi mengandung arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu keputusan berbuat sesuatu. Kemudian ijma` dengan artian sepakat. Pengertian ini dapat dilihat dalam al-Qur`an surat Yusuf ayat 15:[46]
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (يوسف (15 : 12 /
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf “sesungguhnya kamu akan menceitakan kepada mereka perbuatan mereka ini sedang mereka tiada ingat lagi. (Q.S Yusuf/12: 15)

Sedangkan menurut Al- Gazhali sebagaimana yang diungkapkannya dalam kitab Al-Mustashfa:
الْإِجْمَاعِ فَإِنَّمَا نَعْنِي بِهِ اتِّفَاقَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - خَاصَّةً عَلَى أَمْرٍ مِنْ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ[47]
Artinya:
Ijma` adalah kesepakatan umat Nabi Muhammad Salallahu `Alaihi wa Sallam secara khusus terhadap suatau perkara yang berkaitan dengan agama

Menurut Amir Syarifudin pandangan imam al-Ghazali ini mengikut kepada pandangan Imam al-Syafi`i yang menetapkan ijma` itu sebagai kesepakata umat. Hal ini didasakan pada keyakinan bahwa terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perseorangan.[48]
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im ijma` adalah kekuatan yang sangat besar sebagai sumber yang independen melainkan juga berkaitan dengan otoritas teks dan tingkat tertentu, rekaman awal al-Qur`an dan sunnah itu sendiri. menurutnya sunnahlah menjadi otoritas dan terangkum melalui ijma1, selain itu ditetapkan bahwa interpretasi al-Qur`an dan sunnah dianggap benar, hanya jika diakui oleh ijma`.
Abdullah Ahmad An-Na`im juga mengemukakan sama seperti yang diungkap oleh Amir Syarifudin di atas bahwa ijma` itu tidak dilakukan dalam pengertian muktamar atau dewan. Melainkan melalui suara lubuk hati yag dalam dari masyarakat yang secara universal dianggap sebagai tidak mungkin untuk berbuat salah.[49]
Akan tetapi Abdullah Ahmad An-Naim menekankan selain mehamai ijma` sebagaimana yang dijelaskan di atas, perlu juga untuk membangun konsep ijma` yang bersifat demokratis yang berfungsi untuk memelihara hak dan kewajiban setiap individu dan masyarakat ketika hukum publik Islam akan diterapkan dalam tataran politis. Di sini Abdullah Ahmad An-Na`im menekankan bahwa konsensus yang bersifat demokratis ini maksudnya adalah pengumpulan suatu konsensus bukan handa didasarkan oleh suara mayoritas yang dijadikan sebagai ukuran akan tetapi juga harus mampu memelihara dan melindungi hak dan kebebasan warga negaranya.[50]
Di sini ditarik pemahaman bahwa konsensus yang diinginkan Abdullah Ahmad An-Na`im adalah konsensus yang bersifat demokratis. Sebenarnya hal ini berhubungan dengan hak-hak warga negaranya. Jika dijelaskan setidak dalam satu negara yang bersifat plural sehingga ia beranggapan bahwa agama dan ras bukanlah penghalang untuk ikut serta dalam mendukung suatu konsensus, karena menurutnya ketika ijma` dilakukan seperti ini akan lebih menjaga dan melindungi hak-hak individual masyarakat karena ia juga ikut serta dalam menyuarakan suatu ijma`.
Sepertinya dalam perihal ijma` ini Abdullah Ahmad An-Na`im lebih luas memahami ijma` dan ia juga memahami ijma` tidak hanya dalam tataran hukum Islam. akan tetapi ia juga memahami ijma` dalam tataran pembentukan hukum negara. Padahal untuk melakukan ijma` dan orang-orang yang memiliki kapasitas untuk melakukan ijma` telah dirumuskan dan ditentukan sebagaimana yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik. Akan tetapi sebenarnya inilah salah satu objek metode hukum Islam yang juga ikut dikritik oleh Abdullah Ahmad An-Na`im dan sekaligus ia juga melakukan reformulasi yang cendrung radikal dan ekstrem dalam memahami apa yang dimaksud dengan konsep ijma` tersebut.
4.      Qiyas
Dasar pemikiran dari qiyas adalah karena adanya kaitan yang erat antara hukum dan sabab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan hukum rasional itu oleh ulama disebut sebagai illat. Selain itu dikenal pula konsep mumatsalah yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua yang diciptakan Allah. Apabila dua hal itu sama sifatnya tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat sifat tersebut.
Memang tidak ada dalil atau petunjuk yang pasti yang menyatakan secara jelas bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dalil syara` untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara` di luar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu memang banyak perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara`. Ada ulama yang menjadikan qiyas sebaai dalil syara`, ada juga yang menggunakan qiyas secara mutlaq, dan ada juga yang menggukan qiyas secara luas dan mudah.[51]
Abdullah Ahmad An-Na`im memandang bahwa dalam menerapkan qiyas seorang menyimpulkan dari prinsip yang dijadikan preseden, di mana suatu kasus baru berada di bawah prinsip tersebut atau dapat dikatakan mendekati dan mirip dengan hukum asal dikarenakan adanya illat yang kuat. Namun, qiyas juga telah ditolak karena mendasarkan syari`ah lebih kepada akal manusia daripada wahyu tuhan.
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im bahwa dakwaan yang demikian dapat dihindari atau dapat dijawab jika metode qiyas hanya dibatasi pada kasus-kasus yang tidak ada satu sumber lain yang dapat diterapkan dan hasilnya diketahui sepenuhnya sesuai dengan keseluruhan syari`ah. juga sesuai dengan prinsip-prinsip syari`ah yang lain. Selain itu menurut Abdullah Ahmad An-Na`im bahwa qiyas sangat bermanfaat jika dijadikan sebagai sumber syari`ah yang independen. Terkhusus sejak pintu ijtihad dianggap telah tertutup.[52]
Di sini terlihat bahwa qiyas dalam pandangan Abdullah Ahmad An-Na`im dapat dijadikan sebagai sebuah metode untuk memenuhi kebutuhan zaman. Bahkan ia juga mengemukakan alasan jika ada segelintir orang yang menganggap qiyas merupakan metode yang lebih mendahulukan akal.


[1]Nostalgiawan Wahyudi dkk, Resume Penelitian Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko, Sudan, dan Somalia, dimuat dalam LIPI Jurnal Penelitian Politik Vol. 13, No. 2, hal. 250
[2]Departemen Agama RI, Belajar Islam di Timur Tengah, (Jakarta:Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, t.th), hal. 99
[3]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im Epistimologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 42
[4]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im..., hal. 43
[5]Imam Syaukani, Abdullah Ahmad An-Na`im dan Reformasi Syari`ah Islam demokratik, dalam jurnal Ulumuddin, Nomor 2, Bulan Juli 1997, hal. 68
[6]Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Na`im; Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam A. Khodri Shaleh, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 4
[7]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri`Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hal. 170
[8]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[9]Abdullah Ahmad An-Na`im, Islam and Secular State Negotiating the Future of Shari`ah, (England; Harvard University, 2008), hal. 223
[10]Muhyar Fanani, Paradigma Baru..., hal. 5
[11]https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Khartoum pada tanggal 28 Februari 2019
[12]Departemen Agama RI, Belajar Islam..., hal. 110
[13]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International yang merupakan terjemahan dari karya Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1994), hal. xi
[14]Muhammad Hefni, Desakan Sosiopolitik Munculnya Gagasan Evolusi Syari`ah Oleh An-Na`im, dalam Jurnal Al-Ahkam Vol. 8, No. 1 Juni 2013, hal. 104
[15]Daniel Clery, London, Cambridge lead Europe in Output, dalam Science, 21 Agustus 1998; 281, 5380; ProQuest Biology Journals, hal. 1127
[16]Tulkhotul Khoir, Ideologi dan Eutopia Pemberlakuan Hukum Islam Studi Pemikiran Abdullah Ahmad An-Na`im Pendekatan Sosiologi Pengetahuan, dalam Asy-Syar`iah, Jurnal Ilmu Syari`ah dan Hukum, Vol. 45, No.II Juli-Desember 2011, hal. 1283. Dikutip dari Stewart J. Brown and Timothy Tackett (eds.), The Cambridge History of Christianity VII: Enlightenment, Reawakening, and Revolution 1660-1815, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), sebagaimana dikutip Hugh McLeod, “The Cambridge History of Christianity VII: Enlightenment, Reawakening, and Revolution 1660-1815”, dalam Church History; Juni 2008; 77, 2; ProQuest Religion, hal. 479
[17]Abdullah Ahmad An-Na`im, dalam Catatan Pembuka, Mahmud Muhasmmad Thaha, Syari`at Demokratik,  terj. Nur Rachman, Judul Asli: Shari`ah Demokratik, (Surabaya: eLSAD, 1996), hal. 4
[18]Mahmoud Taha atau lebh dikenal Mahmoud Mohamed Taha merupakan aktivis yang dikenal aktif dalam gerakan kemerdekaan rakyat Sudan. Selain itu juga bekerja sebagai insinyur sipil dengan spesialis dalam bidang irigasi. Selain itu ia juga dikenal sebagai pembaharu Islam yang inovatif, beberapa menyebutnya heterodoks. Baca Charles Khurzman, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum et.al, judul asli: Liberal Islam A Sourcebook, (Jakarta: Paramadina, 2001),  hal. 456
[19]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah..., hal. xi
[20]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari`ah, terj Khoiran Nadhiyyin, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 220
[21]Khalid duran, An Alternatif to Islamism: The Evolutionary Thought of Mahmud Thaha, Cross Currents, Pro Quest Religion: Winter 1992, vol. 42, hal. 453-467
[22]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah..., hal. xii
[23]Jhon L. Esposito, John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng Hariyanto dkk, judul asli: Makers Of Contempory Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 156-157
[24]Mutawalli, Pembaharuan Hukum Islam Menimbang Pemikiran `Abd al-Lah Ahmad Al-Na`im,dalam Ulumuna (IAIN Mataram), Jurnal Studi Keislaman Volume XII, No. 1 Juni 2008, hal.113
[25]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah..., hal. xii-xiii
[26]Nabil Rahmad, Abdullah Ahmad An-Na`im, diakses dari tulisan yang dimuat dalam https://www.slideshare.net/NabilRahmanElFaqir/abdullah-ahmed-an-naim pada tanggal 04 Maret 2019
[27]Nabil Rahmad, Abdullah Ahmad An-Na`im..., diakses 04 Maret 2019
[28]Nabil Rahmad, Abdullah Ahmad An-Na`im..., diakses 04 Maret 2019 
[29]Muhyar Fanani,..., hal. 4. Baca juga Nabil Rahmad, Abdullah Ahmad An-Na`im, diakses dari tulisan yang dimuat dalam https://www.slideshare.net/NabilRahmanElFaqir/abdullah-ahmed-an-naim pada tanggal 04 Maret 2019
[30]Abdullah Ahmad An-Na`im, Islam And Human Rights; Selected Essay Of Abdullah Ahmad An-Na`im, diedit oleh Mashood A. Baderin, (London And New York: Routledge and Taylor Francis Group, 2016), hal. xii
[31]Abdullah Ahmad An-Na`im, Muslims and Global Justice, (Philadelphina: University Pennsylvania Press, 2010) dipublikasikan
[32]Abdullah Ahmad An-Na`im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari'a, (England: Harvard University Press, 2008) dipublikasikan
[33]Abdullah Ahmad An-Na`im Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, (Syracuse NY: Syracuse University Press, 1990). Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dalam Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1994) dipublikasikan
[34]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[35]Abdullah Ahmad An-Na`im (ed),  Proselytization and Communal Self-Determination in Africa, (New York: Orbis Books, 1999)
[36]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[37]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[38]Abdullah Ahmad An-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah..., hal. 40-41
[39]Rahman Ritonga, Sunnah Amaliyah, Tarkiyah, Fitriyah, (Jakarta: ADELINA Bersaudara, 201), hal. 1
[40]Abdullah Ahmad An-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah...,  hal. 43
[41]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),  hal. 86
[42]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 21
[43]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I..., hal. 86
[44]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 23
[45]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im..., hal. 143-144
[46]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I...,  hal. 132
[47]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Tusi, al-Mustasfha, (T.tp: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), hal. 137
[48]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I..., hal. 132
[49]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 23
[50]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im..., hal. 194
[51]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I..., hal. 170-178
[52]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 25

2 comments: