BIOGRAFI ABDULLAH AHMAD AN-NA`IM
A. Riwayat Hidup Abdullah Ahmad An-Na`im
Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan seorang ahli
hukum dan aktivis yang sangat dikenal di Sudan. Dalam beberapa catatan
menjelaskan bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im dilahirkan di Sudan pada tanggal 19
November 1946.
Secara histori Sudan merupakan negara yang
memiliki banyak konflik Internal. Dalam sebuah tulisan dikatakan bahwa Sudan
termasuk kategori negara yang memiliki tingkat pembangunan manusia yang rendah (low
development index countries) akan tetapi Sudan tetap memiliki posisi yang
lebih baik dibandingkan negara-negara Afrika lainnya.[1]
Sebagai salah satu negara yang selama ini terus berkembang, Sudan juga termasuk
negara yang belum beruntung karena kesejahteraan yang dicapai oleh Sudan dapat
dikatakan masih dalam taraf yang pas-pasan, selain itu perkembangan di bidang
ekonomi pun Sudan belum menunjukkan indikasi yang menggemberikan.[2]
Sedangkan sektor yang paling menonjol dari Sudan adalah pendidikan, yang
membuat tingkat literasi di negara tersebut mencapai 71.9 persen.
Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan anak pertama
dari sebelas bersaudara yang berasal dari pasangan Ahmed An-Na`im dan Aisha
al-Awad Osman. Abdullah Ahmad An-Na`im memiliki enam saudara laki-laki dan
empat saudara perempuan, tetapi dua dari saudara perempuannya telah meninggal
di masa kanak-kanak. Ayahnya Ahmed hanya belajar al-Qur`an, menulis dan membaca
di madrasah, dan tidak pernah mendapat pendidikan formal lagi di atasnya dan
ibunya buta huruf.[3]
Ahmed An-Na`im, ayah Abdullah Ahmad An-Na`im
mulai bekerja sebagai petani kampung pada usia sebelas tahun. Ia kemudian pergi
untuk bekerja sebagai pelayan di Angkatan pertahanan Sudan di kota Shendi,
melewati Nile dari al-Maqawir. Akhirnya ia menjadi anggota prajurit
biasa pada usia 17 tahun dan karirnya sebagai prajurit terus naik pengkatnya
hingga ia mengundurkan diri sebagai brigadier General tahun 1973[4]
Jika dilihat dari stratifikasi sosial,
keluarga besar Abdullah Ahmad An-Na`im terbilang keluarga yang tergolong
memiliki ekonomi sederhana, akan tetapi kedua orang tuanya memiliki visi
pendidikan yang sangat bagus. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Abdullah
Ahmad An-Na`im dapat menyelesaikan pendidikan formalnya hingga program doktor.
Kehidupan masa kecil Abdullah Ahmad An-Na`im
tidak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak kecil di Afrika. Kemudahan
fasilitas yang memanjakan seperti yang ada di negara-negara maju, tidak
dirasakan oleh Abdullah Ahmad An-Na`im ketika masa kecil dan masa remajanya,
sehingga tidak mengherankan juga jika dirinya tumbuh dengan sosok yang memiliki
karakter yang kuat, dan tegas. Meskipun demikian ia juga dikenal memiliki sifat
yang lemah lembut dan bijaksana.[5]
Sebagai sarjana Islam yang diakui secara internasional, ia terkenal sangat
aktif dalam bidang hak asasi manusia dalam persfektif internasional serta hak
asasi manusia dalam perspektif lintas budaya. Kesungguhan Abdullah Ahmad
An-Na`im dalam memperjuangkan hak asasi manusia di dunia international dapat
dilihat dalam keterlibatannya di berbagai lembaga-lembaga hak asasi manusia
international. Seperti aktifnya Abdullah Ahmad An-Na`im dalam lembaga The
International Council on Human Rights Policy di Genewa, Swiss. Selain itu
ia juga aktif di lembaga International
Advisory Council of the International Center for the Legal Protection of Human
Rihts (Interrights),
London.[6]
Karena
perhatian Abdullah Ahmad An-Na`im yang begitu besar terhadap hak asasi manusia,
Abdullah Ahmad An-Na`im dikategorikan kepada kelompok yang melihat bahwa antara
Hak Asasi Manusia dan Islam tidak ada pertentangan sama sekali, sehingga
keduanya dapat berjalan beriringan. Di samping itu ia juga dianggap sebagai
orang yang melakukan interpretasi terhadap doktrin yang dianggap bertentangan
tersebut dengan melakukan langkah yang lebih berani dan ekstrim untuk
mereformasi dan merekonstruksi doktrin hukum Islam tersebut.[7]
Di samping keaktifannya dalam melindungi hak asasi manusia di dunia
international, Abdullah Ahmad An-Na`im juga mengajar mata kuliah hukum
internasional, hukum komparatif, hak asasi manusia, dan hukum Islam. Dalam
beberapa penelitiannya, Abdullah Ahmad An-Na`im sangat tertarik dengan
tema-tema konstitusionalisme di negara-negara Afrika, sekularisme, Islam serta
politik.[8]
Abdullah Ahmad An-Na`im juga dikenal sebagai pembicara di berbagai forum
lokal dan international. Ia dikenal sangat getol bersuara mengenai penegakan
hak asasi manusia, bahkan hal tersebut menjadi inisiator rekonstruksi
konseptualnya, yang dalam hal ini ia mewakili kelompok Islam. Ia sering
bersafari ke berbagai negara baik barat maupun timur. Bahkan ia juga pernah
memberi kuliah umum di salah satu universitas di Indonesia. Serta ia juga
menjadi Indonesia sebagai topik pembahasan dalam bukunya yang berjudul Islam
and Secular State Negotiating the Future of Shari`ah.[9]
Abdullah Ahmad An-Na`im juga kerap menulis karya ilmiah baik berupa buku
ataupun jurnal-jurnal. Jika dilihat dari buku-buku yang telah ia
karang, Abdullah Ahmad An-Na`im termasuk sosok yang memiliki komitmen terhadap
Islam sekaligus mempunyai dedikasi yang tinggi dalam persoalan hak asasi
manusia. Tersirat dalam bukunya juga (seperti, Dekonstruksi Syari’ah, yang
merupakan terjemahan dari buku asli yang berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law Civil),
ia menawarkan metodologi baru yang di
dalamnya menguak pandangan Islam
terhadap hak asasi manusia. Perhatian utama Abdullah
Ahmad An-Na’im
adalah hukum Islam dalam kaitannya dengan
isu-isu international, konstitualisme modern dan hukum pidana modern.
Menurutnya hukum Islam saat ini
membutuhkan reformasi total atau rekonstruksi menyeluruh.[10]
Dalam perjalanan hidupnya sebagai aktifis dan akademisi, Abdullah Ahmad
An-Na`im banyak memperoleh gelar-gelar kehormatan yang diberikan oleh berbagai
institusi pendidikan dan lembaga-lembaga international yang digelutinya. Hal
ini membuktikan bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im memiliki integritas yang tinggi
dalam melaksanakan setiap aktifitasnya baik sebagai aktifis maupun sebagai
akademisi.
B. Pendidikan Abdullah Ahmad An-Na`im
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas
meski Sudan merupakan negara yang memiliki banyak konflik internal, akan tetapi
keluarga Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan keluarga yang memiliki visi
pendidikan yang sangat bagus. Sehingga hal tersebut merupakan faktor terbesar
yang menjadikan Abdullah Ahmad An-Na`im sukses dalam karir pendidikannya.
Dilihat dari pendidikan formal yang telah
dijalani oleh Abdullah Ahmad An-Na`im, ia mengawali pendidikan formal di negara
kelahirannya sendiri. Karena dalam beberapa tulisan ditemukan bahwa Abdullah
Ahmad An-Na`im menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (S1) di
Sudan.
Abdulah Ahmad An-Na`im menyelesaikan studi S1-nya
di Universitas Khartoum Sudan. Universitas Khartoum merupakan sebuah perguruan
tinggi negeri yang terletak di Khartuom Sudan. Secara histori Universitas Khartoum
didirikan sebagai Gordon Memorial Collage pada tahun 1902 dan didirikan atas
nama Universitas Khartoum pada tahun 1956 ketika sudan telah memperoleh
kemerdekaan.[11]
Pada saat ini Universitas Khartoum bernama Khartoum International for Arabic
Language (KIIAL). Kosentrasi perguruan tinggi ini dalam program sarjana maupun
pasca sarjana adalah dalam bidang Tarbiyah terutama bahasa Arab.[12]
Saat
kuliah di Universitas Khartoum, Abdullah ahmad An-Na`im mengambil konsentrasi
di fakultas hukum khususnya di jurusan hukum pidana. Pendidikan S1-nya ini ia
selesaikan pada tahun 1970 dengan gelar LL.B.[13]
Setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Khartoum, Abdullah Ahmad
An-Na`im melanjutkan pendidikan S2 dan S3 nya di Inggris. Ia memulai
pendidikannya di Inggris pada tahun 1970-1976.
Abdullah Ahmad An-Na`im yang melanjutkan
pendidikan S2-nya di Inggris, tepatnya di Universitas Cambridge. Di Universitas
Cambridge ini Abdullah Ahmad An-Na`im mengambil konsentrasi di bidang hukum
yang berkaitan dengan kebebasan sipil, hukum konstitusional, dan hukum perdata
International. Dari Universitas Cambridge inilah Abdullah Ahmad An-Na`im
memperoleh gelar LL.M pada tahun 1973, dengan karya ilmiah yang berjudul Judicial
Review of Administrative Action, The Law Relating to Civil Liberties,
Constitutional Law, and Private International Law. Selain itu pada
universitas yang sama dan juga pada tahun yang sama, Abdullah Ahmad An-Na`im
juga dapat menyelsaikan studi S-2 di bidang kriminologi dengan karya ilmiah Criminal
Proses, Phenology, Sociology of Crime and Research Metodology.[14]
Perlu diketahui juga bahwa Universitas
Cambridge merupakan salah satu universitas tertua di dunia yang berbahasa
Inggris. Universitas cambridge diketahui merupakan universitas yang memiliki
persyaratan untuk masuk paling ketat di Britania Raya. universitas ini tumbuh
dari sebuah perhimpunan sarjana di kota Cambridge, Cambridgeshire, Inggris,
yang kemungkinan dibentuk pada 1209 oleh sarjana yang kabur dari Universitas
Oxford setelah bertengkar dengan penduduk kota.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Universitas Cambridge bangga dengan banyaknya
peraih nobel dan alumni ternama di dunia. Universitas Cambridge
telah memenangkan 80 Penghargaan Nobel lebih banyak dari
universitas lain di dunia. Dari 80 pemenang Penghargaan
Nobel ini, 70 pernah menghadiri Cambridge sebagai murid
prasarjana atau pasca-sarjana, dan bukan sebagai "associate" riset,
"fellow" atau profesor. Hal ini bisa dibandingkan dengan Universitas
Chicago, misalnya, yang berada di urutan ke-2 dalam afiliasi
pemenang Penghargaan Nobel, dengan 79 orang, tetapi hanya
30 yang pernah belajar di Universitas Chicago itu, baik sebagai
mahasiswa prasarjana maupun pascasarjana. Jika dihitung total
output paper ilmiah, maka London adalah kota paling produktif
di Eropa. Tetapi jika jumlah yang terpublikasikan dihitung
perkapita, maka Cambridge dapat mengklaim diri sesuai dengan
kajian baru yang berusaha merangking produktifitas ilmiah
kota-kota besar di seluruh Eropa. Kota kecil yang didominasi
universitas-universitas besar dan tua itu memimpin rangking
perkapita diikuti kemudian oleh Oxfrod.[15]
Sejarah Kristen di Cambridge memang sedikit banyak terkena
dampak Revolusi Amerika dan Perancis. Revolusi agama di
Perancis, menurut Suzanne Desan dan Stewart J. Brown misalnya,
meninggalkan warisan berupa agen sekularisasi dan stimulus
revivalisme. Selain itu, Era Pencerahan (enlightenment), yang
sebenarnya terjadi di semua agama, juga dianggap sebagai faktor
yang bertanggungjawab bagi munculnya sekularisme di Cambridge.
Kecenderungan sekularisme ini dilihat oleh para pemikir muncul
di abad XVIII bersamaan dengan kritisisme intelektual
terhadap Kristen. Para pemikir menunjukkan adanya kontras antara
kesalehan massa yang masih berlanjut dengan trend
dekristenisasi di kalangan elit urban kiran-kira tahun 1750-an. Margaret Jacob
berpendapat bahwa sekularisme praktis telah berhasil di
Inggris. Joris van Eijnatten juga mengatakan, para pendeta
mempercayai bahwa di abad XVIII itu juga berkembang skeptisisme.
Hanya saja, masih menurutnya, hal ini merupakan tema yang
terabaikan, mengapa, karena sekularisasi tidak dapat diukur
secara sederhana hanya dengan melihat praktik kesalihan populer
atau cara pikir dan mengatakan bahwa yang nampak itu sebagai
kemunduran agama, bukan sesuatu yang suatu saat dapat didefinisikan
lebih baik sebagai perubahan agama. Di sisi lain, muncul juga British
Radicalisme yang berkembang cepat pada tahun 1790an.
Faham yang disebut terakhir ini juga mempunyai dimensi
pemikiran bebas yang signifikan. Memang secara umum pada
abad XIX ada gelombang urban miskin yang lepas dari gereja
karena gereja sendiri sudah tidak mempunyai respon yang cukup.[16]
Pada tahun 1976 Abdullah Ahmad An-Na`im meraih
gelar Ph. D dalam bidang hukum pada Universitas Edinburgh Skotlandia dengan
disertasi tentang Comparative Pre-Trial Criminal Procedur: English,
Scotlish, U.S, and Sudanese Law (Perbandingan Prosedur Pra Percobaan Hukum
Inggris, Skotlandia, Amerika, Dan Sudan).[17]
Jika dilihat dari perjalanan intelektual yang
telah dijalani oleh Abdullah Ahmad An-Na`im, tidak mengherankan jika ia
merupakan sosok tokoh yang berusaha dalam memperjuangkan hak asasi manusia.
Selain faktor pendidikan formalnya tentu hal ini juga dipengaruhi oleh faktor
sosial politik dan lingkungan yang mengitari Abdullah Ahmad An-Na`im. Sehingga
keseluruhan hal tersebut adalah hal yang memiliki pengaruh besar terhadap
konsep pemikiran yang diusung oleh Abdullah Ahmad An-Na`im.
C. Aktivitas Abdullah Ahmad An-Na`im
Pemikiran Abdullah Ahmad An-Na`im tentu tidak
lahir dari suatu kevakuman. Abdullah Ahmad An-Na`im merupakan salah seorang
generasi kontemporer dari sarjana-sarjana aktifis yang telah membina karir
kesarjanaannya dengan melibatan diri dalam masalah-masalah sosial.
Pengalamannya sebagai mahasiswa dan pengacara yang terlibat dalam
masalah-masalah sosial di Sudan sangat membentuk pemikirannya. Dalam hal ini
yang sangat berpengaruh terhadap pemikirannya adalah ketika Abdullah Ahmad
An-Na`im melibatkan diri dalam organisasi Persaudaraan Republik di Sudan (The
Republican Brotherhood).
Abdullah Ahmad An-Na`im ikut bergabung dengan
organisasi The Republican Brotherhood di Sudan ketika dia masih
menyadang status sebagai mahasiswa di fakultas hukum Universitas Khartoum. Dia
sering menghadiri sejumlah kuliah yang disampaikan Mahmoud Thaha dan juga
sering bergabung dalam diskusi-diskusi informal yang dilakukan di kediaman
pribadi Mahmoud Thaha[18].
Menjelang awal tahun 1968 Abdullah Ahmad An-Na`im resmi menjadi anggota The
Republican Brotherhood.[19]
Perlu diketahui bahwa The Republican
Brotherhood adalah organisasi yang awalnya merupakan partai republikan yang
didirikan oleh Mahmoud Thaha. Karena Mahmoud Thaha beranggapan bahwa pergerakan
serta perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang selalu dicita-citakan tidak
akan pernah terwujud tanpa ditampung oleh wadah yang dapat menampung aspirasi
perjuangan. Oleh karena itu pada Oktober tahun 1945 Mahmud Thaha yang juga
didukung oleh para kalangan intelektual yang juga kritis terhadap situasi
negara Sudan pada saat itu mendirikan sebuah partai yang bernama Republican
Brotherhood. Tujuan utama partai ini agar dapat dijadikan sebagai fasilitas
yang mampu mewadahi perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Sudan. Selain itu,
dengan wadah ini Thaha berharap konfrontasi secara terbuka dengan penguasa
kolonial dapat mulai diperlihatkan. Sedangkan agenda politik dari partai Republican
Brotherhood ini adalah guna untuk merefleksikan kekuatan orientasi Islam
modernis, yang pada waktu itu belum sepenuhnya berkembang.[20]
Akan
tetapi Pasca kudeta militer oleh Ja’far
al-Numaery pada Bulan Mei 1969, Partai Republikan yang didirikan oleh Mahmoud
Thaha kemudian berubah dari partai politik menjadi sebuah organisasi bernama Republican
Brothers (al-Ikhwan al-Jumhuriyyun). Anggota-anggota Republican
Berothers yang masih menginginkan peran
politis yang lebih sekular keluar menuju ke partai-partai lain. Sementara bagi
mereka yang masih bersama Mahmoud Thaha,
partai itu berubah menjadi semacam lingkungan spiritual di bawah bimbingan Mahmoud Thaha.
Republican Brothers kemudian menjadi musuh yang diakui terus terang oleh
al-Ikhwan al-Muslimin, sebuah gerakan islamis noefundamentalis yang didirikan di Mesir. Al-Ikhwan
al-Muslimin ingin
membangun sebuah aturan yang totalitarian sebagaimana kejayaan teokrasi abad
tengah, sebaliknya Mahmoud Thaha
percaya kepada demokrasi, parlementer maupun presidensil, dan sosialisme Fabian.[21]
Selain menjadi pengajar yang aktif, Abdullah
Ahmad An-Na`im juga menjadi juru bicara Mahmoud Thaha, menulis surat kabar
lokal dan juga berbicara dengan berbagai kalangan. Ini merupakan peran penting
Abdullah Ahmad An-Na`im sebagai anggota dari Republican Berothers. Sebenarnya
hal ini disebabkan karena Mahmoud Thaha
dilarang berpatisipasi dalam kegiatan publik sejak awal tahun 1970-an. Meskipun
Republican Berothers tidak secara aktif memusuhi Numaery, namun Numaery
tetap membatasi aktifitas-aktifitas angota Republican Berothers yang
merupakan pengikut Thaha.
Pembatasan yang dilakukan oleh Numaery
mencapai puncaknya pada awal tahun 80-an, ketika Numaery mulai menjalankan
politik islamisasi. Sebenarnya Numaery mulai menyusun kekuatan sebagai pemimpin
kelompok gerilyawan muda pada tahun 1969 dan berlanjut terus pada fase awal
sosialisme radikal. Pada pertengahan tahun 1970-an, posisi Numaery makin kuat
ketika dia bernegosiasi untuk mengakhiri perang sipil, pertentangan antara
muslim di Sudan Utara dengan non-muslim di Sudan Selatan. Meskipun demikian,
pada awal tahun 1978 Numaery mulai mengidentifikasikan dirinya lebih jelas lagi
dengan menggunakan sentimen-sentimen Islam di Sudan Utara, mencapai puncaknya
dengan penerapan interpretasinya atas hukum Islam pada tahun 1983.[22]
Keputusan Numaery ini diterapkan tepatnya pada
bulan September 1983. Sebelum itu Numaery juga telah menunjuk sebuah komite
yang diketuai oleh Hasan al-Turabi. Komite ini berguna untuk menguji serta
membuat undang-undang sesuai syari`at Islam. Komite tersebut mulai bekerja pada
tahun 1977 dalam rangka mengkompilasikan sejumlah hukum konsep seperti
rancangan Undang-undang pembayaran zakat, dll.
Akan tetapi perlu diketahui di sini juga bahwa
program hukum yang diterapkan melalui undang-undang September merupakan hasil
kelompok kecil para pengacara muda yang dipimpin oleh Nayan Abu Qarun dan Awad
al-Jid Ahmas. Proses aktual pembuatan Undang-undang baru ini dapat dikatakan
diselesaikan secara serampangan dan tergesa-gesa oleh para ahli hukum muda
tersebut, yang mendapat tekanan langsung dari Numaery untuk bekerja dengan
cepat. Bahkan banyak sarjana seperti Hasan al-Turabi menganggap bahwa
Undang-Undang tersebut tidak memenuhi standar.[23]
Interpretasi Numaery sendiri atas ajaran Islam
adalah dengan meletakkan hukum Islam sebagai pengatur ketatanegaraan dan karena
itu, ia menerapkan hukuman-hukuman yang terdapat dalam fiqh klasik,
seperti sanksi pidana pendurian, rajam, sanksi zina, dan sanksi pidana mati
bagi orang yang murtad. Hukuman hukuman tersebut dirumuskan di bawah kendali
otoritas Numaery sendiri tanpa melakukan konsultasi dengan Jaksa Agung dan
Mahkamah Agung. Disinyalir bahwa hukuman tersebut diterapkan Numaery semata-mata
untuk melindungi kekuasaannya. Beribu orang ditangkap dan diadili, layaknya
pengadilan militer dengan menggunakan hukum Islam.[24]
Pada waktu itulah Mahmoud Thaha dan Republican
Berothers melawan politik Numaery yang dikampanyekan secara gigih. Hal ini
menyebabkan selama lebih satu setengah tahun, Mahmoud Thaha dan kira-kira 30
orang pemimpin Republican Berothers termasuk Abdullah Ahmad An-Na`im
ditahan tanpa proses pengadilan. Kemudian mereka dibebaskan pada akhir tahun
1984, akan tetapi Mahmoud Thaha ditangkap kembali, dengan tuduhan menghasut dan
pelanggaran lainnya dan dihukum mati pada bulan Januari 1985. Pemimpin yang
lain juga ditangkap dan diadili, akan tetapi hanya Mahmoud Thaha yang dihukum
mati. Dalam posisi ini Abdullah Ahmad An-Na`im mengambil langkah untuk
menegosiasikan pembebasan 400 anggota, tetapi dia tidak menjamin pengampunan
gurunya. Sejak saat itu kelompok Republican Berothers sepakat untuk
tidak terlibat dalam aktifitas politik dan secara resmi membubarkan diri.[25]
Meskipun demikian Abdullah Ahmad An-Na`im
tetap memberikan ceramah dan tulisan khususnya untuk luar Sudan. Karena dia
merasa memiliki tanggung jawab untuk mengambil dasar ajaran Mahmoud Thaha dan
mengembangkannya. Abdullah Ahmad An-Na`im telah menulis untuk spesialisasi
bidangnya, yaitu hukum publik, dan menginterpretasikan hukum Islam dari
perspektif ajaran Mahmoud Thaha.
Selain menjadi aktifis yang aktif di
organisasi Republican Berotherhood, Abdullah Ahmad An-Na`im juga aktif
sebagai akademisi. Secara umum aktiftas yang dijalani Abdullah Ahmad An-Na`im
sebagai akademisi, pada November 1976 Abdullah Ahmad An-Na`im mengawali
karirnya sebagai akademisi dengan menjadi staf pengajar di bidang hukum di
universitas Khartoum. Karir yang dijalaninya sebagai staf pengajar di bidang
hukum universitas Khartoum ini berakhir hingga Juni 1985. Tercatat Abdullah
Ahmad An-Na`im menjadi staff pengajar di bidang hukum kurang lebih selama 9
tahun.
Secara bersamaan pada tahun 1979 Abdullah
Ahmad An-Na`im menjabat sebagai ketua jurusan hukum publik di fakultas hukum Universitas
Khartoum hingga tahun 1985. Kurang lebih Abdullah Ahmad An-Na`im menjadi ketua
jurusan hukum publik selama 6 tahun.[26]
Setelah berkontribusi dalam dunia pendidikan
di Khartoum, pada tahun pada Agustus 1985 Abdullah Ahmad An-Na`im diminta untuk
menjadi profesor tamu di fakultas hukum UCLA, yang terletak di USA. Abdullah
Ahmad An-Na`im menjadi profesor tamu berlangsung hingga tahun 1987.[27]
Kemudian di bulan Agustus pada tahun 1988
Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjadi profesor tamu Ariel F. Sallows yang
bergelut khusus di bidang Hak Asasi Manusia di fakultas hukum University
Saskatchewan di Kanada sampai tahun 1991. Antara Agustus hingga Juni 1992,
Abdullah Ahmad An-Na`im juga menjadi profesor tamu di Olof Palme di fakultas
hukum, University of Upshala, Swedia.[28]
Pada bulan Juli di tahun 1992 Abdullah Ahmad
An-Na`im diangkat menjadi sarjana tinggal di kantor The Ford Foundation untuk
Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo Mesir. Ia menjadi sarjana tinggal ini
di Kairo Mesir kurang lebih satu tahun. Pada bulan Juli tahun 1993 hingga April
1995 Abdullah Ahmad An-Na`im diangkat menjadi direktur eksekutif pengawas Hak
Asasi Manusia Afrika di Washington D.C. Pada bulan Juni 1995 Abdullah Ahmad
An-Na`im diangkat menjadi guru besar dan menjadi profesor di bidang hukum di
Unversitas Emory, Afrika, G.A, Amerika Serikat.[29]
Pada bulan Februari 2009, Abdullah Ahmad
An-Na`im menerima gelar kehormatan doktor dari Universitas Chatoulique de
Louvain (UCL Louvain-la Neuvu) dan dari Katholieke Universiteit
Leuven (K.U. Leuven, Leuven), Belgium. Ia juga berperan sebagai Sarjana
Hukum Global di Fakultas Hukum, Universitas Warwick, Inggris pada bulan September 2007 hingga Agustus 2010
dan menjadi Profesor Luar Biasa di Pusat Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum,
Universitas Pretoria pada bulan Januari 2009 hingga Desember 2010.[30]
D. Karya-Karya Abdullah Ahmad An-Na`im
Abdullah Ahmad An-Na`im yang dikenal sebagai
akademisi dan aktivis yang produktif. Ia telah banyak menuangkan pemikirannya
dalam bentuk karya-karya ilmiah. Selain menulis Abdullah Ahmad An-Na`im juga
memiliki peran sebagai editor dalam beberapa tulisan ilmiah. Di antara
karya-karya yang telah ditulis Abdullah Ahmad An-Na`im;
Muslims and Global Justice. Buku ini
diterbitkan di Philadelphina oleh penerbit
Universitas Pennsylvania Press pada tahun 2010.[31]
Islam and the Secular State:
Negotiating the Future of Shari'a. Buku ini diterbitkan di Cambridge, MA and London, England oleh penerbit Harvard University Press pada tahun 2008.[32]
Buku yang ditulis oleh Abdullah Ahmad An-Na`im ini juga dipublikasikan di Arab
dan Indonesia. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Bengali, Persia,
Urdu, Turki dan Rusia.
Buku Islam and the Secular State:
Negotiating the Future of Shari'a diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Azyumardi Azra demgan judul Islam dan Negara Sekular
Mengasosiasikan Masa Depan Syariah. Dalam buku ini Abdullah Ahamd An-Na`im
memaparkan beberapa negara yang mayoritas Islam termasuk di dalamnya Indonesia
dan melihat potensi yang ada dalam beberapa negara tersebut untuk dijadikan
negara yang bersifat sekular. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bahasan
sebelumnya bahwa Abdullah Ahmad An-Na`im yang merupakan tokoh dan aktifis HAM,
tentu dalam karyanya juga banyak berbicara masalah HAM. Dan hal tersebut juga
dibicarakan dalam buku ini. Di mana Abdullah Ahmad An-Na`im membahas secara
panjang lebar konstitualisme, Hak Asasi Manusia dan kewarganegaraan baik itu
dari persfektif Islam dan persfektif yang lain. Selain itu Abdullah Ahmad
An`Na`im juga membahsa bagaimana menegosiasikan kontekstual sekularisme dalam
persfektif komparatif dengan memaparkan beberapa pengalaman dari negara-negara
barat seperti Inggris, Swedia, Rusia, Prancis, Italia, Spanyol dan Amerika
Serikat.
African Constitutionalism and the
Contingent Role of Islam. Buku ini
diterbitkan di Philadelphia, PA, oleh penerbit University of Pennsylvania Press
pada tahun 2006.
Kemudian buku
yang berisi konsep pemikiran Abdullah Ahmad An-Na`im mengenai teori evolusi
syari`ahnya (nasakh) adalah buku Toward an Islamic Reformation: Civil
Liberties, Human Rights and International Law. Buku ini
diterbitkan di Syracuse, oleh penerbit Syracuse University Press, pada tahun 1990. Buku ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1994, bahasa Indonesia pada
tahun 1995, bahasa Rusia pada tahun 1999, dan bahasa Persia pada tahun 2003.[33]
Jika dilihat
buku ini diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Suaedy dan
Amiruddin Arrani dengan judul Dekonstruksi Syari`ah. dalam buku Abdullah
Ahmad An-Na`im menuangkan pemikirannya yang diwarisi dari gurunya Mahmoud Taha
mengenai konsep nasakh. Dalam buku ini Abdullah Ahmad An-Na`im berbicara
panjang lebar terkait dengan konsep-konsep ijtihad dalam Islam. konsep ijtihad
yang dikritik Abdullah Ahmad An-Na`im dalam buku ini adalah mengenai konsep nasakh
yang dianggap oleh Abdullah Ahmad An-Na`im memiliki peran penting dalam
merealisasikan konsep Hak Asasi Manusia dalam suatu negara. Seperti pada buku
sebelumnya, buku ini juga banyak membahas tentang konstitualisme dan Hak Asasi
Manusia. Dalam buku ini juga ia menyajikan sebuah bentuk ijtihad modern agar
syari`ah Islam sesuai dengan konsep masyarakat modern dan dapat terealisasikan
dalam kehidupan masyarakat modern.
Abdullah Ahmad
An-Na`im melihat bahwa jika umat Islam memahami konsep nasakh sebagaimana
yang dipahaminya maka kemungkinan bahwa Hak Asasi Manusia akan terealisasikan
secara sempurna sehingga tidak ada perbenturan antara Islam dan konsep
konstitualisme yang dijalankan dalam suatu negara.
Sudanese Criminal Law: General
Principles of Criminal Responsibility (Arabic). Buku ini
diterbitkan di Omdurman, Sudan oleh penerbit Huriya Press, pada tahun 1985.
The Legitimacy of
Constitution-Making Processes in the Arab World: An Islamic Perspective, in Constitutionalism, Human Rights
and Islam after the Arab Spring. Buku ini diedit oleh Rainer Grote, Tilmann Röder and
Ali al-Haj, kemudian diterbitkan di Oxford/New York, oleh penerbit OUP pada tahun 2016.[34]
Selain
menjadi penulis yang aktif, Abdullah Ahmad An-Na`im juga berkontribusi dalam
mengedit beberapa karya ilmiah. Dalam hal ini Abdullah An-Na`im menjadi editor
dalam beberapa tulisan di antaranya;
Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for
Ourselves. Buku ini diterbitkan di Philadelphia, PA, yang diterbitkan oleh penerbit di University of Pennsylvania Press pada tahun
2003. Kemudian buku Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book. Buku ini diterbitkan di London oleh penerbit Zed Books pada tahun
2002. Cultural Transformation and Human Rights in Africa. Juga diterbitkan di London oleh penerbit Zed
Books, dan juga pada
tahun 2002.
Proselytization and Communal Self-Determination in Africa. Diterbitkan di kota Maryknoll, New York oleh penerbit
Orbis Books pada tahun 1999. Buku merupakan judul ketiga yang telah dipulikasikan
dalam seri Religion and Human Right oleh Law and Region Program of
Emory University. Jika dilihat pada dua judul sebelumnya Abdullah Ahmad
An-Na`im membahas mengenai Eropa timur dan Amerika Latin. Dari ketiga buku
itu dapat dilihat bahwa ia menyajikan
bukti hubungan antara agama dan Hak
Asasi Manusia yag merupakan sebuah problematik yang tidak dapat dihindarkan
oleh berbagai negara.[35]
Isu-isu mengenai pindah agama dan penentun nasib sendiri di Afrika disajikan
dalam sebelas bab. Secra garis besar isi dari buku ini mendeskripsikan dan
menyajikan pertimbangan teoritis bagi aspek-aspek politik hukum dan religius
dalam kasus pindah agama. Studi itu dilakukan di beberapa negara yaitu, Kongo,
Sudan, Mali, Nigeria, Ghana, Kenya, serta Algeria.
Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights
under the Constitutions of African Countries. Diterbitkan di
London oleh penerbit Interights pada tahun1999. Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus. Diterbitkan di
Philadelphia, PA oleh penerbit di University of
Pennsylvania Press pada tahun 1992. Dan terakhir Abdullah Ahmad An-Na`im sebagai
edittor The Cultural Dimensions of Human
Rights in the Arab World (Arabic). Diterbitkan di
Cairo oleh penerbit Ibn Khaldoun Center pada tahun 1993.[36]
Selain menjadi editor, Abdullah Ahmad An-Na`im
juga menjadi co. Editor dalam beberapa tulisan di antaranya; dengan Ifi Amadiume dengan judul buku The
Politics of Memory: Truth, Healing and Social Justice. Buku ini diterbitkan di London oleh penerbit Zed
Books pada tahun 2000. Kemudian dengan J. D. Gort, H.
Jansen, & H. M. Vroom, dengan judul buku
Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?. Buku ini diterbitkan di Grand Rapids, MI, oleh penerbit William
B. Eerdmans Publishing Company pada tahun
1995. Dan terakhir
dengan Francis Deng dengan judul buku Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives. Buku ini diterbitkan di Washington, DC, oleh penerbit The
Brookings Institution pada tahun 1990.[37]
E. Pemahaman Abdullah Ahmad An-Na`im Terhadap Sumber-Sumber Hukum Islam
Sebagaimana para ahli hukum Islam yang lain
yang memiliki pemahaman yang dapat dikatakan berbeda dalam memahami
sumber-sumber hukum Islam, begitu juga Abdullah Ahmad An-Na`im. Ia juga
memiliki definisi sendiri dalam memahami sumber-sumber hukum Islam.
Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan
pemahaman Abdullah Ahmad An-Na`im terhadap beberapa sumber hukum Islam. dan
perananya dalam ranah ijtihad.
1. Al-Qur`an
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im seluruh teks
al-Qur`an diyakini secara literal dan final sebagai firman Allah. al-Qur`an
yang dikumpulkan sangat dini dalam sejarah Islam. Teks al-Qur`an dianggap
sangat akurat dan tidak perlu diperdebatkan lagi oleh seluruh umat Islam.
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im al-Qur`an
berisi gagasan yang mendasari tingkah laku masyarakat beradab, seperti tenggang
rasa, kejujuran dan kepercayaan dalam berdagang, integritas dan kejujuran dalam
administrasi peradilan dan mengekspresikannya sebagai sebuah etika keagaam
Islam.
Menurutnya al-Qur`an bukanlah kumpulan hukum
atau bahkan buku hukum, akan tetapi al-Qur`an merupakan sesuatu yang memiliki
daya tarik bagi umat manusia untuk mentaati hukum Tuhan yang sudah lebih dahulu
diwahyukan atau mungkin dapat ditemukan.[38]
2. Sunnah
Berangkat dari pemahaman terhadap sunnah
secara etomologi bahwa selama ini telah dikenal sunnah terambil dari bahasa
Arab yang memiliki arti jalan yang biasa ditempuh, kebiasaan.[39]
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im kata sanna memiliki arti menciptakan
segala sesuatu dan mewujudkannya untuk dijadikan suatu model.[40]
Menurut Amir Syarifudin bahwa kebiasaan itu baik segala kebiasaan yang baik
maupun yang buruk.[41]
Abdullah Ahmad An-Na`im mengungkapkan bahwa
komunitas muslim paling tua mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang
dapat dibuktikan sebagai praktik Nabi dan pengikutnya yang paling awal. Bahkan
ia menganalogikan seperti suku Badui yang setia kepada sunnah para leluhurnya.
Sehingga ia menyimpulkan secara sederhana bahwa sunnah merupakan suatu varian
dari konsep Arab kuno.[42]
Pada dasarnya pemahaman terhadap sunnah di
kalangan para ahli hukum Islam pun berbeda. Seperti istilah sunnah yang dikenal
dalam ulama ushul adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhamad baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi.
Sedangkan ulama fiqh mendefenisikan bahwa sunnah merupakan sifat hukum
bagi suatu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya dalam bentuk tuntutan
yang tidak pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan
tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.[43]
Abdullah Ahmad An-Na`im setuju sebagaimana
pada umumnya bahwa sunnah Nabi memiliki peranan utama sebagai sumber syari`ah
selama abad II Hijriyah, sehingga hal yang berkaitan dengan otensitasnya dan
berbagai keadaan asal-usulnya menjadi hal yang sangat begitu penting. Akan
tetapi menurutnya bahwa upaya apa pun untuk mengubah keaslian dari kepalsuan,
atau mengembalikan seunnah yang tercemar sebelumnya adalah suatu tugas yang
hampir-hampir mustahil dilakukan pada saat sekarang ini.[44]
Dalam memahami sunnah secara aplikatif
sebenarnya Abdullah Ahmad An-Na`im dipengaruhi oleh pemahaman gurunya terhadap
sunnah. Thaha menjelaskan bahwa sunnah yang perlu diikuti adalah cara
mempraktikkannya, bukan mengikuti sunnahnya yang bersifat verbal. Menurut Thaha
bawah seorang muslim dilarang berhenti di syari`ah, melainkan seorang
muslim seharusnya berjalan menuju sunnah. Hal ini dikarenakan pemahamannya yang
menjelaskan bahwa syari`ah adalah praktik hidup muslim awal yang diberlakukan
oleh Nabi dan para sahabatnya untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul
pada saat itu. dengan alasan yang demikian maka ia menghasilkan suatu
konsekuensi bahwa pemberlakuan syari`ah yang rinci dan jelas tidak dapat
dihindarkan karena yang dihadapi adalah realitas konkrit.
Kemudian Abdullah Ahmad An-Na`im juga
menjelaskan sebagaimana yang dijelaskan oleh gurunya Thaha,umat muslim untuk
zaman kontemprer ini sangat ditunggu, maksudnya umat yang menjadi sasaran dari
misi kedua, dan hukumnya adalah sunnah, bukan syari`ah masa lalu yang
dipraktikkan.[45]
Dapat dipahami bahwa konsep sunnah yang
dipahami oleh Abdullah Ahmad An-Na`im tidak ada perbedaan yang signifikan
dengan pemahaman sunnah yang dipahami secara umum selama ini. Akan tetapi ia
berbeda dalam memahami aplikasi dari sunnah, ia lebih menganggap sunnahlah yang
mesti dipraktikkan dan bukanlah syari`ah. Sebenarnya hal ini sangat berhubungan
dengan peran ijtihad, di mana secara tidak langsung ia menekankan bahwa
semestinya untuk saat ini umat Islam lebih diminta untuk membaca sunnah kembali
bukan hanya mempraktikkan syari`ah yang dihasilkan oleh sunnah yang merupakan
produk hukum para ulama klasik terdahulu.
3. Ijma`
Ijma` secara etimologi mengandung arti
ketetapan hati untuk melakukan sesuatu keputusan berbuat sesuatu. Kemudian ijma`
dengan artian sepakat. Pengertian ini dapat dilihat dalam al-Qur`an surat Yusuf
ayat 15:[46]
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ
الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ
لَا يَشْعُرُونَ (يوسف (15 : 12 /
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukan dia), dan (di waktu
dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf “sesungguhnya kamu akan
menceitakan kepada mereka perbuatan mereka ini sedang mereka tiada ingat lagi. (Q.S Yusuf/12: 15)
Sedangkan menurut Al- Gazhali sebagaimana yang
diungkapkannya dalam kitab Al-Mustashfa:
الْإِجْمَاعِ
فَإِنَّمَا نَعْنِي بِهِ اتِّفَاقَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - خَاصَّةً عَلَى أَمْرٍ مِنْ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ[47]
Artinya:
Ijma` adalah
kesepakatan umat Nabi Muhammad Salallahu `Alaihi wa Sallam secara khusus
terhadap suatau perkara yang berkaitan dengan agama
Menurut Amir
Syarifudin pandangan imam al-Ghazali ini mengikut kepada pandangan Imam al-Syafi`i
yang menetapkan ijma` itu sebagai kesepakata umat. Hal ini didasakan pada
keyakinan bahwa terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan,
bukan perseorangan.[48]
Menurut
Abdullah Ahmad An-Na`im ijma` adalah kekuatan yang sangat besar sebagai sumber
yang independen melainkan juga berkaitan dengan otoritas teks dan tingkat
tertentu, rekaman awal al-Qur`an dan sunnah itu sendiri. menurutnya sunnahlah
menjadi otoritas dan terangkum melalui ijma1, selain itu ditetapkan bahwa
interpretasi al-Qur`an dan sunnah dianggap benar, hanya jika diakui oleh ijma`.
Abdullah
Ahmad An-Na`im juga mengemukakan sama seperti yang diungkap oleh Amir
Syarifudin di atas bahwa ijma` itu tidak dilakukan dalam pengertian muktamar
atau dewan. Melainkan melalui suara lubuk hati yag dalam dari masyarakat yang
secara universal dianggap sebagai tidak mungkin untuk berbuat salah.[49]
Akan tetapi
Abdullah Ahmad An-Naim menekankan selain mehamai ijma` sebagaimana yang
dijelaskan di atas, perlu juga untuk membangun konsep ijma` yang bersifat
demokratis yang berfungsi untuk memelihara hak dan kewajiban setiap individu
dan masyarakat ketika hukum publik Islam akan diterapkan dalam tataran politis.
Di sini Abdullah Ahmad An-Na`im menekankan bahwa konsensus yang bersifat
demokratis ini maksudnya adalah pengumpulan suatu konsensus bukan handa
didasarkan oleh suara mayoritas yang dijadikan sebagai ukuran akan tetapi juga
harus mampu memelihara dan melindungi hak dan kebebasan warga negaranya.[50]
Di sini
ditarik pemahaman bahwa konsensus yang diinginkan Abdullah Ahmad An-Na`im
adalah konsensus yang bersifat demokratis. Sebenarnya hal ini berhubungan
dengan hak-hak warga negaranya. Jika dijelaskan setidak dalam satu negara yang
bersifat plural sehingga ia beranggapan bahwa agama dan ras bukanlah penghalang
untuk ikut serta dalam mendukung suatu konsensus, karena menurutnya ketika
ijma` dilakukan seperti ini akan lebih menjaga dan melindungi hak-hak
individual masyarakat karena ia juga ikut serta dalam menyuarakan suatu ijma`.
Sepertinya
dalam perihal ijma` ini Abdullah Ahmad An-Na`im lebih luas memahami ijma` dan
ia juga memahami ijma` tidak hanya dalam tataran hukum Islam. akan tetapi ia
juga memahami ijma` dalam tataran pembentukan hukum negara. Padahal untuk
melakukan ijma` dan orang-orang yang memiliki kapasitas untuk melakukan ijma`
telah dirumuskan dan ditentukan sebagaimana yang telah dibahas dalam
kitab-kitab fiqh klasik. Akan tetapi sebenarnya inilah salah satu objek metode
hukum Islam yang juga ikut dikritik oleh Abdullah Ahmad An-Na`im dan sekaligus
ia juga melakukan reformulasi yang cendrung radikal dan ekstrem dalam memahami
apa yang dimaksud dengan konsep ijma` tersebut.
4. Qiyas
Dasar pemikiran dari qiyas adalah karena
adanya kaitan yang erat antara hukum dan sabab. Hampir dalam setiap hukum di
luar bidang ibadat dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh
Allah. Alasan hukum rasional itu oleh ulama disebut sebagai illat. Selain
itu dikenal pula konsep mumatsalah yaitu kesamaan atau kemiripan antara
dua yang diciptakan Allah. Apabila dua hal itu sama sifatnya tentu sama pula
dalam hukum yang menjadi akibat sifat tersebut.
Memang tidak ada dalil atau petunjuk yang pasti
yang menyatakan secara jelas bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dalil
syara` untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan
mujtahid menetapkan hukum syara` di luar apa yang ditetapkan oleh nash.
Oleh karena itu memang banyak perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas
sebagai dalil hukum syara`. Ada ulama yang menjadikan qiyas sebaai dalil
syara`, ada juga yang menggunakan qiyas secara mutlaq, dan ada juga yang
menggukan qiyas secara luas dan mudah.[51]
Abdullah Ahmad An-Na`im memandang bahwa dalam
menerapkan qiyas seorang menyimpulkan dari prinsip yang dijadikan preseden, di
mana suatu kasus baru berada di bawah prinsip tersebut atau dapat dikatakan
mendekati dan mirip dengan hukum asal dikarenakan adanya illat yang
kuat. Namun, qiyas juga telah ditolak karena mendasarkan syari`ah lebih kepada
akal manusia daripada wahyu tuhan.
Menurut Abdullah Ahmad An-Na`im bahwa dakwaan
yang demikian dapat dihindari atau dapat dijawab jika metode qiyas hanya
dibatasi pada kasus-kasus yang tidak ada satu sumber lain yang dapat diterapkan
dan hasilnya diketahui sepenuhnya sesuai dengan keseluruhan syari`ah. juga
sesuai dengan prinsip-prinsip syari`ah yang lain. Selain itu menurut Abdullah
Ahmad An-Na`im bahwa qiyas sangat bermanfaat jika dijadikan sebagai sumber
syari`ah yang independen. Terkhusus sejak pintu ijtihad dianggap telah
tertutup.[52]
Di sini terlihat bahwa qiyas dalam pandangan
Abdullah Ahmad An-Na`im dapat dijadikan sebagai sebuah metode untuk memenuhi
kebutuhan zaman. Bahkan ia juga mengemukakan alasan jika ada segelintir orang
yang menganggap qiyas merupakan metode yang lebih mendahulukan akal.
[1]Nostalgiawan Wahyudi dkk, Resume Penelitian Problematika Kekuatan
Politik Islam di Maroko, Sudan, dan Somalia, dimuat dalam LIPI Jurnal
Penelitian Politik Vol. 13, No. 2, hal. 250
[2]Departemen Agama RI, Belajar Islam di Timur Tengah,
(Jakarta:Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, t.th), hal. 99
[3]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im Epistimologi Hukum Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 42
[4]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im..., hal. 43
[5]Imam Syaukani, Abdullah Ahmad An-Na`im dan Reformasi Syari`ah Islam
demokratik, dalam jurnal Ulumuddin, Nomor 2, Bulan Juli 1997, hal. 68
[6]Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Na`im; Paradigma Baru Hukum Publik
Islam, dalam A. Khodri Shaleh, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Jendela, 2003), hal. 4
[7]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri`Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), hal. 170
[8]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[9]Abdullah Ahmad An-Na`im, Islam and Secular State Negotiating the Future of Shari`ah, (England; Harvard
University, 2008), hal. 223
[10]Muhyar Fanani, Paradigma Baru..., hal. 5
[12]Departemen Agama RI, Belajar Islam..., hal. 110
[13]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International yang merupakan
terjemahan dari karya Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward an Islamic
Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law, (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 1994), hal. xi
[14]Muhammad Hefni, Desakan Sosiopolitik Munculnya Gagasan Evolusi Syari`ah
Oleh An-Na`im, dalam Jurnal Al-Ahkam Vol. 8, No. 1 Juni 2013, hal. 104
[15]Daniel
Clery, London, Cambridge lead Europe in Output, dalam Science, 21 Agustus 1998;
281, 5380; ProQuest Biology Journals, hal. 1127
[16]Tulkhotul Khoir, Ideologi dan Eutopia
Pemberlakuan Hukum Islam Studi Pemikiran Abdullah Ahmad An-Na`im Pendekatan
Sosiologi Pengetahuan, dalam Asy-Syar`iah, Jurnal Ilmu Syari`ah dan Hukum,
Vol. 45, No.II Juli-Desember 2011, hal. 1283. Dikutip dari Stewart J.
Brown and Timothy Tackett (eds.), The Cambridge History of Christianity VII: Enlightenment,
Reawakening, and Revolution 1660-1815, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006), sebagaimana dikutip Hugh McLeod, “The Cambridge History of Christianity VII: Enlightenment, Reawakening, and Revolution
1660-1815”, dalam Church History; Juni 2008; 77, 2; ProQuest Religion, hal. 479
[17]Abdullah Ahmad An-Na`im, dalam Catatan Pembuka, Mahmud Muhasmmad Thaha, Syari`at
Demokratik, terj. Nur Rachman, Judul Asli: Shari`ah Demokratik, (Surabaya:
eLSAD, 1996), hal. 4
[18]Mahmoud Taha atau lebh dikenal Mahmoud Mohamed Taha merupakan aktivis yang
dikenal aktif dalam gerakan kemerdekaan rakyat Sudan. Selain itu juga bekerja
sebagai insinyur sipil dengan spesialis dalam bidang irigasi. Selain itu ia
juga dikenal sebagai pembaharu Islam yang inovatif, beberapa menyebutnya
heterodoks. Baca Charles Khurzman, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum et.al, judul asli: Liberal
Islam A Sourcebook, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 456
[19]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah..., hal. xi
[20]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari`ah, terj Khoiran Nadhiyyin,
(Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 220
[21]Khalid duran, An Alternatif to Islamism: The Evolutionary Thought of Mahmud Thaha, Cross Currents, Pro Quest Religion: Winter 1992, vol. 42, hal. 453-467
[23]Jhon L. Esposito, John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj.
Sugeng Hariyanto dkk, judul asli: Makers Of Contempory Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 156-157
[24]Mutawalli, Pembaharuan Hukum Islam Menimbang Pemikiran `Abd al-Lah Ahmad Al-Na`im,dalam Ulumuna (IAIN Mataram), Jurnal Studi
Keislaman Volume XII, No. 1 Juni 2008, hal.113
[25]Pengantar LKIS dalam Dekonstruksi Syari`ah..., hal. xii-xiii
[26]Nabil Rahmad, Abdullah Ahmad An-Na`im, diakses dari tulisan yang
dimuat dalam https://www.slideshare.net/NabilRahmanElFaqir/abdullah-ahmed-an-naim pada tanggal 04 Maret 2019
[29]Muhyar Fanani,..., hal. 4. Baca juga
Nabil Rahmad, Abdullah Ahmad An-Na`im, diakses dari tulisan yang dimuat
dalam https://www.slideshare.net/NabilRahmanElFaqir/abdullah-ahmed-an-naim pada tanggal 04 Maret 2019
[30]Abdullah Ahmad An-Na`im, Islam And Human Rights; Selected Essay Of
Abdullah Ahmad An-Na`im, diedit oleh Mashood A. Baderin, (London And New
York: Routledge and Taylor Francis Group, 2016), hal. xii
[31]Abdullah Ahmad An-Na`im, Muslims and Global Justice, (Philadelphina: University Pennsylvania Press, 2010) dipublikasikan
[32]Abdullah Ahmad An-Na`im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari'a, (England: Harvard University Press, 2008) dipublikasikan
[33]Abdullah Ahmad An-Na`im Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law, (Syracuse NY:
Syracuse University Press, 1990). Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dapat
dilihat dalam Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan International, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
1994) dipublikasikan
[34]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[35]Abdullah Ahmad An-Na`im (ed), Proselytization and Communal Self-Determination in Africa, (New York: Orbis Books, 1999)
[36]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[37]Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na%27im pada tanggal 28 Februari 2019
[38]Abdullah Ahmad An-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah..., hal. 40-41
[40]Abdullah Ahmad An-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah..., hal. 43
[42]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 21
[43]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I..., hal. 86
[44]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 23
[46]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I...,
hal. 132
[47]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Tusi, al-Mustasfha, (T.tp:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), hal. 137
[48]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I..., hal. 132
[49]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 23
[50]Moh Dahlan, Abdullah Ahmad An-Na`im..., hal. 194
[51]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I..., hal. 170-178
[52]Abdullah Ahmad An-Na`im, Toward An Islamic Reformation..., hal. 25
Menarik tulisannya, terima kasih..
ReplyDeleteTerima kasih Pak tulisannya
ReplyDelete