MADZHAB HANAFIYAH
Hanafiyah merupakan sebutan untuk pengikut madzhab yang didirikan
oleh Imam Hanafi. Imam Abu Hanifah al-Nu`man bin Sabit bin Zuthi, lahir pada
tahun 80 H di kota Kuffah pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan pada saat
itu merupakan masa kekhalifahan Marwan bin Abdul Malik.[1]
Beliau lebih populer dengan sebutan Abu Hanifah. Bukan karena mempunyai putra
yang bernama Hanifah, tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah,
diambil dari ayat :[2]
قُلۡ
صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
٩٥[3]
Artinya
: “Katakanlah, “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama
Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik..”
(Q.S Ali Imran : 95).
Abu Hanifah tumbuh di Kuffah dalam keluarga muslim dari Ahli Yasar,
Sejak kecil Abu Hanifah telah menghafal al-Qur`an. Ayah Abu Hanifah adalah
seorang pedagang yang menjual pakaian dari wol. Kemudian Abu Hanifah
mewarisi profesi orang tuanya tersebut.[4]
Di Kuffah Abu Hanifah bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW.
Antara lain : Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, di Madinah dengan Sahal
bin Sa`ad al-Saisi. Di Makkah dengan Amir bin Watsilah, seorang tabi`in[5].
Akan tetapi sebagian orang meragukan pertemuannya dengan mereka.
Teman-temannya mengatakan : “Ia bertemu bahkan banyak mendapatkan Hadis dari mereka”.
Tetapi para ulama tradisionalis menafikan hal tersebut.[6]
Tidak ada pertengan bahwa Abu Hanifah mendapati zaman sahabat, akan
tetapi yang menjadi pertentangan adalah dalam hal Abu Hanifah meriwayatkan dari
sahabat dan mendengar langsung dari mereka. Banyak dari kalangan muhadditsin
dan muarakhin menyebutkan bahwa Abu Hanifah melihat sejumlah sahabat.
Dan sebagian lainnya menyebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan dari sejumlah
sahabat.[7]
Mengenai sifat yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf
berkata, “Dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur
tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat
bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang yang
diinginkannya.[8]
Hammad Puteranya mengatakan “ Dia adalah orang yang berkulit sawo
matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara
kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu, dia juga tidak mau
menjawab pertanyaan yang bukan urusannya”. Ahmad bin Al-Haitsami berkata, “Tidak
ada pertentangan antara perawakan yang sedang dengan tubuh yang tinggi, karena
terkadang dengan perawakan yang sedang itu lebih dekat dengan tubuh yang
tinggi”. Ibnu al-Mubarak berkata, “Dia berwajah tampan dan berpakaian rapi”.
Abdurahman bin Muhammad bin Al-Mughirah berkata, “Aku melihat Abu Hanifah
seorang guru yang banyak memberikan fatwa kepada masyarakat di masjid Kuffah
dengan memakai kopiah panjang berwarna hitam di kepala”.[9]
Kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan
negeri timur dan barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang
biasa bertemu dengannya. [10]
Dalam kitab Wahbi Sulaiman Ghaawiji yang berjudul Abu Hanifah
An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha, disebutkan bahwa guru Abu Hanifah
mencapai 4000 orang, yang riciannya 7 orang dari kalangan sahabat, 93 orang
dari kalangan tabi`in dan selebihnya orang yang ada pada masa itu. Di antara
guru-guru Abu Hanifah juga disebutkan yaitu : Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir
Al-Kufi, Ibrahim bin Yazid An-Nakha`I Al-Kufi, Ismail bin Hammad bin Abi
Sulaiman Al-Kufi, Ayyub An-Nastakhyani Al-Bashri, Harits bin `Abdirrahman
Al-Hamdzaani Al-Kufi Abu Hindi, Rabi`ah bin `Abdirrahman Al-Madani (lebih
dikenal dengan sebutan Rabi`ah), Salim bin `Abdillah bin Umar bin Khattab
Radiyaallahu `Anhu, Sa`id bin Masruq Walidi Sufyan Atsauri, Sulaiman bin Yassar
Al-Halali Al-Maddani, `Ashim bin Kulaib bin Syihab Al-Kufi, `Abdurrahman bin
Hurmaz Al-`Araji Al-Madani, `Atha` bin Yasar Al-Halali, Al-Madani, Amru bin
Dinar Al-Makki, Qaasim bin Abdirrahman bin `Abdillah bin Mas`ud, `Abdul Karim
bin Abi Al-Mu`ariq Al-Bashri.[11]
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya
dan yang selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah Imam ‘Amir Ibn
Syahril al-Sya’by dan Hammad Ibn Sulaiman al-Asy’ary. Dan guru yang berpengaruh
pada dirinya adalah Imam Hammad bin Abi Sulaiman.[12]
2.
Perkembangan dan Kitab-Kitab Madzhab Hanafi
Pada awalnya madzhab Hanafi berkembang di Kuffah yang merupakan
tanah kelahiran Abu Hanifah sendiri, kemudian tersebar ke seluruh wilayah di
Irak.[13]
Madzhab ini menempati kedudukan paling atas di Irak sepanjang masa kekhalifahan
Abbasiyah kerena merupakan sistem hukum yang paling banyak mendapat dukungan
khalifah. Madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi negara di zaman Turki Utsmani.[14]
Abu Hanifah yang hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah
dan 18 tahun hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari Umayyah
yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota
Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah
kedua Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan
pada tahun 762 M.
Dari perjalanan hidupnya, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi
besar di Kufah. Di satu sisi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya
sehingga menjadi salah seorang ulama besar. Di sisi lain ia merasakan kota
Kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Basrah
dan Kufah di Irak melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang; seperti ilmu
sastra, teologi, tafsir, fikih, hadis, dan tasawwuf. Kedua kota bersejarah ini
mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah berlangsungnya proses transformasi
sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional suku Arab Utara, Arab
Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam
menetapkan hukum, sudah tentu sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga
tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Beliau dikenal sebaga salah satu
ulama ahlu ra`yi. Ketika menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an
atau hadis, beliau lebih banyak menggunakan ra`yi dari pada khabar ahad.
Apabila terdapat hadis yang bertentangan, maka metode qiyâs dan istihsanlah
yang beliau pakai dalam menetapkan suatu hukum.[15]
Penyebaran Madzhab Imam Abu Hanifah tidak lepas dari usaha para
murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya, hal ini dibuktikan banyaknya buah
fikiran beliau yang dikodifikasikan oleh para muridnya setelah beliau meninggal
dunia, sehingga menjadi madzhab ahli ra`yi yang hidup dan berkembang. Madzhab
ini kemudian terkenal dengan beberapa nama, yaitu Madzhab Hanafî dan Madzhab
Ahli Ra`yi, di samping namanya menurut versi sejarah Hukum Islam dikenal dengan
sebutan “Madzhab Kûfah”.
Dengan banyaknya buah fikiran Imam Abu Hanifah yang dikodifikasikan
oleh murid-muridnya dan dengan banyaknya para pengikut beliau yang tersebar
diberbagai negara, seperti; Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis,
Turkistan, Syiria, Mesir dan Libanon, maka mazhab Hanafi tersebar diseluruh
pelosok dunia dan termasuk dalam golongan mayoritas di samping madzhab Syafi`i.[16]
Selanjutnya di antara para murid Imam Abu Hanifah terdapat kira 40
orang ulama yang gigih menyebarluaskan aliran madzhab Hanafi ini, lagi pula
seperti murid beliau yaitu Imam Abu Yusuf diberi jabatan sebagai seorang qadhi
(hakim), pada pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Imam Abu Yusuf
melantik pula para hakim dari madzhab Hanafi yang kemudian disebarluaskan di
seluruh jajahan negeri Iraq, Khurrasan, Syam, Mesir dan daerah lain di Utara
Afrika, sehingga dari situlah madzhab Hanafi jadi banyak dikenal dan
dipergunakan banyak orang.[17]
Madzhab Hanafi merupakan salah satu madzhab yang mampu bertahan
hingga saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjangnya sejarah.
Untuk mencapai kejayaannya madzhab ini melewati beberapa fase sehingga menjadi
sebuah madzhab yang dianut.
Penyebaran madzhab Hanafi juga tidak bisa lepas dari otoritas pemerintahan,
yang dimaksudkan di sini adalah rezim kerajaan ottoman pada abad ke-19,
kerajaan ottoman menjadikan madzhab Hanafi sebagai hukum resmi negara. Siapa pun
yang berkeinginan untuk menjadi hakim di sana, mereka diwajibkan mempelajari
madzhab Hanafi, oleh karena itu, madzhab Hanafi tersebar luas di sepanjang
wilayah pemerintahan kerajaan ottoman di akhir abad 19.[18]
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih dan ilmu
kalam dan pada saat beliau hidup banyak orang-orang yang belajar ilmu
kepadanya. Di bidang ilmu kalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh
al-Asghar, al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi dalam bidang ilmu fiqih tidak
ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis
sebuah buku fiqih sewaktu hidupnya.[19]
Pendapat-pendapat Abu Hanifah dinukilkan kepada kita dengan
perantara riwayat atau tulisan-tulisan yang ditulis oleh murid-murid beliau. Di
antara murid-murid beliau yang paling terkenal ialah :
1)
Abu Yusuf Ya`qub bin Ibrahim Al-Anshari Al-Khufi (113 H - 182 H)
Beliaulah yang telah berjasa besar dalam mengembangkan madzhab Abu
Hanifah. Beliau menjadi qadhi di Kuffa dalam masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid.
Dan kepada beliau diserahkan urusan mengangkat qadhli-qadhli di seluruh daerah.
Pendapat-pendapat beliau dapat dipelajari dalam kitab fikih Hanafi. Kitabnya
yang ditulis dengan tangannya sendiri yang sampai ke tangan kita sekarang, ialah
kitab Al-Kharaj.[20]
2)
Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani (132 H - 189 H)
Beliau tidak lama menyertai Abu Hanifah dan pernah belajar kepada
Imam Malik. Tetapi beliaulah yang telah berusaha membukukan madzhab Hanafi.
Kitab-kitab beliau yang dibukukan ada dua macam:
a.
Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan.
Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Dhahirur Riwayah atau Masa-ilul
Ushul.
Kitab Dhahirur Riwayah ada enam buah : Al-Mabsuth,
Al-Jami`ul Kabi, Al-Jami`u Shagir, As-Siyarul Kabir, As-Siyarush Shagir, Az-Zidayat.
Keenam kitab ini tersebut dikumpulkan oleh Abu Fadlel Al Marwazi
yang terkenal dengan nama Al-Hakim Asy-Syahid (344 H). Dalam kitab yang dinamai
Al-Kafi. Kemudian Al-Kafi ini disyarahkan di dalam kitab Al-Mabsuth
oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsy yang wafat pada akhir
abad 5 H.
Dari kitab-kitab Dhahirur Riawayah inilah lembaga majalah Al-Ahkam
Al-`Adliyah di Turki mengutip kebanyakan masalahnya adapun kitab-kitab
An-Nawadhir, ialah : Amali Muhammad, Al-Kaisaniyat, Ar-Riqayat, Al-Haruniyat, Al-Jurjaniyat,
Al-Makharij fil Hiyal, Ziyadatul Ziyadat, Nawadhir Muhammad
b.
Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak
kepercayaan. Dinamai Masa-ilun Nawadhir.[21]
3)
Zufaz ibn Hudzail ibn Qais Al-Khufi (110 H - 168 H)
Beliau terkenal sebagai seorang ahli qiyas yang terpandai dari
murid-murid Abu Hanifah.
4)
Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu`lu`i (204 H)
Beliau belajar kepada Abu Hanifah dan meriwayatkan
pendapat-pendapatnya. Akan tetapi fuqaha` tidak menyamakan riwayat-riwayatnya
dengan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Hasan dalam kitab Dhahirur
Riwayah. Di antara kitabnya ialah : Abadul Qadli, Al-Khislal, Ma`ani
Iman, An-Nafaqat, Al-Kharaj, Al-Fara-idl dan Al-Washaya. Selain
daripada kitab-kitab Dhahirur Riwayah, terdapat pula dalam madzhab
Hanafi ini kitab-kitab fatwa dan hasil-hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mutaakhirrin
dari murid-murid Abu Hanifah itu.[22]
Adapun
ciri khas fiqh Hanafi adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena
bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan
kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian
manusia sangat ekstrimmenilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan
seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun,
di sisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan
bahwa beliau telah keluar dari agama.[23]
Dalam
menggali hukum, seperti ulama fikih lainnya, Abu Hanifah menempatkan al-Qur`an
sebagai sumber utamanya, kemudian hadis. Satu hal yang menjadi ciri khas
pandangannya adalah ia memberikan peranan yang cukup besar kepada ra`yu
(penggunaan penalaran akal dalam menggali hukum) dengan cara qiyas
(perbandingan) dan istihsan. Selain itu ia juga banyak menjelaskan hukum
persoalan-persoalan teoritis yang belum benar-benar terjadi. Sebab itulah ia
dikenal sebagai Imam Ahlu Ra`yi (pemuka kalangan ra`yu).[24]
Perbedaan
pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis
pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai
beliau berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang
kontrovensional, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara
maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang
lain.[25]
Pada masa sekarang ini madzhab Hanafi adalah madzhab resmi negara
Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Dan madzhab inilah yang dianut oleh sebagian
besar penduduk Afghanistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
Lebih sepertiga umat Islam di dunia ini menganut madzhab Hanafi.[26]
[1]Ahmad Sa`id Hawa,
al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man, (Jeddah :
Dar-Andalus, 2002), hal. 33
[2]A. Dzajuli, Ilmu
Fiqh Penggalian, Pengembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta :
Kencana, 2010), Edisi Revisi, hal. 125
[3]Al-Qur`an Karim
[4]Abdullah
Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah :
Husein Muhammad,..., hal. 73
[5]Tabi`in adalah
orang yang bertemu dengan para sahabat yang muslim dan meninggal dalam Islam. Dan dikatakan juga seorang Tabi`in
adalah orang yang berteman dengan para sahabat.
[6]Abdullah
Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah :
Husein Muhammad,..., hal. 73
[7]Ahmad Sa`id
Hawa, al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man,..., hal. 34
[8]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i
Taman,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 170
[9]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i
Taman,..., hal. 170
[10]Hepi Andi
Bastoni, 101 Kisah Tabi`in, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal.
43-44
[11]Wahbi Sulaiman
Ghaawijy, Abu Hanifah An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha`,..., hal.
57-60
[12]Moenawir
Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 23
[13]Al-`Allamah
Ahmad Timurbats, Nazrah Tarikhiyyah fi Huduts Al-Madzahib Al-Arba`ah :
Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Syafi`i, Al-Hanbali wa Intisyaraha `Inda Jumhur
Al-Muslimin, (Beirut : Dar-Al-Qadir, 1990), hal. 50
[14]Azyumardi Azra,
Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve, 2006), hal.
128
[15]Huzaemah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 97-98
[16]Huzaemah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 101-102
[17]Mustafa
Suhaimi, Imam Abu Hanifah, (Jakarta: Progressive Products Supply, 1990),
cet. 1, hal. 46
[18]Abu Ameenah
Bilal Philips, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh : Analisis Historis atas
Madzhab, (Bandung : Nusamedia, 2005), hal. 93
[19]Dewan
Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet ke-I, hal. 340
[20]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114
[21]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114-115
[22]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
[23]Abdurrahman
asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka,
(Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-1, hal. 49
[24]Indi Aunullah, Ensiklopedi
Fikih untuk Remaja jilid I, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008) , hal. 4
[25]Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan
Lima Imam Mazhab Terkemuka,..., hal. 49
[26]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
No comments:
Post a Comment