Friday, July 17, 2020

MADZHAB HANAFIYAH



                                                   MADZHAB HANAFIYAH
Hanafiyah merupakan sebutan untuk pengikut madzhab yang didirikan oleh Imam Hanafi. Imam Abu Hanifah al-Nu`man bin Sabit bin Zuthi, lahir pada tahun 80 H di kota Kuffah pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan pada saat itu merupakan masa kekhalifahan Marwan bin Abdul Malik.[1] Beliau lebih populer dengan sebutan Abu Hanifah. Bukan karena mempunyai putra yang bernama Hanifah, tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah, diambil dari ayat :[2]
قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٥[3]
Artinya : “Katakanlah, “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.. (Q.S Ali Imran : 95).

Abu Hanifah tumbuh di Kuffah dalam keluarga muslim dari Ahli Yasar, Sejak kecil Abu Hanifah telah menghafal al-Qur`an. Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang yang menjual pakaian dari wol. Kemudian Abu Hanifah mewarisi profesi orang tuanya tersebut.[4]
Di Kuffah Abu Hanifah bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW. Antara lain : Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, di Madinah dengan Sahal bin Sa`ad al-Saisi. Di Makkah dengan Amir bin Watsilah, seorang tabi`in[5]. Akan tetapi sebagian orang meragukan pertemuannya dengan mereka. Teman-temannya mengatakan : “Ia bertemu bahkan banyak mendapatkan Hadis dari mereka”. Tetapi para ulama tradisionalis menafikan hal tersebut.[6]
Tidak ada pertengan bahwa Abu Hanifah mendapati zaman sahabat, akan tetapi yang menjadi pertentangan adalah dalam hal Abu Hanifah meriwayatkan dari sahabat dan mendengar langsung dari mereka. Banyak dari kalangan muhadditsin dan muarakhin menyebutkan bahwa Abu Hanifah melihat sejumlah sahabat. Dan sebagian lainnya menyebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan dari sejumlah sahabat.[7]
Mengenai sifat yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf berkata, “Dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang yang diinginkannya.[8]
Hammad Puteranya mengatakan “ Dia adalah orang yang berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu, dia juga tidak mau menjawab pertanyaan yang bukan urusannya”. Ahmad bin Al-Haitsami berkata, “Tidak ada pertentangan antara perawakan yang sedang dengan tubuh yang tinggi, karena terkadang dengan perawakan yang sedang itu lebih dekat dengan tubuh yang tinggi”. Ibnu al-Mubarak berkata, “Dia berwajah tampan dan berpakaian rapi”. Abdurahman bin Muhammad bin Al-Mughirah berkata, “Aku melihat Abu Hanifah seorang guru yang banyak memberikan fatwa kepada masyarakat di masjid Kuffah dengan memakai kopiah panjang berwarna hitam di kepala”.[9]
Kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan negeri timur dan barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu dengannya. [10]
Dalam kitab Wahbi Sulaiman Ghaawiji yang berjudul Abu Hanifah An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha, disebutkan bahwa guru Abu Hanifah mencapai 4000 orang, yang riciannya 7 orang dari kalangan sahabat, 93 orang dari kalangan tabi`in dan selebihnya orang yang ada pada masa itu. Di antara guru-guru Abu Hanifah juga disebutkan yaitu : Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir Al-Kufi, Ibrahim bin Yazid An-Nakha`I Al-Kufi, Ismail bin Hammad bin Abi Sulaiman Al-Kufi, Ayyub An-Nastakhyani Al-Bashri, Harits bin `Abdirrahman Al-Hamdzaani Al-Kufi Abu Hindi, Rabi`ah bin `Abdirrahman Al-Madani (lebih dikenal dengan sebutan Rabi`ah), Salim bin `Abdillah bin Umar bin Khattab Radiyaallahu `Anhu, Sa`id bin Masruq Walidi Sufyan Atsauri, Sulaiman bin Yassar Al-Halali Al-Maddani, `Ashim bin Kulaib bin Syihab Al-Kufi, `Abdurrahman bin Hurmaz Al-`Araji Al-Madani, `Atha` bin Yasar Al-Halali, Al-Madani, Amru bin Dinar Al-Makki, Qaasim bin Abdirrahman bin `Abdillah bin Mas`ud, `Abdul Karim bin Abi Al-Mu`ariq Al-Bashri.[11]
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan yang selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah Imam ‘Amir Ibn Syahril al-Sya’by dan Hammad Ibn Sulaiman al-Asy’ary. Dan guru yang berpengaruh pada dirinya adalah Imam Hammad bin Abi Sulaiman.[12]
2.      Perkembangan dan Kitab-Kitab Madzhab Hanafi
Pada awalnya madzhab Hanafi berkembang di Kuffah yang merupakan tanah kelahiran Abu Hanifah sendiri, kemudian tersebar ke seluruh wilayah di Irak.[13] Madzhab ini menempati kedudukan paling atas di Irak sepanjang masa kekhalifahan Abbasiyah kerena merupakan sistem hukum yang paling banyak mendapat dukungan khalifah. Madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi negara di zaman Turki Utsmani.[14]
Abu Hanifah yang hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan pada tahun 762 M.
Dari perjalanan hidupnya, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu sisi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Basrah dan Kufah di Irak melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang; seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, fikih, hadis, dan tasawwuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat  dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Beliau dikenal sebaga salah satu ulama ahlu ra`yi. Ketika menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an atau hadis, beliau lebih banyak menggunakan ra`yi dari pada khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, maka metode qiyâs dan istihsanlah yang beliau pakai dalam menetapkan suatu hukum.[15]
Penyebaran Madzhab Imam Abu Hanifah tidak lepas dari usaha para murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya, hal ini dibuktikan banyaknya buah fikiran beliau yang dikodifikasikan oleh para muridnya setelah beliau meninggal dunia, sehingga menjadi madzhab ahli ra`yi yang hidup dan berkembang. Madzhab ini kemudian terkenal dengan beberapa nama, yaitu Madzhab Hanafî dan Madzhab Ahli Ra`yi, di samping namanya menurut versi sejarah Hukum Islam dikenal dengan sebutan “Madzhab Kûfah”.
Dengan banyaknya buah fikiran Imam Abu Hanifah yang dikodifikasikan oleh murid-muridnya dan dengan banyaknya para pengikut beliau yang tersebar diberbagai negara, seperti; Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria, Mesir dan Libanon, maka mazhab Hanafi tersebar diseluruh pelosok dunia dan termasuk dalam golongan mayoritas di samping madzhab Syafi`i.[16]
Selanjutnya di antara para murid Imam Abu Hanifah terdapat kira 40 orang ulama yang gigih menyebarluaskan aliran madzhab Hanafi ini, lagi pula seperti murid beliau yaitu Imam Abu Yusuf diberi jabatan sebagai seorang qadhi (hakim), pada pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Imam Abu Yusuf melantik pula para hakim dari madzhab Hanafi yang kemudian disebarluaskan di seluruh jajahan negeri Iraq, Khurrasan, Syam, Mesir dan daerah lain di Utara Afrika, sehingga dari situlah madzhab Hanafi jadi banyak dikenal dan dipergunakan banyak orang.[17]
Madzhab Hanafi merupakan salah satu madzhab yang mampu bertahan hingga saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjangnya sejarah. Untuk mencapai kejayaannya madzhab ini melewati beberapa fase sehingga menjadi sebuah madzhab yang dianut.
Penyebaran madzhab Hanafi juga tidak bisa lepas dari otoritas pemerintahan, yang dimaksudkan di sini adalah rezim kerajaan ottoman pada abad ke-19, kerajaan ottoman menjadikan madzhab Hanafi sebagai hukum resmi negara. Siapa pun yang berkeinginan untuk menjadi hakim di sana, mereka diwajibkan mempelajari madzhab Hanafi, oleh karena itu, madzhab Hanafi tersebar luas di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan ottoman di akhir abad 19.[18]
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih dan ilmu kalam dan pada saat beliau hidup banyak orang-orang yang belajar ilmu kepadanya. Di bidang ilmu kalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asghar, al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi dalam bidang ilmu fiqih tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqih sewaktu hidupnya.[19]
Pendapat-pendapat Abu Hanifah dinukilkan kepada kita dengan perantara riwayat atau tulisan-tulisan yang ditulis oleh murid-murid beliau. Di antara murid-murid beliau yang paling terkenal ialah :
1)      Abu Yusuf Ya`qub bin Ibrahim Al-Anshari Al-Khufi (113 H - 182 H)
Beliaulah yang telah berjasa besar dalam mengembangkan madzhab Abu Hanifah. Beliau menjadi qadhi di Kuffa dalam masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Dan kepada beliau diserahkan urusan mengangkat qadhli-qadhli di seluruh daerah. Pendapat-pendapat beliau dapat dipelajari dalam kitab fikih Hanafi. Kitabnya yang ditulis dengan tangannya sendiri yang sampai ke tangan kita sekarang, ialah kitab Al-Kharaj.[20]
2)      Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani (132 H - 189 H)
Beliau tidak lama menyertai Abu Hanifah dan pernah belajar kepada Imam Malik. Tetapi beliaulah yang telah berusaha membukukan madzhab Hanafi. Kitab-kitab beliau yang dibukukan ada dua macam:
a.       Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Dhahirur Riwayah atau Masa-ilul Ushul.
Kitab Dhahirur Riwayah ada enam buah : Al-Mabsuth, Al-Jami`ul Kabi, Al-Jami`u Shagir, As-Siyarul Kabir, As-Siyarush Shagir, Az-Zidayat.
Keenam kitab ini tersebut dikumpulkan oleh Abu Fadlel Al Marwazi yang terkenal dengan nama Al-Hakim Asy-Syahid (344 H). Dalam kitab yang dinamai Al-Kafi. Kemudian Al-Kafi ini disyarahkan di dalam kitab Al-Mabsuth oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsy yang wafat pada akhir abad 5 H.
Dari kitab-kitab Dhahirur Riawayah inilah lembaga majalah Al-Ahkam Al-`Adliyah di Turki mengutip kebanyakan masalahnya adapun kitab-kitab An-Nawadhir, ialah : Amali Muhammad, Al-Kaisaniyat, Ar-Riqayat, Al-Haruniyat, Al-Jurjaniyat, Al-Makharij fil Hiyal, Ziyadatul Ziyadat, Nawadhir Muhammad
b.      Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak kepercayaan. Dinamai Masa-ilun Nawadhir.[21]
3)      Zufaz ibn Hudzail ibn Qais Al-Khufi (110 H - 168 H)
Beliau terkenal sebagai seorang ahli qiyas yang terpandai dari murid-murid Abu Hanifah.
4)      Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu`lu`i (204 H)
Beliau belajar kepada Abu Hanifah dan meriwayatkan pendapat-pendapatnya. Akan tetapi fuqaha` tidak menyamakan riwayat-riwayatnya dengan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Hasan dalam kitab Dhahirur Riwayah. Di antara kitabnya ialah : Abadul Qadli, Al-Khislal, Ma`ani Iman, An-Nafaqat, Al-Kharaj, Al-Fara-idl dan Al-Washaya. Selain daripada kitab-kitab Dhahirur Riwayah, terdapat pula dalam madzhab Hanafi ini kitab-kitab fatwa dan hasil-hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mutaakhirrin dari murid-murid Abu Hanifah itu.[22]
Adapun ciri khas fiqh Hanafi adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia sangat ekstrimmenilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, di sisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama.[23]
Dalam menggali hukum, seperti ulama fikih lainnya, Abu Hanifah menempatkan al-Qur`an sebagai sumber utamanya, kemudian hadis. Satu hal yang menjadi ciri khas pandangannya adalah ia memberikan peranan yang cukup besar kepada ra`yu (penggunaan penalaran akal dalam menggali hukum) dengan cara qiyas (perbandingan) dan istihsan. Selain itu ia juga banyak menjelaskan hukum persoalan-persoalan teoritis yang belum benar-benar terjadi. Sebab itulah ia dikenal sebagai Imam Ahlu Ra`yi (pemuka kalangan ra`yu).[24]
Perbedaan pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontrovensional, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain.[25]
Pada masa sekarang ini madzhab Hanafi adalah madzhab resmi negara Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Dan madzhab inilah yang dianut oleh sebagian besar penduduk Afghanistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok. Lebih sepertiga umat Islam di dunia ini menganut madzhab Hanafi.[26]


[1]Ahmad Sa`id Hawa, al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man, (Jeddah : Dar-Andalus, 2002), hal. 33
[2]A. Dzajuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Pengembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Kencana, 2010), Edisi Revisi, hal. 125
[3]Al-Qur`an Karim
[4]Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah : Husein Muhammad,..., hal. 73
[5]Tabi`in adalah orang yang bertemu dengan para sahabat yang muslim dan meninggal dalam  Islam. Dan dikatakan juga seorang Tabi`in adalah orang yang berteman dengan para sahabat.
[6]Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah : Husein Muhammad,..., hal. 73
[7]Ahmad Sa`id Hawa, al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man,..., hal. 34
[8]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i Taman,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 170
[9]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i Taman,..., hal. 170
[10]Hepi Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi`in, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 43-44
[11]Wahbi Sulaiman Ghaawijy, Abu Hanifah An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha`,..., hal. 57-60
[12]Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 23
[13]Al-`Allamah Ahmad Timurbats, Nazrah Tarikhiyyah fi Huduts Al-Madzahib Al-Arba`ah : Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Syafi`i, Al-Hanbali wa Intisyaraha `Inda Jumhur Al-Muslimin, (Beirut : Dar-Al-Qadir, 1990), hal. 50
[14]Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve, 2006), hal. 128
[15]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 97-98
[16]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 101-102
[17]Mustafa Suhaimi, Imam Abu Hanifah, (Jakarta: Progressive Products Supply, 1990), cet. 1, hal. 46
[18]Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh : Analisis Historis atas Madzhab, (Bandung : Nusamedia, 2005), hal. 93
[19]Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet ke-I, hal. 340
[20]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114
[21]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114-115
[22]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
[23]Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-1, hal. 49
[24]Indi Aunullah, Ensiklopedi Fikih untuk Remaja jilid I, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008) , hal. 4
[25]Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka,..., hal. 49
[26]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115

No comments:

Post a Comment