PENDAHULUAN
A. Latar Beakang
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan sebagaimana
perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan
hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan
anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua
keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan,
tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama
yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk
dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk
memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak
kemudian.[1]
Sebagaimana yang diketahui bahwa Indonesia
merupakan negara dengan masyarakat majmuk. Masyarakat tersebut berasal dari
suku yang berbeda-beda. Sehingga dalam pelaksanaan interaksi sosial tidak hanya
tergantung kepada agama semata melainkan ada norma-norma adat yang harus
dipatuhi serta diikuti.
Berbicara mengenai perkawinan, khususnya dalam
adat minangkabau ada aturan tersendiri. Salah satu aturan yang mencolok dalam
praktik perkawinan dalam adat minangkabau adalah dengan adanya larangan kawin
sesuku. Larangan kawin sesuku merupakan adat yang harus diikuti oleh masyarakat
minangkabau, karena jika tidak, pelanggarnya dianggap melakukan pelanggaran
adat dan dapat dikenakan sanksi yang telah ditentukan oeh daerah masing-masing.
sedangkan dalam Islam sendiri tidak ada larahngan pernikahan sesuku tersebut.
Karena rukun dan syarat sahnya perkawinan dalam Islam tidak memuat mengenai
larangan kawin antar suku tersebut.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba
menggambarkan mengani larangan kawin sesuku dalam minangkabau jika ditinjau
dari hukum Islam. Berangkat dari gambaran mengenai sistem perkawinan di
minangkabau, kemudian penulis akan mencoba untuk menggambarkan bentuk larangan
kawin sesuku dalam adat Minangkabu. Terakhir penulis mencoba untuk meninjau hal
tersebut dari hukum Islam.
LARANGAN KAWIN SESUKU DALAM ADAT MINANGKABAU
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan
Saat peralihan yang ada pada semua masyarakat dianggap penting
adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu
perkawinan. Dalam kebudayaan manusia, perkawinan merupakan pengatur tingkah
laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan membatasi
seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau isterinya.
Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi
dalam kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu memberi perlindungan pada
anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman
hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok
kerabat tertentu.
Kata perkawinan menurut istilah Hukum Islam sama dengan
kata "nikah" dan kata "zawaj”.[2]
Nikah menurut bahasa adalah berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni "wathaa"
yang berarti "setubuh" atau "akad" yang berarti mengadakan
perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan
lebih banyak, sedangkan dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai
saat ini. Sulaiman Rasyid mengemukakan Pengertian Pernikahan atau
Perkawinan,Pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban seta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.[3]
Pengertian Pernikahan atau
Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan
pada Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
Dalam Kompilasi Hukum Islam No. 1
Tahun 1991[5]
mengartikan perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqa ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Dari pengertian pernikahan atau perkawinan yang diungkapkan
para pakar diatas tidak terdapat pertentangan satu sama lain, karena intinya
secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengertian Pernikahan atau
Perkawinan adalah serangkaian aturan yang dimulai dengan bentuk akad atau
perjanjian antara seorang laki-laki beserta keluarga besarnya dan perempuan
beserta keluarga.
B. Sistem Perkawinan Dalam Adat Minangkabau
Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting
dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam
membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Di Minangkabau
Perkawinan juga bukan hanya urusan dua orang telah menemukan jodoh saja, tetapi juga merupakan
urusan dan tanggung jawab orang tua, ninik mamak, induk bako, dan
kerabat dari keluarga kedua belah pihak.
Perkawinan di Minangkabau menganut sistem
Eksogami, di mana seorang diharuskan menikah dengan orang dari luar sukunya,
namun di Minangkabau yang di maksud di sini tetap suku Minangkabau tapi tidak
sejenis. Perkawinan sesuku dilarang
berdasarkan anggapan bahwa orang yang satu suku pada masa dahulu juga berasal
dari nenek moyang yang sama. Adanya ketentuan dilarang kawin dengan orang satu
suku, menurut adat Minangkabau juga tidak dianjurkan tetapi tidak dilarang
untuk menikah dengan orang luar dari suku Minangkabau atau suku bangsa lainnya.
Perkawinan juga akan menimbulkan hubungan baru, tidak hanya antara
suami dan istri saja melainkan juga akan menimbulkan hubungan kedua keluarga
besar yang bersangkutan. Inilah sebabnya penyesuaian terhadap diri
masing-masing pihak sangat penting agar tercipta keharmonisan dan keserasian
dalam pergaulan kedua keluarga.
Bagi seorang laki-laki Minangkabau, perkawinan juga merupakan
proses masuk kedalam lingkungan baru, yaitu lingkungan kerabat istrinya.
Sedangkan bagi keluarga istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan
anggota dikomunitas rumah gadangnya.
Menurut adat yang lazim di Minangkabau seorang yang beristri maka
laki-lakilah yang datang ke rumah istrinya untuk menetap atau dikenal juga
dengan pola menetap Matrilokal, yaitu pola menetap di rumah istri atau pihak
perempuan setelah menikah. Dalam adat Minangkabau seorang suami dianggap
sebagai tamu oleh kerabat istrinya, dalam adat Minangkabau ia dinamakan “urang
sumando” (orang semenda) yang dalam istilah Minangkabau seorang semenda ini
diibaratkan seperti abu di atas tunggul, jika datang angin kencang maka ia akan
terbang.
Masyarakat adat Minangkabau yang akan melangsungkan perkawinan
tidak hanya harus memenuhi rukun dan syarat menurut peraturan
perundang-undangan dan agama Islam saja, melainkan ia juga harus memenuhi syarat
menurut adat Minangkabau.[6]
Adapun syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya “Perkawinan
Adat Minangkabau” adalah sebagai berikut:
1.
Kedua
mempelai beragama Islam.
2.
Kedua
calon bukan orang termasuk orang-orang dilarang untuk dikawini dan tidak
berasal dari suku yang sama, kecuali yang berasal dari nagari atau luhak yang
lain.
3.
Kedua
calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga
kedua belah pihak.
4.
Calon
suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin
kehidupan keluarganya.[7]
Perkawinan
yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang,
atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minangkabau. Selain
itu, dalam pelaksanaan upacara perkawinannya ada beberapa tahapan kegiatan adat
yang biasa dilakukan, yang dimulai dari menjajaki calon menantu atau baundiang,
anta ameh atau batando (bertunangan), akad nikah, baralek
gadang (pesta perkawinan/kenduri ini disesuaikan dengan keadaan dan kondisi
kedua belah pihak), timbang tarimo. Tahapan perkawinan menurut adat ini
tidak mungkin diremehkan begitu saja karena semua orang Minangkabau menganggap
bahwa perkawinan itu sesuatu yang agung.[8]
Dalam masyarakat
Minangkabau yang dinamakan perkawinan ideal adalah perkawinan
ambiak-maambiak (ambil-mengambil) dan perkawinan pulang
ka bako atau pulang ka anak mamak.
Menurut adat perkawinan ideal ini diibaratkan sarupo kuah tabuang ka nasi atau jangguik
tumbuah didaguak. Yang dimaksud
dengan perkawinan ambiak-maambiak adalah
perkawinan yang terjadi antara kerabat (dunsanak) mempelai pria
dengan kerabat (dunsanak) mempelai perempuan. Sedangkan bentuk
perkawinan kedua terjadi, disebabkan seorang anak menikah dengan
anak saudara laki-laki ibu. Artinya, perkawinan terjadi disebabkan
orang tua kedua pasangan mempelai bersaudara (laki-laki dan
perempuan bersaudara).[9]
Secara khusus ada beberapa bentuk perkawinan dalam adat
Minangkabau, di antara bentuk perkawinan tersebut adalah :
1. Perkawinan ideal yang tujuan Perkawinan untuk melestarikan harta pusaka.
untuk itu perlu ada langkah-langkah yang berjangka panjang. Salah satunya dengan melakukan Perkawinan
antar keluarga terdekat, seperti kawin dengan anak mamak yang lazim disebut “pulang
ka mamak” atau kawin dengan kemenakan ayah disebut “pulang ka bako” sebagai
ujud dati “anak dipangku kemenakan dibimbing”. Bentuk lainya adalah Perkawinan “saling mengambil” untuk mempererat
hubungan besan beripar.
2. Perkawinan consanguinal adalah satu kelompok anggota keturunan
Unilateral dari satu ibu asal (nenek) yang meliputi tidak lebih dari lima
generasi dan organisasi yang masih hidup. jika terjadi konfilik antar kedua
calon dengan kaum, diutamakan kepentingan kaum. Karena
itu ia
disebut Perkawinan cosanguinal. Menurut adat Minangkabau laki-lakilah yang
datang kerumah isteri.
3. Menantu terpandang yang di maksud dengan terpandang adalah orang asal.
Yaitu orang yang lebih dulu berada dalam satu nagari dari yang lain
atau dari para pendatang yang disebut dengan kemenakan dibawah lutuik (lutut) (orang yang datang bergabung ke salah satu kaum).[10]
Acara
Perkawinan di Minangkabau dimulai sejak sebelum Perkawinan sampai
sesudah Perkawinan. Sebelum Perkawinan mula-mula dilakukan penjajakan
(meresek-resek), kemudian peminangan resmi (pelamaran) dan batuk tando
(bertukar tanda). Apabila telah tercapai kesepakatan antara pihak perempuan
dan pihak laki-laki, yang mana pada umunya pelamaran dilakukan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan tapi dalam adat Minangkabau pelamaran
dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Maka dilanjutkan
dengan acara sebagai berikut:
1.
Mendudukan
nan tuo (mendudukan yang tua), yaitu musyawarah
kerabat dipimpin oleh yang tua membicarakan persiapan
Perkawinan dan segala kekeluargaan baik di tempat wanita maupun
di tempat pria.
2.
Maanta
Bali (mengantar belanjaan) yang dilakukan oleh pihak pria
dengan menyampaikan sejumlah uang kepada pihak wanita untuk
belanja dapur.
3.
Manyiriah (menyampaikan sirih) yaitu menyampaikan
undangan untuk hadir di kenduri Perkawinan, kaum pria mengundang pria, kaum
wanita mengundang wanita.
4.
Pernikahan, marapulai dijemput untuk
dinikahkan bertempat dirumah anak
daro ( pengantin perempuan), atau di mesjid atau di balai adat.
5.
Baralek (pesta) yang serangkai dengan
Perkawinan, dengan acara babako, yaitu anak daro (pengantin perempuan)
dan marapulai (pengantin laki-laki) dijemput oleh pihak bako masing-masing
untuk diberi pakaian mempelai oleh kerabatnya dan lain-lain. Malam bainai artinya
melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut
daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Bakatam kaji yaitu
membaca Al-Qur’an sebelum acara manjapuik (menjemput). Malapeh atau manjapuik yaitu marapulai
dijemput dengan acara menjelang mertua.
6.
Setelah
upacara Perkawinan selesai, maka berlaku acara ‘pulang malam’
yang mana marapulai sampai larut malam bercengkerama
dengan teman-temannya, dan setelah dekat shalat subuh
baru ia kembali ke tempat ibunya untuk shalat subuh. Setelah
itu ia kembali lagi ke tempat isterinya untuk santapan pagi. Acara
pulang malam ini selama tiga hari berturut-turut
dan belum campur dengan isterinya. [11]
C. Larangan Kawin Sesuku dalam Adat Minangkabau
Perkawinan
mempunyai ketentuan-ketentuan dan peraturan dalam pelaksanaannya.
Menurut hukum adat Minangkabau bahwa orang dilarang kawin dengan orang dari suku yang sama.
Garis keturunan di Minangkabau ditentukan
menurut garis keturunan ibu, garis keturunan ibu yang menentukan suku seseorang. Sistem perkawinannya
disebut dengan eksogami matrilokal atau
eksogami matrilineal yaitu suatu sistem dimana perkawinan dilakukan dengan orang yang mempunyai suku yang
berbeda.[12]
Kawin sasuku yang dimaksud di sini adalah suatu hubungan pergaulan
dan perkawinan/pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan
Minangkabau yang masih hubungan satu suku (satu marga). Misal, si bujang Amir
nikah dengan si Upiak Marin yang sama-sama bersuku Guci satu penghulu maupun
beda penghulu.[13]
Masalah larangan kawin sasuku ini, agama memang tidak memberi
penjelasan mengenai larangan ini. Meskipun demikian, agama
memberikan pedoman dengan tegas perempuan-perempuan tidak
boleh dinikahi. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan dalam
masalah perkawinan ini adalah surat An Nisa ayat 23 yang
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
artinya ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan yang
sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campuri dengan istrimu itu (dan sesudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu); isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
penyayang.
Berdasarkan arti ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
kategori perempuan yang tidak boleh dinikahi. Dengan adanya
ketentuan ayat Alquran tersebut, maka secara otomatis orang
Minangkabau harus mematuhinya, karena konsekuensi dari
pelanggarannya adalah perbuatan dosa. Sejauh ini, orang Minangkabau
masih konsisten mematuhi larangan tersebut, karena akibatnya
tidak saja ditanggung oleh kedua pasangan mempelai tetapi
juga akan dipikul oleh kaumnya sendiri.[14]
Menarik untuk dikemukakan, yakni mengenai
sejarah munculnya larangan kawin sasuku di Minangkabau. Menurut salah seorang
tokoh adat (Mak katik) dan budayawan Minangkabau bahwasanya larangan kawin
sasuku itu berawal dari kesepakatan datuak nan balimo, yakni Datuak Suri
Dirajo, Datuak Bandaro Kayo, Datuak Maharajo Basa, Datuak Perpatih Nan
Sabatang, dan Datuak Katamanggungan, Menurut beliau kelima orang datuak ini
merupakan tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan adat Minangkabau. Salah satu rumusan adat yang mereka sepakati adalah
larangan mengenai kawin sasuku.
Konon kabarnya, setelah tercapainya
kata sepakat kelima orang datuk ini bersalaman untuk tidak
melanggarnya. Berdasarkan wacana di atas, maka dapat diasumsikan bahwa
larangan kawin sasuku di Minangkabau diambil dari hasil kesepakatan
kelima orang datuak tersebut. Jika hasil kesepakatan ini ditarik
pada aturan adat, maka hasil kesepatan ini dapat dimasukan ke
dalam kato nan ampek. Selanjutnya, salah satu bagian dari kato nan
ampek adalah kato dahulu. Secara
defenitif kato dahulu adalah kesepakatan
atau perjanjian yang harus ditaati secara bersama. Logikanya, kato dahulu merupakan
sebuah amanah dari nenek moyang yang harus dijalankan dan ditaati oleh generasi berikutnya. Sekiranya permasalahan ini ditarik ke dalam
konteks keagamaan, maka orang-orang yang melanggar amanah dapat dikategorikan
pada perbuatan orang-orang munafik dan perbuatan munafik adalah dosa besar. Sementara itu, Hamka menanggapinya bahwa orang yang
melangsungkan pernikahan sasuku, sama halnya dengan makan rendang
anak ayam yang berumur satu minggu.
Meskipun, adat melarang kawin sasuku, namun dalam kenyataannya
masih ada orang-orang melakukannya. Bagi mereka yang
melaksanakannya, maka jalan yang mereka tempuh adalah pindah.
Hal ini disebabkan kurangnya rasa nyaman dalam membina rumah
tangga, jika masih berada di kampung halamannya, karena masih
banyak nagari yang menganggap kawin sasuku merupakan perbuatan
tabu dalam masyarakatnya. Akan tetapi, ada juga nagari yang
menerapkan hukum buang selama waktu yang telah ditetapkan. Sekiranya
waktu hukumannya berakhir, maka si pelanggar akan didenda dan
diwajibkan mengadakan perjamuan dengan memotong hewan kerbau.
Selain larangan kawin sesuku, dalam masyarakat Minangkabau masih
ada lagi perkawinan yang tabu menurut pandangan adat, yakni :
kawin sumbang. Menurut Navis kawin sumbang dapat dibagi atas
empat bagian; 1). Mengawini orang yang telah diceraikan kaum kerabat,
sahabat, dan tetangga. 2). Mempermadukan perempuan yang
sekerabat. 3). Mengawini orang yang dalam pertunangan. 4) Mengawini
anak tiri saudara kandung. Secara sosial, kawin sumbang ini
bertujuan untuk menjaga kedinamisan dalam pergaulan. Karena orang-orang
yang melakukan kawin sumbang biasanya sering menjadi bahan pembicaraan
di masyarakat. Intinya kawin sumbang ini lebih
menekankan pada aspek menjaga keutuhan antar sesame kerabat
dan juga antar sesama warga.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
larangan kawin sasuku memang tidak ada larangan dalam agama.
Akan tetapi, dasar pemuka adat untuk melarang kawin sasuku
juga didasari oleh larangan untuk melanggar amanah yang telah
digarisi oleh nenek moyang terdahulu. Oleh karena itu, sebagai etnis
yang berfalsafah ‘syarak mangato adat mamakai’ maka pilihan itu terpulang
pada kita semua.[15]
Secara akademis, menurut Prof. Damsar, jika orang dilarang kawin
sasuku disebut dengan larangan eksogami marga. Sedangkan di Minangkabau garis
keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut larangan eksogami
matrilokal. Sehingga nikah sasuku bukan kontek perkawinan halal dan haram, tapi
perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo
pareso dan
sumpah/kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalam hokum warih
nan bajawek yang dijalankan
dan dituahi oleh penghulu/ninik mamak sekarang.
Larangan pergaulan dan perkawinan sasuku tersebut bagi masyarakat
Minangkabau akhirnya wajib. Karena, masyarakat Minangkabau memandang bahwa
hubungan sasuku merupakan hubungan satu keluarga, hubungan dekat. Sehingga, hubungan
pergaulan dan pernikahan yang masih dalam kategori sasuku dianggap terdapat
pelanggaran adat.
Sehingga, pergaulan dan perwakinan sasuku
menjadi penting disikapi oleh para penghulu/ninik mamak, ketika ada pelangaran
yang dilakukan oleh sanak kamanakan, maka sanksi adat akan dijalankan secara
tegas.
Jika dilihat pergaulan dan perkawinan sasuku ini biasanya
disebabkan banyak faktor. Di antaranya, lama merantau, ada pasangan laki-laki dan
perempuan sama-sama merantau, di dalam perantauan mereka bertemu. Suka dan
akhirnya kawin/menikah. Dalam pernikahan tersebut tanpa mengetahui asal usul
suku nenek moyang dulu di Minangkabau atau tanpa melibatkan mamak dalam proses
perkawian dan pernikahan tersebut, ketika pulang kampung ke ranah Minang baru
disadari bahwa mereka sasuku. Sehingga, dipisahkan dan diberi sanksi oleh
penghulu/mamak.
Ada perkawinan sasuku akibat pergaulan bebas tanpa nilai kewajaran.
Seperti filosofi Minang menjelaskan akibat abih
gali dek galitiak, abih miang dek bagesoh.
Artinya karna pergaulan tidak ada batas norma-norma agama antara laki dengan
perempuan, sehingga terjadilah hubungan istimewa, pacaran bahasa anak remaja
sekarang.
Karena kurang pemahaman adat, atau tidak bisa dipisahkan hubungan
tersebut, akhirnya mereka kawin/nikah lari ke rantau. Karena tidak sanggup
hidup di rantau mereka pulang kampung, lalu penghulu/mamak memberi sanksi.
Banyak faktor lain yang menyebabkan pergaulan dan kawin/nikah
sasuku ini terjadi. Di dalam adat Minangkabau, perkawinan sasuku dilarang
sekali. Jika dilanggar, maka pasangan yang melakukan perkawinan akan diberi
sanksi adat, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai indak batapi, di
gantuang tinggi dak batali. Artinya
di mana orang yang melakukan perkawinan/pernikahan sasuku tersebut akan diusir
atau dibuang dari suku oleh penghulu/mamak. Atau salah satu dari pasangan itu
mengganti/pindah suku. Itulah ketegasan sanksi adat dari kawin/penikahan sasuku
yang ditegakkan di Minangkabau.
Di beberapa nagari, kaum, suku di Minangkabau, pelarangan perkawinan
dan pernikahan sasuku tersebut masih berjalan dengan ketat. Walaupun, dalam
diskusi ilmiah, akademisi masih didapati perdebatan tentang
perkawinan/pernikahan sasuku ini boleh atau tidak.[16]
D. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Kawin Sesuku
Orang sesuku dalam adat minang bisa diklasifikasikan-menurut
pandangan syara'-kepada dua macam. Pertama, orang sesuku yang mahram.
Dan kedua, orang sesuku yang bukan mahram. Adapun orang sesuku yang mahram
tidak boleh dinikahi menurut syara'. Misalnya ibu, saudara perempuan, saudara
ibu yang perempuan, dan anak perempuan dari saudara perempuan sebagai mana
dalam Firman Allah SWT :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
artinya ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan yang sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campuri dengan istrimu itu (dan sesudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu); isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
penyayang.
Mereka adalah orang sesuku yang tidak boleh dinikahi, karena mahram
sebagaimana dalam ayat. Macam kedua adalah orang sesuku yang bukan
mahram. Seperti anak perempuan dari saudara perempuan ibu. Anak perempuan dari
saudara perempuan ibu boleh dinikahi sebagaimana dalam ayat di atas. Karena dia
bukan mahram. Adapun menurut adat, pernikahan seperti ini tidak dibolehkan,
karena anak perempuan dari saudara ibu adalah orang sesuku.Berdasarkan
klasifikasi di atas, maka hukum menikah dengan sesuku dapat kita rinci sebagai
berikut:
1.
menikah dengan orang yang tidak sesuku dan bukan mahram tidak
bertentangan dengan agama dan tidak juga melanggar aturan adat.
2.
menikah dengan sesuku yang mahram bertentangan dengan agama dan
aturan adat.
Ada sebuah kaidah yang
menjelaskan bahwa adat dan kebiasaan tidak bisa merubah hakikat hukum yang
sudah ditetapkan dalam agama. Artinya, menikah dengan sesuku yang bukan mahram
hukumnya adalah sah dan tidak batal menurut syara' akan tetapi untuk kasus ini kita
akan menilai dengan sebuah hadits Rasulullah Saw kepada Aisyah:
"Wahai Aisyah! Kalau bukan karena kaummu tidak dekat masanya
dengan jahiliyah (masih baru Islam,) sungguh saya akan perintahkan untuk
menghancurkan ka'bah dan saya masukkan bagian yang lain kedalamnya (seperti
yang dibangun Ibrahim. As)." HR. Bukhari.
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa penerapan hukum syar'i
perlu disesuaikan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Karena itu,
penerapan ini membutuhkan pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan istilah fiqhul
waqi' dan fiqhud dakwah. Bila penerapan hukum pada masyarakat di
suatu tempat akan menimbulkan gejolak, atau sanksi yang memberatkan, maka
penerapan itu bisa ditanguhkan sampai masyarakat memiliki kesiapan untuk itu.
Dalam adat minang, sebenarnya ada aturan-aturan yang baku dan tidak bisa
diubah, seperti dalam pepatah minang "Nan Indak lakang dek paneh, nan
indak lapuak dek ujan". Di antaranya adalah seperti kepatutan menurut
agama, menurut perikemanusiaan, menurut hukum alam yang didasarkan pada kodrat
ilahi, atau menurut tempat dan waktu. Aturan ini dikenal dengan istilah adat nan
sabana adat.
Selain itu ada juga aturan-aturan yang bisa berubah-ubah
berdasarkan pada kesepakatan. Sebagaimana dalam pepatah "Nan elok
dipakai jo mufakat, nan buruak dibuang jo hetongan, Adat habih dek bakarilahan."
Aturan ini dikenal dengan istilah adat nan diadatkan.
Ada juga kebiasaan yang sifatnya adalah peribadi atau individu
yang bisa ditambah dan dikurangi atau ditinggalkan. Hal ini dikenal dengan
istilah adat nan teradat. Terakhir adalah adat yang sifatnya kelaziman
yang berubah-ubah mengikuti alur yang ada pada masing-masing tempat. Seperti
kesenian, perhelatan dll. Hal ini dikenal dengan istilah adat istiadat.[18]
Di samping itu sepertinya larangan kawin
sesuku ini merupakan bentuk implemenatasi dari beberapa pendapat fuqaha` yang
sepertinya dapat diarahkan dalam bentuk kawin sesuku tersebut. Seperti pendapat
yang dikemukakan oelh Said Al-Bakri bin Assad Muhammad Syatho Addimyathi
Al-Mishri dalam Hasyi`ah I`anatut Thalibin menjelaskan bahwa : menikahi
wanita kerabat yang jauh hubungan nasabnya dari laki-laki itu lebih utama dari
kerabat dekat, karena perkawinan dengan kerabat dekat dapat menyebabkan
keturunan lemah. Yang dimaksud dengan kerabat dekat itu adalah, anak perempuan
dari anak laki-laki bapak, anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, anak
perempuan dari saudara perempuan bapak, anak perempuan dari saudara ibu.[19]
Sebagian fuqaha` lain berpendapat bahwa
sesungguhnya syahwat itu lemah di antara kerabat. Oleh karena itu, mereka
memakruhkan kawin dengan anak perempuan dari anak laki-laki bapak, anak
perempuan dari saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara perempuan
bapak, anak perempuan dari saudara ibu.[20]
Sedangkan menurut penulis sebagaimana yang
telah penulis kemukakan di atas juga, bahwa dalam kontek larangan antara adat
dan Islam berbeda. Dalam adat Minangkabau memang mengatur larangan kawin sesuku
akan tetapi hal tersebut bukan hal yang dapat disamakan dalam konteks hukum
Islam. karena dalam adat Minangkabau mengutamakan raso jo pareso, dimana
sesuku dalam adat Minangkabau dianggap masih memiliki hubungan persaudaraan
yang kuat sehingga menikah dengan saudara sendiri dianggap tabu dalam
masyarakat Minangkabau.
Pada dasarnya melaksanakan perkawinan sesuku
sah-sah saja dalam kacamata Islam, akan tetapi kembali kepada falsah adat
mengenai raso jo pareso. Tentu adanya pertimbangan-pertimbanagn moril
yang perlu dipikirkan, karena dalam kehidupan bermasyarakat juga memakai norma
adat.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
larangan kawin sasuku memang tidak ada larangan dalam agama.
Akan tetapi, dasar pemuka adat untuk melarang kawin sasuku
juga didasari oleh larangan untuk melanggar amanah yang telah
digarisi oleh nenek moyang terdahulu. Oleh karena itu, sebagai etnis
yang berfalsafah ‘syarak mangato adat mamakai’ maka pilihan itu terpulang
pada kita semua.
Jika orang dilarang kawin sasuku disebut dengan larangan eksogami
marga. Sedangkan di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan
ibu, maka disebut larangan eksogami matrilokal. Sehingga nikah sasuku bukan
kontek perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo
pareso dan
sumpah/kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalam hokum warih
nan bajawek yang dijalankan
dan dituahi oleh penghulu/ninik mamak sekarang.
Dan apabila dilihat dari sisi kacamata Islam,
sebenarnya tidak ada nash secara eksplisit melarang terkait dengan larangan
kawin sesuku, akan tetapi ada sebagian fuqaha` menjelaskan bahwa ada indikasi sesungguhnya syahwat itu lemah di antara kerabat. Oleh
karena itu, mereka memakruhkan kawin dengan anak perempuan dari anak laki-laki
bapak, anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara
perempuan bapak, anak perempuan dari saudara ibu.
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik itu kekurangan secara materi
maupun referensi. Untuk itu penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan
kritik dan saran agar makalah ini dapat disempurnakan dikemudian hari.
[5]Kompilasi Hukum Islam No. 1 Tahun 1991.
[6]https://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/,
Pada 27 Februari 2018
[8]https://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/,
Pada 27 Februari 2018
[9]Muchlis Awwali, Pelangi di
Minangkabau, (Padang : Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (LPTIK), t.th), hal. 9
[10]Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik
Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.135-138
[11]H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan
Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung : Bandar Maju, 2007), hal. 92-93
[12]Amir M.S. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan
Hidup Orang Minang, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 24
[13]Yohannes Wempi, Kawin Sasuku
Pantang Adat Minangkabau, diakses dari https://www.kompasiana.com/wempi/kawin-sasuku-pantang-adat-minangkabau_552ac084f17e61703ad623bd pada 24 Februari 2018
[15]Muchlis Awwali, Pelangi di
Minangkabau,..., hal. 9
[16]Yohannes Wempi, Kawin Sasuku
Pantang Adat Minangkabau, diakses dari https://www.kompasiana.com/wempi/kawin-sasuku-pantang-adat-minangkabau_552ac084f17e61703ad623bd pada 24 Februari 2018
[18]Iffah, Hukum Islam dan Perjanjian
Adat, Jurnal Hukum Islam,..., 21
[19]Said Al-Bakhri bin Assaid Muhammad
Syatho Addimyathi Al-Mishri, Hasyi`ah I`anatut Thalibin, (Singapura :
Dar Al-Thiba`ah Al-Misriyah, t.th), hal 270-271