Thursday, December 5, 2019

LARANGAN KAWIN SESUKU DALAM ADAT MINANGKABAU DITINJAU DARI HUKUM ISLAM



PENDAHULUAN
A.    Latar Beakang
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan sebagaimana perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.[1]
Sebagaimana yang diketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan masyarakat majmuk. Masyarakat tersebut berasal dari suku yang berbeda-beda. Sehingga dalam pelaksanaan interaksi sosial tidak hanya tergantung kepada agama semata melainkan ada norma-norma adat yang harus dipatuhi serta diikuti.
Berbicara mengenai perkawinan, khususnya dalam adat minangkabau ada aturan tersendiri. Salah satu aturan yang mencolok dalam praktik perkawinan dalam adat minangkabau adalah dengan adanya larangan kawin sesuku. Larangan kawin sesuku merupakan adat yang harus diikuti oleh masyarakat minangkabau, karena jika tidak, pelanggarnya dianggap melakukan pelanggaran adat dan dapat dikenakan sanksi yang telah ditentukan oeh daerah masing-masing. sedangkan dalam Islam sendiri tidak ada larahngan pernikahan sesuku tersebut. Karena rukun dan syarat sahnya perkawinan dalam Islam tidak memuat mengenai larangan kawin antar suku tersebut.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menggambarkan mengani larangan kawin sesuku dalam minangkabau jika ditinjau dari hukum Islam. Berangkat dari gambaran mengenai sistem perkawinan di minangkabau, kemudian penulis akan mencoba untuk menggambarkan bentuk larangan kawin sesuku dalam adat Minangkabu. Terakhir penulis mencoba untuk meninjau hal tersebut dari hukum Islam.


LARANGAN KAWIN SESUKU DALAM ADAT MINANGKABAU DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
A.    Pengertian Perkawinan
Saat peralihan yang ada pada semua masyarakat dianggap penting adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Dalam kebudayaan manusia, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau isterinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu memberi perlindungan pada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk  memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.
Kata perkawinan menurut istilah Hukum Islam sama dengan kata "nikah" dan kata "zawaj”.[2] Nikah menurut bahasa adalah berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni "wathaa" yang berarti "setubuh" atau "akad" yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak, sedangkan dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini. Sulaiman Rasyid mengemukakan Pengertian Pernikahan atau Perkawinan,Pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban seta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.[3]
Pengertian Pernikahan atau Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]

Dalam Kompilasi Hukum Islam No. 1 Tahun 1991[5] mengartikan perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqa ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dari pengertian pernikahan atau perkawinan yang diungkapkan para pakar diatas tidak terdapat pertentangan satu sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengertian Pernikahan atau Perkawinan adalah serangkaian aturan yang dimulai dengan bentuk akad atau perjanjian antara seorang laki-laki beserta keluarga besarnya dan perempuan beserta keluarga.

B.     Sistem Perkawinan Dalam Adat Minangkabau
Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Di Minangkabau Perkawinan juga bukan hanya urusan dua orang telah  menemukan jodoh saja, tetapi juga merupakan urusan dan tanggung jawab orang tua, ninik mamak, induk bako, dan kerabat dari keluarga kedua belah pihak.
Perkawinan di Minangkabau menganut sistem Eksogami, di mana seorang diharuskan menikah dengan orang dari luar sukunya, namun di Minangkabau yang di maksud di sini tetap suku Minangkabau tapi tidak sejenis. Perkawinan sesuku dilarang berdasarkan anggapan bahwa orang yang satu suku pada masa dahulu juga berasal dari nenek moyang yang sama. Adanya ketentuan dilarang kawin dengan orang satu suku, menurut adat Minangkabau juga tidak dianjurkan tetapi tidak dilarang untuk menikah dengan orang luar dari suku Minangkabau atau suku bangsa lainnya.
Perkawinan juga akan menimbulkan hubungan baru, tidak hanya antara suami dan istri saja melainkan juga akan menimbulkan hubungan kedua keluarga besar yang bersangkutan. Inilah sebabnya penyesuaian terhadap diri masing-masing pihak sangat penting agar tercipta keharmonisan dan keserasian dalam pergaulan kedua keluarga.
Bagi seorang laki-laki Minangkabau, perkawinan juga merupakan proses masuk kedalam lingkungan baru, yaitu lingkungan kerabat istrinya. Sedangkan bagi keluarga istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota dikomunitas rumah gadangnya.
Menurut adat yang lazim di Minangkabau seorang yang beristri maka laki-lakilah yang datang ke rumah istrinya untuk menetap atau dikenal juga dengan pola menetap Matrilokal, yaitu pola menetap di rumah istri atau pihak perempuan setelah menikah. Dalam adat Minangkabau seorang suami dianggap sebagai tamu oleh kerabat istrinya, dalam adat Minangkabau ia dinamakan “urang sumando” (orang semenda) yang dalam istilah Minangkabau seorang semenda ini diibaratkan seperti abu di atas tunggul, jika datang angin kencang maka ia akan terbang.
Masyarakat adat Minangkabau yang akan melangsungkan perkawinan tidak hanya harus memenuhi rukun dan syarat menurut peraturan perundang-undangan dan agama Islam saja, melainkan ia juga harus memenuhi syarat menurut adat Minangkabau.[6]
Adapun syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya “Perkawinan Adat Minangkabau” adalah sebagai berikut:
1.      Kedua mempelai beragama Islam.
2.      Kedua calon bukan orang termasuk orang-orang dilarang untuk dikawini dan tidak berasal dari suku yang sama, kecuali yang berasal dari nagari atau luhak yang lain.
3.      Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
4.      Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.[7]
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minangkabau. Selain itu, dalam pelaksanaan upacara perkawinannya ada beberapa tahapan kegiatan adat yang biasa dilakukan, yang dimulai dari menjajaki calon menantu atau baundiang, anta ameh atau batando (bertunangan), akad nikah, baralek gadang (pesta perkawinan/kenduri ini disesuaikan dengan keadaan dan kondisi kedua belah pihak), timbang tarimo. Tahapan perkawinan menurut adat ini tidak mungkin diremehkan begitu saja karena semua orang Minangkabau menganggap bahwa perkawinan itu sesuatu yang agung.[8]
Dalam masyarakat Minangkabau yang dinamakan perkawinan ideal adalah perkawinan ambiak-maambiak (ambil-mengambil) dan perkawinan pulang ka bako atau pulang ka anak mamak. Menurut adat perkawinan ideal ini diibaratkan sarupo kuah tabuang ka nasi atau jangguik tumbuah didaguak. Yang dimaksud dengan perkawinan ambiak-maambiak adalah perkawinan yang terjadi antara kerabat (dunsanak) mempelai pria dengan kerabat (dunsanak) mempelai perempuan. Sedangkan bentuk perkawinan kedua terjadi, disebabkan seorang anak menikah dengan anak saudara laki-laki ibu. Artinya, perkawinan terjadi disebabkan orang tua kedua pasangan mempelai bersaudara (laki-laki dan perempuan bersaudara).[9]
Secara khusus ada beberapa bentuk perkawinan dalam adat Minangkabau, di antara bentuk perkawinan tersebut adalah :
1.      Perkawinan ideal yang tujuan Perkawinan untuk melestarikan harta pusaka. untuk itu perlu ada langkah-langkah yang berjangka panjang. Salah satunya dengan melakukan Perkawinan antar keluarga terdekat, seperti kawin dengan anak mamak yang lazim disebut “pulang ka mamak” atau kawin dengan kemenakan ayah disebut “pulang ka bako” sebagai ujud dati “anak dipangku kemenakan dibimbing”. Bentuk lainya adalah Perkawinan “saling mengambil” untuk mempererat hubungan besan beripar.
2.      Perkawinan consanguinal adalah satu kelompok anggota keturunan Unilateral dari satu ibu asal (nenek) yang meliputi tidak lebih dari lima generasi dan organisasi yang masih hidup. jika terjadi konfilik antar kedua calon dengan kaum, diutamakan kepentingan kaum. Karena itu ia disebut Perkawinan cosanguinal. Menurut adat Minangkabau laki-lakilah yang datang kerumah isteri.
3.      Menantu terpandang yang di maksud dengan terpandang adalah orang asal. Yaitu orang yang lebih dulu berada dalam satu nagari dari yang lain atau dari para pendatang yang disebut dengan kemenakan dibawah lutuik (lutut) (orang yang datang bergabung ke salah satu kaum).[10]
Acara Perkawinan di Minangkabau dimulai sejak sebelum Perkawinan sampai sesudah Perkawinan. Sebelum Perkawinan mula-mula dilakukan penjajakan (meresek-resek), kemudian peminangan resmi (pelamaran) dan batuk tando (bertukar tanda). Apabila telah tercapai kesepakatan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki, yang mana pada umunya pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan tapi dalam adat Minangkabau pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Maka dilanjutkan dengan acara sebagai berikut:
1.        Mendudukan nan tuo (mendudukan yang tua), yaitu musyawarah kerabat dipimpin oleh yang tua membicarakan persiapan Perkawinan dan segala kekeluargaan baik di tempat wanita maupun di tempat pria.
2.        Maanta Bali (mengantar belanjaan) yang dilakukan oleh pihak pria dengan menyampaikan sejumlah uang kepada pihak wanita untuk belanja dapur.
3.        Manyiriah (menyampaikan sirih) yaitu menyampaikan undangan untuk hadir di kenduri Perkawinan, kaum pria mengundang pria, kaum wanita mengundang wanita.
4.        Pernikahan, marapulai dijemput untuk dinikahkan bertempat dirumah anak daro ( pengantin perempuan), atau di mesjid atau di balai adat.
5.        Baralek (pesta) yang serangkai dengan Perkawinan, dengan acara babako, yaitu anak daro (pengantin perempuan) dan marapulai (pengantin laki-laki) dijemput oleh pihak bako masing-masing untuk diberi pakaian mempelai oleh kerabatnya dan lain-lain. Malam bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Bakatam kaji yaitu membaca Al-Qur’an sebelum acara manjapuik (menjemput). Malapeh atau manjapuik yaitu marapulai dijemput dengan acara menjelang mertua.
6.        Setelah upacara Perkawinan selesai, maka berlaku acara ‘pulang malam’ yang mana marapulai sampai larut malam bercengkerama dengan teman-temannya, dan setelah dekat shalat subuh baru ia kembali ke tempat ibunya untuk shalat subuh. Setelah itu ia kembali lagi ke tempat isterinya untuk santapan pagi. Acara pulang malam ini selama tiga hari berturut-turut dan belum campur dengan isterinya. [11]

C.    Larangan Kawin Sesuku dalam Adat Minangkabau
Perkawinan mempunyai ketentuan-ketentuan dan peraturan dalam pelaksanaannya. Menurut hukum adat Minangkabau bahwa orang dilarang kawin dengan orang dari suku yang sama. Garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis keturunan ibu, garis keturunan ibu yang menentukan suku seseorang. Sistem perkawinannya disebut dengan eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal yaitu suatu sistem dimana perkawinan dilakukan dengan orang yang mempunyai suku yang berbeda.[12]
Kawin sasuku yang dimaksud di sini adalah suatu hubungan pergaulan dan perkawinan/pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan Minangkabau yang masih hubungan satu suku (satu marga). Misal, si bujang Amir nikah dengan si Upiak Marin yang sama-sama bersuku Guci satu penghulu maupun beda penghulu.[13]
Masalah larangan kawin sasuku ini, agama memang tidak memberi penjelasan mengenai larangan ini. Meskipun demikian, agama memberikan pedoman dengan tegas perempuan-perempuan tidak boleh dinikahi. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan dalam masalah perkawinan ini adalah surat An Nisa ayat 23 yang
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
artinya ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan yang sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan istrimu itu (dan sesudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu); isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.

Berdasarkan arti ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa kategori perempuan yang tidak boleh dinikahi. Dengan adanya ketentuan ayat Alquran tersebut, maka secara otomatis orang Minangkabau harus mematuhinya, karena konsekuensi dari pelanggarannya adalah perbuatan dosa. Sejauh ini, orang Minangkabau masih konsisten mematuhi larangan tersebut, karena akibatnya tidak saja ditanggung oleh kedua pasangan mempelai tetapi juga akan dipikul oleh kaumnya sendiri.[14]
Menarik untuk dikemukakan, yakni mengenai sejarah munculnya larangan kawin sasuku di Minangkabau. Menurut salah seorang tokoh adat (Mak katik) dan budayawan Minangkabau bahwasanya larangan kawin sasuku itu berawal dari kesepakatan datuak nan balimo, yakni Datuak Suri Dirajo, Datuak Bandaro Kayo, Datuak Maharajo Basa, Datuak Perpatih Nan Sabatang, dan Datuak Katamanggungan, Menurut beliau kelima orang datuak ini merupakan tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan adat Minangkabau. Salah satu rumusan adat yang mereka sepakati adalah larangan mengenai kawin sasuku.
Konon kabarnya, setelah tercapainya kata sepakat kelima orang datuk ini bersalaman untuk tidak melanggarnya. Berdasarkan wacana di atas, maka dapat diasumsikan bahwa larangan kawin sasuku di Minangkabau diambil dari hasil kesepakatan kelima orang datuak tersebut. Jika hasil kesepakatan ini ditarik pada aturan adat, maka hasil kesepatan ini dapat dimasukan ke dalam kato nan ampek. Selanjutnya, salah satu bagian dari kato nan ampek adalah kato dahulu. Secara defenitif kato dahulu adalah kesepakatan atau perjanjian yang harus ditaati secara bersama. Logikanya, kato dahulu merupakan sebuah amanah dari nenek moyang yang harus dijalankan dan ditaati oleh generasi berikutnya. Sekiranya permasalahan ini ditarik ke dalam konteks keagamaan, maka orang-orang yang melanggar amanah dapat dikategorikan pada perbuatan orang-orang munafik dan perbuatan munafik adalah dosa besar. Sementara itu, Hamka menanggapinya bahwa orang yang melangsungkan pernikahan sasuku, sama halnya dengan makan rendang anak ayam yang berumur satu minggu.
Meskipun, adat melarang kawin sasuku, namun dalam kenyataannya masih ada orang-orang melakukannya. Bagi mereka yang melaksanakannya, maka jalan yang mereka tempuh adalah pindah. Hal ini disebabkan kurangnya rasa nyaman dalam membina rumah tangga, jika masih berada di kampung halamannya, karena masih banyak nagari yang menganggap kawin sasuku merupakan perbuatan tabu dalam masyarakatnya. Akan tetapi, ada juga nagari yang menerapkan hukum buang selama waktu yang telah ditetapkan. Sekiranya waktu hukumannya berakhir, maka si pelanggar akan didenda dan diwajibkan mengadakan perjamuan dengan memotong hewan kerbau.
Selain larangan kawin sesuku, dalam masyarakat Minangkabau masih ada lagi perkawinan yang tabu menurut pandangan adat, yakni :
kawin sumbang. Menurut Navis kawin sumbang dapat dibagi atas empat bagian; 1). Mengawini orang yang telah diceraikan kaum kerabat, sahabat, dan tetangga. 2). Mempermadukan perempuan yang sekerabat. 3). Mengawini orang yang dalam pertunangan. 4) Mengawini anak tiri saudara kandung. Secara sosial, kawin sumbang ini bertujuan untuk menjaga kedinamisan dalam pergaulan. Karena orang-orang yang melakukan kawin sumbang biasanya sering menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Intinya kawin sumbang ini lebih menekankan pada aspek menjaga keutuhan antar sesame kerabat dan juga antar sesama warga.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa larangan kawin sasuku memang tidak ada larangan dalam agama. Akan tetapi, dasar pemuka adat untuk melarang kawin sasuku juga didasari oleh larangan untuk melanggar amanah yang telah digarisi oleh nenek moyang terdahulu. Oleh karena itu, sebagai etnis yang berfalsafah ‘syarak mangato adat mamakai’ maka pilihan itu terpulang pada kita semua.[15]
Secara akademis, menurut Prof. Damsar, jika orang dilarang kawin sasuku disebut dengan larangan eksogami marga. Sedangkan di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut larangan eksogami matrilokal. Sehingga nikah sasuku bukan kontek perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo pareso dan sumpah/kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalam hokum warih nan bajawek yang dijalankan dan dituahi oleh penghulu/ninik mamak sekarang.
Larangan pergaulan dan perkawinan sasuku tersebut bagi masyarakat Minangkabau akhirnya wajib. Karena, masyarakat Minangkabau memandang bahwa hubungan sasuku merupakan hubungan satu keluarga, hubungan dekat. Sehingga, hubungan pergaulan dan pernikahan yang masih dalam kategori sasuku dianggap terdapat pelanggaran adat.
Sehingga, pergaulan dan perwakinan sasuku menjadi penting disikapi oleh para penghulu/ninik mamak, ketika ada pelangaran yang dilakukan oleh sanak kamanakan, maka sanksi adat akan dijalankan secara tegas.
Jika dilihat pergaulan dan perkawinan sasuku ini biasanya disebabkan banyak faktor. Di antaranya, lama merantau, ada pasangan laki-laki dan perempuan sama-sama merantau, di dalam perantauan mereka bertemu. Suka dan akhirnya kawin/menikah. Dalam pernikahan tersebut tanpa mengetahui asal usul suku nenek moyang dulu di Minangkabau atau tanpa melibatkan mamak dalam proses perkawian dan pernikahan tersebut, ketika pulang kampung ke ranah Minang baru disadari bahwa mereka sasuku. Sehingga, dipisahkan dan diberi sanksi oleh penghulu/mamak.
Ada perkawinan sasuku akibat pergaulan bebas tanpa nilai kewajaran. Seperti filosofi Minang menjelaskan akibat abih gali dek galitiak, abih miang dek bagesoh. Artinya karna pergaulan tidak ada batas norma-norma agama antara laki dengan perempuan, sehingga terjadilah hubungan istimewa, pacaran bahasa anak remaja sekarang.
Karena kurang pemahaman adat, atau tidak bisa dipisahkan hubungan tersebut, akhirnya mereka kawin/nikah lari ke rantau. Karena tidak sanggup hidup di rantau mereka pulang kampung, lalu penghulu/mamak memberi sanksi.
Banyak faktor lain yang menyebabkan pergaulan dan kawin/nikah sasuku ini terjadi. Di dalam adat Minangkabau, perkawinan sasuku dilarang sekali. Jika dilanggar, maka pasangan yang melakukan perkawinan akan diberi sanksi adat, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai indak batapi, di gantuang tinggi dak batali. Artinya di mana orang yang melakukan perkawinan/pernikahan sasuku tersebut akan diusir atau dibuang dari suku oleh penghulu/mamak. Atau salah satu dari pasangan itu mengganti/pindah suku. Itulah ketegasan sanksi adat dari kawin/penikahan sasuku yang ditegakkan di Minangkabau.
Di beberapa nagari, kaum, suku di Minangkabau, pelarangan perkawinan dan pernikahan sasuku tersebut masih berjalan dengan ketat. Walaupun, dalam diskusi ilmiah, akademisi masih didapati perdebatan tentang perkawinan/pernikahan sasuku ini boleh atau tidak.[16]

D.    Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Kawin Sesuku
Orang sesuku dalam adat minang bisa diklasifikasikan-menurut pandangan syara'-kepada dua macam. Pertama, orang sesuku yang mahram. Dan kedua, orang sesuku yang bukan mahram. Adapun orang sesuku yang mahram tidak boleh dinikahi menurut syara'. Misalnya ibu, saudara perempuan, saudara ibu yang perempuan, dan anak perempuan dari saudara perempuan sebagai mana dalam Firman Allah SWT :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
artinya ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan yang sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan istrimu itu (dan sesudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu); isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.

Mereka adalah orang sesuku yang tidak boleh dinikahi, karena mahram sebagaimana dalam ayat. Macam kedua adalah orang sesuku yang bukan mahram. Seperti anak perempuan dari saudara perempuan ibu. Anak perempuan dari saudara perempuan ibu boleh dinikahi sebagaimana dalam ayat di atas. Karena dia bukan mahram. Adapun menurut adat, pernikahan seperti ini tidak dibolehkan, karena anak perempuan dari saudara ibu adalah orang sesuku.Berdasarkan klasifikasi di atas, maka hukum menikah dengan sesuku dapat kita rinci sebagai berikut:
1.      menikah dengan orang yang tidak sesuku dan bukan mahram tidak bertentangan dengan agama dan tidak juga melanggar aturan adat.
2.      menikah dengan sesuku yang mahram bertentangan dengan agama dan aturan adat.
3.      menikah dengan sesuku yang bukan mahram.[17]
Ada sebuah kaidah yang menjelaskan bahwa adat dan kebiasaan tidak bisa merubah hakikat hukum yang sudah ditetapkan dalam agama. Artinya, menikah dengan sesuku yang bukan mahram hukumnya adalah sah dan tidak batal menurut syara' akan tetapi untuk kasus ini kita akan menilai dengan sebuah hadits Rasulullah Saw kepada Aisyah:
"Wahai Aisyah! Kalau bukan karena kaummu tidak dekat masanya dengan jahiliyah (masih baru Islam,) sungguh saya akan perintahkan untuk menghancurkan ka'bah dan saya masukkan bagian yang lain kedalamnya (seperti yang dibangun Ibrahim. As)." HR. Bukhari.

Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa penerapan hukum syar'i perlu disesuaikan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Karena itu, penerapan ini membutuhkan pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan istilah fiqhul waqi' dan fiqhud dakwah. Bila penerapan hukum pada masyarakat di suatu tempat akan menimbulkan gejolak, atau sanksi yang memberatkan, maka penerapan itu bisa ditanguhkan sampai masyarakat memiliki kesiapan untuk itu. Dalam adat minang, sebenarnya ada aturan-aturan yang baku dan tidak bisa diubah, seperti dalam pepatah minang "Nan Indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek ujan". Di antaranya adalah seperti kepatutan menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut hukum alam yang didasarkan pada kodrat ilahi, atau menurut tempat dan waktu. Aturan ini dikenal dengan istilah adat nan sabana adat.
Selain itu ada juga aturan-aturan yang bisa berubah-ubah berdasarkan pada kesepakatan. Sebagaimana dalam pepatah "Nan elok dipakai jo mufakat, nan buruak dibuang jo hetongan, Adat habih dek bakarilahan." Aturan ini dikenal dengan istilah adat nan diadatkan.
Ada juga kebiasaan yang sifatnya adalah peribadi atau individu yang bisa ditambah dan dikurangi atau ditinggalkan. Hal ini dikenal dengan istilah adat nan teradat. Terakhir adalah adat yang sifatnya kelaziman yang berubah-ubah mengikuti alur yang ada pada masing-masing tempat. Seperti kesenian, perhelatan dll. Hal ini dikenal dengan istilah adat istiadat.[18]
Di samping itu sepertinya larangan kawin sesuku ini merupakan bentuk implemenatasi dari beberapa pendapat fuqaha` yang sepertinya dapat diarahkan dalam bentuk kawin sesuku tersebut. Seperti pendapat yang dikemukakan oelh Said Al-Bakri bin Assad Muhammad Syatho Addimyathi Al-Mishri dalam Hasyi`ah I`anatut Thalibin menjelaskan bahwa : menikahi wanita kerabat yang jauh hubungan nasabnya dari laki-laki itu lebih utama dari kerabat dekat, karena perkawinan dengan kerabat dekat dapat menyebabkan keturunan lemah. Yang dimaksud dengan kerabat dekat itu adalah, anak perempuan dari anak laki-laki bapak, anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara perempuan bapak, anak perempuan dari saudara ibu.[19]
Sebagian fuqaha` lain berpendapat bahwa sesungguhnya syahwat itu lemah di antara kerabat. Oleh karena itu, mereka memakruhkan kawin dengan anak perempuan dari anak laki-laki bapak, anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara perempuan bapak, anak perempuan dari saudara ibu.[20]
Sedangkan menurut penulis sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas juga, bahwa dalam kontek larangan antara adat dan Islam berbeda. Dalam adat Minangkabau memang mengatur larangan kawin sesuku akan tetapi hal tersebut bukan hal yang dapat disamakan dalam konteks hukum Islam. karena dalam adat Minangkabau mengutamakan raso jo pareso, dimana sesuku dalam adat Minangkabau dianggap masih memiliki hubungan persaudaraan yang kuat sehingga menikah dengan saudara sendiri dianggap tabu dalam masyarakat Minangkabau.
Pada dasarnya melaksanakan perkawinan sesuku sah-sah saja dalam kacamata Islam, akan tetapi kembali kepada falsah adat mengenai raso jo pareso. Tentu adanya pertimbangan-pertimbanagn moril yang perlu dipikirkan, karena dalam kehidupan bermasyarakat juga memakai norma adat.

PENUTUP


A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa larangan kawin sasuku memang tidak ada larangan dalam agama. Akan tetapi, dasar pemuka adat untuk melarang kawin sasuku juga didasari oleh larangan untuk melanggar amanah yang telah digarisi oleh nenek moyang terdahulu. Oleh karena itu, sebagai etnis yang berfalsafah ‘syarak mangato adat mamakai’ maka pilihan itu terpulang pada kita semua.
Jika orang dilarang kawin sasuku disebut dengan larangan eksogami marga. Sedangkan di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut larangan eksogami matrilokal. Sehingga nikah sasuku bukan kontek perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo pareso dan sumpah/kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalam hokum warih nan bajawek yang dijalankan dan dituahi oleh penghulu/ninik mamak sekarang.
Dan apabila dilihat dari sisi kacamata Islam, sebenarnya tidak ada nash secara eksplisit melarang terkait dengan larangan kawin sesuku, akan tetapi ada sebagian fuqaha` menjelaskan bahwa ada indikasi sesungguhnya syahwat itu lemah di antara kerabat. Oleh karena itu, mereka memakruhkan kawin dengan anak perempuan dari anak laki-laki bapak, anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara perempuan bapak, anak perempuan dari saudara ibu.
B.     Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik itu kekurangan secara materi maupun referensi. Untuk itu penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran agar makalah ini dapat disempurnakan dikemudian hari.


[1]Bandaro, Perkawinan Eksogami Dalam Masyarakat Adat Minangkabau, (Padang : LPTIK, 2008), hal. 45
[2]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : kencana, 2008), hal. 12
[3]Sulaiman Rasyid, FiqhIslam (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 34
[4]Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
[5]Kompilasi Hukum Islam No. 1 Tahun 1991.
[6]https://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/, Pada 27 Februari 2018 
[7]Fiony Sukmasari, Perkawinan Adat Minangkabau, (Jakarta: kencana 2003). hal. 13
[8]https://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/, Pada 27 Februari 2018  
[9]Muchlis Awwali, Pelangi di Minangkabau, (Padang : Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK), t.th), hal. 9  
[10]Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.135-138
[11]H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung : Bandar Maju, 2007), hal. 92-93
[12]Amir M.S. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 24
[13]Yohannes Wempi, Kawin Sasuku Pantang Adat Minangkabau, diakses dari https://www.kompasiana.com/wempi/kawin-sasuku-pantang-adat-minangkabau_552ac084f17e61703ad623bd  pada 24 Februari 2018
[14]Muchlis Awwali, Pelangi di Minangkabau,..., hal. 6-7
[15]Muchlis Awwali, Pelangi di Minangkabau,..., hal. 9
[16]Yohannes Wempi, Kawin Sasuku Pantang Adat Minangkabau, diakses dari https://www.kompasiana.com/wempi/kawin-sasuku-pantang-adat-minangkabau_552ac084f17e61703ad623bd  pada 24 Februari 2018
[17]Iffah, Hukum Islam dan Perjanjian Adat, Jurnal Hukum Islam, No.2 Vol. 2 tahun 2008, hal. 19
[18]Iffah, Hukum Islam dan Perjanjian Adat, Jurnal Hukum Islam,..., 21
[19]Said Al-Bakhri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyathi Al-Mishri, Hasyi`ah I`anatut Thalibin, (Singapura : Dar Al-Thiba`ah Al-Misriyah, t.th), hal 270-271
[20]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz III, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Arabi, 1978),  hal. 105