Friday, July 17, 2020

POLEMIK MULTI LEVEL MARKETING



A.    Ayat-ayat Tentang Jual-Beli Kredit dan Sistem Multi Level Marketting (MLM)
Jual beli merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itu secara universal hal-hal yang berkaitan dengan jual beli  telah diatur dalam Al-Qur`an. Maka dalam hal ini penulis akan menjelaskan beberapa ayat-ayat dalam Al-Qur`an yang mengatur mengenai jual beli.
1.      Surat Al-Baqarah : 275
 الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Artinya “ Orang-orang yang makan (menambil) riba  tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan (lantaran) tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata  (berpendapat), sesungguhnya jual beli tiu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya  lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilmya dahulu (Sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang menghalangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S Al-Baqarah : 275)

Pada dasarnya ayat di atas merupakan ayat yang berbicara mengenai penglarangan riba. Karena orang-orang Jahiliyah dahulu menyamakan antara jual beli dengan riba sedangkan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Untuk memahami ayat di atas maka penulis akan memparkan tafsiran ayat di atas.
Dalam kitab tafsir Fath Bayan dijelaskan mengenai kata الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا mengenai pengertian riba dikatakan bahwa riba secara bahasa yaitu menambah secara mutlak, dalam syari`at riba ini dibagi ke dalam dua bentuk yaitu : riba fadhl dan riba nasi`ah.[1]
Sedangkan maksud riba nasi`ah menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya Rawa`iul Bayan yaitu riba yang terkenal pada masa Jahiliyah yang mana hutang berupa harta dalam ukuran tertentu dalam masa yang dapat dihitung seperti bulan atau tahun dengan disertai syarat penambahan pada hutang tersebut.
Menurut Ibnu Jarir At-Thabari, jika seorang laki-laki memiliki harta yang mana harta tersebut ada pada laki-laki lain (hutang), kemudian ketika sampai waktu yang telah ditentukan dia meminta hutang tersebut kepada temannya itu, maka berkata laki-laki yang berhutang “Telatkan aku terhadap hutangmu, dan akan aku tambah hartamu tersebut”, kemudian mereka berdua melakukan hal itu. Maka itulah yang riba.
Sedangkan riba Fadhl yaitu jual beli sesuatu dengan melihat kepada sesuatu tersebut disertai dengan tambahan salah satu barang di antara kedua barang tersebut. Maksudnya penukaran barang sesjenis namun lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian. Seperti menukarkan satu kilo kopi dengan dua kilo kopi yang lain atau satu liter madu Syam dengan satu setengah liter madu Hijaz.[2]
 إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا (sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba), menurut Wahbah Zuhaili dan ash-Shabuni adalah tasybih maqlub. lebih lanjut ash-Shabuni mengatakan ini merupakan tingkatan tertinggi dari tasybih.[3] Sai’d Hawa mengatakan "tidak dikatakan riba seperti jual beli, sedangkan kalamnya berkaitan dengan riba bukan jual beli karena datang dengan jalan mubalaghah. Yaitu,  bahwa itikad mereka telah sampai pada halalnya riba, mereka menjadikannya dasar dan aturan dalam jual beli sehingga mereka menyamakannya dengan jual beli.[4]
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ  (padahal Allah telah menghalalkan jual beli), Al-Qurthubi mengatakan ayat ini menunjukkan keumuman al-Quran, alif dan lam (pada kalimat al-Bai’) adalah lil jinsi bukan lil ‘ahdi, kemudian ditahsis oleh riba dan larangan lainnya seperti jual beli khamar dan bangkai dan yang lainnya berdasarkan sunnah dan ijma ummat.[5] Al-Jashas mengatakan tidak ada perbedaan dikalangan ahli ilmu walaupun ayat ini umum tapi yang dimaksud adalah khusus. Para Ahli ilmu sepakat bahwa banyak sekali jual beli yang dilarang, seperti menjual yang belum ada atau yang tidak ada pada orang atau jual beli yang mengandung unsur penipuan atau jual beli barang-barang yang diharamkan.[6]
Menurut As-Sa`di, ayat ini adalah dasar halalnya semua transaksi usaha hingga ada dalil yang melarangnya.[7] Dengan demikian dapat dipahami bahwa Al-Qur`an menghalalkan seluruh bentuk jual beli sampai ada bentuk penglarangan yang disampaikan oleh nabi dalam hadis-hadis beliau.
2.      Surat Al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengkalim (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengklaim, maka hendaklah walinya mengklaim dengan jujur. Dan saksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang laki-laki (di antara) kamu, jika tidak ada dua orang lelaki (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangannya apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jenuh menulis utang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keragu-raguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jiaka muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagimu jika kamu tidak menuliskannya, dan saksikanlah apabila kamu berjual belidan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Allah mengaajarkanmu dan Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu”. (Q.S Al-Baqarah : 282)

Adapun mengenai asbabun nuzul ayat ini adalah pada waktu Rasulullah SAW datang ke Madinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam satu waktu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu Rasul bersabda: Barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah Swt. menurunkan ayat ke-282 sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu`amalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang.[8]
Dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 282 terdapat kalimat yang memiliki kesamaan dengan makna kredit dalam Bahasa Arab (al-bay’ bi thaman ajil aw nasiah), yaitu إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. Kedua kalimat tersebut memberikan pengertian yang sama, yaitu memberikan jangka waktu (tempo) dalam pelunasan akad utang piutang.
Para ulama memberikan penafsiran yang sama terhadap kalimat إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. Ibn Katsir menafsirkannya dengan تَعَامَلُوا بِمُعَامَلَاتٍ مُؤَجَّلَةٍ.[9] Sedangkan Muhammad Ali Ash-Shabuni menafsirkan menafsirkannya dengan إِذا تعاملتم بدينٍ مؤجل.[10] Penafsiran di atas memiliki pengertian yang sama, yaitu bertransaksi dengan sistem utang piutang dengan pembatasan waktu pembayaran (ajalin musamma).
فَاكْتُبُوهُ merupakan perintah Allah untuk mencatat setiap transaksi dengan sistem utang. Al-Qurthubi mengungkpakan bahwa kata فَاكْتُبُوهُ tidak semata-mata dengan catatan saja melainkan adanya catatan dan saksi, karena catatan tanpa adanya saksi tidak dapat dijadikan hujjah.[11] Menurut Ibnu Katsir bahwa perintah untuk mencatat tersebut adalah sebagai sebuah kepercayaan dan untuk mengingat utang tersebut.[12]
Dalam hal ini bentuk perintah yang terkandung pada lafaz فَاكْتُبُوهُ diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir bahwa perintah tersebut adalah perintah berfaedah sebagai petunjuk, bukan perintah untuk wajib.[13] Menurut At-Thabari bahwa perintah untuk mencatat tersebut adalah wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama bahwa perintah tersebut berfaedah mandub.[14]
Kemudian hal perlu diperhatikan adalah yang mencatat utang piutang tersebut. Menurut Sha`rawi bahwa yang mencatat tersebut adalah orang ketiga bukan salah seorang dari orang yang melakukan transkasi tersebut. Pemahaman Sha`rawi ini didasari dengan memahami firman Allah وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بالعدل وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ الله.[15] Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ash-Shabuni bahwa yang mencatat tersebut mestilah orang ketiga yang adil dan tidak memiliki kecendrungan terhadap salah satu pihak.[16] Dengan demikian dapat dipahami bahwa utuk mencatat dalam melakukan transaksi utang piutang (kredit) maka diperlukan orang ketiga untuk mencatat hal yang berkaitan dengan utang piutang tersebut.
Dalam menafsirkan kata الْعَدْلِ Al-Qurthubi menyatakan bahwa kata tersebut merupakan sifat yang mesti dimiliki oleh كَاتِبٌ.[17] Jika dipahami apa yang diungkapkan oleh Al-Qurthubi bahwa untuk mencatat utang piutang adalah kaatib (pencatat) yang adil.
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ayat ini memerintahkan kepada orang yang berhutang (orang yang melakukan kredit) untuk mendiktekan syarat-syarat kepada kaatib tanpa ada penambahan dan pengurangan dari apa yang telah disepakati dalam transaksi hutang piutang tersebut.[18]
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ potongan ayat ini mengungkapkan jika orang yang berutanag adalah lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu untuk mengkalim, maka hendaklah walinya mengkalaim dengan jujur. Menurut Ibnu Katsir kata سَفِيهًا  bermakna mahjur, ضَعِيفًا bermakna anak kecil atau orang gila, dan kata لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ bermakna adalah orang yang tidak cakap hukum atau bodoh.[19] Sedangkan menurut Al-Qurthubi bahwa kata سَفِيهًا diartikan oleh sebagian orang adalah anak kecil namun menurutnya bukan hanya anak kecil saja, terkadang سَفِيهً tersebut adalah orang dewasa. Dengan demikian menurut Al-Qurthubi سَفِيهًا adalah orang-orang yang tidak ahli dalam bertasarruf. Kemudian kata ضَعِيفًا bermakna كَبِيرًا لَا عَقْلَ لَهُ orang dewasa yang tidak berakal.[20]
Dengan demikian apabila yang bertransaksi orang-orang sebagaimana yang diungkapkan oleh potongan ayat di atas, maka di sini perlunya wali untuk mengklaim kewajiban dan hak nya dengan adil dan jujur.
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ meskipun di atas telah diwajibkan untuk membuat pencatatan dalam rangka melakukan transaksi dengan sistem hutang piutang namun kata وَاسْتَشْهِدُوا dengan membuat persaksian menurut Ibnu katsir merupakan wujud dalam rangka لِزِيَادَةِ التَّوْثِقَةِ.[21] Hal ini juga serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Ash-Shabuni bahwa persaksian terseubut adalah untuk menambah kepercayaan (زيادة في التوثيقة).[22]
Sedangkan mengenai hukum persaksian tersebut merupakan suatu hal yang masih dipertentangkan ulama. Dalam Jami`ul Ahkam Al-Qur`an bahwa ada yang berpendapat bahwa persaksian itu meupakan hal yang wajib dan ada yang mengatakan bahwa persaksian itu adalah mandub. Maka dalam hal ini Al-Qurthubi menggap yang paling benar adalah mandub.[23]
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى potongan ayat ini menjelaskan jikalau tidak ada dua orang laki-laki maka boleh dipersaksikan dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Hal ini agar apabila salah satu lupa maka yang satu lagi bisa mengingatkan rekannya yang lupa.
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا  hal ini menunjukkan bahwa saksi tidak boleh menolak apabila dipanggil untuk menyaksikan. Sedangkan Mujahid menyerahkan sepenuhnya pemenuhan panggilan kepada para saksi itu sendiri. Jika para saksi itu mau memenuhi panggilan, maka dipersilahkan, dan jika menolak panggilan tersebut juga tidak apa-apa. Ibn `Atiyah berpendapat bahwa pemenuhan panggilan tersebut adalah sunnah.[24] Menurut Qatadah dan Al-Rabi` bin Annas bahwa memberikan kesaksian adalah suatu hal yang wajib.
وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ dalam ayat ini Allah menyempurnakan untuk penegasan agar tidak jenuh dalam mencatat segala sesuatu yang disepakati dalam melakukan transaksi kredit. Karena besar atau kecil pun dalam melakukan utang piutang mestilah dicatat.[25]
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا potongan ayat ini menjelaskan bahwa ada berupa pengeculian terhadap تِجَارَةً حَاضِرَةً. Menurut Ash-Shabuni تِجَارَةً حَاضِرَةً bermakna transaksi secara tunai.[26] Dengan demikian pada hakikatnya bahwa pencatatan terhadap jual-beli secara tunai tidak harus dicatatkan.
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ  potongan ayat ini menurut Ibn `Ashur, perintah pensaksian yang dimaksud dalam penggalan ayat ini adalah bersifat umum, yaitu perintah untuk membuat pensaksian dalam segala bentuk transaksi, baik itu secara tunai maupun kredit.[27]
وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ayat ini menjelaskan tentang hak utama bagi para saksi dan pencatat, yaitu tidak adanya madharat dari para pelaku transaksi terhadap mereka, seperti menyudutkan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kesaksian.[28] Apabila saksi diberi mudharat maka yang memberinya itu termasuk orang-orang yang zhalim. Di akhir ayat Allah memerintahkan untuk bertaqwa kepada-Nya maka Allah akan memberi ilmu untuk memahami segala sesuatu yang diajarkan-Nya.
Dengan demikian setelah melihat tafsiran ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah mengajarkan bagaimana teknis ketika seorang muslim akan melakukan hutang piutang (kredit). Menurut hemat saya hal ini bisa bawakan kepada jual beli kredit karena pada dasarnya jual-beli kredit merupakan bentuk jual-beli dengan cara berutang kepada penjual dengan ketentuan untuk melunasi pada waktu tertentu.
3.      Surat An-Nisa` : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S An-Nisa` : 27)

Dalam menjelaskan ayat di atas, ada beberapa kata kunci yang dapat dipahami sehingga kita dapat memahami ayat di atas dengan sekasama. Pada dasarnya jika kita lihat ayat di atas merupakan seruan kepada orang-orang yang beriman untuk tidak berlaku bathil terhadap sesama dalam rangka memakan harta satu sama lain. kemudian Allah mengecualikan ketika dengan jalan perniagaan (perdagangan).
Kata بَيْنَكُمْ merupakan bentuk kata yang semestinya segala sesuatu yang berada antara dua belah pihak harus berada di tengah. Ini dikarenakan karena ciri perdagangan menjadikan pihak pertama cendrung menarik sesuatu yang berada di tengah itu ke arahnya, bahkan kalau dapat akan ditarik sedekat mungkin ke posisinya, demikian juga pihak kedua. Thabathaba`i memperoleh kesan lain dari kata بَيْنَكُمْ. Menurutnya kata ini mengandung makna adanya semacam himpunan di antara mereka atas harta dan harta itu berada di tengah mereka yang berhimpun itu. Nah, kemudian dirangkaikannya larangan memakan harta dengan kata bainakum. Hal ini memberi kesan dan petunjuk bahwa memakan/memperoleh harta yang dilarang ini adalah mengelolanya agar mereka serta perpindahannya dari seseorang ke orang yang lain. dengan demikian larangan memakan harta yang berada di tengah mereka dengan batil itu mengandung makna melarang melakukan transaksi/ perpindahan harta yang tidak mengantar masyarakat kepada kesuksesan, bahkan mengantarnya kepada kebejatan dan kehancuran, seperti praktik-praktik riba, perjudian, jual beli yang mengandung penipuan dan lain-lain.[29]
Menurut Al-Qurthubi kata الْبَاطِلِ adalah memakan harta seseorang dengan tanpa adanya hak terhadap tersebut. Kemudian Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa kata Bathil menunjukkan bahwa penglarangan terhadap menukar atau pergantian yang tidak diperbolehkan oleh syara` yaitu riba, dan barang-barang yang tidak boleh diperdagangkan seperti khamar, daging babi dan sebagainya.[30] Sedangkan Quraih Shihab menyebutkan bahwa kata tersebut merupakan kata yang menunjukkan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati.[31]
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ di sini Ibnu Katsir memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud adalah jual-beli yakni adanya pemberian antara satu sama lain.[32] menurut Al-Qurhubi adalah تِجَارَةً penjualan dan pembelian. Sedangkan kata تَرَاضٍ Al-Qurthubi menekankan bahwa dalam pembelian menurut syara` pembeli berhak untuk memilih. Pada dasarnya kata تَرَاضٍ yang bermakna رضي berasal dari bab مفاعلة yang berarti perdagangan antara dua orang.[33]  Meskipun kerelaan merupakan sesuatu yang tersembunyi dalam lubuk hati, indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjuk kerelaan.[34]
Dengan demikian intinya dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada hambanya untuk melarang mengambil harta orang lain dengan jalan yang batihil, baik itu dalam bentuk transaksi riba atau transaksi yang merugikan satu sama. Namun dikecualikan kebolehan dam memperoleh harta atau dalam berbisnis dengan jalan perniagaan yang mana perniagaan tersebut dilakukan dengan adanya kerelaan antara kedua belah pihak. Sehingga adanya hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan, serta syari`at yang mengikat. Inilah yang diinginkan Allah ketika hambanya melakukan kegiatan bisnis yang melibatkan antara dua pihak atau pun lebih.
B.     Hadis-hadis berkaitan dengan Jual-Beli Kredit dan sistem Multi Level Marketting (MLM)
Ada beberapa hadis yang mensinyalir mengenai jual beli kredit dan Multi Level Marketting ini. Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan beberapa hadis yang berkaitan dengan jual beli kredit dan Multi Level Marketting ini.
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: ذَكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ، الرَّهْنَ فِي السَّلَمِ، فَقَالَ: حَدَّثَنِي الأَسْوَدُ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ» (رواه البخاري)[35]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mu`alla bin Asad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Al-`Amasy, dia berkata : telah kami sebutkan kepada Ibrahim penggadaian dalam jual beli salam, maka dia berkata : telah menceritakan kepadaku Al-Aswad, Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau gadai(H.R Bukhari)
Hadis di atas pada dasarnya berbicara mengenai nabi menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi.

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ»)رواه الترمذى)[36]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Hanad, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abdatu bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amar, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, dia berkata : Rasulullah melarang dua pembelian dalam satu transaksi”. (H.R Turmidzi)
Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “Aku menjual baju ini dengan kontan senilai sepuluh dan dengan berangsur senilai dua puluh” dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat) dengan salah satu harga tersebut. Kalau ia berpisah dengan salah satu di antara dua pilihan tersebut, maka itu tidak apa-apa apabila akad berada pada salah satu dari dua pilihan di atas. Berkata Imam Asy-Syafi’i : “Dan dari makna larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, adalah ketika seseorang berkata : Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu dan kemudia mereka berpisah (yaitu bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan dua orang yang melakukan transaksi tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya”.[37]
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atain fi bai’ah adalah melakukan dua akad dalam satu kesatuan transaksi. Akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Atau akad menjual rumah satu, dengan menjual rumah lain lagi dalam satu kesatuan akad. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu akad.
C.    Pendapat Ulama tentang Jual-Beli Kredit dan Multi Level Marketting (MLM)
1.      Jual-Beli Kredit
Kredit  التقسيط  secara bahasa berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian. Secara istilah adalah menjual sesuatu dengan cara tunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu.[38]
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[39]
Dengan demikian pada dasarnya jual beli kredit atau dikenal dengan istilah بيع بالتقسسيط yaitu jual beli yang mana pembayarannya tertunda. Menurut hemat penulis jual beli ini sedikit sama dengan jual beli salam. Namun pada jual beli salam yang di dahulukan adalah barang sedangkan dalam jual beli kredit pembayarannya lah yang ditunda.
Jual beli kredit merupakan salah satu transaksi muamalah yang berkembang pesat di Indonesia khususnya. Yang mana dengan uang Rp. 500.000,- seseorang dapat membawa pulang sebuah sepeda motor. Hal ini dapat terjadi karena pembayaran sepeda motor tersebut dengan sistem kredit. Yang mana pembayaran secara tertunda akan lebih besar dari pada pembayaran secara kontan. Untuk memahami bagaimana pandangan ulama terhadap jual beli kredit ini khususnya maka penulis akan memaparkan beberapa pendapat ulama mengenai jual beli kredit ini.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada saat ini. Pandangan para fuqaha ini terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
a.       Jual beli kredit diharamkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan ulama kontemporer adalah Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Sebagian fuqaha` juga tidak memperbolehkan jual beli secara kredit, mereka beralasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, dan hal itu tidak ada bedanya dengan riba.
Mereka berhujjah dengan hadis :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا»(رواه أبو داود)[40]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Yahya bin Zakariya, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dia berkata : Nabi Salallahu`alaihi wa salam bersabda : Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya harga yang terendah atau riba”. (H.R Abu Daud)
Tafsir dari larangan Rasulullah SAW “Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli: “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.” Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani juga mengatakan: “Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah) riba.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa menaikkan harga di atas yang sebenarnya adalah mendekati dengan riba nasi`ah yaitu harga tambahan, maka itu jelas dilarang Allah Swt. Mereka berpendapat bahwa setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya. Contohnya: Seseorang memerlukan sebuah motor, lalu datang kepada pedagang yang tidak memilikinya, seraya berkata, saya memerlukan motor yang begini dan begini. Lantas pedagang pergi dan membelinya, kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan, tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba.[41]
b.      Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat jumhur ahli fiqh yang memperbolehkannya, seperti mazhab Hanafi, Syafi`i, Zaid bin Ali, dan Al Muayyad bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga dari penjual karena penangguhan adalah sah, karena menurut mereka penangguhan itu adalah harga, karena mereka melihat dari dalil umum yang membolehkan, dan nash yang mengharamkannya tidak ada, yang terpenting adalah penambahan harga pada penangguhan tersebut adalah harga yang pantas dan sewajarnya, dan tidak adanya unsur pemaksaan dan zalim.[42] Ulama yang membolehkan tersebut juga berdalil dengan surat Al-Baqarah ayat 282 sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas.
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit, dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1)      Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2)      Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai` gharar “bisnis penipuan”.
3)      Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4)      Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai` muththarr, jual-beli dengan terpaksa yang dikecam Nabi Saw.[43]
Hal ini juga pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Beliau ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal tersebut halal baginya. Beliau menjawab: “Al-hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya). Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda tersebut) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zahir dari dua pendapat ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Ijma.[44]
Menurut Ibnu Rusyd, Beliau memberi contoh jual beli sistem kredit (bai`u al-ajal) seperti: seorang menjual barang dengan harga tertentu sampai masa tertentu, kemudian ia membelinya kembali dengan harga lain sampai masa tertentu yang lain lagi, atau dengan harga kontan. Sehubungan dengan adanya perubahan waktu itu harga bisa berubah. Ia membelinya dengan cash (kontan) sebelum masanya dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang sebenarnya, atau membelinya dengan harga yang telah jauh dari pada masa tersebut dan dengan harga yang lebih besar dari pada yang sebenarnya.[45]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ulama pun berbeda pendapat dalam memahami bagaimana kedudukan jual beli kredit ini. Ada ulama yang membolehkan dan ada juga ulama yang mengharamkan. Namun hal ini memang merupakan masalah fiqhiyah yang mana hasil ijtihad para ulama bisa saja berbeda. Sedangkan bagaimana kita memahaminya adalah dengan kebijakan kita sendiri. apakah berpegang kepada yang membolehkan atau mengharamkan. Tapi intinya kita paham bagaimana kebolehan dan pengharaman itu bisa ditetapkan oleh para ulama tersebut. Sehingga setidaknya kita mengetahui metodologi yang digunakan ulama dalam menetapkan sebuah hukum, khususnya dalam pemasalahan jual beli kredit ini.
2.      Jual-Beli Sistem Multi Level Marketting (MLM)
Multi Level Marketing (MLM) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung sekaligus sebagai konsumen. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya.[46] Multi Level Marketting berasal dari bahasa Inggris, Multi berarti banyak Level berarti jenjang atau tingkat sedangkan Marketting artinya pemasaran. Jadi Multi Level Marketting adalah pemasaran yang berjenjang banyak. Disebut dengan Multi Level Marketting karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakan penjualan dengan pola yang bertingkat-tingkat atau berjenjang. Sehingga Multi Level Marketting suatu metode bisnis alternatif yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi yang dilakukan banyak level (tingkatan), yang biasanya dikenal dengan istilah Upline (tingkat atas) atau downline (tingkat bawah), orang akan disebut Upline jika mempunyai downline. Inti dari bisnis Multi Level Marketting digerakan dengan jaringan, baik yang bersifat vertikal atas bawah maupun horizontal kiri kanan ataupun gabungan antara keduanya.[47]
Dalam fiqih muamalat dijelaskan juga bahwa pengertian Multi Level Marketing (MLM) adalah sebuah sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa Multi Level Marketing (MLM) adalah pemasaran berjenjang melalui jaringan distributor yang dibangun dengan menjadikan konsumen sebagai tenaga pemasaran.[48]
Dengan kata lain, MLM sebuah metode pemasaran barang dan atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan didalam kelompoknya.
Sistem ini memiliki ciri-ciri kusus yang membedakannya dengan sistem pemasan lain, diantara ciri-ciri khusus tersebut adalah: terdapatnya banyak jenjang atau level, melakukan perekrutan anggota baru, penjualan produk, terdapat sistem pelatihan, serta adanya sistem komisi atau bonus untuk tiap jenjangnya.
MLM tidak hanya menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga produksi jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, dan sebagaimana bergantung level, prestasi penjualan, dan status keanggotaan distributor. Jasa perantara penjualan ini (makelar) dalam terminologi fiqh disebut “samsarah/simsar” ialah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli) atau perantara antara penjual dan pembeli untuk mempermudah jual beli.[49]
Secara umum MLM dibagi kedalam dua kelompok besar MLM yaitu (1) bidang keuangan (2) bidang cunsomer goods. Dalam bidang keuangan ada yang disebut “arisan uang berantai”. Untuk MLM sejenis ini banyak sekali yang harus dikritisi secara syari’ah, pertama apa usaha yang dijalankan oleh si pengelola MLM, kedua bagaimana akad yang terjadi antara pengelola MLM dan penanam dana, bagaimana transparansi keuntungan dan bagaimana pembagiannya. Bila factor-faktor itu tidak jelas maka hampir dipastikan MLM jenis ini termasuk kategori yang mempraktekan riba sehingga haram hukumnya.
dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi : pertama,  pembeli langsung, kedua, makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan Multi Level Marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.[50]
Pada dasarnya MLM merupakan bentuk praktik muamalah yang baru muncul di era globalisasi. Terkait dengan masalah ini tidak ditemukan pendapat para ulama klasik yang berbicara secara khusus mengenai hukum tentang transaksi muamalah seperti ini. Namun inilah yang dituntut kepada para intelektual Islam untuk mengaktualisasikan hukum Islam khususnya di bidang muamalah yang menyangkut MLM ini.
Dalam praktek sistem Multi Level Marketing (MLM) setidaknya ada tiga permasalahan, diantaranya adalah:
1.      Jika sistem perdagangan MLM dilakukan dengan cara pemaksaan atau barang yang diperjualbelikan tidak jelas karena dalam bentuk paket yang terbungkus dan sebelum transaksi tidak dapat dilihat oleh pembeli, berarti hukumnya haram karena mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar). Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan Imam Muslim yang artinya: Rasulullah saw. melarang terjadinya transaksi jual beli yang mengandung gharar.
2.      Jika harga barang-barang yang diperjualbelikan dalam system perdagangan MLM jauh lebih tinggi dari harga yang wajar, berarti hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga barang yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagai sharing modal dalam akad syirkah mengingat pihak pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan, yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapatkan keuntungan secara estafet. Dengan demikian, praktik perdagangan Multi Level Marketing (MLM) tersebut mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar) karena terjadi kekaburan antara akad jual-beli (al bai`), syirkah, sekaligus mudharabah karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai ‘amil (pelaksana/petugas) yang akan memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli (member) baru.
3.      Jika perusahaan MLM melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal di perusahaan tersebut dengan janji akan memberikan keuntungan tertentu dalam setiap bulannya, berarti kegiatan tersebut adalah haram karena melakukan praktik riba yang jelas-jelasdiharamkan oleh Allah Swt. Apalagi dalam kenyataannya tidak semua perusahaan mampu memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan, bahkan terkadang menggelapkan dana nasabah yang menjadi member perusahaan.[51]
Dalam hal ini DSN MUI pun telah mengeluarkan fatwa nomor 75/DSN/ MUI/VII/2009 pada tanggal 25 Juli di Jakarta tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syari`ah atau biasa disebut dengan Multi Level Marketting (MLM) dengan menetapkan beberapa point penting sehingga MLM ini dapat dikatakan Multi Level Marketting yang berbasis syari`ah.[52]
1.      Penjualan Langsung Berjenjang adalah cara penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut.
2.      Barang adalah setiap benda berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat dimiliki, diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
3.      Produk jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau pelayanan untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
4.      Perusahaan adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang dan atau produk jasa dengan sistem penjualan langsung yang terdaftar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.      Konsumen adalah pihak pemakai barang dan atau jasa, dan tidak untuk diperdagangkan.
6.      Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan yang besaran maupun bentuknya diperhitungkan berdasarkan prestasi kerja nyata, yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang dan atau produk jasa.
7.      Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan perusahaan.
8.      Ighra’ adalah daya tari luar biasa yang menyebabkan orang lalai terhadap kewajibannya demi melakukan hal-hal atau transaksi dalam rangka mempereroleh bonus atau komisi yang dijanjikan.
9.      Money Game adalah kegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perek-rutan/pendaftaran Mitra Usaha yang baru/bergabung kemudian dan bukan dari hasil penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang dijual tersebut hanya sebagai kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan.
10.  Excessive mark-up adalah batas marjin laba yang ber-lebihan yang dikaitkan dengan hal-hal lain di luar biaya.
11.  Member get member adalah strategi perekrutan keang-gotaan baru PLB yang dilakukan oleh anggota yang telah terdaftar sebelumnya.
12.  Mitra usaha/stockist adalah pengecer/retailer yang men-jual/memasarkan produk-produk penjualan langsung.
Bisnis dalam syariah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaidah fikih, al-Ashlu fil muamalah al-Ibahah hatta yadulla dalilu ala tahrimiha. (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya.) Islam memahami bahwa perkembangan bisnis dalam perekonomian berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan solusi dan legitimasi bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi, inovasi dan aktualisasi melalui sistem, teknik dan manajemen dalam melakukan perdagangan. Namun, Islam juga memiliki prinsip-prinsip tentang pengembangan system bisnis, yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan), dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur: (1) Maysir (judi); (2) Aniaya (zhulm); (3) Gharar (penipuan); (4) Haram; (5) Riba (bunga); (6) Iktinaz atau Ihtikar; dan (7) Batil.[53]
Jika ingin mengembangkan bisnis MLM, maka harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram, tidak syubhat, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di atas. Multi Level Marketing (MLM) yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat-berantai-benjenjang (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, jika diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syariah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahim, dakwah, dan tarbiyah. Metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam ketika itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut)  dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu saat Islam dapat diterima oleh masyarakat kebanyakan.[54]
Dengan demikian pada dasarnya yang perlu dipahami ketika menjalankan bisnis yang tengah berkembang di tengah-tengah masyarakat adalah mengembalikan kepada konsep muamalah semula. Yang mana konsep tersebut akan membawa kepada kebolehan bentuk praktik muamalah tersebut.  Khususnya dalam praktik MLM ini kita juga seharusnya mengacu kepada konsep jual-beli yang terdapat dalam fiqh muamalah sehingga tidak terjadinya praktik muamalah yang dilarang dalam Islam.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, bahwa DSN MUI juga telah mengeluarkan fatwa mengani MLM ini bagaiamana MLM ini berbasis syari`ah sehingga dibolehkan oleh syara` dalam melaksanakan praktik Multi Level Marketting berbasis syari`ah.


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah penulis kemukakan di atas terkait dengan jual-beli kredit dan Multi Level Marketting (MLM) merupakan praktik muamalah yang sedang naik daun khususnya di Indonesia.
Mengenai praktik muamalah khususnya jual-beli memang sudah diatur dalam Al-Qur`an. Baik itu yang bersifat umum maupun ayat yang berbicara secara khusus. Untuk keumuman ayat Al-Qur`an kemudian disusul dengan penjelasan melalui hadis Nabi. Beberapa ayat yang berbicara mengenai praktik muamalah di atas terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 282, dan surat An-Nisa` ayat 29.
Yang dimaksud dengan jual-beli kredit adalah adalah menjual sesuatu dengan cara tunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu. Sedangkan dalam penetapan hukumnya para ulama berbeda pendapat. Ada yang menganggap bahwa jual beli kredit diharamkan karena terdapat unsur riba di dalamnya. Ada juga ulama yang membolehkan dengan menggunakan dalil surat Al-Baqarah ayat 282, selain itu dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan para ulama tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan  Multi Level Marketting (MLM) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung sekaligus sebagai konsumen. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya. Mengenai bagaimana kedudukan Multi Level Marketting (MLM) dalam Islam  secara eksplisit tidak diatur baik dalam Al-Qur`an dan hadis Nabi. Namun, bisa ditemukan dalam praktik tersebut beberapa unsur praktik muamalah yang dilarang oleh Islam. dalam perkembangannya pun untuk menutup kemungkinan terjadinya praktik Multi Level Marketting (MLM) yang dilarang dalam Islam. kemudian dikembangkan dalam bentuk praktik Multi Level Marketting (MLM) yang berbasis syai`ah. dan hal ini telah ditetapkan melalui fatwa DSN MUI mengenai Penjualan Langsung Berjenjang Syari`ah No 75/DSN/MUI/VII/2009.


[1]Abu Tayyib Muhammad Shadiq Khan bin Hasan bin Ali ibn Luthfillah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinawji, Fath Al-Bayan Juz II, (Beirut : Maktabah Al-`Ishriyah LiTaba`ah Syaidan, 1992), hal. 138
[2]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa`iul Bayan Juz I, (Jakarta : Darul Kitab Al-Islamiyah, 2001), hal. 307-308
[3]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa`iul Bayan Juz I,..., hal. 304. Lihat juga Wahbah Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, fil Aqidah wa Asy-Syari`ah wa Al-Minhaj.  
[4]Said Hawa, Al-Asas fi At-Tafsir Juz I, (Mesir : Dar As-Salam, 1985), hal. 644
[5]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz III, Muhaqqiq : Ahmad Burdani dan Ibrahim Ath-Thafis, (Kairo : Dar Al-Kitab Al-Mishriyah, 1964), hal.356
[6]Ahmad bin ‘Ali bin Abu Bakar Al-Razi Al-Jashas, Ahkam al-Quran, hlm. 568
[7]Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah As-Sa’di, Taysirul Al-Karim Al-Rahman fī Tafsir Kalamil Manan, (Arab Saudi, Muassasah Ar-Risalah, 2000), hal. 116
[8]A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman Al-Qur’an), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002), hal. 128
[9]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I, Muhaqqiq : Syami bin Muhammad salamah, (Dar At-Tayibah Linaasyir Salamah, 1999), hal. 722
[10]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah Tafasir, (Kairo : Dar Ash-Shabuni Litaba`ah wa Nasyir wa Tauzi`, 1997), hal. 161
[11]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 382
[12]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 723
[13]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 723
[14]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 383
[15]Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi, Tafsir al-Sha’rawi, Juz II (Kairo: Akhbar Al-Yaum, 1997), hal. 1214
[16]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah Tafasir,..., hal. 161
[17]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 384
[18]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 724
[19]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 724
[20]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 385
[21]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 724
[22]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah Tafasir,..., hal. 161
[23]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an III,..., hal. 385
[24]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an III,..., hal. 398
[25]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 725
[26]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah Tafasir,..., hal. 161
[27]Muhammad Al-Tahir ibn `Ashur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 2, (Beirut: Muassasah Al-Tarikh, 2000), hal. 580
[28] Muhammad Al-Tahir ibn `Ashur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 2,..., hal. 581
[29]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 498-499
[30]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz V,..., hal. 150-152
[31]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 2,..., hal. 499           
[32]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz II,..., hal. 269
[33]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz V,..., hal. 150-153
[34]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 499
[35]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz III¸ Muhaqqiq : Muhammad bin Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H), hal. 56 
[36]Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa  bin Dahak Ath-Thirmidzi Abu Isa, Sunan At-Thirmidzi Juz III, Muhaqqiq: Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi, (Mesir : Syirkah Maktabah wal Matba`ah Mustafa Al-Baqi Al-Hali, 1975), hal. 525
[37]Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa  bin Dahak Ath-Thirmidzi Abu Isa, Sunan At-Thirmidzi Juz III,..., hal. 525
[38]http://adh-dhuhaa-bjaacks.blogspot,co.id/2012/05/kredit-menurutfikih. Diakses  tanggal 16 November pukul 15.30 WIB  
[39]Ismail, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 94
[40]Abu Daud, Sunan Abu Daud juz III, Muhaqqiq : Muhammad Muhyi Ad-Din Abdul Hamid, (Beirut : Maktabah Al-Ishriyah Shaidan, th),  hal. 274
[41]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 172
[42]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan,..., hal. 169
[43]Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: teras, 2009), hal. 216
[44]Dari Majmu` Al-Fatawa 29/501, melalui http://dayahdi.blogspot.com/.  Diakses pada tanggal 17 November pada pukul 21.00 WIB
[45]Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Jilid: III, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah (Semarang : CV. Asy-Syifa, 1990), hal. 32-37.
[46]Veithzal Rivai, Islamic Marketting, (Jakarta : PT Gramedia, 2012), hal. 298
[47]Muqtadirul Aziz. (2011). Tinjauan Hukum Islam terhadap Bisnis Multi Level Marketting (MLM). Skripsi Sarjana pada FSH, UIN Sunan Kalijaga: Tidak Diterbitkan.
[48]Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat. (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 613
[49]Setiawan Budi Utomo, Fiqh Actual, (Jakarta : Gema Insani Pers, 2003), hal.103  
[50]Hafidz Abdurrahman, Hukum Syara` Multi Level Marketting
[51]Veithzal Rivai, Islamic Marketting,..., hal. 302
[53]Veithzal Rivai, Islamic Marketting,..., hal. 314
[54]Kuswara, Mengenal MLM Syariah, (Depok : Qultum Media, tth), Cet, Pertama, hal. 76