A. Ayat-ayat Tentang Jual-Beli Kredit dan Sistem Multi Level Marketting (MLM)
Jual beli merupakan hal yang sangat
diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itu secara universal hal-hal yang
berkaitan dengan jual beli telah diatur
dalam Al-Qur`an. Maka dalam hal ini penulis akan menjelaskan beberapa ayat-ayat
dalam Al-Qur`an yang mengatur mengenai jual beli.
1. Surat Al-Baqarah : 275
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Artinya “ Orang-orang yang
makan (menambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan (lantaran)
tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli tiu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhan-nya lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilmya dahulu
(Sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
menghalangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya. (Q.S Al-Baqarah : 275)
Pada dasarnya ayat di atas merupakan ayat yang berbicara
mengenai penglarangan riba. Karena orang-orang Jahiliyah dahulu menyamakan
antara jual beli dengan riba sedangkan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Untuk memahami ayat di atas maka penulis akan memparkan
tafsiran ayat di atas.
Dalam kitab tafsir Fath Bayan dijelaskan mengenai
kata الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا mengenai pengertian riba dikatakan bahwa riba secara bahasa
yaitu menambah secara mutlak, dalam syari`at riba ini dibagi ke dalam dua
bentuk yaitu : riba fadhl dan riba nasi`ah.[1]
Sedangkan maksud riba nasi`ah menurut Muhammad Ali
Ash-Shabuni dalam kitabnya Rawa`iul Bayan yaitu riba yang terkenal pada
masa Jahiliyah yang mana hutang berupa harta dalam ukuran tertentu dalam masa
yang dapat dihitung seperti bulan atau tahun dengan disertai syarat penambahan
pada hutang tersebut.
Menurut Ibnu Jarir At-Thabari, jika seorang laki-laki
memiliki harta yang mana harta tersebut ada pada laki-laki lain (hutang),
kemudian ketika sampai waktu yang telah ditentukan dia meminta hutang tersebut
kepada temannya itu, maka berkata laki-laki yang berhutang “Telatkan aku
terhadap hutangmu, dan akan aku tambah hartamu tersebut”, kemudian mereka
berdua melakukan hal itu. Maka itulah yang riba.
Sedangkan riba Fadhl yaitu jual beli sesuatu
dengan melihat kepada sesuatu tersebut disertai dengan tambahan salah satu
barang di antara kedua barang tersebut. Maksudnya penukaran barang sesjenis
namun lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan
demikian. Seperti menukarkan satu kilo kopi dengan dua kilo kopi yang lain atau
satu liter madu Syam dengan satu setengah liter madu Hijaz.[2]
إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا (sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba), menurut Wahbah Zuhaili dan
ash-Shabuni adalah tasybih maqlub. lebih lanjut
ash-Shabuni mengatakan ini merupakan tingkatan tertinggi dari tasybih.[3] Sai’d Hawa mengatakan "tidak
dikatakan riba seperti jual beli, sedangkan kalamnya berkaitan dengan riba
bukan jual beli karena datang dengan jalan mubalaghah. Yaitu, bahwa
itikad mereka telah sampai pada halalnya riba, mereka menjadikannya dasar dan
aturan dalam jual beli sehingga mereka menyamakannya dengan jual beli.[4]
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ (padahal Allah telah menghalalkan jual beli),
Al-Qurthubi mengatakan ayat ini menunjukkan keumuman al-Quran, alif dan lam
(pada kalimat al-Bai’) adalah lil
jinsi bukan lil ‘ahdi, kemudian ditahsis
oleh riba dan larangan lainnya seperti jual beli khamar dan bangkai dan yang
lainnya berdasarkan sunnah dan ijma ummat.[5] Al-Jashas mengatakan tidak ada perbedaan dikalangan ahli ilmu walaupun ayat
ini umum tapi yang dimaksud adalah khusus. Para Ahli ilmu sepakat bahwa banyak
sekali jual beli yang dilarang, seperti menjual yang belum ada atau yang tidak
ada pada orang atau jual beli yang mengandung unsur penipuan atau jual beli
barang-barang yang diharamkan.[6]
Menurut As-Sa`di,
ayat ini adalah dasar halalnya semua transaksi usaha hingga ada dalil yang
melarangnya.[7]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Al-Qur`an menghalalkan seluruh bentuk jual
beli sampai ada bentuk penglarangan yang disampaikan oleh nabi dalam
hadis-hadis beliau.
2. Surat Al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan
hendaklah orang yang berutang itu mengkalim (apa yang ditulis itu), dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi
sedikit pun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengklaim, maka hendaklah
walinya mengklaim dengan jujur. Dan saksikanlah dengan dua orang saksi dari dua
orang laki-laki (di antara) kamu, jika tidak ada dua orang lelaki (boleh)
seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan memberi keterangannya apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jenuh
menulis utang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu pembayarannya.
Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keragu-raguanmu.
(tulislah muamalahmu itu) kecuali jiaka muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagimu jika kamu tidak
menuliskannya, dan saksikanlah apabila kamu berjual belidan janganlah penulis
dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Allah mengaajarkanmu
dan Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu”. (Q.S Al-Baqarah : 282)
Adapun mengenai asbabun nuzul ayat ini adalah pada waktu Rasulullah SAW datang
ke Madinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya
dalam satu waktu, dua atau tiga tahun. Oleh
sebab itu Rasul bersabda: “Barang siapa
menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang
tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah Swt. menurunkan ayat ke-282 sebagai
perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu`amalah
dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan
saksi. Untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang.[8]
Dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 282 terdapat kalimat yang memiliki
kesamaan dengan makna kredit dalam Bahasa Arab (al-bay’ bi thaman ajil aw
nasiah), yaitu إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. Kedua kalimat
tersebut memberikan pengertian yang sama, yaitu memberikan jangka waktu (tempo)
dalam pelunasan akad utang piutang.
Para ulama memberikan penafsiran yang sama terhadap kalimat إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. Ibn Katsir
menafsirkannya dengan تَعَامَلُوا بِمُعَامَلَاتٍ مُؤَجَّلَةٍ.[9]
Sedangkan Muhammad Ali Ash-Shabuni menafsirkan menafsirkannya dengan إِذا تعاملتم بدينٍ مؤجل.[10] Penafsiran
di atas memiliki pengertian yang sama, yaitu bertransaksi dengan sistem
utang piutang dengan pembatasan waktu pembayaran (ajalin musamma).
فَاكْتُبُوهُ merupakan perintah Allah untuk mencatat setiap transaksi
dengan sistem utang. Al-Qurthubi mengungkpakan bahwa kata فَاكْتُبُوهُ tidak semata-mata dengan catatan saja melainkan adanya catatan
dan saksi, karena catatan tanpa adanya saksi tidak dapat dijadikan hujjah.[11]
Menurut Ibnu Katsir bahwa perintah untuk mencatat tersebut adalah sebagai
sebuah kepercayaan dan untuk mengingat utang tersebut.[12]
Dalam hal ini bentuk perintah yang terkandung pada lafaz فَاكْتُبُوهُ diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir bahwa
perintah tersebut adalah perintah berfaedah sebagai petunjuk, bukan perintah
untuk wajib.[13] Menurut At-Thabari bahwa
perintah untuk mencatat tersebut adalah wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama
bahwa perintah tersebut berfaedah mandub.[14]
Kemudian hal perlu diperhatikan adalah yang mencatat
utang piutang tersebut. Menurut Sha`rawi bahwa yang mencatat tersebut adalah
orang ketiga bukan salah seorang dari orang yang melakukan transkasi tersebut.
Pemahaman Sha`rawi ini didasari dengan memahami firman Allah وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بالعدل وَلاَ يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ الله.[15]
Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ash-Shabuni bahwa
yang mencatat tersebut mestilah orang ketiga yang adil dan tidak memiliki
kecendrungan terhadap salah satu pihak.[16]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa utuk mencatat dalam melakukan transaksi
utang piutang (kredit) maka diperlukan orang ketiga untuk mencatat hal yang
berkaitan dengan utang piutang tersebut.
Dalam menafsirkan kata الْعَدْلِ Al-Qurthubi menyatakan bahwa kata tersebut merupakan sifat yang
mesti dimiliki oleh كَاتِبٌ.[17] Jika dipahami apa yang
diungkapkan oleh Al-Qurthubi bahwa untuk mencatat utang piutang adalah kaatib
(pencatat) yang adil.
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ayat ini memerintahkan kepada orang yang berhutang (orang yang
melakukan kredit) untuk mendiktekan syarat-syarat kepada kaatib tanpa
ada penambahan dan pengurangan dari apa yang telah disepakati dalam transaksi
hutang piutang tersebut.[18]
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ potongan ayat ini mengungkapkan
jika orang yang berutanag adalah lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia
sendiri tidak mampu untuk mengkalim, maka hendaklah walinya mengkalaim dengan
jujur. Menurut Ibnu Katsir kata سَفِيهًا bermakna mahjur, ضَعِيفًا bermakna anak kecil atau orang gila, dan kata لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ bermakna
adalah orang yang tidak cakap hukum atau bodoh.[19]
Sedangkan menurut Al-Qurthubi bahwa kata سَفِيهًا diartikan oleh sebagian orang adalah anak kecil namun
menurutnya bukan hanya anak kecil saja, terkadang سَفِيهً tersebut adalah orang dewasa. Dengan demikian menurut
Al-Qurthubi سَفِيهًا
adalah orang-orang yang tidak ahli dalam bertasarruf. Kemudian kata ضَعِيفًا bermakna كَبِيرًا لَا عَقْلَ لَهُ orang dewasa yang tidak berakal.[20]
Dengan demikian apabila yang bertransaksi orang-orang
sebagaimana yang diungkapkan oleh potongan ayat di atas, maka di sini perlunya
wali untuk mengklaim kewajiban dan hak nya dengan adil dan jujur.
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ meskipun di
atas telah diwajibkan untuk membuat pencatatan dalam rangka melakukan transaksi
dengan sistem hutang piutang namun kata وَاسْتَشْهِدُوا dengan membuat
persaksian menurut Ibnu katsir merupakan wujud dalam rangka لِزِيَادَةِ التَّوْثِقَةِ.[21]
Hal ini juga serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Ash-Shabuni bahwa
persaksian terseubut adalah untuk menambah kepercayaan (زيادة في التوثيقة).[22]
Sedangkan mengenai hukum persaksian tersebut merupakan
suatu hal yang masih dipertentangkan ulama. Dalam Jami`ul Ahkam Al-Qur`an bahwa
ada yang berpendapat bahwa persaksian itu meupakan hal yang wajib dan ada yang
mengatakan bahwa persaksian itu adalah mandub. Maka dalam hal ini Al-Qurthubi
menggap yang paling benar adalah mandub.[23]
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ
تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا
الْأُخْرَى potongan ayat ini menjelaskan jikalau tidak ada dua orang
laki-laki maka boleh dipersaksikan dengan satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Hal ini agar apabila salah satu lupa maka yang satu lagi bisa
mengingatkan rekannya yang lupa.
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا hal ini menunjukkan bahwa saksi tidak boleh
menolak apabila dipanggil untuk menyaksikan. Sedangkan Mujahid menyerahkan sepenuhnya
pemenuhan panggilan kepada para saksi itu sendiri. Jika para saksi itu mau memenuhi panggilan, maka dipersilahkan, dan jika
menolak panggilan tersebut juga tidak apa-apa. Ibn `Atiyah
berpendapat bahwa pemenuhan panggilan tersebut adalah sunnah.[24] Menurut Qatadah dan Al-Rabi` bin
Annas bahwa memberikan kesaksian adalah suatu hal yang wajib.
وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ dalam ayat ini Allah menyempurnakan untuk penegasan agar tidak
jenuh dalam mencatat segala sesuatu yang disepakati dalam melakukan transaksi
kredit. Karena besar atau kecil pun dalam melakukan utang piutang mestilah
dicatat.[25]
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا potongan ayat
ini menjelaskan bahwa ada berupa pengeculian terhadap تِجَارَةً حَاضِرَةً. Menurut
Ash-Shabuni تِجَارَةً
حَاضِرَةً bermakna transaksi secara tunai.[26]
Dengan demikian pada hakikatnya bahwa pencatatan terhadap jual-beli secara
tunai tidak harus dicatatkan.
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ potongan ayat ini menurut Ibn `Ashur, perintah pensaksian yang dimaksud
dalam penggalan ayat ini adalah bersifat umum, yaitu
perintah untuk membuat pensaksian dalam segala bentuk transaksi, baik itu
secara tunai maupun kredit.[27]
وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ayat ini
menjelaskan tentang hak utama bagi para saksi dan pencatat, yaitu tidak adanya madharat
dari para pelaku transaksi terhadap mereka, seperti menyudutkan mereka untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kesaksian.[28] Apabila
saksi diberi mudharat maka yang memberinya itu termasuk orang-orang yang
zhalim. Di akhir ayat Allah memerintahkan untuk bertaqwa kepada-Nya maka Allah
akan memberi ilmu untuk memahami segala sesuatu yang diajarkan-Nya.
Dengan demikian setelah melihat tafsiran ayat di atas dapat kita pahami
bahwa Allah mengajarkan bagaimana teknis ketika seorang muslim akan melakukan
hutang piutang (kredit). Menurut hemat saya hal ini bisa bawakan kepada jual
beli kredit karena pada dasarnya jual-beli kredit merupakan bentuk jual-beli
dengan cara berutang kepada penjual dengan ketentuan untuk melunasi pada waktu
tertentu.
3. Surat An-Nisa` : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S
An-Nisa` : 27)
Dalam menjelaskan ayat di atas,
ada beberapa kata kunci yang dapat dipahami sehingga kita dapat memahami ayat
di atas dengan sekasama. Pada dasarnya jika kita lihat ayat di atas merupakan
seruan kepada orang-orang yang beriman untuk tidak berlaku bathil terhadap sesama
dalam rangka memakan harta satu sama lain. kemudian Allah mengecualikan ketika
dengan jalan perniagaan (perdagangan).
Kata بَيْنَكُمْ merupakan bentuk kata yang semestinya segala sesuatu yang
berada antara dua belah pihak harus berada di tengah. Ini dikarenakan karena
ciri perdagangan menjadikan pihak pertama cendrung menarik sesuatu yang berada
di tengah itu ke arahnya, bahkan kalau dapat akan ditarik sedekat mungkin ke
posisinya, demikian juga pihak kedua. Thabathaba`i memperoleh kesan lain dari
kata بَيْنَكُمْ. Menurutnya kata ini mengandung
makna adanya semacam himpunan di antara mereka atas harta dan harta itu berada
di tengah mereka yang berhimpun itu. Nah, kemudian dirangkaikannya larangan
memakan harta dengan kata bainakum. Hal ini memberi kesan dan petunjuk
bahwa memakan/memperoleh harta yang dilarang ini adalah mengelolanya agar
mereka serta perpindahannya dari seseorang ke orang yang lain. dengan demikian
larangan memakan harta yang berada di tengah mereka dengan batil itu mengandung
makna melarang melakukan transaksi/ perpindahan harta yang tidak mengantar
masyarakat kepada kesuksesan, bahkan mengantarnya kepada kebejatan dan kehancuran,
seperti praktik-praktik riba, perjudian, jual beli yang mengandung penipuan dan
lain-lain.[29]
Menurut Al-Qurthubi kata الْبَاطِلِ adalah memakan harta seseorang dengan tanpa adanya hak terhadap
tersebut. Kemudian Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa kata Bathil menunjukkan
bahwa penglarangan terhadap menukar atau pergantian yang tidak diperbolehkan
oleh syara` yaitu riba, dan barang-barang yang tidak boleh
diperdagangkan seperti khamar, daging babi dan sebagainya.[30]
Sedangkan Quraih Shihab menyebutkan bahwa kata tersebut merupakan kata yang
menunjukkan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang
disepakati.[31]
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ di sini Ibnu Katsir memberikan penjelasan
bahwa yang dimaksud adalah jual-beli yakni adanya pemberian antara satu sama
lain.[32]
menurut Al-Qurhubi adalah تِجَارَةً penjualan dan pembelian. Sedangkan kata تَرَاضٍ Al-Qurthubi menekankan bahwa dalam pembelian menurut syara`
pembeli berhak untuk memilih. Pada dasarnya kata تَرَاضٍ yang bermakna رضي berasal dari bab مفاعلة yang berarti
perdagangan antara dua orang.[33] Meskipun kerelaan merupakan sesuatu yang
tersembunyi dalam lubuk hati, indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab
dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima
bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjuk kerelaan.[34]
Dengan demikian intinya dalam ayat
ini Allah menjelaskan kepada hambanya untuk melarang mengambil harta orang lain
dengan jalan yang batihil, baik itu dalam bentuk transaksi riba atau transaksi
yang merugikan satu sama. Namun dikecualikan kebolehan dam memperoleh harta
atau dalam berbisnis dengan jalan perniagaan yang mana perniagaan tersebut
dilakukan dengan adanya kerelaan antara kedua belah pihak. Sehingga adanya
hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan, serta syari`at yang mengikat.
Inilah yang diinginkan Allah ketika hambanya melakukan kegiatan bisnis yang
melibatkan antara dua pihak atau pun lebih.
B. Hadis-hadis berkaitan dengan Jual-Beli Kredit dan sistem Multi Level
Marketting (MLM)
Ada beberapa hadis yang mensinyalir mengenai jual beli
kredit dan Multi Level Marketting ini. Untuk lebih jelasnya penulis akan
memaparkan beberapa hadis yang berkaitan dengan jual beli kredit dan Multi
Level Marketting ini.
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: ذَكَرْنَا عِنْدَ
إِبْرَاهِيمَ، الرَّهْنَ فِي السَّلَمِ، فَقَالَ: حَدَّثَنِي الأَسْوَدُ، عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا
مِنْ حَدِيدٍ» (رواه البخاري)[35]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mu`alla bin
Asad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, telah menceritakan kepada
kami Al-`Amasy, dia berkata : telah kami sebutkan kepada Ibrahim penggadaian
dalam jual beli salam, maka dia berkata : telah menceritakan kepadaku Al-Aswad,
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran
tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau gadai” (H.R Bukhari)
Hadis di atas pada dasarnya berbicara mengenai
nabi menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi.
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا
عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ»)رواه الترمذى)[36]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Hanad, dia
berkata : telah menceritakan kepada kami Abdatu bin Sulaiman, dari Muhammad bin
Amar, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, dia berkata : Rasulullah melarang
dua pembelian dalam satu transaksi”. (H.R Turmidzi)
Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka
berkata : “Aku menjual baju ini dengan kontan senilai sepuluh dan dengan
berangsur senilai dua puluh” dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat)
dengan salah satu harga tersebut. Kalau
ia berpisah dengan salah satu di antara dua pilihan tersebut, maka itu tidak apa-apa apabila akad berada pada
salah satu dari dua pilihan di atas. Berkata Imam
Asy-Syafi’i : “Dan dari makna larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari
dua penjualan dalam satu transaksi, adalah ketika
seseorang berkata : “Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat kamu menjual budakmu
kepadaku dengan harga sekian. Kalau budakmu telah wajib untukku maka aku
wajibkan rumahku untukmu” dan kemudia mereka
berpisah (yaitu bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan dua orang yang melakukan transaksi tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya”.[37]
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atain fi bai’ah adalah
melakukan dua akad dalam satu kesatuan transaksi. Akad yang pertama adalah akad
jual beli
budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Atau akad menjual
rumah satu, dengan menjual rumah lain lagi dalam satu kesatuan akad.
Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu
sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu akad.
C. Pendapat Ulama tentang Jual-Beli Kredit dan Multi Level Marketting (MLM)
1. Jual-Beli Kredit
Kredit التقسيط
secara bahasa berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.
Secara istilah adalah menjual sesuatu dengan cara tunda, dengan cara memberikan
cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu.[38]
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998
tentang perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[39]
Dengan demikian pada dasarnya jual beli kredit atau
dikenal dengan istilah بيع
بالتقسسيط yaitu jual
beli yang mana pembayarannya tertunda. Menurut hemat penulis jual beli ini
sedikit sama dengan jual beli salam. Namun pada jual beli salam yang di
dahulukan adalah barang sedangkan dalam jual beli kredit pembayarannya lah yang
ditunda.
Jual beli kredit merupakan salah satu transaksi muamalah
yang berkembang pesat di Indonesia khususnya. Yang mana dengan uang Rp.
500.000,- seseorang dapat membawa pulang sebuah sepeda motor. Hal ini dapat
terjadi karena pembayaran sepeda motor tersebut dengan sistem kredit. Yang mana
pembayaran secara tertunda akan lebih besar dari pada pembayaran secara kontan.
Untuk memahami bagaimana pandangan ulama terhadap jual beli kredit ini
khususnya maka penulis akan memaparkan beberapa pendapat ulama mengenai jual
beli kredit ini.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada saat ini.
Pandangan para fuqaha ini terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
a. Jual beli kredit diharamkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan ulama kontemporer
adalah Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Sebagian fuqaha`
juga tidak memperbolehkan jual beli secara kredit, mereka beralasan bahwa
penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, dan hal itu tidak ada
bedanya dengan riba.
Mereka berhujjah dengan hadis :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ،
عَنْ يَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا»(رواه أبو داود)[40]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Yahya bin Zakariya, dari Muhammad bin Amr, dari
Abu Salamah, dari Abu Hurairah dia berkata : Nabi Salallahu`alaihi wa salam
bersabda : Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi,
maka baginya harga yang terendah atau riba”. (H.R Abu Daud)
Tafsir dari larangan Rasulullah SAW “Dua
transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau
pembeli: “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka
harganya segitu.” Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani juga mengatakan: “Barangsiapa menjual dua
(harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga) yang paling
sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah) riba.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa menaikkan harga di atas
yang sebenarnya adalah mendekati dengan riba nasi`ah yaitu harga tambahan, maka itu jelas dilarang Allah Swt. Mereka
berpendapat bahwa setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia
adalah riba. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak
pada tujuan-tujuannya. Contohnya: Seseorang memerlukan sebuah motor, lalu
datang kepada pedagang yang tidak memilikinya, seraya berkata, “saya
memerlukan motor yang begini dan begini”. Lantas
pedagang pergi dan membelinya, kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan
harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk
pengelabuan, tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena
permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi
karena demi mendapatkan keuntungan, seakan dia meminjamkan harganya kepada
orang secara riba.[41]
b. Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat jumhur ahli fiqh yang
memperbolehkannya, seperti mazhab Hanafi, Syafi`i, Zaid bin Ali, dan Al Muayyad
bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga dari
penjual karena penangguhan adalah sah, karena menurut mereka penangguhan itu
adalah harga, karena mereka melihat dari dalil umum yang membolehkan, dan nash
yang mengharamkannya tidak ada, yang terpenting adalah penambahan harga pada
penangguhan tersebut adalah harga yang pantas dan sewajarnya, dan tidak adanya
unsur pemaksaan dan zalim.[42]
Ulama yang membolehkan tersebut juga berdalil dengan surat Al-Baqarah ayat 282
sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas.
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli
secara kredit, dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti
kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1) Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan
pembeli.
2) Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran
dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai` gharar “bisnis penipuan”.
3) Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran
pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik
riba.
4) Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara
menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak
termasuk kategori bai` muththarr, jual-beli dengan terpaksa yang dikecam
Nabi Saw.[43]
Hal ini juga pernah ditanyakan kepada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah : Beliau ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki
seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya
dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal
tersebut halal baginya. Beliau menjawab: “Al-hamdulillah, Apabila ia membelinya
untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa
menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit). Akan
tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan
keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia
sangat membutuhkannya). Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda
tersebut) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini
adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zahir
dari dua pendapat ulama”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut
berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Ijma”.[44]
Menurut Ibnu Rusyd, Beliau memberi contoh jual beli sistem kredit (bai`u
al-ajal) seperti: seorang menjual barang
dengan harga tertentu sampai masa tertentu, kemudian ia membelinya kembali
dengan harga lain sampai masa tertentu yang lain lagi, atau dengan harga
kontan. Sehubungan dengan adanya perubahan waktu itu harga bisa berubah. Ia
membelinya dengan cash (kontan) sebelum masanya dengan harga yang lebih
rendah dari pada harga yang sebenarnya, atau membelinya dengan harga yang telah
jauh dari pada masa tersebut dan dengan harga yang lebih besar dari pada yang
sebenarnya.[45]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ulama pun
berbeda pendapat dalam memahami bagaimana kedudukan jual beli kredit ini. Ada
ulama yang membolehkan dan ada juga ulama yang mengharamkan. Namun hal ini
memang merupakan masalah fiqhiyah yang mana hasil ijtihad para ulama bisa saja
berbeda. Sedangkan bagaimana kita memahaminya adalah dengan kebijakan kita
sendiri. apakah berpegang kepada yang membolehkan atau mengharamkan. Tapi
intinya kita paham bagaimana kebolehan dan pengharaman itu bisa ditetapkan oleh
para ulama tersebut. Sehingga setidaknya kita mengetahui metodologi yang
digunakan ulama dalam menetapkan sebuah hukum, khususnya dalam pemasalahan jual
beli kredit ini.
2. Jual-Beli Sistem Multi Level Marketting (MLM)
Multi Level Marketing (MLM) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan
konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung sekaligus
sebagai konsumen. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa
level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya.[46] Multi
Level Marketting berasal dari
bahasa Inggris, “Multi”
berarti banyak “Level” berarti jenjang atau tingkat sedangkan “Marketting”
artinya pemasaran.
Jadi Multi Level Marketting adalah pemasaran yang berjenjang
banyak. Disebut dengan Multi Level Marketting
karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakan penjualan dengan
pola yang bertingkat-tingkat atau berjenjang. Sehingga Multi Level
Marketting suatu metode
bisnis alternatif yang berhubungan dengan
pemasaran dan distribusi yang dilakukan banyak level (tingkatan),
yang biasanya dikenal dengan istilah Upline (tingkat atas) atau
downline (tingkat bawah), orang akan disebut Upline jika mempunyai
downline. Inti dari bisnis Multi Level Marketting digerakan dengan
jaringan, baik yang bersifat vertikal atas bawah maupun horizontal
kiri kanan ataupun gabungan antara keduanya.[47]
Dalam fiqih muamalat dijelaskan juga bahwa pengertian Multi Level
Marketing (MLM) adalah sebuah sistem
pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan
pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran.
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa Multi Level Marketing
(MLM) adalah pemasaran berjenjang melalui jaringan distributor
yang dibangun dengan menjadikan konsumen sebagai tenaga
pemasaran.[48]
Dengan kata lain, MLM sebuah metode pemasaran
barang dan atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui program pemasaran
berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi
penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan jasa yang dilakukannya
sendiri dan anggota jaringan didalam kelompoknya.
Sistem ini memiliki ciri-ciri kusus yang membedakannya dengan sistem
pemasan lain, diantara ciri-ciri khusus tersebut
adalah: terdapatnya banyak jenjang atau level, melakukan perekrutan anggota
baru, penjualan produk, terdapat sistem pelatihan, serta adanya sistem komisi
atau bonus untuk tiap jenjangnya.
MLM tidak hanya menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga
produksi jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat)
dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, dan sebagaimana bergantung
level, prestasi penjualan, dan status keanggotaan distributor. Jasa perantara
penjualan ini (makelar) dalam terminologi fiqh disebut “samsarah/simsar”
ialah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan
pembeli) atau perantara antara penjual dan pembeli untuk mempermudah jual beli.[49]
Secara umum MLM dibagi kedalam dua kelompok besar MLM yaitu (1)
bidang keuangan (2) bidang cunsomer goods. Dalam bidang keuangan ada
yang disebut “arisan uang berantai”. Untuk MLM sejenis ini banyak sekali yang
harus dikritisi secara syari’ah, pertama apa usaha yang dijalankan oleh
si pengelola MLM, kedua bagaimana akad
yang terjadi antara pengelola MLM dan penanam dana, bagaimana transparansi keuntungan
dan bagaimana pembagiannya. Bila factor-faktor itu tidak jelas maka hampir
dipastikan MLM jenis ini termasuk kategori yang mempraktekan riba sehingga
haram hukumnya.
dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi : pertama, pembeli
langsung, kedua, makelar. Disebut pembeli langsung
manakala sebagai member, dia melakukan
transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan
maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia
telah menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang
lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek
yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan Multi Level
Marketing, maupun refereal
business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di
atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian
langsung yang
dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point
yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada
saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa
mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus
yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.[50]
Pada dasarnya MLM merupakan bentuk praktik
muamalah yang baru muncul di era globalisasi. Terkait dengan masalah ini tidak
ditemukan pendapat para ulama klasik yang berbicara secara khusus mengenai hukum
tentang transaksi muamalah seperti ini. Namun inilah yang dituntut kepada para
intelektual Islam untuk mengaktualisasikan hukum Islam khususnya di bidang
muamalah yang menyangkut MLM ini.
Dalam praktek sistem Multi Level Marketing (MLM)
setidaknya ada tiga permasalahan, diantaranya adalah:
1. Jika sistem perdagangan MLM dilakukan dengan cara pemaksaan atau barang
yang diperjualbelikan tidak jelas karena dalam bentuk paket yang terbungkus dan
sebelum transaksi tidak dapat dilihat oleh pembeli, berarti hukumnya haram
karena mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar). Hal ini didasarkan pada sabda
Rasulullah saw. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan
Imam Muslim yang artinya: Rasulullah saw. melarang
terjadinya transaksi jual beli yang
mengandung gharar.
2. Jika harga barang-barang yang diperjualbelikan dalam system perdagangan MLM
jauh lebih tinggi dari harga yang wajar, berarti hukumnya haram karena secara
tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga barang yang dibebankan
kepada pihak pembeli sebagai sharing modal dalam akad syirkah mengingat
pihak pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan, yang apabila ia
ikut memasarkan akan mendapatkan keuntungan secara estafet. Dengan demikian, praktik
perdagangan Multi Level Marketing (MLM) tersebut mengandung unsur
kesamaran atau penipuan (gharar) karena terjadi kekaburan antara akad
jual-beli (al bai`), syirkah, sekaligus mudharabah karena pihak pembeli
sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai ‘amil (pelaksana/petugas)
yang akan memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli (member)
baru.
3. Jika perusahaan MLM melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk
menanamkan modal di perusahaan tersebut dengan janji akan memberikan keuntungan
tertentu dalam setiap bulannya, berarti kegiatan tersebut adalah haram karena
melakukan praktik riba yang jelas-jelasdiharamkan oleh Allah Swt. Apalagi dalam
kenyataannya tidak semua perusahaan mampu memberikan keuntungan seperti yang
dijanjikan, bahkan terkadang menggelapkan dana nasabah yang menjadi member
perusahaan.[51]
Dalam hal ini DSN MUI pun telah mengeluarkan fatwa nomor
75/DSN/ MUI/VII/2009 pada tanggal 25 Juli di Jakarta tentang Pedoman Penjualan
Langsung Berjenjang Syari`ah atau biasa disebut dengan Multi Level
Marketting (MLM) dengan menetapkan beberapa point penting sehingga MLM ini
dapat dikatakan Multi Level Marketting yang berbasis syari`ah.[52]
1.
Penjualan Langsung Berjenjang adalah cara
penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh
perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya
secara berturut-turut.
2.
Barang adalah setiap benda berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat dimiliki, diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
3. Produk jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
pelayanan untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Perusahaan adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang
melakukan kegiatan usaha perdagangan barang dan atau produk jasa dengan sistem
penjualan langsung yang terdaftar menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Konsumen adalah pihak pemakai barang dan atau jasa, dan tidak
untuk diperdagangkan.
6. Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada
mitra usaha atas penjualan yang besaran maupun bentuknya diperhitungkan
berdasarkan prestasi kerja nyata, yang terkait langsung dengan volume atau
nilai hasil penjualan barang dan atau produk jasa.
7. Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada
mitra usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang
dan atau produk jasa yang ditetapkan perusahaan.
8. Ighra’ adalah daya tari luar biasa yang menyebabkan orang
lalai terhadap kewajibannya demi melakukan hal-hal atau transaksi dalam rangka
mempereroleh bonus atau komisi yang dijanjikan.
9. Money Game adalah kegiatan penghimpunan dana masyarakat
atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil
perek-rutan/pendaftaran Mitra Usaha yang baru/bergabung kemudian dan bukan dari
hasil penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang
dijual tersebut hanya sebagai kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yang
dapat dipertanggung jawabkan.
10. Excessive mark-up adalah batas marjin laba yang
ber-lebihan yang dikaitkan dengan hal-hal lain di luar biaya.
11. Member get member adalah strategi perekrutan keang-gotaan
baru PLB yang dilakukan oleh anggota yang telah terdaftar sebelumnya.
12. Mitra usaha/stockist adalah pengecer/retailer yang
men-jual/memasarkan produk-produk penjualan langsung.
Bisnis dalam syariah Islam pada dasarnya termasuk
kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaidah fikih, al-Ashlu
fil muamalah al-Ibahah hatta yadulla dalilu ala tahrimiha. (Pada
dasarnya segala
hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya.) Islam
memahami bahwa perkembangan bisnis dalam perekonomian berjalan
begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat
bahwa Islam memberikan solusi dan legitimasi bagi manusia untuk melakukan
berbagai improvisasi, inovasi dan aktualisasi melalui sistem, teknik
dan manajemen dalam melakukan perdagangan. Namun, Islam juga memiliki prinsip-prinsip tentang pengembangan system bisnis, yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya),
jahalah (ketidakjelasan), dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan
orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB,
singkatan dari lima unsur: (1) Maysir (judi); (2) Aniaya (zhulm); (3) Gharar
(penipuan); (4) Haram; (5) Riba (bunga); (6) Iktinaz atau Ihtikar; dan
(7) Batil.[53]
Jika ingin mengembangkan bisnis MLM, maka harus terbebas dari unsur-unsur di
atas. Karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya
harus halal, tidak haram, tidak syubhat, serta tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah di atas. Multi Level
Marketing (MLM) yang menggunakan strategi
pemasaran secara bertingkat-berantai-benjenjang (levelisasi) mengandung
unsur-unsur positif, jika diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya
disesuaikan dengan syariah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahim,
dakwah, dan tarbiyah. Metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah
dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah
Islam ketika itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu saat
Islam dapat diterima oleh masyarakat kebanyakan.[54]
Dengan demikian pada dasarnya yang perlu
dipahami ketika menjalankan bisnis yang tengah berkembang di tengah-tengah
masyarakat adalah mengembalikan kepada konsep muamalah semula. Yang mana konsep
tersebut akan membawa kepada kebolehan bentuk praktik muamalah tersebut. Khususnya dalam praktik MLM ini kita juga
seharusnya mengacu kepada konsep jual-beli yang terdapat dalam fiqh muamalah
sehingga tidak terjadinya praktik muamalah yang dilarang dalam Islam.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di
atas, bahwa DSN MUI juga telah mengeluarkan fatwa mengani MLM ini bagaiamana
MLM ini berbasis syari`ah sehingga dibolehkan oleh syara` dalam melaksanakan
praktik Multi Level Marketting berbasis syari`ah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah penulis kemukakan
di atas terkait dengan jual-beli kredit dan Multi Level Marketting (MLM)
merupakan praktik muamalah yang sedang naik daun khususnya di Indonesia.
Mengenai praktik muamalah khususnya jual-beli
memang sudah diatur dalam Al-Qur`an. Baik itu yang bersifat umum maupun ayat
yang berbicara secara khusus. Untuk keumuman ayat Al-Qur`an kemudian disusul
dengan penjelasan melalui hadis Nabi. Beberapa ayat yang berbicara mengenai
praktik muamalah di atas terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 282, dan
surat An-Nisa` ayat 29.
Yang dimaksud dengan jual-beli kredit adalah adalah menjual sesuatu dengan cara tunda, dengan cara
memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara
tertentu. Sedangkan dalam penetapan hukumnya para ulama berbeda pendapat. Ada
yang menganggap bahwa jual beli kredit diharamkan karena terdapat unsur riba di
dalamnya. Ada juga ulama yang membolehkan dengan menggunakan dalil surat
Al-Baqarah ayat 282, selain itu dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan
para ulama tersebut.
Sedangkan yang dimaksud
dengan Multi Level Marketting (MLM)
adalah sistem
penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur
secara langsung sekaligus sebagai
konsumen. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa
level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya. Mengenai bagaimana
kedudukan Multi Level Marketting (MLM) dalam Islam secara eksplisit tidak diatur baik dalam
Al-Qur`an dan hadis Nabi. Namun, bisa ditemukan dalam praktik tersebut beberapa
unsur praktik muamalah yang dilarang oleh Islam. dalam perkembangannya pun
untuk menutup kemungkinan terjadinya praktik Multi Level Marketting (MLM)
yang dilarang dalam Islam. kemudian dikembangkan dalam bentuk praktik Multi
Level Marketting (MLM) yang berbasis syai`ah. dan hal ini telah ditetapkan
melalui fatwa DSN MUI mengenai Penjualan Langsung Berjenjang Syari`ah No
75/DSN/MUI/VII/2009.
[1]Abu Tayyib Muhammad Shadiq Khan bin
Hasan bin Ali ibn Luthfillah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinawji, Fath Al-Bayan
Juz II, (Beirut : Maktabah Al-`Ishriyah LiTaba`ah Syaidan, 1992), hal. 138
[2]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa`iul
Bayan Juz I, (Jakarta : Darul Kitab Al-Islamiyah, 2001), hal. 307-308
[3]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa`iul
Bayan Juz I,..., hal. 304. Lihat juga Wahbah Zuhaili, At-Tafsir
Al-Munir, fil Aqidah wa Asy-Syari`ah wa Al-Minhaj.
[5]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz III, Muhaqqiq : Ahmad Burdani dan Ibrahim Ath-Thafis,
(Kairo : Dar Al-Kitab Al-Mishriyah, 1964), hal.356
[7]Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah As-Sa’di, Taysirul Al-Karim Al-Rahman fī Tafsir Kalamil Manan, (Arab Saudi, Muassasah Ar-Risalah,
2000), hal. 116
[8]A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman
Al-Qur’an), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002), hal. 128
[9]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I, Muhaqqiq : Syami bin Muhammad salamah, (Dar
At-Tayibah Linaasyir Salamah, 1999), hal. 722
[10]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah
Tafasir, (Kairo : Dar Ash-Shabuni Litaba`ah wa Nasyir wa Tauzi`, 1997),
hal. 161
[11]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 382
[12]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 723
[13]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 723
[14]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 383
[15]Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi, Tafsir
al-Sha’rawi, Juz II (Kairo: Akhbar Al-Yaum, 1997), hal. 1214
[16]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah
Tafasir,..., hal. 161
[17]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 384
[18]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 724
[19]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 724
[20]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz III,..., hal. 385
[21]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I,..., hal. 724
[22]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah
Tafasir,..., hal. 161
[23]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an III,..., hal. 385
[24]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an III,..., hal. 398
[26]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Safwah
Tafasir,..., hal. 161
[27]Muhammad
Al-Tahir ibn `Ashur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 2,
(Beirut: Muassasah Al-Tarikh, 2000), hal. 580
[28] Muhammad Al-Tahir ibn `Ashur, Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 2,..., hal. 581
[30]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz V,..., hal. 150-152
[31]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Vol 2,..., hal. 499
[32]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz II,..., hal. 269
[33]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul
Ahkam Al-Qur`an Juz V,..., hal. 150-153
[35]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah
Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz III¸ Muhaqqiq : Muhammad bin
Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H), hal. 56
[36]Muhammad bin Isa bin Saurah bin
Musa bin Dahak Ath-Thirmidzi Abu Isa, Sunan
At-Thirmidzi Juz III, Muhaqqiq: Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi, (Mesir :
Syirkah Maktabah wal Matba`ah Mustafa Al-Baqi Al-Hali, 1975), hal. 525
[37]Muhammad bin Isa bin Saurah bin
Musa bin Dahak Ath-Thirmidzi Abu Isa, Sunan
At-Thirmidzi Juz III,..., hal. 525
[38]http://adh-dhuhaa-bjaacks.blogspot,co.id/2012/05/kredit-menurutfikih. Diakses tanggal 16 November pukul 15.30 WIB
[40]Abu Daud, Sunan Abu Daud juz III,
Muhaqqiq : Muhammad Muhyi Ad-Din Abdul Hamid, (Beirut : Maktabah Al-Ishriyah
Shaidan, th), hal. 274
[41]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi
dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.
172
[43]Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta:
teras, 2009), hal. 216
[44]Dari Majmu` Al-Fatawa 29/501, melalui http://dayahdi.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 17 November
pada pukul 21.00 WIB
[45]Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Jilid: III, terj.
M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah (Semarang : CV. Asy-Syifa, 1990), hal.
32-37.
[47]Muqtadirul Aziz. (2011). Tinjauan Hukum Islam
terhadap Bisnis Multi Level Marketting (MLM). Skripsi Sarjana pada FSH, UIN Sunan Kalijaga:
Tidak Diterbitkan.