PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak kelahirannya, aktivitas penafsiran Al-Qur’an senantiasa
menemukan signifikansinya sampai masa kini. Al-Qur’an turun membawa hukum-hukum
dan syariat secara berangsur-angsur menurut konteks peristiwa dan kejadian
selama kurun waktu sekitar 23 tahun. Namun, hukum-hukum dan syariat ini ada
yang dapat dilaksanakan langsung dan ada yang tidak dapat dilaksanakan sebelum
arti, maksud, dan inti persoalannya betul-betul dimengerti dan dipahami. Untuk
memahami arti dan maksud al-Qur’an, maka dibutuhkan alat atau ilmu untuk itu,
yang dikenal dengan tafsir. Menafsirkan al-Qur’an berarti mengungkapkan
petunjuk, menyingkap kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung
di dalamnya.[1]
Jika demikian
itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat,
menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpani yang tertimbun dalam
Al-Qur’an.[2]
Pada masa
puncak pemikiran Islam, banyak bermunculan ulama dalam berbagai bidang disiplin
ilmu, ini terlihat dalam literatur sejarah bahwa ilmu keislaman pernah jaya dan
memiliki masa keemasan. Serta dapat dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab
dalam berbagai bidang ilmu karangan para ulama besar Islam pada masa itu.[3]
Salah satu
ulama yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan penafsiran terhadap
Al-Qur`an adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari. Dengan kitab tafsir yang ditulisnya
yang dinamai dengan Jamiu`l Bayan `an
Ta`wili Ayi Al-Qur`an. Dalam khazanah Tafsir kitab ini merupakan salah satu
kitab tafsir yang banyak mendapat komentar positif dari para ulama besar,
sehingga kitab ini menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur`an.
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa poin penting yang akan penulis
uraikan dalam tulisan ini. Untuk itu penulis akan mencoba menjelaskan seputar
mengenai kitab tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an, biografi
Ibnu Jarir Ath-Thabari, karya-karya yang telah ditulis oleh Ibnu Jarir
Ath-Thabari, dan terakhir penulis akan mencoba untuk menganalisa metode
yang digunakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya.
PEMBAHASAN
A. Seputar Tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an
Kitab yang ada di tangan penulis saat ini
merupakan kitab Tafsir Ath-Thabari Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi
Al-Qur`an, yang ditulis langsung oleh Abu Ja`far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari. Kitab ini telah ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin
At-Turki dengan jumlah juz sebanyak 30 juz. Kitab ini diterbitkan di Kairo
cetakan pertama pada tahun 2001 M/1422 H dengan nama penerbit Markas Al-Buhus
Al-Dirasat Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah.[4]
Kitab tafsir Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an termasuk di
antara banyak
kitab tafsir yang paling dini dan paling masyhur yang menjadi bahan
rujukan dalam tafsir bil ma'tsur. Tafsir
ini terdiri dari 30 juz yang masing-masing berjilid tebal dan besar.
Kitab karya beliau ini kemudian dicetak untuk pertama kalinya ketika beliau berusia 60 tahun (284
H/899 M). Dengan terbitnya tafsir Ath-Thabari ini terbukalah khazanah ilmu
tafsir. Dr. M. Husain Az-Dzahabi berkata : “Dapat dikatakan bahwa tafsir
Ibn Jarir Ath-Thabari ini merupakan tafsir yang pertama di antara sekian
banyak kitab-kitab tafsir pada abad-abad pertama, juga sebagai tafsir
pertama pada waktu itu karena merupakan kitab tafsir yang pertama
yang diketahui, sedangkan kitab-kitab tafsir yang mungkin ada sebelumnya
telah hilang ditelan peradaban waktu atau zaman”.[5]
Banyaknya pujian serta apresiasi yang
diberikan oleh para kalangan intelektual Islam menunjukkan bahwa kitab tafsir
ini begitu monumental. Sebagaimana yang disampaikan oleh M. Arkoun dalam buku Berbagai
Pembacaan Qur'an bahwa tafsir Ath-Thabari ini telah mendapatkan
kewenangan yang tiada tara baik di kalangan kaum muslimin maupun di kalangan
Islamolog. Ath-Thabari telah mengumpulkan
dalam sebuah karya monumental yang terdiri dari tiga puluh
jilid, satu jumlah yang mengesankan dari akhbar (sekaligus berita cerita-cerita, tradisi-tradisi dan informasi-informasi) yang
tersebar di timur tengah yang bersuasana Islam selama tiga abad hijriyah.
Dokumen yang
sangat penting bagi sejarah ini belum dijadikan obyek monografi apapun
yang mengakhiri gambaran mengenai ath-thabari sebagai mufasir yang
“rakus
obyektif” dengan ketidakperduliaannya akan isi berita-berita yang
diriwayatkannya. Sesungguhnya ia telah menyeleksi dan mengatur informasi-informasinya
sesuai dengan sikap politik keagamaanya. Ia bermaksud
mendamaikan kaum muslimin di atas faham zaidisme moderat yang
dinyatakan dengan satu usaha untuk mengabsahkan kekuasaan
Abbasiyah, menghukum tidak sah Bani Umayyah dan Syi'ah politis.
Hal itu menjelaskan kemauan keras sang mufasir untuk menyelaraskan
varian-varian teks Al-Qur'an (qira'ah), menyadur ayat-ayat dalam
sebuah bahasa yang sangat sederhana dan jelas, menyelesaikan
titik-titik pertentangan dengan kehati-hatian yang dipertimbangkan
baik-baik, berkat langkah-langkah ini, yang sekaligus menjelaskan
dan mendamaikan. Penjelasan-penjelasan Ath-Thabari memaksakan
kehadirannya dengan kesetiaan sedemikian rupa kepada tradisi
tafsir, sehingga penjelasannya itu menyelubungi arus-arus dan pendapat-pendapat
yang kurang atau tidak lazim sebagai sumber ataupun contoh.[6]
Kepeloporannya dalam ilmu tafsir tampak pada
metode pembahasan yang khas dan orisinil sehingga mampu menampilkan sebuah
kitab tafsir yang bernilai tinggi dan memiliki keistimewaan tersendiri.[7] Di
Mesir tafsir Ath-Thabari ini diterbitkan berulang-ulang, pertama kali oleh
penerbit Matba'at Al-Maymuniyyah dan beberapa tahun kemudian menyusul
penerbit Matha'a Amiriyya di Bulloq, dekat Kairo, Dar Al-Ma'arif juga
menerbitkan edisi barunya dalam enam belas jilid pada tahun 1969. Edisi yang menarik diterbitkan pada tahun 1954 oleh penerbit
Musthafa Al-Babi Al-Halabi, sedangkan di Barat kitab tafsir ini pertama
kali diterbitkan pada tahun 1903.[8]
B. Biografi Ibnu Jarir Ath-Thabari
Ath-Thabari yang nama lengkapnya adalah Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid Ath-Thabari, ada pula
yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabari.[9]
Sedangkan biasanya nama beliau disingkat menjadi Ibnu Jarir At-Thabari sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang
masyhur dengan Ath-Thabari. Beliau dilahirkan di Amil Ibu kota Tabaristan pada
tahun 224 hijriah.[10]
Beliau merupakan salah seorang ilmuwan yang sangat mengagumkan dalam
kemampuannya mencapai tingkat tertinggi dalam berbagai disiplin ilmu, antara
lain fiqih (hukum Islam) sehingga pendapat-pendapatnya yang terhimpun dinamai Mazhab
Al-Jaririyah.[11] Beliaupun telah hafal Al-Qur’an ketika
usianya masih sangat muda yaitu dalam usia tujuh tahun. Hal ini sebagaimana yang telah dikatakannya : “Aku
telah menghapal Al-Qur’an ketika berusia tujuh tahun
dan menjadi imam shalat ketika aku berusia delapan tahun serta mulai
menulis hadits–hadits Nabi pada usia sembilan tahun”.[12]
Beliau dibesarkan pada salah satu periode keemasan ilmu-ilmu Agama
Islam dan masa di mana penguasa mendorong dan menghargai ilmu
pengetahuan dan para ilmuwan. Kurun masa hidup Ath-Thabari adalah
masa-masa di mana peradaban Islam setelah melalui tahap pembentukannya,
tengah bersiap menunjukkan kekuatan dan semangatnya di
panggung sejarah dunia. Pada waktu itu banyak pemikir dan
sarjana Islam yang melibatkan diri dalam studi dan penelitiaan berbagai
disiplin ilmiah. Ath-Thabari mulai menuntut ilmu
ketika ia berumur 12 tahun, yaitu pada tahun 236 hijriah di tempat
kelahirannya.[13]
Ath-Thabari hidup pada masa Islam berada dalam
puncak kemajuan dan kesuksesan bidang pemikiran. Islam
seperti itulah yang memungkinkannya menggali ilmu sedalam-dalamnya. Namun hal itu
tidak mudah dilakukan karena letak pusat ilmu yang dipadati para ulama jauh
dari tempat tinggalnya.
Setelah ia menuntut ilmu pengetahuan dari para
ulama-ulama terkemuka di tempat kelahirannya, seperti kebiasaan ulama-ulama
lain pada waktu itu Ath-Thabari dalam menuntut ilmu pengetahuan mengadakan
perjalanan ke beberapa daerah Islam. Kota
yang pertama kali ditujunya adalah Ray dan daerah sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid ar-Razi dan al-Musanna
bin Ibrahim
Al-lbili. Di daerah itu 1a berkesempatan belajar sejarah kepada Muhammad
bin Ahmad bin Hammad Ad-Daulabi. Selanjutnya ia menuju
Bagdad untuk
belajar kepada imam Ahmad bin Hanbal, tetapi ketika sampai di sana imam Ahmad
bin Hanbal sudah wafat pada tahun 241 H. Ia sempat belajar kepada murid-murid
imam Ahmad bin Hanbal. Pengaruh pemikiran teologi imam Ahmad ibn Hanbal
dan murid-muridnya yang menganut paham sunni rupanya mendominasi pemikiran
imam ath-Thabari yang sangat tidak setuju dengan pola pemikiran rasional Mu'tazilah.[14] Setelah itu perjalanan dialihkan menuju ke
Kufah dan di negeri ini ia mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang berkenaan
dengannya. Kecerdasan dan kekuatan hafalannya
telah membuat kagum ulama-ulama di negeri itu. Kemudian ia
berangkat ke Baghdad. Di Bagdad ia
mendalami ilmu-ilmu Al-Qur'an dan fiqih Imam
Syafi'i pada ulama-ulama terkemuka di negeri tersebut, selanjutnya
ia berangkat ke Syam untuk mengetahui aliran-aliran fiqih dan
pemikiran-pemikiran yang ada di sana. Kemudian ia berangkat ke Mesir
dan di sana ia bertemu dengan ulama-ulama terkemuka bermazhab Syafi'i
seperti Rabi bin Sulaiman dan Al-Muzzani, dari kedua ulama tersebut
Ath-Thabari
banyak mengadakan diskusi-diskusi ilmiah dan di negeri
ini juga ia bertemu dengan Muhammad Ibnu Ishaq Ibnu Khuzaimah
seorang pengarang kitab Al-Sirah, diriwayatkan bahwa Ibn Jarir
Ath-Thabari dalam menulis kitab “Tarikh al-Umam wa Al-Mulk” yang
sangat terkenal banyak berdasarkan kitab Al-Sirah ini.[15]
Berkat kecerdasan dan ketinggian ilmunya, Ath-Thabari dapat menguasai
dan
menghafal ratusan ribu hadis. Hadis-hadis itu ada yang berkaitan dengan tafsir, fiqh,
tauhid, sejarah, dan sebagainya. Dengan demikian Ath-Thabari adalah seorang
ilmuan yang menguasai multi disiplin ilmu. Pada awalnya ia menganut mazhab Syafi'i, tetapi setelah
meneliti lebih jauh terhadap mazhab Syafi'i, ia
membentuk mazhab sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan mazhab fiqh Jaririah yang
diambil dari nama ayahnya.[16] Hal
itu terjadi sepuluh tahun setelah ia kembali
dari Mesir. Akan tetapi mazhabnya kemudian kehilangan pamor dan akhirnya dilupakan orang karena dianggap
bertentangan dengan mazhab Syafi'i dan mazhab
Hanbali.[17]
Dari Mesir ia kembali ke tempat kelahirannya, kemudian ia pergi ke Bagdad dan di negeri
tersebut ia menghabiskan sisa umurnya dalam mengajar dan mengarang.[18] Beliau wafat pada usia 86
tahun, yaitu pada tahun 310 Hijriah.[19]
Dalam beberapa literatur yang ditemukan bahwa guru
Ath-Thabari mencapai 62 orang. Sedangkan yang pernah menjadi murid Ath-Thabari
di antaranya : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nasr, Ahmad bin Qasim bin
Abdullah bin Mahdi, Ahmad bin Kamil bin Khilaf, Ahmad bin Musa bin Abbas bin
Mujahid At-Tamimi Al-Hafidz Abu Bakr bin Mujahid, Sulaiman bin Ahmad Ayub
Al-Lakhimi Abu Qasim Ath-Thabarani, Abdullah bin Ahmad bin Ja`far bin Khuzyan
At-Turki, Abdullah bin Ahmad bin Rabi`ah bin Sulaiman bin Zabri, Abdullah bin
Hasan Abu Syu`aib Al-Harani, Abdullah bin `Adi bin Abdillah Al-Jurjani,
Muhammad bin Ahmad bin Hamdani bin Ali, Muhammad bin Daud bin Sulaiman bin
Siyar bin Bayan, Muhammad bin Abdillah Abu Bakr Asy-Syafi`i, Muhammad bin
Abdillah Abu Fadhl Asy-Syaibani Al-Kuffi, Mukhallid bin Ja`far bin Mukhallid.[20]
Keluasan ilmu yang dimiliki oleh Ath-Thabari
diakui oleh para ulama, sehingga banyaknya komentar positif yang ditujukan
kepada Ath-Thabari. Di antaranya :
1. Az-Zahabi: "Ath-Thabari
adalah seorang terpercaya, shadiq, hafiz, bapak tafsir, imam dalam bidang fiqh,
banyak mengetahui sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat
manusia, mengetahui qira'ah, bahasa, dan sebagainya ".[21]
2. Ibnu Al-Ammal dari
Ibnu Khuzaimah: "Di dunia ini tidak ada orang yang melebihi kepandaian
Muhammad Ibn Jarir”.[22]
3. Jalaluddin
As-Suyuthi: "Ath-Thabari adalah pemimpin mufassirin secara mutlaq, seorang seorang ulama
multidisipliner yang tidak dimiliki oleh para ulama semasanya. Ia hafal
Al-Qur'an, mengetahui makna-maknanya, faham hukum Al-Qur 'an, mengetahui sunnah
dengan berbagai aspeknya,
mengetahui sejarah
sahabat, tabi'in,
dan perjalanan
umat manusia lainnya".[23]
Imam Ath-Thabari juga sangat terkenal di Barat, biografinya pertama
kali diterbitkan di Laiden pada tahun 1879-1910. Julius Welhousen
menempatkan itu ketika ia membicarakan zaman (660-750) dalam
buku The Arab Kingdom and its Fall.[24]
C. Karya-Karya Ath-Thabari
Lewat karya tulisnya yang cukup banyak dan
sebagian besar dalam bentuk kumpulan riwayat hadis dengan bahasa yang sangat
indah, Ath-Thabari bukan saja terkenal seorang ilmuwan yang agung melainkan
juga sebagai orang yang dikagumi berbagai pihak. Semua karya ilmiah Ath-Thabari yang diwariskan kepada kita, sebagian diketemukan dan sebagian
yang lain belum diketemukan. Diantaranya karya–karya beliau sebagai
berikut:
1.
Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
2.
Tarikh
Al-Umam wa Al-Muluk wa Akhbaruhum
3.
Al-Adabul
Hamidah wal Akhlaqun Nafisah
4.
Ikhtilafu
Al-Fuqaha
5.
Kitabu
Al-Qiraat wa Tanzili Al-Qur’an
6.
Al-Jami’
fi Qira’at
8.
Basith fi Al-Fiqh
9.
Sharikhi
As-Sunnah
10.
Lathifu
Al-Qaul fi Ahkami Syara’i Al-Islam
11.
Tarikhur
Rijal
12.
Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam)
13.
Kitab Adabul Manasik
14.
Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Az-Dzahabi berkata: “Pembahasan pertama
adalah tentang thaharah, dan semua kitab itu berjumlah
1500 lembar.
15.
Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah
Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari kitab ini mengatakan bahwa
kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu jarir, dimulai dengan
sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan fiqih hadits, ikhtiklaf
ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga disebutkan makna-makna asing
serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi lebih sempurna lagi dengan
adanya sanad Al-Asyrah, Ahlu Al-Bait, Al-Mawali dan beberapa sanad dari Ibnu
Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir kematiaannya, lalu ia mengatakan:
jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa sampai beratus-ratus jilid.
16.
Kitab Haditsul Yaman
17.
Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
18.
Kitab Az-Zakat
19.
Kitab Al-‘Aqidah
20.
Kitab Fadhail
21.
Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
22.
Kitab Mukhtashar Al Faraidz
D. Analisis Terhadap Metode Tafsir Jami`ul Bayan `An Ta`wili Ayi Al-Qur`an
Apabila dibaca dan dikaji kitab tafsir Tafsir
Ath-Thabari Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an ini merupakan
salah satu karya tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili. Hal
tersebut dapat diidentifikasi dengan gaya Ath-Thabari menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur`an dalam kitabnya tersebut.
Metode tahlili merupakan
Metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an
dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan
ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushhaf Al-Qur’an. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga
mengemukakan munasabah
(korelasi) ayat-ayat
serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas
mengenai asbab an-nuzul (latar
belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau sahabat, atau para tabi’in, yang
kadang-kadang bercampur baur dengan
pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula
bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.[27]
Salah satu contoh yang
menggambarkan bahwa metode yang digunakan Ath-Thabari adalah metode tahlili,
ketika menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 82 :
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي
الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا
رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ
تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Dan adapun dinding rumah itu adalah
kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota
itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua sedang ayahnya adalah seorang yang soleh
maka tiuhanmu menghendaki agar supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari tuhanmu. Dan
bukanlah Aku melakukannya menururt kemauanKu
sendiri demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan
yang tidak dapat terhadapnya”. (QS. Al-Kahfi: 82)
Sebagian ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan “كَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَ“ada
sebagian ulama yang menafsirkan lafadz tersebut adalah ilmu,
sebagaimana hadits Nabi :
حدثني محمد بن سعد، قال:
ثني أبي، قال: ثني عمي، قال: ثني أبي عن ابيه، عن ابن عباس (وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز
لَهُمَا) قال: كان تحته كنز علم.
“Telah
menceritakan padaku Muhammad bin Said,dia berkata: Aku
telah memuji bapakku,Muhammad bin Said berkata:”Aku telah
memuji Pamanku lalu dia berkata lagi Aku telah memuji kakekku,
dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,Ibnu
Abbas berkata :dibawahnya ada simpanan ilmu”.
Ulama yang lain berpendapat bahwa
yang dimaksud “كَانَ تَحْتَهُ كَنز
لَهُمَ “ adalah harta yang disimpan sebagaimana Hadits Nabi:
حدثنا يعقوب، قال: ثنا
هشيم، قال: أخبرنا حصين، عن سعيد بن جبير: (وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَا) قال:
كان كنز علم.
“Ya’kub telah menceritakan kepadaku,dia berkata:saya
telah memuji hasyim,Ya’kub berkata Khusay
telah mengabarkan pada kami dari iqrimah dan ada harta
benda simpanan bagi mereka berdua,Iqrimah berkata:harta
simpanan.”
Menurut at-Thabari bahwa diantara kedua penafsiran tersebut yang paling
mendekatkan terhadap kebenaran penafsiran كَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَ yaitu harta mereka
berdua,menurut ath-Thabari bahwa lafadz الكنز merupakan
suatu isim bagi setiap sesuatu yang disimpan dan sesuatu tersebut merupakan
wujud dari barang yang berupa harta benda.Dalam menafsirkan ayat 82 surta
al-Kahfi, ath-Thabari memberi penafsiran bahwa Allah menghendaki kedua anak
yatim tersebut memperoleh kekuatan, sehingga dikeluarkanlah dari balik dinding
tersebut suatu harta simpanan anak kedua yatim tersebut yang merupakan
rahmat dari Allah bagi anak yatim.[28]
Di samping itu Ath-Thabari dalam menyusun kitab tafsirnya berdasarkan
tertib mushaf. Yang mana hal tersebut menjadi salah satu ciri dalam metode tahlili.
Adapun apabila dilihat dari corak
penafsiran Ath-Thabari ini dalam menafsirkan al-Qur'an adalah menggunakan corak tafsir bil Ma'tsur. Corak
tafsir ini adalah corak penafsiran yang titik tolak serta garis besar uraiannya
berdasarkan riwayat-riwayat. Mufassirnya menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur'an,
Al-Qur'an dengan As-Sunnah. Karena ia berfungsi sebagai
penjelas kitabullah, dengan perkataan para sahabat, karena
merekalah yang mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan
oleh ulama-ulama besar tabi`in, karena pada
umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[29]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Salah satu karya monumental Ibnu Jarir Ath-Thabari di bidang tafsir Al-Qur`an
adalah Tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an. Yang menjadi
rujukan primer umat muslim ketika hendak memahami ayat-ayat Al-Qur`an. Tafsir
Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an disusun oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari
dengan menggunakan metode tahlili dengan bercorak tafsir bil ma`tsur.
Ath-thabari yang nama lengkapnya adalah Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid Ath-Thabari, ada pula
yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib
Ath-Thabari. Sedangkan biasanya nama beliau disingkat menjadi Ibnu Jarir
At-Thabari sesekali
ia disebut sebagai Amuli
selain dengan sebutan yang masyhur dengan Ath-Thabari. Beliau dilahirkan di Amil Ibu kota
Tabaristan pada tahun 224 hijriah.
Ibnu Jarir Ath-Thabari merupakan ulama yang
memiliki multidisipliner ilmu serta kecerdasan yang menjadikan dia dipuji oleh
ulama baik semasanya ataupun masa sesudahnya. Hal ini dapat dilacak dengan
melihat beberapa komentar positif yang ditujukan kepada dirinya. Dalam rangka
memperdalam ilmu Ath-Thabari tidak hanya menuntut ilmu di satu daerah,
melainkan beliau melakukan perjalanan ke beberapa daerah untuk menemui
guru-guru dan menuntut ilmu.
Ibnu Jarir Ath-Thabari merupakan ulama yang
produktif dalam mehasilkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan khazanah
keislaman. Sehingga dia tidak hanya menulis satu kitab. Melainkan banyak kitab
lain yang telah ditulisnya. Baik itu berkaitan dengan fiqih, Al-Qur`an, bahkan
yang berkaitan dengan qira`at.
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
banyak terdapat kekurangan. baik kekurangan secara materi maupun referensi.
untuk Itu penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun. Sehingga makalah ini dapat disempurnakan di kemudian hari.
[3]A. Dzajuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Pengembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta : Kencana, 2010), Edisi Revisi, hal. 36
[4]Lihat Bagian Depan Kitab Abi Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir
Ath-Thabari Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an Juz I, Muhaqqiq :
Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, (Kairo : Markas Al-Buhus Al-Dirasat
Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah, 2001)
[8]J. J.G. Jansen, Diskursu Tafsir Al-Qur'an Modern, Terj Hairussalim,
(Jakarta : Tiara Wacana, 1997), hal. 91-92
[9]Abi Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op.
Cit., hal. 11
[13]Ibid.
[15]Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), hal. 362
[21]Rosihan
Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra`iliyyat dalam Tafsir
Ath-Thabari dan Tafsir Jbnu Katsir, (Bandung : CV Pustaka Selia, 1999), hal. 58
[22]Ibid.
[23]Jalaluddin As-Suyuthi, Tabaqat Al-Mufassirin,
(Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1982), hal. 82.
[27]Abd.
Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1994), hal.
12
No comments:
Post a Comment