Wednesday, January 16, 2019

BIOGRAFI IBNU JARIR ATH-THABARI DAN TAFSIRNYA



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak kelahirannya, aktivitas penafsiran Al-Qur’an senantiasa menemukan signifikansinya sampai masa kini. Al-Qur’an turun membawa hukum-hukum dan syariat secara berangsur-angsur menurut konteks peristiwa dan kejadian selama kurun waktu sekitar 23 tahun. Namun, hukum-hukum dan syariat ini ada yang dapat dilaksanakan langsung dan ada yang tidak dapat dilaksanakan sebelum arti, maksud, dan inti persoalannya betul-betul dimengerti dan dipahami. Untuk memahami arti dan maksud al-Qur’an, maka dibutuhkan alat atau ilmu untuk itu, yang dikenal dengan tafsir. Menafsirkan al-Qur’an berarti mengungkapkan petunjuk, menyingkap kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.[1]
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Pada masa puncak pemikiran Islam, banyak bermunculan ulama dalam berbagai bidang disiplin ilmu, ini terlihat dalam literatur sejarah bahwa ilmu keislaman pernah jaya dan memiliki masa keemasan. Serta dapat dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu karangan para ulama besar Islam pada masa itu.[3]
Salah satu ulama yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan penafsiran terhadap Al-Qur`an adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari. Dengan kitab tafsir yang ditulisnya yang  dinamai dengan Jamiu`l Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an. Dalam khazanah Tafsir kitab ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak mendapat komentar positif dari para ulama besar, sehingga kitab ini menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an.
B.     Rumusan Masalah
Ada beberapa poin penting yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini. Untuk itu penulis akan mencoba menjelaskan seputar mengenai kitab tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an, biografi Ibnu Jarir Ath-Thabari, karya-karya yang telah ditulis oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan terakhir penulis akan mencoba untuk menganalisa metode yang digunakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya.



PEMBAHASAN
A.    Seputar Tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an
Kitab yang ada di tangan penulis saat ini merupakan kitab Tafsir Ath-Thabari Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an, yang ditulis langsung oleh Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Kitab ini telah ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki dengan jumlah juz sebanyak 30 juz. Kitab ini diterbitkan di Kairo cetakan pertama pada tahun 2001 M/1422 H dengan nama penerbit Markas Al-Buhus Al-Dirasat Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah.[4]
Kitab tafsir Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an termasuk di antara banyak kitab tafsir yang paling dini dan paling masyhur yang menjadi bahan rujukan dalam tafsir bil ma'tsur. Tafsir ini terdiri dari 30 juz yang masing-masing berjilid tebal dan besar. Kitab karya beliau ini kemudian dicetak untuk pertama kalinya ketika beliau berusia 60 tahun (284 H/899 M). Dengan terbitnya tafsir Ath-Thabari ini terbukalah khazanah ilmu tafsir. Dr. M. Husain Az-Dzahabi berkata : “Dapat dikatakan bahwa tafsir Ibn Jarir Ath-Thabari ini merupakan tafsir yang pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir pada abad-abad pertama, juga sebagai tafsir pertama pada waktu itu karena merupakan kitab tafsir yang pertama yang diketahui, sedangkan kitab-kitab tafsir yang mungkin ada sebelumnya telah hilang ditelan peradaban waktu atau zaman”.[5]
Banyaknya pujian serta apresiasi yang diberikan oleh para kalangan intelektual Islam menunjukkan bahwa kitab tafsir ini begitu monumental. Sebagaimana yang disampaikan oleh M. Arkoun dalam buku Berbagai Pembacaan Qur'an bahwa tafsir Ath-Thabari ini telah mendapatkan kewenangan yang tiada tara baik di kalangan kaum muslimin maupun di kalangan Islamolog. Ath-Thabari telah mengumpulkan dalam sebuah karya monumental yang terdiri dari tiga puluh jilid, satu jumlah yang mengesankan dari akhbar (sekaligus berita cerita-cerita, tradisi-tradisi dan informasi-informasi) yang tersebar di timur tengah yang bersuasana Islam selama tiga abad hijriyah. Dokumen yang sangat penting bagi sejarah ini belum dijadikan obyek monografi apapun yang mengakhiri gambaran mengenai ath-thabari sebagai mufasir yang rakus obyektif dengan ketidakperduliaannya akan isi berita-berita yang diriwayatkannya. Sesungguhnya ia telah menyeleksi dan mengatur informasi-informasinya sesuai dengan sikap politik keagamaanya. Ia bermaksud mendamaikan kaum muslimin di atas faham zaidisme moderat yang dinyatakan dengan satu usaha untuk mengabsahkan kekuasaan Abbasiyah, menghukum tidak sah Bani Umayyah dan Syi'ah politis. Hal itu menjelaskan kemauan keras sang mufasir untuk menyelaraskan varian-varian teks Al-Qur'an (qira'ah), menyadur ayat-ayat dalam sebuah bahasa yang sangat sederhana dan jelas, menyelesaikan titik-titik pertentangan dengan kehati-hatian yang dipertimbangkan baik-baik, berkat langkah-langkah ini, yang sekaligus menjelaskan dan mendamaikan. Penjelasan-penjelasan Ath-Thabari memaksakan kehadirannya dengan kesetiaan sedemikian rupa kepada tradisi tafsir, sehingga penjelasannya itu menyelubungi arus-arus dan pendapat-pendapat yang kurang atau tidak lazim sebagai sumber ataupun contoh.[6]
Kepeloporannya dalam ilmu tafsir tampak pada metode pembahasan yang khas dan orisinil sehingga mampu menampilkan sebuah kitab tafsir yang bernilai tinggi dan memiliki keistimewaan tersendiri.[7] Di Mesir tafsir Ath-Thabari ini diterbitkan berulang-ulang, pertama kali oleh penerbit Matba'at Al-Maymuniyyah dan beberapa tahun kemudian menyusul penerbit Matha'a Amiriyya di Bulloq, dekat Kairo, Dar Al-Ma'arif juga menerbitkan edisi barunya dalam enam belas jilid pada tahun 1969. Edisi yang menarik diterbitkan pada tahun 1954 oleh penerbit Musthafa Al-Babi Al-Halabi, sedangkan di Barat kitab tafsir ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1903.[8]
B.     Biografi Ibnu Jarir Ath-Thabari
Ath-Thabari yang nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid Ath-Thabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabari.[9] Sedangkan biasanya nama beliau disingkat menjadi Ibnu Jarir At-Thabari sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan Ath-Thabari. Beliau dilahirkan di Amil Ibu kota Tabaristan pada tahun 224 hijriah.[10] Beliau merupakan salah seorang ilmuwan yang sangat mengagumkan dalam kemampuannya mencapai tingkat tertinggi dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain fiqih (hukum Islam) sehingga pendapat-pendapatnya yang terhimpun dinamai Mazhab Al-Jaririyah.[11] Beliaupun telah hafal Al-Qur’an ketika usianya masih sangat muda yaitu dalam usia tujuh tahun. Hal ini sebagaimana yang telah dikatakannya : “Aku telah menghapal Al-Qur’an ketika berusia tujuh tahun dan menjadi imam shalat ketika aku berusia delapan tahun serta mulai menulis hadits–hadits Nabi pada usia sembilan tahun”.[12]
Beliau dibesarkan pada salah satu periode keemasan ilmu-ilmu Agama Islam dan masa di mana penguasa mendorong dan menghargai ilmu pengetahuan dan para ilmuwan. Kurun masa hidup Ath-Thabari adalah masa-masa di mana peradaban Islam setelah melalui tahap pembentukannya, tengah bersiap menunjukkan kekuatan dan semangatnya di panggung sejarah dunia. Pada waktu itu banyak pemikir dan sarjana Islam yang melibatkan diri dalam studi dan penelitiaan berbagai disiplin ilmiah.  Ath-Thabari mulai menuntut ilmu ketika ia berumur 12 tahun, yaitu pada tahun 236 hijriah di tempat kelahirannya.[13]
Ath-Thabari hidup pada masa Islam berada dalam puncak kemajuan dan kesuksesan bidang pemikiran. Islam seperti itulah yang memungkinkannya menggali ilmu sedalam-dalamnya. Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena letak pusat ilmu yang dipadati para ulama jauh dari tempat tinggalnya.
Setelah ia menuntut ilmu pengetahuan dari para ulama-ulama terkemuka di tempat kelahirannya, seperti kebiasaan ulama-ulama lain pada waktu itu Ath-Thabari dalam menuntut ilmu pengetahuan mengadakan perjalanan ke beberapa daerah Islam. Kota yang pertama kali ditujunya adalah Ray dan daerah sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid ar-Razi dan al-Musanna bin Ibrahim Al-lbili. Di daerah itu 1a berkesempatan belajar sejarah kepada Muhammad bin Ahmad bin Hammad Ad-Daulabi. Selanjutnya ia menuju Bagdad untuk belajar kepada imam Ahmad bin Hanbal, tetapi ketika sampai di sana imam Ahmad bin Hanbal sudah wafat pada tahun 241 H. Ia sempat belajar kepada murid-murid imam Ahmad bin Hanbal. Pengaruh pemikiran teologi imam Ahmad ibn Hanbal dan murid-muridnya yang menganut paham sunni rupanya mendominasi pemikiran imam ath-Thabari yang sangat tidak setuju dengan pola pemikiran rasional Mu'tazilah.[14] Setelah itu perjalanan dialihkan menuju ke Kufah dan di negeri ini ia mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya. Kecerdasan dan kekuatan hafalannya telah membuat kagum ulama-ulama di negeri itu. Kemudian ia berangkat ke Baghdad. Di Bagdad ia mendalami ilmu-ilmu Al-Qur'an dan fiqih Imam Syafi'i pada ulama-ulama terkemuka di negeri tersebut, selanjutnya ia berangkat ke Syam untuk mengetahui aliran-aliran fiqih dan pemikiran-pemikiran yang ada di sana. Kemudian ia berangkat ke Mesir dan di sana ia bertemu dengan ulama-ulama terkemuka bermazhab Syafi'i seperti Rabi bin Sulaiman dan Al-Muzzani, dari kedua ulama tersebut Ath-Thabari banyak mengadakan diskusi-diskusi ilmiah dan di negeri ini juga ia bertemu dengan Muhammad Ibnu Ishaq Ibnu Khuzaimah seorang pengarang kitab Al-Sirah, diriwayatkan bahwa Ibn Jarir Ath-Thabari dalam menulis kitab Tarikh al-Umam wa Al-Mulkyang sangat terkenal banyak berdasarkan kitab Al-Sirah ini.[15]
Berkat kecerdasan dan ketinggian ilmunya, Ath-Thabari dapat menguasai dan menghafal ratusan ribu hadis. Hadis-hadis itu ada yang berkaitan dengan tafsir, fiqh, tauhid, sejarah, dan sebagainya. Dengan demikian Ath-Thabari adalah seorang ilmuan yang menguasai multi disiplin ilmu. Pada awalnya ia menganut mazhab Syafi'i, tetapi setelah meneliti lebih jauh terhadap mazhab Syafi'i, ia membentuk mazhab sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan mazhab fiqh Jaririah yang diambil dari nama ayahnya.[16] Hal itu terjadi sepuluh tahun setelah ia kembali dari Mesir. Akan tetapi mazhabnya kemudian kehilangan pamor dan akhirnya dilupakan orang karena dianggap bertentangan dengan mazhab Syafi'i dan mazhab Hanbali.[17]
 Dari Mesir ia kembali ke tempat kelahirannya, kemudian ia pergi ke Bagdad dan di negeri tersebut ia menghabiskan sisa umurnya dalam mengajar dan mengarang.[18] Beliau wafat pada usia 86 tahun, yaitu pada tahun 310 Hijriah.[19]
Dalam beberapa literatur yang ditemukan bahwa guru Ath-Thabari mencapai 62 orang. Sedangkan yang pernah menjadi murid Ath-Thabari di antaranya : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nasr, Ahmad bin Qasim bin Abdullah bin Mahdi, Ahmad bin Kamil bin Khilaf, Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid At-Tamimi Al-Hafidz Abu Bakr bin Mujahid, Sulaiman bin Ahmad Ayub Al-Lakhimi Abu Qasim Ath-Thabarani, Abdullah bin Ahmad bin Ja`far bin Khuzyan At-Turki, Abdullah bin Ahmad bin Rabi`ah bin Sulaiman bin Zabri, Abdullah bin Hasan Abu Syu`aib Al-Harani, Abdullah bin `Adi bin Abdillah Al-Jurjani, Muhammad bin Ahmad bin Hamdani bin Ali, Muhammad bin Daud bin Sulaiman bin Siyar bin Bayan, Muhammad bin Abdillah Abu Bakr Asy-Syafi`i, Muhammad bin Abdillah Abu Fadhl Asy-Syaibani Al-Kuffi, Mukhallid bin Ja`far bin Mukhallid.[20]
Keluasan ilmu yang dimiliki oleh Ath-Thabari diakui oleh para ulama, sehingga banyaknya komentar positif yang ditujukan kepada Ath-Thabari. Di antaranya :
1.      Az-Zahabi: "Ath-Thabari adalah seorang terpercaya, shadiq, hafiz, bapak tafsir, imam dalam bidang fiqh, banyak mengetahui sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat manusia, mengetahui qira'ah, bahasa, dan sebagainya ".[21]
2.      Ibnu Al-Ammal dari Ibnu Khuzaimah: "Di dunia ini tidak ada orang yang melebihi kepandaian Muhammad Ibn Jarir”.[22]
3.      Jalaluddin As-Suyuthi: "Ath-Thabari adalah pemimpin mufassirin secara mutlaq, seorang seorang ulama multidisipliner yang tidak dimiliki oleh para ulama semasanya. Ia hafal Al-Qur'an, mengetahui makna-maknanya, faham hukum Al-Qur 'an, mengetahui sunnah dengan berbagai aspeknya, mengetahui sejarah sahabat, tabi'in, dan perjalanan umat manusia lainnya".[23]
Imam Ath-Thabari juga sangat terkenal di Barat, biografinya pertama kali diterbitkan di Laiden pada tahun 1879-1910. Julius Welhousen menempatkan itu ketika ia membicarakan zaman (660-750) dalam buku The Arab Kingdom and its Fall.[24]
C.    Karya-Karya Ath-Thabari
Lewat karya tulisnya yang cukup banyak dan sebagian besar dalam bentuk kumpulan riwayat hadis dengan bahasa yang sangat indah, Ath-Thabari bukan saja terkenal seorang ilmuwan yang agung melainkan juga sebagai orang yang dikagumi berbagai pihak. Semua karya ilmiah Ath-Thabari yang diwariskan kepada kita, sebagian diketemukan dan sebagian yang lain belum diketemukan. Diantaranya karya–karya beliau sebagai berikut:
1.      Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
2.      Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk wa Akhbaruhum
3.      Al-Adabul Hamidah wal Akhlaqun Nafisah
4.      Ikhtilafu Al-Fuqaha
5.      Kitabu Al-Qiraat wa Tanzili Al-Qur’an
6.      Al-Jami’ fi Qira’at
7.      Kitabut Tabsir fil Usul[25]
8.      Basith fi Al-Fiqh
9.      Sharikhi As-Sunnah
10.  Lathifu Al-Qaul fi Ahkami Syara’i Al-Islam
11.  Tarikhur Rijal
12.  Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam)
13.  Kitab Adabul Manasik
14.  Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Az-Dzahabi berkata: “Pembahasan pertama adalah tentang thaharah, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.
15.  Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari kitab ini mengatakan bahwa kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu jarir, dimulai dengan sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan fiqih hadits, ikhtiklaf ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga disebutkan makna-makna asing serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi lebih sempurna lagi dengan adanya sanad Al-Asyrah, Ahlu Al-Bait, Al-Mawali dan beberapa sanad dari Ibnu Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir kematiaannya, lalu ia mengatakan: jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa sampai beratus-ratus jilid.
16.  Kitab Haditsul Yaman
17.  Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
18.  Kitab Az-Zakat
19.  Kitab Al-‘Aqidah
20.  Kitab  Fadhail
21.  Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
22.  Kitab Mukhtashar Al Faraidz
23.  Kitab Al-Washaya[26]
D.    Analisis Terhadap Metode Tafsir Jami`ul Bayan `An Ta`wili Ayi Al-Qur`an
Apabila dibaca dan dikaji kitab tafsir Tafsir Ath-Thabari Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an ini merupakan salah satu karya tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili. Hal tersebut dapat diidentifikasi dengan gaya Ath-Thabari menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an dalam kitabnya tersebut.
Metode tahlili merupakan Metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushhaf Al-Qur’an. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbab an-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.[27]
Salah satu contoh yang menggambarkan bahwa metode yang digunakan Ath-Thabari adalah metode tahlili, ketika menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 82 :
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Dan adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua sedang ayahnya adalah seorang yang soleh maka tiuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari tuhanmu. Dan bukanlah Aku melakukannya menururt kemauanKu sendiri demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang tidak dapat terhadapnya”. (QS. Al-Kahfi: 82)
Sebagian ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan كَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَ“ada sebagian ulama yang menafsirkan lafadz tersebut adalah ilmu, sebagaimana hadits Nabi :
حدثني محمد بن سعد، قال: ثني أبي، قال: ثني عمي، قال: ثني أبي عن ابيه، عن ابن عباس (وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَا) قال: كان تحته كنز علم.
Telah menceritakan padaku Muhammad bin Said,dia berkata: Aku telah memuji bapakku,Muhammad bin Said berkata:”Aku telah memuji Pamanku lalu dia berkata lagi Aku telah memuji kakekku, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,Ibnu Abbas berkata :dibawahnya ada simpanan ilmu.

Ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud “كَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَ “ adalah harta yang disimpan sebagaimana Hadits Nabi:
حدثنا يعقوب، قال: ثنا هشيم، قال: أخبرنا حصين، عن سعيد بن جبير: (وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَا) قال: كان كنز علم.
Ya’kub telah menceritakan kepadaku,dia berkata:saya telah memuji hasyim,Ya’kub berkata Khusay telah mengabarkan pada kami dari iqrimah dan ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,Iqrimah berkata:harta simpanan.

Menurut at-Thabari bahwa diantara kedua penafsiran tersebut yang paling mendekatkan terhadap kebenaran penafsiran كَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَ yaitu harta mereka berdua,menurut ath-Thabari bahwa lafadz الكنز merupakan suatu isim bagi setiap sesuatu yang disimpan dan sesuatu tersebut merupakan wujud dari barang yang berupa harta benda.Dalam menafsirkan ayat 82 surta al-Kahfi, ath-Thabari memberi penafsiran bahwa Allah menghendaki kedua anak yatim tersebut memperoleh kekuatan, sehingga dikeluarkanlah dari balik dinding tersebut suatu harta simpanan anak kedua yatim tersebut yang merupakan rahmat dari Allah bagi anak yatim.[28]
Di samping itu Ath-Thabari dalam menyusun kitab tafsirnya berdasarkan tertib mushaf. Yang mana hal tersebut menjadi salah satu ciri dalam metode tahlili.
Adapun apabila dilihat dari corak penafsiran Ath-Thabari ini dalam menafsirkan al-Qur'an adalah menggunakan corak tafsir bil Ma'tsur. Corak tafsir ini adalah corak penafsiran yang titik tolak serta garis besar uraiannya berdasarkan riwayat-riwayat. Mufassirnya menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan As-Sunnah. Karena ia berfungsi sebagai penjelas kitabullah, dengan perkataan para sahabat, karena merekalah yang mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh ulama-ulama besar tabi`in, karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[29]
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Salah satu karya monumental Ibnu Jarir Ath-Thabari di bidang tafsir Al-Qur`an adalah Tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an. Yang menjadi rujukan primer umat muslim ketika hendak memahami ayat-ayat Al-Qur`an. Tafsir Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an disusun oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan menggunakan metode tahlili dengan bercorak tafsir bil ma`tsur.
Ath-thabari yang nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid Ath-Thabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabari. Sedangkan biasanya nama beliau disingkat menjadi Ibnu Jarir At-Thabari sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan Ath-Thabari. Beliau dilahirkan di Amil Ibu kota Tabaristan pada tahun 224 hijriah.
Ibnu Jarir Ath-Thabari merupakan ulama yang memiliki multidisipliner ilmu serta kecerdasan yang menjadikan dia dipuji oleh ulama baik semasanya ataupun masa sesudahnya. Hal ini dapat dilacak dengan melihat beberapa komentar positif yang ditujukan kepada dirinya. Dalam rangka memperdalam ilmu Ath-Thabari tidak hanya menuntut ilmu di satu daerah, melainkan beliau melakukan perjalanan ke beberapa daerah untuk menemui guru-guru dan menuntut ilmu.
Ibnu Jarir Ath-Thabari merupakan ulama yang produktif dalam mehasilkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan khazanah keislaman. Sehingga dia tidak hanya menulis satu kitab. Melainkan banyak kitab lain yang telah ditulisnya. Baik itu berkaitan dengan fiqih, Al-Qur`an, bahkan yang berkaitan dengan qira`at.
B.     Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. baik kekurangan secara materi maupun referensi. untuk Itu penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun. Sehingga makalah ini dapat disempurnakan di kemudian hari.


[1]M. Hussain Al-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.th), hal. 18
[2]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1995), hal. 83
[3]A. Dzajuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Pengembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Kencana, 2010), Edisi Revisi, hal. 36
[4]Lihat Bagian Depan Kitab Abi Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jami`ul Bayan `an Ta`wili Ayi Al-Qur`an Juz I, Muhaqqiq : Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, (Kairo : Markas Al-Buhus Al-Dirasat Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah, 2001)
[5]H. Salimuddin, Tafsir Al-Jami`ah, (Bandung : Pustaka,1990), hal. 135
[6]M. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur'an, (Jakarta : INIS, 1997), hal. 93
[7]Ibid, hal 136
[8]J. J.G. Jansen, Diskursu Tafsir Al-Qur'an Modern, Terj Hairussalim, (Jakarta : Tiara Wacana, 1997), hal. 91-92
[9]Abi Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., hal. 11
[10]M. Husain Az-Dhahabi, Op. Cit., hal. 205
[11]M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1972), hal. 41
[12]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., hal.12
[13]Ibid.
[14]Yaqul Al-Hamawi, Mu` jam Al-Udaba` Jilid 18, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), hal. 50
[15]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), hal. 362
[16]Abdul Hamid Yunus (ed), Dairatul Ma 'arif Al-Islamiyah Juz 13, (t.tp, t.th), hal. 68.
[17]Harun Nasution, (ed), Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 1993), hal. 1233
[18]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Op. Cit., hal. 362
[19]M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Op. Cit., hal. 222
[20]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., hal. 36-40
[21]Rosihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra`iliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Jbnu Katsir, (Bandung : CV Pustaka Selia, 1999), hal. 58
[22]Ibid.
[23]Jalaluddin As-Suyuthi, Tabaqat Al-Mufassirin, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1982), hal. 82.
[24]J. J. G. Jansen, Op. Cit., hal. 91
[25]Manna’ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur`an, (t.tp : Haramain, t.th), hal. 385
[26]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., hal.40-45
[27]Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 12
[28]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., Juz 18, hal. 88
[29]Manna’ Khalil Al-Qattan, Op. Cit., hal. 347

No comments:

Post a Comment