PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebelum tersebar luar ke penjuru dunia, mengandalkan aturan
hukum pada kuatnya tradisi riwayat yang dimulai dari masa Nabi Muhammad saw
sampai kepada zaman sahabat dan tabi’in. Baru setelah Islam
berada di wilayah-wilayah yang jauh dari heart of Islam yakni Mekah dan
Madinah, dan Islam saat itu mulai menjadi alat kekuasaan dari para raja-raja
kecil di daerah, maka terjadilah pembaharuan hukum di dalamnya melalui jalan
ijtihad, termasuk dengan hukum keluarganya.
Kuatnya penerapan ijtihad di daerah-daerah
tersebut mengakibatkan perbedaan hukum antara wilayah satu dengan wilayah
lainnya, hal ini selaras dengan semangat ijtihad yang dihadirkan akibat adanya
perubahan tempat, waktu dan keadaaan.[1] Lebih dahsyatnya lagi, sejak tahun 1917 di negara-negara Timur
Tengah yang notabene sebagi negara Islam mulai melakukan reformasi hukum di
bidang family law seperti Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Oman dan
lain-lain. Usaha pembaharuan tersebut diawali oleh Turki pada tahun tersebut
dengan lahirnya The Ottoman Law of Family Rights atau dalam bahasa
Arabnya yakni Qanun Qarar al-Huquq al-‘A`ilah al-Utsmaniyyah.[2]
Perkembangan hukum Islam, termasuk masalah
hukum keluarga yang begitu dramatis tersebut digambarkan oleh Noel J. Coulson
dalam ungkapannya yang begitu menarik, bahwa pembentukan dan perumusan hukum
Islam adalah melalui proses yang dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan. Mula-mula arsitektur, diikuti oleh tukang bagunan yang mengimplementasikan
rencana-rencananya, kemudian para seniman pengrajin dari tiap generasi
menyumbang perlengkapan, perabotan dan hiasan interior bagi bangunan tersebut.
Ketika tugas telah selesai, muncullah generasi jurist (ahli hukum) yang
tinggal menjadi perawat pasif dari “gedung abadi” tersebut.[3]
Geliat yang kuat untuk melakukan perubahan hukum keluraga juga
terjadi di negara Yordania, hal ini terlihat dari diberlakukannya pula The
Ottoman Law of Family Rights pada 1917 sebelum lahirnya Undang-Undang No.
92 Tahun 1951. Oleh karenanya melalui makalah ini, penulis akan mencoba untuk
menggambarkan tentang sejarah, praktek dan pembaharuan hukum keluarga yang ada
di negara tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa
masalah pokok yang akan penulis bahas, di antaranya :
1. Biografi negara Yordania
2. Bentuk Pembaharuan yang dilakukan oleh Negara Yordania
PEMBAHARUAN HUKUM KEUARGA DI YORDANIA
A. Biografi Negara Yordania
Yordania adalah salah satu negara yang berada di dalam wilayah Timur
Tengah
yang memiliki ibu kota di kota Amman. Negara ini memperoleh
kemerdekaan pada tanggal 25 Mei 1946. Yordania merupakan negara yang baru
diakui kemerdekaannya, sebelumnya masih bernama Transyordania dan sebutan
negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka, Yordania
merupakan bagian dari teritorial kerajaan Utsmani
(Ottoman), yang akhirnya berakhir setelah perang dunia kesatu. Wilayah
bagian ini sempat menjadi suatu wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris
dimana bagian wilayah dari sungai Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol
Inggris sampai ke wilayah Palestina di bagian Barat sungai Jordan.[4]
Kerajaan ini didirikan oleh Amir Abdullah pada
taun 1922 berdasarkan mandat yang diberikan oleh Inggris yang menguasai
sebagian besar kawasan Timur Timur Tengah pada awal-awal abad ini setelah
berhasil mengalahkan Kekaisaran Turki Usmani bersama kekuatan-kekuatan Eropa
lainnya seperti Perancis yang menguasai wilayah ini selama berabad-abad.[5]
Secara historis Yordania tidak memiliki aspek
kesejarahan yang memungkinkannya untuk membentuk sebuah negara, kecuali atas
kedekatan penguasa setempat, Amir Abdullah, dengan Inggris yang menguasai
kawasan tersebut ketika itu. Komposisi
masyarakat Yordania terdiri dari warga asli setempat (badui)
dan petani-penggembala serta warga Palestina yang terdiri dari para pengungsi
yang wilayah mereka digusur oleh Israel dan warga Tepi Barat Palestina.[6]
Penduduk Yordania sangan sedikit dibandingkan
dengan pendatang dari Palestina. Diperkirakan 62% penduduk negara Yordania
berasal dari Palestina. Hal ini terjadi karena pihak kerajaan membuka pintu
lebar bagi imigran Palestina dan memberi kesempatan untuk menjadi warga negara
Yordania.
Yordania mempunyai empat perbatasan darat,
yaitu sebelah utara dengan Suriah, di selatan dengan Saudi Arabia, di barat
dengan Palestina, dan bagian timur dengan Iraq. Sedangkan untuk bagian laut
hanya mempunyai satu perbatsan dengan Mesir. Kawasan Yordania terletak di
sepanjang sungai Yordania, Laut Mati dan Wadi Araba. Laut mati merupakan tempat
terendah di dunia menjangkau 400 meter di bawah permukaan laut, sedangkan
puncak tertinggi di Yordania terdapat gunung Ummud Dami mencapai 1854 meter.[7]
Terkait dengan sosial politik, negara Yordania
menganut sistem pemerintahan Monarki konstitusional. Tahta kerajaan merupakan
warisan turun temurun yang dipegang oleh keluarga Hasyimiyah. Permerintahan
dijalankan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana mentri yang diangkat oleh
raja dan tidak dibatasi oleh waktu yang tetap. Sedangkan parlemen yang terdiri
dari majelis Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum secara langsung
dan Majelis Tinggi Raja yang dipilih secara langsung oleh Raja. Teradapat
berbagai macam partai politik yang mana terbagiakan menjadi empat haluan yaitu
berhaluan Islam, masyarakat, Marxism dan moderat. [8]
Mata uang negara Yordania
adalah dinar. Dan dari segi perekonomian negara Yordania merupakan salah satu negara
yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Ini dapat terlihat dari GNP
perkapita yang telah mencapai 6 % pertahun, sementara pertumbuhan penduduknya
hampir separuhnya yaitu sekitar 3,5 %. Walaupun negara Yordania merupakan
negara Timur Tengah yang miskin bahan tambang dan harus mengimport minyak itu
dari luar negeri.
Dari
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara Yordania itu berasal dari hasil tani
dan sumber alam lainnya. Hasil pertanian yang diperoleh di negara Yordania
adalah padi-padian, buah zaitun, sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan dari bahan
sumber alamnya yang dapat diolah di negara Yordania yaitu pospat, garam,
sedangkan perkembangan pengolahan bahan tambang lainnya adalah tekstil,
plastic, semen, dan prosesing makanan.
Maka dari itu sejauh ini perkembangan negara Yordania dari bidang
ekonomi menghasilkan income per capita sebesar $ 3.500 pada tahun 2002.
sedangkan GNP nya mencapai $ 16 bilyun pada tahun 20002. sehingga budget yang
ada di negara Yordania mencapai $ 99,3 bilyun pada tahun 1999.[9]
B. Bentuk Pembaharuan Hukum Keluarga di Yordania
Yordania yang merupakan salah satu dari bekas kerajaan Ottoman
berada dalam pemerintahan tidak langsung dari Pemerintah Inggris, sistem hukum
kerajaan Ottoman tetap dipertahankan. Pada 1927, beberapa hukum
Ottoman—termasuk di dalamnya The Ottoman Law of Family Right 1917—ditetapkan
kembali dengan beberapa perubahan. Kerajaan Yordania menjadi negara merdeka
secara penuh pada 1 Februari 1947 dengan Islam sebagai agama negara.[10]
Konsep dasar sistem hukum Yordania
berasal dari kerajaan Ottoman dengan mengalami beberapa perubahan untuk
keperluan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat waktu itu.
Pada 1947, Law of Family Rights sementara ditetapkan.
Regulasi ini tetap dipertahankan dalam kekuasaan sampai digantikan oleh Law
of Family Rights (Undang-undang Hak Keluarga) pada 1951, yang sebagian
besarnya mengikuti bentuk Ottoman Law of Family Rights (Undang-undang
Hak Keluarga Kerajaan Ottoman). Undang-undang Hak Keluarga Yordania 1951
merupakan seri pertama dari proses kodifikasi hukum keluarga Islam yang
dikeluarkan pada 1950-an oleh badan legislatif Nasional Negara Arab yang baru
merdeka. Konstitusi yang baru diadopsi pada 1952 dengan mempertahankan agama
dan hak-hak umum sebagai dasar yurisdiksi dalam persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan status personal. meskipun pada awalnya Yordania membentuk
satu regulasi hukum keluarga sendiri. Namun pada perkembangam selanjutnya pemerintah
kembali mengadopsi hukum keluarga yang didasarkan pada sebagian besar hukum
keluarga kerajaan Ottoman.
Undang-undang Status Personal Yordania digantikan dengan
Undang-undang Hak Keluarga Yordania Tahun 1951. Undang-undang ini menyajikan
sebuah regulasi yang lebih komprehensif dengan mempertahankan konsep fikih
klasik Hanafi dalam ketiadaan referensi yang spesifik dalam bentuk teks. Tarik
ulur usaha pembentukan peraturan yang mengatur masalah hukum keluarga di
Yordania, yang pada akhirnya usaha ini mengarah pada kodifikasi peraturan yang
didasarkan pada fikih klasik mazhab Hanafî.
Berkenaan dengan pemberlakuan hukum keluarga
Islam khususnya perkawinan di dunia Islam, negara Yordania sebagai pemetaan,
dilihat dari sudut pandang pemberlakuan undang-undang, masuk kelompok
negara-negara yang telah memberlakukan pembaruan hukum keluarga Islam. Landasan
yang dipakai sebagai landasan pokok para ahli hukum lebih banyak merujuk
langsung pada mazhab Hanafi, karena mazhab Hanafi memiliki pengaruh yang sangat
dominan di negara Yordania. Akan tetapi ketika dilakukan pembaruan hukum,
beberapa mazhab selain mazhab Hanafi juga dijadikan sumber rujukan untuk
memperbaiki materi hukum keluarga yang sudah ada. Dengan demikian, meskipun
Yordania menganut mazhab Hanafi akan tetapi Yordania dalam melakukan beberapa
pembaruan hukum keluarga menggunakan metode Intra-doctrinal reform,
yakni reformasi hukum dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab.[11]
Pemberlakuan perundang-undangan hukum keluarga
negara Yordania dimulai dari terbentuknya UU Nomor 26 tahun 1947. Yordania pada mulanya pernah memberlakukan The
Otoman Law of Family Right 1917,
hingga 4 tahun kemudian diundangkan hukum keluarga yang termaktub dalam UU
nomor 1976 Yordania merevisi undang-undang yang dibuatnya pada tahun 1951,
yaitu dengan munculnya UU nomor 61 1976. Hukum keluarga tertulis ini yang lebih
khusus membahas undang-undang perkawinan lebih dikenal dengan Yordania: The
Code of Personal Status and Supplementary Laws 1976 (Yordania: Undang-undang tentang Status Pribadi dan
Hukum-hukum tambahan 1976).[12]
Adapun reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania
antara lain terkait dengan masalah:
1.
Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan Yordania dapat melakukan perkawinan jika
telah berusia 16 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Hal ini
merupakan ketentuan yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 93 tahun
1951.
Batas usia perkawinan di Yordania sebagaimana The
Code of Personal Status 1952, sebelum diamandemen adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun
bagi perempuan. Jika melanggar ketentuan tentang usia tersebut, maka
pelanggaran akan dikenai hukuman penjara. Untuk pengecualian batas usia
perkawinan adalah 15 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan, dengan ijin
hakim. Bagi wanita yang berusia 17 tahun ingin menikah tanpa melihat aspek kafa’ah,[13]
Sementara orang tuanya atau walinya tidak memberikan ijin, maka
pengadilan dapat memberikan ijin.Ketentuan batasan usia perkawinan setelah
diamandemen yang berlaku di Yordania sebagaimana dalam The
Code of Personal Status 1976, adalah
16 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Bagi wanita yang
berusia 16 tahun ingin menikah tanpa melihat aspek kafaah,
sementara orang tuanya atau walinya tidak memberikan ijin, maka pengadilan
dapat memberikan ijin.[14]
2.
Mahar dalam Pernikahan
Dalam Undang-Undang Yordania No.61 tahun 1976, masalah mahar
dibahas dalam pembahasan tersendiri, yaitu pada bagian ke-8 yang memuat 21
pasal, pasal 44-65. Dalam
pasal ini pembahasan tentang mahar dilakukan secara rinci. Namun sebelum itu,
masalah mahar juga disinggung pada bagian aturan-aturan yang berhubungan dengan
perkawinan dan di dalamnya memuat masalah mahar, nafkah, dan hak untuk saling
mewarisi. Di sana dijelaskan tentang status mahar, yaitu kalau akad nikah sudah
dilakukan, mahar dan nafkah menjadi wajib dan juga ada hak untuk saling
mewarisi.
Kemudian disebutkan akibat dari mahar, bahwa setelah menerima
mahar, isteri wajib menunjukkan sifat patuh kepada suami, tinggal di rumah
suami, dan pindah bersama suami ke tempat yang diinginkan suami, meskipun di
luar negeri, dengan syarat tempat tinggal tersebut aman. Kalau isteri menolak
(tidak patuh) maka hak nafkah hilang.
Adapun jenis mahar terdiri atas: (1) Mahar khusus, yaitu mahar yang
disetujui kedua pihak pada waktu akad nikah. (2) Mahar sepantasnya (mahar mitsil),
yaitu mahar yang sesuai dengan status sosial keluarga isteri. Jika sulit untuk
menetapkan mahar yang sesuai maka disesuaikan dengan kepantasan di tempat
tinggalnya. Mahar khusus boleh dibayar tunai atau hutang, seluruhnya atau
sebagian, dan dibuktikan dengan dokumen tertulis. Kalau tidak ada penjelasan
tentang waktu pembayaran berarti mahar dibayar tunai. Pembatalan
membayar mahar adalah karena suami wafat.
Akibat-akibat dari mahar dapat digambarkan bahwa kalau isteri
menerima sebagian mahar, kemudian setuju sisanya dibayarkan pada waktu
tertentu, isteri tidak berhak menolak patuh pada suami. Kalau
jumlah mahar sudah ditetapkan dalam akad nikah, maka harus dilunasi seluruhnya.
Sementara kalau perceraian terjadi sebelum terjadi hubungan badan, maka wajib
membayar setengah mahar. Kalau pisah terjadi sebelum terjadi hubungan badan antara suami dan
isteri dan atas permintaan isteri karena ada cacat atau penyakit suami atau
permintaan wali karena tidak se-kufu’, maka mahar hilang seluruhnya. Demikian
pula mahar kembali kepada suami kalau terjadi perceraian sebelum hubungan
badan. Mahar setengah harus dibayar kalau perceraian terjadi atas
inisiatif suami dan belum terjadi hubungan badan, misalnya karena perceraian, ila’, li’an,
murtad, impoten, menolak Islam padahal isterinya Muslimah, atau
tindakan-tindakan lain dari suami yang menyebabkan putusnya perkawinan.[15]
Demikian pula hak mahar hilang seluruhnya kalau terjadi perceraian
karena ulah dan tindakan isteri, misalnya isteri murtad, menolak Islam padahal
suaminya Muslim dan isteri bukan ahli kitab, atau tindakan-tindakan lain yang
mengakibatkan putusnya perkawinan. Jika menerima sesuatu sebagai mahar, isteri
harus mengembalikannya. Juga hak isteri mendapat mahar hilang seluruhnya kalau perceraian
terjadi atas inisiatif suami dengan alasan ada cacat atau penyakit isteri dan
perceraian terjadi sebelum hubungan badan. Demikian juga suami berhak minta kembali
kalau sudah memberikan mahar. Mahar
mitsl wajib dibayar kalau
tidak ada mahar khusus dalam akad nikah atau karena tidak ada mahar dalam
perkawinan.
Kalau terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah mahar khusus dan
tidak ada bukti tentang itu, maka mahar mitsl menjadi wajib. Tetapi
kalau tuntutan datang dari isteri dan jumlahnya tidak lebih besar dari mahar mitsl,
maka wajib dibayar. Kalau tuntutan datang dari suami wajib dibayar kalau
jumlahnya tidak lebih dari mahar mitsl.
Demikian pula kalau terjadi perbedaan pendapat antara suami dan
isteri tentang jumlah mahar khusus, maka kewajiban isteri untuk membuktikan.
Dan kalau tidak dapat membuktikan, maka pendapat suami yang diterima dengan
sumpah, kecuali suami menentukan mahar yang tidak sejalan dengan adat, maka
mahar mitsl yang dibayar. Pada akhirnya tidak ada tuntutan yang dapat
dikabulkan tentang mahar yang bertentangan dengan akad nikah, kecuali didukung
dengan bukti.
Adapun status kepemilikannya, mahar menjadi kekayaan isteri. Tidak
ada pihak yang berhak meminta sesuatu dari suami, baik bapak sendiri atau
keluarga, yang berkaitan dengan penerimaan isteri dalam perkawinan. Bahkan
suami berhak menuntut kembali kalau ada sesuatu yang diberikan yang berkaitan
dengan perkawinan. Tetapi disebutkan pula, jika yang bertindak sebagai wali adalah
bapak atau kakek, maka dia berhak memiliki mahar anak/cucunya, bahkan meskipun
si anak sudah mempunyai hak penuh, dengan syarat suami tidak menolak membayar. Jadi
terkesan bagian dari mahar tersebut boleh diambil wali. Kemudian disebutkan,
suami boleh menaikkan jumlah mahar setelah akad nikah atau menurunkannya oleh
isteri, dengan syarat diterima oleh para pihak yang bersangkutan.[16]
3.
Wali dalam pernikahan
Kedudukan wali dalam hukum keluarga Yordania
sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu
berdasarkan madzhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Utsmani yang
dikenal dengan The Turkish Ottoman Law of Family Rights 1917. Pada tahun 1951, pemerintah (Lembaga
Legislatif) Yordania mengganti undang-undang tersebut dengan hukum yang baru
dikenal dengan al-Qanun al-Huquq
al-‘Aila (The Law
of Family Rights). Undang-Undang ini telah diamandemen pada tahun 1976 The Code of
Personal Status 1976 amandemennya UU Nomor 25 tahun 1977. Ketentuan wali
dijelaskan pada Pasal 9 hingga Pasal 13, Wali dalam pernikahan adalah urutan ashobah
binafsihi dalam urutan waris menurut mazhab Hanafi.[17]
Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum
ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah,
ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandung dan saudara seayah.
Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah
anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri).[18]
Kedudukan wali berada pada beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan
seorang wali di antara para wali akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata
wali aqrob tidak ada, demi kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah
pada wali berikutnya dan tidak dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara
wali dengan janda yang berusia 18 tahun atau lebih.
Hukum keluarga Yordania juga membahas mengenai wali adhol
pada pasal 6. Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia pernikahan. Wali adhol
ditetapkan oleh hakim apabila ternyata walinya enggan menikahkan anaknya. Dalam
hal tidak ada wali ayah dan kakek, penetapan wali adhol dapat dilakukan sampai
batas usia 15 tahun, akan tetapi apabila ada wali ayah atau kakek, wali adhol
baru dapat dipertimbangkan apabila usia calon mempelai 18 tahun. Kedudukan wali
dalam pernikahan dapat saja diabaikan terhadap janda yang berusia 18 tahun atau
lebih.
Apabila diteliti pasal demi pasal yang berkaitan dengan wali,
terdapat ambiguitas mengenai kedudukan wali tersebut. Pasal
14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah pernikahan dengan adanya ijab qabul
yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah menjadi penting bagi peremuan
(gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18 tahun, sehingga apabila
perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan dirinya
sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 yang menyebutkan
bahwa, seorang gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, maka ia
menikahkan dirinya.
Dengan demikian, kedudukan wali bukan menjadi suatu keharusan dalam
akad nikah. Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam pernikahan, dalam beberapa
hal, kedudukan wali menjadi penting, yaitu:
1.
Seorang
wali (juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang wali
menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya dan
dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyata si suami
tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam
akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi
wali ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2.
Seorang
wali dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya (gadis
ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak sekufu.
Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar, karena meskipun
maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali tidak dapat
mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan permohonan fasakh
tersebut apabila si istri tidak dalam keadaan hamil (Pasal 23). Penilaian
kafaah dilihat pada saat akad nikah yakni kemampuan untuk membayar mahar kontan
serta kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama istrinya.
Kedudukan
wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya menjadi fasid. Yang dimaksud adalah bahwa yang menjadi wali
nikah adalah ayah dan kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi.
Seseorang dapat menjadi wali setelah diketahui bahwa dia adalah
mukallaf. Meskipun Yordania mayoritas bermazhab Hanafi, namun hukum
keluarga Yordania menganggap penting posisi wali dalam pernikahan. Padahal
dalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam melakukan pernikahan.[19]
4.
Janji pernikahan
Dalam Undang-Undang Islam di
Yordania, pada pasal dua dan tiga undang-undang tahun 1951, Pasal-pasal
tersebut menjelaskan bahwa janji menikah tidak akan membawa akibat pada adanya
pernikahan. Namun setelah adanya perjanjian, kemudian salah satunya meninggal
atau perjanjian itu batal, maka beberapa hadiah pemberian sebelumnya dapat
diambil kembali oleh pihak laki-laki.[20]
5.
Perkawinan beda Agama
Yordania sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Sunni mazhab Ḥanafi sesungguhnya beranjak dari pendapat mazhab Ḥanafi yang menyatakan bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitab adalah makruh. Bahkan, menurut ‘Abd al-Raḥman al-Jaziri, Mazhab Ḥanafi mengharamkan menikahi Ahl al-Kitab yang berada di dar al-ḥarb. Meskipun Mazhab Ḥanafi hanya menghukumi makruh, Hukum Keluarga Yordani justru tidak
melarang perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab.
Tidak dilarangnya perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab di Yordania merupakan kecenderungan kuat Hukum Keluarga Yordania
yang tidak begitu serius mengambil pendapat imam-imam mazhab yang pada umumnya
berpendapat makruh, yang cenderung mestinya dihindari dalam bahasa fikih. Ini
artinya, hukum perkawinan beda agama di Yordan mengambil pemahaman dan
penafsiran dari Alquran, surah al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl
al-Kitab dan
mengharamkan wanita Muslimah dinikahi oleh Ahl al-Kitab/Musyrik.
Hukum Perkawinan di Yordania secara tegas akan membatalkan setiap
perkawinan beda agama, yaitu laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita bukan Ahl
al-Kitab atau
Wanita Muslimah menikah dengan Ahl al-Kitab. Namun demikian, Hukum Keluarga di Yordania tidak menjelaskan
siapa yang dimaksud Ahl al-Kitab. Karena para imam mazhab sudah sejak lama memperdebatkan siapa Ahl
al-Kitab.
Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud Ahl al-Kitab adalah
Yahudi dan Nasrani karena mereka memiliki Taurat dan Injil, sedangkan agama
lainnya tidak masuk dalam kategori Ahl al-Kitab.[21]
6.
Pencatatan perkawinan
Mengenai ketentuan pencatatan
perkawinan diatur dalam undang-undang 1976 pasal 17. Dalam pasal ini dijelaskan
bahwa mempelai pria berkewajiban untuk mendatangkan qhadi atau wakilnya
dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana yang ditunjuk oleh
qhadi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat
perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang
mengadakan upacara perkawinan, kedua mempelai, dan saksi-saksi dapat dikenakan
hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.[22]
7. Poligami
Pada umumnya negara negara muslim dewasa ini bersikap cukup ketat dalam
masalah poligami dengan melakukan serangkaian batasan batasan dan syarat syarat
yang harus dipenuhi termasuk di dalamnya izin dari pengadilan. Di negara Yordania UU memberikan hak kepada istri untuk mengajukan
syarat saat akad nikah agar suaminya tidak melakukan poligami. Jika suami
melanggar syarat ini maka ia dapat mengajukan cerai ke pengadilan. Di Yordania
hal ini diatur dalam The Code of Personal Status 1976 pasal 19.[23] Meski Yordania
tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi
berat bagi pelanggarnya.
8.
Perceraian
Mengenai perceraian (thalaq) diatur dalam pasal 101 dan 134
undang-undang no. 25 tahun 1977. Menurut pasal-pasal ini, suami harus
mencatatkan talaknya kepada hakim. Bila suami telah mentalak isterinya di luar
pengadilan, dan ia tidak mencatatkannya dalam masa 15 hari, ia harus datang ke
pengadilan syariah untuk mencatatkan talaknya. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini dapat diancam dengan hukuman pidana di bawah ketentuan Hukum Pidana
Yordania. Dan jika seorang suami telah mentalak isterinya secara sepihak tanpa
ada alasan yang layak dibenarkan, maka isteri dapat mengajukan permohonan ganti
rugi ke pengadilan. Ganti rugi yang diberikan tidak boleh lebih dari nafkah
selama setahun sebagai tambahan bagi nafkah ‘iddah. Untuk pembayarannya
suami dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur.[24]
Selain itu, undang-udang No. 25 tahun 1977 juga mengatur kewenangan
isteri untuk meminta cerai. Dalam pasal 114, 116, 123, dan 130 dijelaskan bahwa
isteri memiliki kewenangan untuk meminta cerai dalam kondisi antara lain;
a.
Apabila
suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan isteri apabila
mereka hidup bersama. Namun jika penyakit yang diderita suami (selain
impotensi) sudah diketahui isteri sebelum perkawinan, maka isteri tidak punya
hak meminta perceraian. Dalam hal penyakit kelamin atau lepra, harus ada
pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda
selama setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan.
b.
Suami
meninggalkan isteri dalam jangka waktu satu tahun atau lebih tanpa alasan yang
jelas, meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya.
c.
Suami
divonis penjara selama tiga tahun, meski ia mempunyai harta yang cukup untuk
menafkahi isterinya selama ia menjalani hukuman. Perkawinan bisa dibubarkan
setahun setelah vonis dijatuhkan.[25]
9. wasiat wajibah
Khusus mengenai wasiat wajibah dijelaskan pada pasal 182
undang-undang 1976. Secara eksplisit pasal ini menjelaskan bahwa jika seseorang
meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka ada
sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan
dengan ketentuan;
a.
Wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini harus sama bagiannya dengan
yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih hidup, tetapi tidak boleh
lebih dari 1/3 harta warisan,
b.
Cucu-cucu ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka
berkedudukan sebagai ahli waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau
mereka telah diberi bagian oleh pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika
mereka telah menerima lebih dari jumlah wasiat wajibah tersebut, maka
kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah pemberian bebas. Dan jika pewaris
telah memberikan bagian harta kepada sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu
lain yang belum mendapatkan harus tetap diberi,
c.
Wasiat wajibah ini hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki
dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu
laki-laki, dan
d.
Wasiat wajibah ini harus diutamakan dari segala macam jenis
pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.[26]
Dalam aturan mengenai wasiat wajibah ini, ada hal yang
mencolok dari apa yang diatur oleh Yordania bahwa wasiat wajibah ini hanya
berlaku bagi keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari jalur
laki-laki saja, sedangkan cucu atau para cucu dari keturunan anak perempuan
(sekalipun dalam tingkat pertama) yang menurut Undang-undang wasiat Mesir
menjadi penerima wasiat wajibah tidak berhak
menerimanya.[27]
Undang-undang ini beralasan bahwa cucu dari anak perempuan itu
tergolong dzaw al-arham. Kedudukan mereka sejalan dengan kaidah hukum kewarisan yang
dianut fikih Suni, bahwa dzaw al-arham tidak berhak mewarisi selama masih ada ahli waris fard dan ashabah. Ketentuan tersebut sesuai dengan mazhab Hanafi
yang menganut paham bahwa keturunan dari laki-laki menjadi dasar utama
seseorang mewarisi.[28]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan
bahwa Yordania merupakan salah satu negara yang juga melakukan beberapa
pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga. Meskipun demikian sebagaimana yang
telah penulis kemukakan di atas, bahwa Yordania yang merupakan negara di bawah
kekuasaan kerajaan ottoman pada awalnya menggunakan sistem atau aturan yang
dibawa oleh kerajaan otoman tersebut yang disebut dengan The Ottoman of
Family Rights.
Setelah beberapa tahun Yordania juga
memberlakukan Qanun al-Huquq al-‘A`ilah al-Urduniah No. 26 tahun 1947, kemudian baru
disusul dengan lahirnya undang-undang No. 92 tahun 1951. Kemudian undang-undang ini diperbaharui dengan
undang-undang yang lebih lengkap (comprehensive) denga lahirnya Law
of Personal Status atau yang lebih dikenal dengan istilah Qanun al-Ahwal
al-Syakhshiyyah No. 61 Tahun 1976 sebelum lahirnya kodii, konsep Hanafi menjadi
rujukan di Yordania.
Adapun pembaharuan
yang terjadi di Yordania di bidang hukum keluarga di antaranya :
1. Usia pernikahan
2. Mahar dalam pernikahan
3. Wali dalam pernikahan
4. Pernikahan beda agama
5. Perjanian pernikahan
6. Pencatatan pernikahan
7. Perceraian dan
8. Kewarisan (wasiat wajibah).
Jika dilihat metode yang digunakan Yordania dalam
melakukan pembaharuan hukum keluarga adalah intra doctrinal reform. Karena
dalam beberapa kasus Yordania tidak hanya memberlakukan mazhab hanafi, akan
tetapi juga mengambil pendapat mazhab lain dalam memberlakukan aturan mengenai
hukum keluarga.
[1]Muhammad Shidqi
ibn Ahmad al-Barnu, al-Wajiz fi Idah al-Fiqh al-Kulliyyat, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1983), hal. 182
[2]Abdul Halim
Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang
Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal.
119
[4]Sebagaimana negara-negara Arab
lainnya, berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah
al-Urduniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik
penjajahan imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah
Islamiyah. Yordania sama seperti Saudi, Irak dan negeri-negeri
Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan bentukan penjajah Inggris yang
memberontak terhadap Khilafah Islam yang berpusat di Turki. Tidak aneh
jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa yang tunduk pada kepentingan
penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat. Lebih lanjut, lihat: Riza Sihbudi dkk, Profil Negara-Negara
Timur Tengah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hal.
207
[7]Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Yordania, Buku Panduan belajar di
Yordania, (HPMI Yordania Edisi II Juli, 2017), hal. 10
[9]Tahir
Mahmood, Family law Reform in the Muslim World, (Bombay :N.M. TRIPATHI, PVT. LTD,1972), hal. 8
[10]Tahir Mahmood, Family
Law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative
Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hal. 119
[11]Sri Hidayati, Ketentuan Wasiat Wajibah di Berbagai Negara Muslim, (Jurnal
Ahkam, Vol XII, No. 1, Januari 2012), hal. 86
[13]Khoirudin Nasution, HukumPerkawinan I, Op.Cit, hal. 68-70
[15]Khdariyah Barkah, Kedudukan Jumlah Mahar di Negara Muslim, (Jurnal
Al-Ahkam, Vol XIV, No.2 Juli 2014), hal. 281
[17]Tahir
Mahmood, Family Law Reform in
Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis, Op. Cit, hal. 73-76
[18]Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al-Syakhsiyyah fii Syari’ati al-Islamiyah (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), hal. 60
[19]Terlepas dari usaha penghargaan terhadap
kualifikasi perempuan di depan hukum, dengan berpedoman pada mazhab Hanafi
Yordania selangkah lebih maju dalam menempatkan perempuan untuk melakukan
pernikahan. Bagi seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih
(tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat menikahkan dirinya sendiri dengan
seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya kewenangan orang tua/wali dalam
pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun, menunjukkan adanya
tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang belum dewasa. Hukum keluarga dalam
madzhab Hanafi tidak memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab
dapat dilakukan mempelai istri atau wakilnya, atau oleh wali. Lebih lanjut,
lihat: Abdu al Wahhab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah ‘ala Wafqi
Madzhabi Abi Hanifah wama al-‘Amal fi al Muhakam (Kuwait: Dar al-Qalam,
1990), hlm. 22; Jumhur ulama berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam
pernikahan, seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya kecuali madzhab
Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa perempuan yang baligh dan berakal dapat
menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Mesir: al-Fath
li al-‘Allam al-‘Arab, t.t.), hlm. 84.
[20]Tahir Mahmood, Family
Law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis, Op. Cit., hal. 6
[21]Khamami Zadha, Arus Perdebatan Hukum Perkawinan beda Agama, (Jurnal
Ahkam Vol. XIII, No. 1 Januari 2013), hal. 43-44
[22]A.Kumedi Ja`far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Palembang
: AURA Printing & Publishing, 2013), hal. 79
[23]http://goligong.blogspot.co.id/2011/05/poligami-dalam-perundang-undangan.html diakses pada tanggal 03 Maret 2017
No comments:
Post a Comment