Wednesday, January 16, 2019

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI YORDANIA



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebelum tersebar luar ke penjuru dunia, mengandalkan aturan hukum pada kuatnya tradisi riwayat yang dimulai dari masa Nabi Muhammad saw sampai kepada zaman sahabat dan tabi’in. Baru setelah Islam berada di wilayah-wilayah yang jauh dari heart of Islam yakni Mekah dan Madinah, dan Islam saat itu mulai menjadi alat kekuasaan dari para raja-raja kecil di daerah, maka terjadilah pembaharuan hukum di dalamnya melalui jalan ijtihad, termasuk dengan hukum keluarganya.
Kuatnya penerapan ijtihad di daerah-daerah tersebut mengakibatkan perbedaan hukum antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, hal ini selaras dengan semangat ijtihad yang dihadirkan akibat adanya perubahan tempat, waktu dan keadaaan.[1] Lebih dahsyatnya lagi, sejak tahun 1917 di negara-negara Timur Tengah yang notabene sebagi negara Islam mulai melakukan reformasi hukum di bidang family law seperti Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Oman dan lain-lain. Usaha pembaharuan tersebut diawali oleh Turki pada tahun tersebut dengan lahirnya The Ottoman Law of Family Rights atau dalam bahasa Arabnya yakni Qanun Qarar al-Huquq al-‘A`ilah al-Utsmaniyyah.[2]
Perkembangan hukum Islam, termasuk masalah hukum keluarga yang begitu dramatis tersebut digambarkan oleh Noel J. Coulson dalam ungkapannya yang begitu menarik, bahwa pembentukan dan perumusan hukum Islam adalah melalui proses yang dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan. Mula-mula arsitektur, diikuti oleh tukang bagunan yang mengimplementasikan rencana-rencananya, kemudian para seniman pengrajin dari tiap generasi menyumbang perlengkapan, perabotan dan hiasan interior bagi bangunan tersebut. Ketika tugas telah selesai, muncullah generasi jurist (ahli hukum) yang tinggal menjadi perawat pasif dari “gedung abadi” tersebut.[3]
Geliat yang kuat untuk melakukan perubahan hukum keluraga juga terjadi di negara Yordania, hal ini terlihat dari diberlakukannya pula The Ottoman Law of Family Rights pada 1917 sebelum lahirnya Undang-Undang No. 92 Tahun 1951. Oleh karenanya melalui makalah ini, penulis akan mencoba untuk menggambarkan tentang sejarah, praktek dan pembaharuan hukum keluarga yang ada di negara tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa masalah pokok yang akan penulis bahas, di antaranya :
1.      Biografi negara Yordania
2.      Bentuk Pembaharuan yang dilakukan oleh Negara Yordania


PEMBAHARUAN HUKUM KEUARGA DI YORDANIA
A.    Biografi Negara Yordania
Yordania adalah salah satu negara yang berada di dalam wilayah Timur Tengah yang memiliki ibu kota di kota Amman. Negara ini memperoleh kemerdekaan pada tanggal 25 Mei 1946. Yordania merupakan negara yang baru diakui kemerdekaannya, sebelumnya masih bernama Transyordania dan sebutan negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka, Yordania merupakan bagian dari teritorial kerajaan Utsmani (Ottoman), yang akhirnya berakhir setelah perang dunia kesatu. Wilayah bagian ini sempat menjadi suatu wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris dimana bagian wilayah dari sungai Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol Inggris sampai ke wilayah Palestina di bagian Barat sungai Jordan.[4]
Kerajaan ini didirikan oleh Amir Abdullah pada taun 1922 berdasarkan mandat yang diberikan oleh Inggris yang menguasai sebagian besar kawasan Timur Timur Tengah pada awal-awal abad ini setelah berhasil mengalahkan Kekaisaran Turki Usmani bersama kekuatan-kekuatan Eropa lainnya seperti Perancis yang menguasai wilayah ini selama berabad-abad.[5]
Secara historis Yordania tidak memiliki aspek kesejarahan yang memungkinkannya untuk membentuk sebuah negara, kecuali atas kedekatan penguasa setempat, Amir Abdullah, dengan Inggris yang menguasai kawasan tersebut ketika itu. Komposisi masyarakat Yordania terdiri dari warga asli setempat (badui) dan petani-penggembala serta warga Palestina yang terdiri dari para pengungsi yang wilayah mereka digusur oleh Israel dan warga Tepi Barat Palestina.[6]
Penduduk Yordania sangan sedikit dibandingkan dengan pendatang dari Palestina. Diperkirakan 62% penduduk negara Yordania berasal dari Palestina. Hal ini terjadi karena pihak kerajaan membuka pintu lebar bagi imigran Palestina dan memberi kesempatan untuk menjadi warga negara Yordania.
Yordania mempunyai empat perbatasan darat, yaitu sebelah utara dengan Suriah, di selatan dengan Saudi Arabia, di barat dengan Palestina, dan bagian timur dengan Iraq. Sedangkan untuk bagian laut hanya mempunyai satu perbatsan dengan Mesir. Kawasan Yordania terletak di sepanjang sungai Yordania, Laut Mati dan Wadi Araba. Laut mati merupakan tempat terendah di dunia menjangkau 400 meter di bawah permukaan laut, sedangkan puncak tertinggi di Yordania terdapat gunung Ummud Dami mencapai 1854 meter.[7]
Terkait dengan sosial politik, negara Yordania menganut sistem pemerintahan Monarki konstitusional. Tahta kerajaan merupakan warisan turun temurun yang dipegang oleh keluarga Hasyimiyah. Permerintahan dijalankan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana mentri yang diangkat oleh raja dan tidak dibatasi oleh waktu yang tetap. Sedangkan parlemen yang terdiri dari majelis Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum secara langsung dan Majelis Tinggi Raja yang dipilih secara langsung oleh Raja. Teradapat berbagai macam partai politik yang mana terbagiakan menjadi empat haluan yaitu berhaluan Islam, masyarakat, Marxism dan moderat. [8]
Mata uang negara Yordania adalah dinar. Dan dari segi perekonomian negara Yordania merupakan salah satu negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Ini dapat terlihat dari GNP perkapita yang telah mencapai 6 % pertahun, sementara pertumbuhan penduduknya hampir separuhnya yaitu sekitar 3,5 %. Walaupun negara Yordania merupakan negara Timur Tengah yang miskin bahan tambang dan harus mengimport minyak itu dari luar negeri.
Dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara Yordania itu berasal dari hasil tani dan sumber alam lainnya. Hasil pertanian yang diperoleh di negara Yordania adalah padi-padian, buah zaitun, sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan dari bahan sumber alamnya yang dapat diolah di negara Yordania yaitu pospat, garam, sedangkan perkembangan pengolahan bahan tambang lainnya adalah tekstil, plastic, semen, dan prosesing makanan.  Maka dari itu sejauh ini perkembangan negara Yordania dari bidang ekonomi menghasilkan income per capita sebesar $ 3.500 pada tahun 2002. sedangkan GNP nya mencapai $ 16 bilyun pada tahun 20002. sehingga budget yang ada di negara Yordania mencapai $ 99,3 bilyun pada tahun 1999.[9]
B.     Bentuk Pembaharuan Hukum Keluarga di Yordania
Yordania yang merupakan salah satu dari bekas kerajaan Ottoman berada dalam pemerintahan tidak langsung dari Pemerintah Inggris, sistem hukum kerajaan Ottoman tetap dipertahankan. Pada 1927, beberapa hukum Ottoman—termasuk di dalamnya The Ottoman Law of Family Right 1917—ditetapkan kembali dengan beberapa perubahan. Kerajaan Yordania menjadi negara merdeka secara penuh pada 1 Februari 1947 dengan Islam sebagai agama negara.[10] Konsep dasar sistem hukum Yordania berasal dari kerajaan Ottoman dengan mengalami beberapa perubahan untuk keperluan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat waktu itu.
Pada 1947, Law of Family Rights sementara ditetapkan. Regulasi ini tetap dipertahankan dalam kekuasaan sampai digantikan oleh Law of Family Rights (Undang-undang Hak Keluarga) pada 1951, yang sebagian besarnya mengikuti bentuk Ottoman Law of Family Rights (Undang-undang Hak Keluarga Kerajaan Ottoman). Undang-undang Hak Keluarga Yordania 1951 merupakan seri pertama dari proses kodifikasi hukum keluarga Islam yang dikeluarkan pada 1950-an oleh badan legislatif Nasional Negara Arab yang baru merdeka. Konstitusi yang baru diadopsi pada 1952 dengan mempertahankan agama dan hak-hak umum sebagai dasar yurisdiksi dalam persoalan-persoalan yang berhubungan dengan status personal. meskipun pada awalnya Yordania membentuk satu regulasi hukum keluarga sendiri. Namun pada perkembangam selanjutnya pemerintah kembali mengadopsi hukum keluarga yang didasarkan pada sebagian besar hukum keluarga kerajaan Ottoman.
Undang-undang Status Personal Yordania digantikan dengan Undang-undang Hak Keluarga Yordania Tahun 1951. Undang-undang ini menyajikan sebuah regulasi yang lebih komprehensif dengan mempertahankan konsep fikih klasik Hanafi dalam ketiadaan referensi yang spesifik dalam bentuk teks. Tarik ulur usaha pembentukan peraturan yang mengatur masalah hukum keluarga di Yordania, yang pada akhirnya usaha ini mengarah pada kodifikasi peraturan yang didasarkan pada fikih klasik mazhab Hanafî.
Berkenaan dengan pemberlakuan hukum keluarga Islam khususnya perkawinan di dunia Islam, negara Yordania sebagai pemetaan, dilihat dari sudut pandang pemberlakuan undang-undang, masuk kelompok negara-negara yang telah memberlakukan pembaruan hukum keluarga Islam. Landasan yang dipakai sebagai landasan pokok para ahli hukum lebih banyak merujuk langsung pada mazhab Hanafi, karena mazhab Hanafi memiliki pengaruh yang sangat dominan di negara Yordania. Akan tetapi ketika dilakukan pembaruan hukum, beberapa mazhab selain mazhab Hanafi juga dijadikan sumber rujukan untuk memperbaiki materi hukum keluarga yang sudah ada. Dengan demikian, meskipun Yordania menganut mazhab Hanafi akan tetapi Yordania dalam melakukan beberapa pembaruan hukum keluarga menggunakan metode Intra-doctrinal reform, yakni reformasi hukum dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab.[11]
Pemberlakuan perundang-undangan hukum keluarga negara Yordania dimulai dari terbentuknya UU Nomor 26 tahun 1947. Yordania pada mulanya pernah memberlakukan The Otoman Law of Family Right 1917, hingga 4 tahun kemudian diundangkan hukum keluarga yang termaktub dalam UU nomor 1976 Yordania merevisi undang-undang yang dibuatnya pada tahun 1951, yaitu dengan munculnya UU nomor 61 1976. Hukum keluarga tertulis ini yang lebih khusus membahas undang-undang perkawinan lebih dikenal dengan Yordania: The Code of Personal Status and Supplementary Laws 1976 (Yordania: Undang-undang tentang Status Pribadi dan Hukum-hukum tambahan 1976).[12]
Adapun reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania antara lain terkait dengan masalah:
1.    Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan Yordania dapat melakukan perkawinan jika telah berusia 16 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Hal ini merupakan ketentuan yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 93 tahun 1951.
Batas usia perkawinan di Yordania sebagaimana The Code of Personal  Status 1952,  sebelum diamandemen adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Jika melanggar ketentuan tentang usia tersebut, maka pelanggaran akan dikenai hukuman penjara. Untuk pengecualian batas usia perkawinan adalah 15 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan, dengan ijin hakim. Bagi wanita yang berusia 17 tahun ingin menikah tanpa melihat aspek  kafa’ah,[13]
Sementara orang tuanya atau walinya tidak memberikan ijin, maka pengadilan dapat memberikan ijin.Ketentuan batasan usia perkawinan setelah diamandemen yang berlaku di  Yordania sebagaimana dalam  The Code of Personal Status 1976, adalah 16 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Bagi wanita yang berusia 16 tahun ingin menikah tanpa melihat aspek kafaah, sementara orang tuanya atau walinya tidak memberikan ijin, maka pengadilan dapat memberikan ijin.[14]
2.    Mahar dalam Pernikahan
Dalam Undang-Undang Yordania No.61 tahun 1976, masalah mahar dibahas dalam pembahasan tersendiri, yaitu pada bagian ke-8 yang memuat 21 pasal, pasal 44-65. Dalam pasal ini pembahasan tentang mahar dilakukan secara rinci. Namun sebelum itu, masalah mahar juga disinggung pada bagian aturan-aturan yang berhubungan dengan perkawinan dan di dalamnya memuat masalah mahar, nafkah, dan hak untuk saling mewarisi. Di sana dijelaskan tentang status mahar, yaitu kalau akad nikah sudah dilakukan, mahar dan nafkah menjadi wajib dan juga ada hak untuk saling mewarisi.
Kemudian disebutkan akibat dari mahar, bahwa setelah menerima mahar, isteri wajib menunjukkan sifat patuh kepada suami, tinggal di rumah suami, dan pindah bersama suami ke tempat yang diinginkan suami, meskipun di luar negeri, dengan syarat tempat tinggal tersebut aman. Kalau isteri menolak (tidak patuh) maka hak nafkah hilang.
Adapun jenis mahar terdiri atas: (1) Mahar khusus, yaitu mahar yang disetujui kedua pihak pada waktu akad nikah. (2) Mahar sepantasnya (mahar mitsil), yaitu mahar yang sesuai dengan status sosial keluarga isteri. Jika sulit untuk menetapkan mahar yang sesuai maka disesuaikan dengan kepantasan di tempat tinggalnya. Mahar khusus boleh dibayar tunai atau hutang, seluruhnya atau sebagian, dan dibuktikan dengan dokumen tertulis. Kalau tidak ada penjelasan tentang waktu pembayaran berarti mahar dibayar tunai. Pembatalan membayar mahar adalah karena suami wafat.
Akibat-akibat dari mahar dapat digambarkan bahwa kalau isteri menerima sebagian mahar, kemudian setuju sisanya dibayarkan pada waktu tertentu, isteri tidak berhak menolak patuh pada suami. Kalau jumlah mahar sudah ditetapkan dalam akad nikah, maka harus dilunasi seluruhnya. Sementara kalau perceraian terjadi sebelum terjadi hubungan badan, maka wajib membayar setengah mahar. Kalau pisah terjadi sebelum terjadi hubungan badan antara suami dan isteri dan atas permintaan isteri karena ada cacat atau penyakit suami atau permintaan wali karena tidak se-kufu’, maka mahar hilang seluruhnya. Demikian pula mahar kembali kepada suami kalau terjadi perceraian sebelum hubungan badan. Mahar setengah harus dibayar kalau perceraian terjadi atas inisiatif suami dan belum terjadi hubungan badan, misalnya karena perceraian, ila’, li’an, murtad, impoten, menolak Islam padahal isterinya Muslimah, atau tindakan-tindakan lain dari suami yang menyebabkan putusnya perkawinan.[15]
Demikian pula hak mahar hilang seluruhnya kalau terjadi perceraian karena ulah dan tindakan isteri, misalnya isteri murtad, menolak Islam padahal suaminya Muslim dan isteri bukan ahli kitab, atau tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan putusnya perkawinan. Jika menerima sesuatu sebagai mahar, isteri harus mengembalikannya. Juga hak isteri mendapat mahar hilang seluruhnya kalau perceraian terjadi atas inisiatif suami dengan alasan ada cacat atau penyakit isteri dan perceraian terjadi sebelum hubungan badan. Demikian juga suami berhak minta kembali kalau sudah memberikan mahar. Mahar mitsl wajib dibayar kalau tidak ada mahar khusus dalam akad nikah atau karena tidak ada mahar dalam perkawinan.
Kalau terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah mahar khusus dan tidak ada bukti tentang itu, maka mahar mitsl menjadi wajib. Tetapi kalau tuntutan datang dari isteri dan jumlahnya tidak lebih besar dari mahar mitsl, maka wajib dibayar. Kalau tuntutan datang dari suami wajib dibayar kalau jumlahnya tidak lebih dari mahar mitsl.
Demikian pula kalau terjadi perbedaan pendapat antara suami dan isteri tentang jumlah mahar khusus, maka kewajiban isteri untuk membuktikan. Dan kalau tidak dapat membuktikan, maka pendapat suami yang diterima dengan sumpah, kecuali suami menentukan mahar yang tidak sejalan dengan adat, maka mahar mitsl yang dibayar. Pada akhirnya tidak ada tuntutan yang dapat dikabulkan tentang mahar yang bertentangan dengan akad nikah, kecuali didukung dengan bukti.
Adapun status kepemilikannya, mahar menjadi kekayaan isteri. Tidak ada pihak yang berhak meminta sesuatu dari suami, baik bapak sendiri atau keluarga, yang berkaitan dengan penerimaan isteri dalam perkawinan. Bahkan suami berhak menuntut kembali kalau ada sesuatu yang diberikan yang berkaitan dengan perkawinan. Tetapi disebutkan pula, jika yang bertindak sebagai wali adalah bapak atau kakek, maka dia berhak memiliki mahar anak/cucunya, bahkan meskipun si anak sudah mempunyai hak penuh, dengan syarat suami tidak menolak membayar. Jadi terkesan bagian dari mahar tersebut boleh diambil wali. Kemudian disebutkan, suami boleh menaikkan jumlah mahar setelah akad nikah atau menurunkannya oleh isteri, dengan syarat diterima oleh para pihak yang bersangkutan.[16]
3.    Wali dalam pernikahan
Kedudukan wali dalam hukum keluarga Yordania sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu berdasarkan madzhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Utsmani yang dikenal dengan The Turkish Ottoman Law of Family Rights 1917. Pada tahun 1951, pemerintah (Lembaga Legislatif) Yordania mengganti undang-undang tersebut dengan hukum yang baru dikenal dengan al-Qanun al-Huquq al-‘Aila (The Law of Family Rights). Undang-Undang ini telah diamandemen pada tahun 1976 The Code of Personal Status 1976 amandemennya UU Nomor 25 tahun 1977. Ketentuan wali dijelaskan pada Pasal 9 hingga Pasal 13, Wali dalam pernikahan adalah urutan ashobah binafsihi dalam urutan waris menurut mazhab Hanafi.[17]
Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandung dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri).[18] Kedudukan wali berada pada beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan seorang wali di antara para wali akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata wali aqrob tidak ada, demi kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah pada wali berikutnya dan tidak dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara wali dengan janda yang berusia 18 tahun atau lebih.
Hukum keluarga Yordania juga membahas mengenai wali adhol pada pasal 6. Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia pernikahan. Wali adhol ditetapkan oleh hakim apabila ternyata walinya enggan menikahkan anaknya. Dalam hal tidak ada wali ayah dan kakek, penetapan wali adhol dapat dilakukan sampai batas usia 15 tahun, akan tetapi apabila ada wali ayah atau kakek, wali adhol baru dapat dipertimbangkan apabila usia calon mempelai 18 tahun. Kedudukan wali dalam pernikahan dapat saja diabaikan terhadap janda yang berusia 18 tahun atau lebih.
Apabila diteliti pasal demi pasal yang berkaitan dengan wali, terdapat ambiguitas mengenai kedudukan wali tersebut. Pasal 14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah pernikahan dengan adanya ijab qabul yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah menjadi penting bagi peremuan (gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18 tahun, sehingga apabila perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 yang menyebutkan bahwa, seorang gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, maka ia menikahkan dirinya.
Dengan demikian, kedudukan wali bukan menjadi suatu keharusan dalam akad nikah. Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam pernikahan, dalam beberapa hal, kedudukan wali menjadi penting, yaitu:
1.    Seorang wali (juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang wali menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya dan dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyata si suami tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi wali ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2.    Seorang wali dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya (gadis ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak sekufu. Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar, karena meskipun maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali tidak dapat mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan permohonan fasakh tersebut apabila si istri tidak dalam keadaan hamil (Pasal 23). Penilaian kafaah dilihat pada saat akad nikah yakni kemampuan untuk membayar mahar kontan serta kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama istrinya.
Kedudukan wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya menjadi fasid. Yang dimaksud adalah bahwa yang menjadi wali nikah adalah ayah dan kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi. Seseorang dapat menjadi wali setelah diketahui bahwa dia adalah mukallaf. Meskipun Yordania mayoritas bermazhab Hanafi, namun hukum keluarga Yordania menganggap penting posisi wali dalam pernikahan. Padahal dalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam melakukan pernikahan.[19]
4.    Janji pernikahan
Dalam Undang-Undang Islam di Yordania, pada pasal dua dan tiga undang-undang tahun 1951, Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa janji menikah tidak akan membawa akibat pada adanya pernikahan. Namun setelah adanya perjanjian, kemudian salah satunya meninggal atau perjanjian itu batal, maka beberapa hadiah pemberian sebelumnya dapat diambil kembali oleh pihak laki-laki.[20]
5.    Perkawinan beda Agama
Yordania sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Sunni mazhab Ḥanafi sesungguhnya beranjak dari pendapat mazhab Ḥanafi yang menyatakan bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitab adalah makruh. Bahkan, menurut ‘Abd al-Raḥman al-Jaziri, Mazhab Ḥanafi mengharamkan menikahi Ahl al-Kitab yang berada di dar al-ḥarb. Meskipun Mazhab Ḥanafi hanya menghukumi makruh, Hukum Keluarga Yordani justru tidak melarang perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab.
Tidak dilarangnya perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab di Yordania merupakan kecenderungan kuat Hukum Keluarga Yordania yang tidak begitu serius mengambil pendapat imam-imam mazhab yang pada umumnya berpendapat makruh, yang cenderung mestinya dihindari dalam bahasa fikih. Ini artinya, hukum perkawinan beda agama di Yordan mengambil pemahaman dan penafsiran dari Alquran, surah al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab dan mengharamkan wanita Muslimah dinikahi oleh Ahl al-Kitab/Musyrik.
Hukum Perkawinan di Yordania secara tegas akan membatalkan setiap perkawinan beda agama, yaitu laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita bukan Ahl al-Kitab atau Wanita Muslimah menikah dengan Ahl al-Kitab. Namun demikian, Hukum Keluarga di Yordania tidak menjelaskan siapa yang dimaksud Ahl al-Kitab. Karena para imam mazhab sudah sejak lama memperdebatkan siapa Ahl al-Kitab. Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud Ahl al-Kitab adalah Yahudi dan Nasrani karena mereka memiliki Taurat dan Injil, sedangkan agama lainnya tidak masuk dalam kategori Ahl al-Kitab.[21]
6.    Pencatatan perkawinan
Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam undang-undang 1976 pasal 17. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa mempelai pria berkewajiban untuk mendatangkan qhadi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana yang ditunjuk oleh qhadi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang mengadakan upacara perkawinan, kedua mempelai, dan saksi-saksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.[22]
7.      Poligami
Pada umumnya negara negara muslim dewasa ini bersikap cukup ketat dalam masalah poligami dengan melakukan serangkaian batasan batasan dan syarat syarat yang harus dipenuhi termasuk di dalamnya izin dari pengadilan. Di negara Yordania UU memberikan hak kepada istri untuk mengajukan syarat saat akad nikah agar suaminya tidak melakukan poligami. Jika suami melanggar syarat ini maka ia dapat mengajukan cerai ke pengadilan. Di Yordania hal ini diatur dalam The Code of Personal Status 1976 pasal 19.[23] Meski Yordania tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya.
8.    Perceraian
Mengenai perceraian (thalaq) diatur dalam pasal 101 dan 134 undang-undang no. 25 tahun 1977. Menurut pasal-pasal ini, suami harus mencatatkan talaknya kepada hakim. Bila suami telah mentalak isterinya di luar pengadilan, dan ia tidak mencatatkannya dalam masa 15 hari, ia harus datang ke pengadilan syariah untuk mencatatkan talaknya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diancam dengan hukuman pidana di bawah ketentuan Hukum Pidana Yordania. Dan jika seorang suami telah mentalak isterinya secara sepihak tanpa ada alasan yang layak dibenarkan, maka isteri dapat mengajukan permohonan ganti rugi ke pengadilan. Ganti rugi yang diberikan tidak boleh lebih dari nafkah selama setahun sebagai tambahan bagi nafkah ‘iddah. Untuk pembayarannya suami dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur.[24]
Selain itu, undang-udang No. 25 tahun 1977 juga mengatur kewenangan isteri untuk meminta cerai. Dalam pasal 114, 116, 123, dan 130 dijelaskan bahwa isteri memiliki kewenangan untuk meminta cerai dalam kondisi antara lain;
a.       Apabila suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan isteri apabila mereka hidup bersama. Namun jika penyakit yang diderita suami (selain impotensi) sudah diketahui isteri sebelum perkawinan, maka isteri tidak punya hak meminta perceraian. Dalam hal penyakit kelamin atau lepra, harus ada pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan.
b.      Suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu satu tahun atau lebih tanpa alasan yang jelas, meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya.
c.       Suami divonis penjara selama tiga tahun, meski ia mempunyai harta yang cukup untuk menafkahi isterinya selama ia menjalani hukuman. Perkawinan bisa dibubarkan setahun setelah vonis dijatuhkan.[25]
9.      wasiat wajibah
Khusus mengenai wasiat wajibah dijelaskan pada pasal 182 undang-undang 1976. Secara eksplisit pasal ini menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan dengan ketentuan;

a.       Wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini harus sama bagiannya dengan yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih hidup, tetapi tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan,
b.      Cucu-cucu ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka berkedudukan sebagai ahli waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau mereka telah diberi bagian oleh pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika mereka telah menerima lebih dari jumlah wasiat wajibah tersebut, maka kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah pemberian bebas. Dan jika pewaris telah memberikan bagian harta kepada sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu lain yang belum mendapatkan harus tetap diberi,
c.       Wasiat wajibah ini hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki, dan
d.      Wasiat wajibah ini harus diutamakan dari segala macam jenis pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.[26]
Dalam aturan mengenai wasiat wajibah ini, ada hal yang mencolok dari apa yang diatur oleh Yordania bahwa wasiat wajibah ini hanya berlaku bagi keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari jalur laki-laki saja, sedangkan cucu atau para cucu dari keturunan anak perempuan (sekalipun dalam tingkat pertama) yang menurut Undang-undang wasiat Mesir menjadi penerima wasiat wajibah tidak berhak menerimanya.[27]
Undang-undang ini beralasan bahwa cucu dari anak perempuan itu tergolong dzaw al-arham. Kedudukan mereka sejalan dengan kaidah hukum kewarisan yang dianut fikih Suni, bahwa dzaw al-arham tidak berhak mewarisi selama masih ada ahli waris fard dan ashabah. Ketentuan tersebut sesuai dengan mazhab Hanafi yang menganut paham bahwa keturunan dari laki-laki menjadi dasar utama seseorang mewarisi.[28]


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Yordania merupakan salah satu negara yang juga melakukan beberapa pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga. Meskipun demikian sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, bahwa Yordania yang merupakan negara di bawah kekuasaan kerajaan ottoman pada awalnya menggunakan sistem atau aturan yang dibawa oleh kerajaan otoman tersebut yang disebut dengan The Ottoman of Family Rights.
Setelah beberapa tahun Yordania juga memberlakukan Qanun al-Huquq al-‘A`ilah al-Urduniah No. 26 tahun 1947, kemudian baru disusul dengan lahirnya undang-undang No. 92 tahun 1951. Kemudian undang-undang ini diperbaharui dengan undang-undang yang lebih lengkap (comprehensive) denga lahirnya Law of Personal Status atau yang lebih dikenal dengan istilah Qanun al-Ahwal al-Syakhshiyyah No. 61 Tahun 1976 sebelum lahirnya kodii, konsep Hanafi menjadi rujukan di Yordania.
Adapun pembaharuan yang terjadi di Yordania di bidang hukum keluarga di antaranya :
1.      Usia pernikahan
2.      Mahar dalam pernikahan
3.      Wali dalam pernikahan
4.      Pernikahan beda agama
5.      Perjanian pernikahan
6.      Pencatatan pernikahan
7.      Perceraian dan
8.      Kewarisan (wasiat wajibah).
Jika dilihat metode yang digunakan Yordania dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga adalah intra doctrinal reform. Karena dalam beberapa kasus Yordania tidak hanya memberlakukan mazhab hanafi, akan tetapi juga mengambil pendapat mazhab lain dalam memberlakukan aturan mengenai hukum keluarga.


[1]Muhammad Shidqi ibn Ahmad al-Barnu, al-Wajiz fi Idah al-Fiqh al-Kulliyyat, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hal. 182
[2]Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 119
[3]Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (New York: The University Press, 1964), hal. 2
[4]Sebagaimana negara-negara Arab lainnya, berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah al-Urduniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Yordania sama seperti Saudi, Irak dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang berpusat di Turki. Tidak aneh jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa yang tunduk pada kepentingan penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat. Lebih lanjut, lihat: Riza Sihbudi dkk, Profil Negara-Negara Timur Tengah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hal. 207
[5]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 155
[6]Ibid  
[7]Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Yordania, Buku Panduan belajar di Yordania, (HPMI Yordania Edisi II Juli, 2017), hal. 10
[8]Ibid, hal. 10-11
[9]Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World, (Bombay :N.M. TRIPATHI, PVT. LTD,1972), hal. 8
[10]Tahir Mahmood, Family Law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hal. 119
[11]Sri Hidayati, Ketentuan Wasiat Wajibah di Berbagai Negara Muslim, (Jurnal Ahkam, Vol XII, No. 1, Januari 2012), hal. 86
[12]Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta : ACAdeMIA, 2013), hal. 66
[13]Khoirudin Nasution, HukumPerkawinan I, Op.Cit, hal. 68-70
[14]Ibid, hal. 207  
[15]Khdariyah Barkah, Kedudukan Jumlah Mahar di Negara Muslim, (Jurnal Al-Ahkam, Vol XIV, No.2 Juli 2014), hal. 281
[16]Ibid, hal 282
[17]Tahir Mahmood, Family Law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis, Op. Cit, hal. 73-76
[18]Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al-Syakhsiyyah fii Syari’ati al-Islamiyah (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), hal. 60
[19]Terlepas dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi perempuan di depan hukum, dengan berpedoman pada mazhab Hanafi Yordania selangkah lebih maju dalam menempatkan perempuan untuk melakukan pernikahan. Bagi seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya kewenangan orang tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang belum dewasa. Hukum keluarga dalam madzhab Hanafi tidak memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab dapat dilakukan mempelai istri atau wakilnya, atau oleh wali. Lebih lanjut, lihat: Abdu al Wahhab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah ‘ala Wafqi Madzhabi Abi Hanifah wama al-‘Amal fi al Muhakam (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), hlm. 22; Jumhur ulama berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam pernikahan, seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya kecuali madzhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa perempuan yang baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Mesir: al-Fath li al-‘Allam al-‘Arab, t.t.), hlm. 84.
[20]Tahir Mahmood, Family Law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis, Op. Cit., hal. 6
[21]Khamami Zadha, Arus Perdebatan Hukum Perkawinan beda Agama, (Jurnal Ahkam Vol. XIII, No. 1 Januari 2013), hal. 43-44
[22]A.Kumedi Ja`far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Palembang : AURA Printing & Publishing,  2013), hal. 79
[24]Ibid, hal 79-80
[25]Ibid, hal. 80
[26]Ibid, hal. 80-81
[27]Sri Hidayati, Ketentuan Wasiat Wajibah di Berbagai Negara Muslim, Op. Cit, hal. 85
[28]Ibid, hal. 86

No comments:

Post a Comment