Wednesday, January 16, 2019

TEORI HUKUM ISLAM SYI`AH ZAIDIYAH



SEJARAH SOSIAL DAN TEORI HUKUM ISLAM SYI`AH ZAIDIYAH
A.    Pendahuluan
Setelah Rasulullah saw wafat, sebagian besar sahabat menyetujui dan berbai'at kepada Abu Bakar sebagai khalifah pertama, dan sebahagian lainnya berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Itulah titik awal dari lahirnya golongan syi'ah. yaitu golongan pengikut dan pendukung Ali bin Abi Thalib. Golongan ini mulai berkembang pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Usman bin Affan dan semakin berkembang ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah. Setelah Ali bin AbiThalib meninggal, Syi'ah pecah aliran, ada yang ekstrim dan ada yang moderat, yang semuanya memiliki kefanatikan yang mendalam terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib.
Dalam perkembangan selanjutnya kelompok syi`ah pecah ke dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terpecah lagi ke dalam beberapa kelompok. Sebab-sebab perpecahan di antara mereka berkisar pada masalah penetapan imam dan strategi perjuangan dalam meraih jabatan tersebut.
Salah satunya adalah syi`ah Zaidiyah yang muncul sepeninggal `Ali Zainal `Abidin, imam keempat dalam Syi`ah Imamiyah. Nama kelompok ini diambil dari nama pemimpinnya, yaitu Zaid bin `Ali Zain al-`Abidin bin Husen bin `Ali bin Abi Talib. Syi`ah Zaidiyah muncul pada tahun 94 H ketika `Ali Zain al-`Abidin wafat. Saat itu kelompok syi`ah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pengikut Zaid bin `Ali dan kelompok pengikut Muhammad al-Baqir bin `Ali, saudara Zaid sendiri. Muhammad al-Baqir mengklaim diri sebagai imam berdasarkan nass dan wasiat dari ayahnya (imam sebelumnay), sedangkan Zaid tidak mengakui keberadaan nass dan wasiat dari imam sebelumnya. Menrutnya seorang imam tidak cukup hanya klaim semata, tetapi harus berani memproklamirkan diri secara terbuka dan berjuang untuk mendapatkan jabatan tersebut.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan hal-hal yang terkait dengan syi`ah Zaidiyah. Baik itu biografi Zaid bn Ali Zainal Abidin, kemudian perkembangan syi`ah Zaidiyah, kemudian teori-teori hukum yang disajikan oleh syi`ah Zaidiyah sendiri.
B.     Biografi Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain dan Perkembangan Syi`ah Zaidiyah
Syi'ah Zaidiyah adalah sekte syi'ah yang dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali ra.[1] Zaid bin Ali hidup di masa Bani Umayyah pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik yang merupakan khalifah kesepuluh dalam urutan khalifah Bani Umayyah. Zaid bin Ali pada saat itu berdomisili di Kuffah.
Ayah Zaid adalah Ali bin Zainal Abidin, Ayahnya meninggal pada tahun 94 H. Ketika usia Abu Zaid bin Ali Zainal Abidin berusia 14 tahun.[2]
Pada masa itu Zaid bin Ali dikenal sebagai seseorang yang pemberani, memiliki pengetahuan yang tinggi, disegani oleh masyarakat dan pantang mundur dalam rangka memperjuangkan dakwahnya. Dia mempunyai hubungan dekat dengan Washil bin Atha' dan sering bertukar pikiran dengan Abu Hanifah di Irak.[3]
Zaid Bin Ali tumbuh dan berkembang ditengah-tengan keluarga yang selalu memprioritaskan pendidikan. Dalam usianya yang masih muda, Zaid sudah memiliki keunggulan yang jarang dimiliki oleh orang lain sebayanya, seperti keilmuan dan kesopan-santunan yang luar biasa, akhlak yang sempurna, dll. Hal itu didukung oleh beberapa faktor internal, diantaranya ialah:
1.      Karena Zaid mempunyai nasab yang paling mulia dinegeri arab, dan didalam tubuhnya mengalir darah suci Rasulullah SAW.
2.      Karena beliau dan keluarganya telah lulus ujian yang diberikan Allah kepada mereka, sehingga Allah mengangkat derajat mereka.
3.      Karena keluarganya yang selalu mengarahkannya kepada ilmu pengetahuan, serta menganggap suatu ujian sebagi hiburan yang pada akhirnya akan berbuah pengetahuan.[4]
Dari tiga faktor internal inilah,   Zaid bin Ali tumbuh dan berkembang selalu dalam pengawasan ayahnya hingga menjadi seorang ulama’ terkemuka di Kuffah, yang alim dan banyak menguasai ilmu pengetahuan tentang islam. Dia adalah seorang imam yang ahli dalam bidang qira’aat, seperti ilmu Al-Qur’an beserta tafsirnya, ilmu nasikh wal mansukh, dan dia juga seorang ulama’ aqidah yang banyak dijadikan rujukan. Di samping ilmu qira’at, Zaid juga seorang yang mumpuni dalam bidang fiqih dan hadits, karena beliau mengambil hadits langsung dari ayahnya, ahlul bait, dan selainnya. Bahkan banyak syekh dari Kuffah yang belajar kepadanya. Berbagai pujian dan sanjungan datang kepada beliau dari orang yang pernah belajar kepadanya, diantaranya ialah Imam Abu Hanifah, Abdullah Bin Al-Hasan Bin Al-Hasan, Abu Muhammad , Ibrahim, dll.[5]
Abu Hanifah pernah berkomentar mengenai Zaid bin Ali, beliau mengungkapkan bahwa “Aku tidak pernah melihat seseorang pun di zaman Zaid bin Ali yang lebih faqih darinya dalam ilmu agama”.[6]
Di akhir hidupnya Zaid bin Ali menentang kekuasaan Dinasti Umayyah  dengan memobilisasi para pendukungnya di antara penduduk Kufah untuk melawan kekhalifahan.[7] Salah satu sebab yang memicu perlawan Zaid adalah karena ia merasa tersinggung atas perlakuan Khalifah terhadapnya ketika Zaid menghadiri suatu pertemuan yang dihadiri Hisyam.[8]
Zaid menyatakan keimamahannya di Kufah pada tahun 740 M. dalam memimpin gerakannya, Zaid mengambil sikap oposisi yang revolusioner terhadap Khilafah Umayyah yang waktu itu dipimpin oleh Hisyam bin Abd al-Malik (w. 743 M). Untuk mengambil hak kekhilafahan, Zaid menyatakan perang terbuka dengan penguasa Umayyah dan sikapnya yang revolusioner ini, menarik simpati kalangan pendukung ahl al-bait lalu bergabung dalam barisannya. Pada tahun 737 M, Zaid mulai mengatur strategi pemberontakan terhadap Khilafah Umayyah. Zaid mendatangi Madinah melakukan agitasi politik ditempat itu yang kemudian ia ditangkap dan diintrogasi oleh penguasa Damaskus, Hisyam bin Abd Malik. Tak lama setelah itu ia dibebaskan dan mendatangi Kufah untuk hal yang sama dengan sebelumnya ketika di Madinah, ia melakukan agitasi politik terhadap masyarakat Kufah.
Di kota ini, kota yang pernah mengkhianati kakeknya, Husein bin Ali dalam peristiwa Karbala, ia mendapat banyak dukungan dan pengaruh. Sampai akhirnya ia mampu menyusun pasukan yang cukup tangguh untuk melawan kekuatan pemerintahan Hisyam di Damaskus. Tetapi, dalam berbagai serangan yang ia lancarkan selalu dapat dipadamkan oleh pasukan pemerintah, meskipun ia telah mengatur strategi pertempuran yang matang. Mengulang penyebab tragedi Karbala, kegagalan serangan pasukan oposisi Zaid konon juga disebabkan oleh ketidaksetiaan para pendukungnya di Kufah. Kegagalan Zaid dalam revolusi ini menyebabkan ia terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah di bawah pimpinan panglima Yusuf b. Umar al-Tsaqafi. Sebagai peringa- tan dan juga intimidasi kepada lawan-lawan politiknya, Khilafah Umayyah sengaja menyalib dan menggantung jasad Zaid lalu dipamerkan di tengah-tengah kota. Tragedi Husein di Karbala kini menimpa cucunya, Zaid bin Ali bin Husein. Zaid meninggal dalam pertempuran melawan pasukan penguasa, lalu tubuhnya disalib tanpa busana sampai membusuk kurang lebih selama empat tahun, baru kemudian tiang salib berikut sisa-sisa tubuh Zaid dibakar dan abunya dibuang di sungai Euphrat.[9]
Syiah Zaidiyah adalah golongan yang paling moderat dibandingkan dengan sekte-sekte lain dan paling dekat dengan paham keagamaannya dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.[10] Dalam hal ini diterangkan :
“Syi’ah Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Ahlus Sunnah dan yang paling lurus. Dia tidak mengangkat imam-imamnya sampai martabat kenabian, bahkan juga tidak dapat mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam itu seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka seutama-utama orang sesudah Rasullah Saw. Mereka tidak mengkafirkan seorangpun diantara sahabat-sahabat nabi dan terutama orang (Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsaman ra) yang diba’iat oleh Ali dan mengakui keimamannya”.[11]
Pada awal perkembangannya setelah Zaid bin Ali wafat, syi`ah Zaidiyah terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Jurudiyah mereka merupakan pengikut dari Abi Jarud bin Abi Ziad. Menurut kalangan ini bahwa Nabi sebelum sepeninggalannya telah mengemukakan sifat-sifat imam. Menurut mereka sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang melekat pada diri Ali, akan tetapi menurut mereka umat muslim saat itu tidak tidak mengetahui sifat tersebut dan juga tidak berusaha mencarinya sehingga kemudian kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Maka menurut mereka kafirlah mereka yang tidak berusaha mencari dan mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi. Melihat hal tersebut syi`ah Jurudiyah ini dikatakan sudah menyimpang dari pendapat yang dikemukakan oleh Zain bin Ali sendiri.
2.      Sulaimaniyyah, mereka adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Menurut mereka imamah harus diputuskan dengan cara musyawarah. Oleh karena itu Abu Bakar dan `Umar berhak atas imamah karena dipilih berdasarkan ijtihad. Namun demikian ijtihadnya salah karena ada `Ali bin Abi Talib. Imam al-mafdul sah walaupun ada imam al-afdal. Sedangkan `Usman kafir karena perbuatannya. Begitu juga dengan `Aisyah, Zubair, dan Talhah.
3.      Salihiyah dan Butriyyah, Salihiyah adalah pengikut al-Hasan bin Salih bin Hayy, sedangkan Butriyyah pengikut Kasir al-Nawa al-Abtur. Walaupun tokohnya dua orang namun mereka satu mazhab karena pendapat mereka sama. Pendapat mereka tentang imamah sama seperti pendapatnya Sulaimaniyah. Bedanya mereka tawaquf tentang `Usman. Mereka tidak memberikan pendapatnya apakah `Usman itu mu`min atau kafir.[12]
Dalam bidang ilmu pengetahuan terdapat aktivitas keilmuan yang luas di kalangan Syi`ah Zaidiyah. Hal ini ditandai dengan banyaknya buku-buku yang dihasilkan oleh pemikir-pemikir mereka. Salah satu pendorongnya adalah salah satu kualifikasi imam yang harus mempunyai pengethuan yang luas, sedangkan mereka tidak mengakui adanya ilmu laduni. Oleh karena itu para pengarang kitab di kalangan Syi`ah Zaidiyah adalah para imam.
Dalam bidang fikih Zaidiyah mempunyai pemikiran sandiri. Zaid bin `Ali sendiri berhasil menyusun sebuah kitab yang berjudul Al-Majmu`. Di antara pendapatnya dalam bidang fikih yang berbeda dengan Syi`ah lainnya adalah penetapan lima takbir dalam salat jenazah, menolak adanya mash `ala khuffain, menolak pendapat yang mengatakan bahwa imam salat harus `alim, melarang memakan daging yang disembelih oleh non-muslim, dan menolak adanya nikah mut`ah yang merupakan ciri khas Syi`ah (Imamiyah).[13]
Kitab fiqih yang jadi rujukan Zaidiyah ada tiga, yaitu: Al-Majmu’ yang disusun oleh Zaid bin Ali bin Husein, al-Bahr az-Zahkhar al-Jami’ li Mazahib Ulama al-Amsar, kitab ini disusun oleh Ahmad bin Yahya al-Murtada. Yang ketiga ialah kitab al-Raud an-Nadir yang merupakan syarah dari al-Majmu’. Dikarang oleh Syarifuddin al-Husain bin Ahmad.[14]
Sedangkan Ulama-ulama yang terkenal dari Mazhab Zaidiyah antara lain : Hasan bin Shalih bin Hay (168 H), Hasan bin Zaid bin Muhammad yang digelari dengan Imam Da’i ila al-Haq (imam pengajak kepada kebenaran) yang juga menjadi raja di Tabaristan pada tahun 250-270 H. Qasim bin Ibrahim al-Alawi dan cucunya al-Hadi Yahya bin Husain bin Qasim, Abu Ja’far al-Muradi.[15]
Sedangkan madzhab syi`ah Zaidiyah sudah berkembang sejak pertengahan abad ketiga Hijriyah. Hasan bin Zaid pernah mendirikan negara Zaidiyah di Dailam (suatu daerah pegunungan di sebelah utara laut Kaspia), negara Tabristan (terletak di sebelah selatan laut Kaspia). Bahkan lebih khusus di Yaman Utara diketahui bahwa mayoritas penduduknya bermadzhab syi`ah Zaidiyah ini.
C.    Teori Hukum Islam Syi`ah Zaidiyah
Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh Al-Madzaib Al-Siyasah Al-Aqaid, mengatakan bahwa dalam mengistinbathkan hukum manhaj yang digunakan Zaid bin Zainal Abidin tidak jauh berbeda dari manhaj yang digunakan oleh para imam yang hidup di masanya. Seperti Imam Abu Hanifah, Abd Rahman bin Abi Laili, Usman Al-Buti, Az-Zuhri, dll.[16] Yaitu dengan mendahulukan Al-Qur`an, sunnah, ijma`, qiyas, dan akal.[17]
1.      Al-Qur`an
Tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembentukan hukum Islam. Seluruh Fuqaha’ dan umat Islam begitu juga dengan Mazhab Zaidiyah menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dalam hukum Islam.[18]
Dalam hal memahami al-Qur`an madzhab Zaidiyah setuju sepenuhnya dengan keyakinan jumhur kaum Muslimin, bahwa Al-Quran adalah kitabullah yang tidak dinodai oleh kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari hadirat yang Maha Bijaksana dan Terpuji.[19]
2.      Sunnah
Dalam pandangan Syiah Zaidiyah dalam penetapan al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Golongan Syiah Zaidiyah juga menganggap shahih apa yang terdapat dalam kutub al-Sunnah lain selain kitab al-Majmu’ karangan Imam Zaid bin Ali dan menggunakannya sebagai sumber dalil.
Mereka tidak memberikan batasan antara mereka dengan para Ahli hadist, mereka juga menerima Rawi-rawi hadist yang adil yang bukan semazhab dengan mereka sebagaimana mereka menerima Rawi-rawi yang semazhab dengan mereka. Tidak seperti Syi’ah Imamiyah yang tidak menerima perawi yang adil yang tidak termasuk dari golongan mereka.[20] Hal inilah yang membedakan Syi’ah Zaidiyah dan golongan Syi’ah yang lain.
Menurut syi`ah Zaidiyah dalam menerapkan sunnah mereka mendahulukan sunnah qauli, dan fi`li¸kemudian taqriri. Karena menurut madzhab syi`ah Zaidiyah lafaz-lafaz hadist yang secara qauli, menunjukkan kepada hukum syari`iyah yang jelas.[21]
3.      Ijma`
Mazhab Syi’ah, baik Syi’ah Imamiyah maupun Zaidiyah menggunakan ijma’ sebagai dasar dalam istinbat hukum, akan tetapi yang mereka maksud adalah ijma’ dari Imam-imam mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Hasbi al-Shidiqi bahwa Mazhab Syi’ah juga berpegang kepada ijma’ yang sumber pembentukannya berasal dari Imam-imam yang ma’shum. Hal ini terbukti bahwa golongan Syi’ah mengatakan ijma’ itu adalah: Kesepakatan suatu kelompok dimana kesepakatan itu berpijak atas dasar pandangan imam yang ma’sum.
Pandangan ini yang menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah. Artinya golongan Syi’ah yang hanya mengakui ijma’ ulama. Sementar itu, Syi’ah Zaidiyah sendiri sebenarnya ada perbedaan dengan Syi’ah Imamiyah. Syiah Zaidiyah dalam penerimaaan mereka tentang ijma’ lebih luwes. Mereka menerima ijma’ yang disepakati oleh semua ulama tanpa membedakan dan pengecualian, kecuali golongan yang tidak dipandang ahli dalam istinbath.
Akan tetapi, Syi’ah Zaidiyah juga mampunyai kekhususan tentang ijma’, yaitu mereka memgkhususkan ijma’ kepada imam empat yang tidak boleh ditolak. Keempat Imam yang dimaksud adalah Ali bin Abu Thalib, Fatimah, Hasan, Husain. Menurut golongan Syi’ah Zaidiyah keempat tokoh yang disebut terakhir ini sebagai orang-orang yang ma’sum.[22]
4.      Qiyas
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahrah bahwa madzhab Zaidiyah ketika beristinbath disebutkan pertma merujuk kepada kitabullah dan apabila tidak ditemukan mereka merujuk kepada sunnah Nabi, dan apabila tidak ditemukan mereka juga mempergunakan qiyas dalam manhaj istinbath hukum mereka.[23]
Qiyas menurut ahli ilmu ushul fiqh adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena mempersamakan kedua hal tersebut dalam illat hukumnya.[24]
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kauss itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena pada dasarnya hukum itu ada di mana illat hukum itu ada.[25]
Dalam hal memahami qiyas agaknya madzhab Zaidiyah juga memahami sebagaimana qiyas pada umumnya. Akan tetapi hal yang berbeda dari madzhab Zaidiyah ketika memahami qiyas adalah  bahwa madzhab syi`ah Zaidiyah juga mengkategorikan istihsan dan maslahah mursalah ke dalam bagian dari qiyas.[26]
5.      Akal
Penggunaan akal oleh golongan Syi’ah Zaidiyah dapat kita ambil kesimpulan bahwa Madzhab ini hampir sama dengan Madzhab Mu’tazilah yaitu mereka memberikan akal peran sentral dalam pemahaman akidah. Mereka juga mengggunakan akal untuk memahami hukum syari’at dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena mereka memberikan porsi yang banyak terhadap akal untuk mengetahui baik dan buruknya sesuatu, maka apabila menurut akal sesuatu itu baik maka wajib hukumnya untuk menjalani dan apabila ditinggalkan maka akan mendapatkan dosa. Begitu juga sebaliknya apabila menuruk akal buruk maka hukumnya dilarang. Kecanderungannya dalam penggunaan akal yang sangat berlebihan ini disebabkan karena kedekatannya dengan Washil bin Atho’, yang tidak lain adalah pendiri golongan Mu’tazilah. [27]
Mazhab inilah yang diambil oleh Syi’ah Zaidiyah, akal mempunyai peran banyak dalam menentukan baik buruknya setiap sesuatu dan beberapa konsekwensinya seperti hukum wajib, dilarang, pahala dan dosa. Akan tetapi Syi’ah Zaidiyah tidak memposisikannya langsung setelah dalil nash bahkan mereka memposisikannya setelah Qiyas beserta macam-macamnya dan ijma’. Dan menurut mereka bahwa akal digunakan apabila tidak ditemukan lagi jalan istinbath hukum dari beberapa sumber yang telah disebutkan di atas.[28]
D.    Beberapa Pandangan Syi`ah Zaidiyah
Sebagaimana yang diketahui bahwa syi`aah Zaidiyah merupakan sekte syi`ah yang paling dekat dengan ahl sunnah wal jama`ah. Salah satu produk fiqih dari syi`ah Zaidiyah ini adalah terkait dengan larangan nikah mut`ah.
Secara umum selama ini dipahami bahwa nikah mut`ah diperbolehkan di kalangan madzhab syi`ah. Meskipun demikian dalam hal ini madzhab Zaidiyah menganggap nikah mut`ah adalah nikah yang dilarang, dan hal tersebut berdasarkan hadits yang disampaikan oleh khalifah Umar bin khattab yang mengungkapkan pelarangan nikah mut`ah pada masa kekhalifahannya yang secara eksplisit matan hadis tersebut menghapuskan dan melarang mengenai praktik nikah mut`ah. Di sini terlihat bahwa syi`ah Zaidiyah masih mengikuti alur fiqh sunni yang mengharamkan praktik nikah mut`ah.[29]
Di sini juga dapat dipahami bahwa dalam penggunaan hadist syi`ah Zaidiyah tidak terlalu mempeeketat bahwa hadits yang dapat diterima hanyalah hadits yang diriwayatkan oleh ahl bait. mereka juga menerima Rawi-rawi hadist yang adil yang bukan semazhab dengan mereka sebagaimana mereka menerima Rawi-rawi yang semazhab dengan mereka.
Dapat dikatakan juga bahwa hal ini merupakan implikasi dari pemahaman imamah yang dimiliki oleh syi`ah Zaidiyah. Yang beranggapan bahwa walaupun Syi`ah Zaidiyah mengakui bahwa `Ali merupakan sahabat Nabi yang paling utama (afdal) sehingga ia lah yang paling berhak menjadi imam, namun mereka mengakui imamah Abu Bakar dan `Umar. Inilah yang mereka sebut dengan imam al-mafdul.
Dalam pandangan Zaidiyyah, kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah sah. Keduanya tidak merampas kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Jika ahl al-halli wa al-aqdi telah memilih seorang Imam dari kalangan kaum muslimin, meskipun orang yang terpilih tidak memenuhi standar dan sifat-sifat keImamahan, dan seluruh rakyat telah membaiatnya, maka, keImamahannya adalah sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya.[30] Pandangan seperti ini menyebabkan banyak pengikut yang keluar dari Syi’ah Zaidiyyah. Salah satu fenomenanya adalah mengendurnya dukungan terhadap perjuangan Zaid dalam mengangkat senjata melawan pasukan Hisyam bin Abd Malik. Hal ini disebabkan karena iklim Syi’ah kala itu pada umumnya menolak ke-Khilafah-an Abu Bakar dan Umar dan menuduh keduanya telah merampas hak ke-Khilafahan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Sebagai pengakuan terhadap ke-Khilafah-an Umar bin Khattab, Syi’ah Zaidiyah menolak doktrin nikah mut’ah (temporer), sementara bagi sekte Syi’ah lainnya nikah mut’ah menjadi salah satu ciri khas teologisnya. Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan pada masa Nabi Muhammad. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kebolehan nikah mut’ah dihapuskan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Karena pengakuannya terhadap keKhilafahan Abu Bakar dan Umar juga penolakannya terhadap pernikahan mut’ah, para pengkaji sering menyimpulkan kedekatan doktrin Syi’ah Zaidiyyah dengan doktrin Sunni ketimbang Syi’ah-syi’ah lainnya. Syi’ah tetaplah Syi’ah, yang berbeda dengan Sunni. Syi’ah Zaidiyyah tetap menggunakan symbol dan amalan Syi’ah. Dalam adzan misalnya, mereka memberikan imbuhan hayya ala khairi al-amal, dalam shalat Janazah menggunakan takbir lima kali dan menolak sahnya mash al-khuffain (mengusap “kaos kaki”) dan menolak memakan hewan sembelihan non-muslim.[31]
E.     Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syi`ah Zaidiyah merupakan sekte syi`ah yang menisbathkan madzhabnya kepada Zain bi Ali Zainal Abidin. yang merupakan anak dari Zainal Abidin. Melihat paparan di atas dapat dikatakan bahwa sekte syi`ah Zaidiyah merupakan syi`ah yang paling dekat pemahamannya dengan ahl sunnah wal jama`ah.
Dalam perkembangannya madzhab ini sebenarnya ada setelah Zaid bin Ali wafat. Kemudian madzhab dikembangkan oleh pengikut Zaid bin Ali dan menyusun kitab tersendiri, khususnya dalam masalah fiqh dan masalah hadits yang disebut dangan kitab Majmu` Al-Kabir. Sampai sekarang syi`ah Zaidiyah masih tetap eksis khususnya di negara Yaman Utara, karena diketahui mayoritas penduduk Yaman Utara bermadzhab syi`ah Zaidiyah.
Mengenai teori hukum Islam dalam madzhab Zaidiyah ini, sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa manhaj madzhab Zaidiyah tidak terlalu jauh dari ahl sunnah wal jamaah. Dalam urutan manhaj/metode istinbath hukumnya madzhab Zaidiyah tetap memposisikan al-Qur`an sebagai sumber pertama dan kemudian sunnah, ijma`, qiyas, dan akal. Namun, sedikit perbedaan yang jelas di sini adalah ketika madzhab Zaidiyah memahami bahwa istihsan dan maslahah mursalah adalah bagian dari qiyas.


[1]Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at al-Ilm al-Kalam Ind al-Muslimin, (Mesir: t.tp, 1985), hal. 289
[2]Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah fi Al-Siyasah wa Al-Aqdid, (t.tp: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th), hal. 607
[3]Ibid, hal. 620
[4]Abdl Kadir Al-Hamid, Al-Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein, diakses dari https://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/al-imam-zaid-bin-ali-zainal-abidin.html pada tanggal 20 November 2018
[5]Ibid  
[6]Abu Zahrah, Op.Cit., hal. 609
[7]Aminum P Obulum, Syi`ah Zaidiyah dan Ajaran-Ajaran Lainnya, dalam Hunfa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No.2, hal. 210
[8]Abu Zahrah, Op. Cit., hal. 610
[9]Ahmad Yani Anshori, Ideologi Syi`ah Penelusuran Sejarah, dalam Jurnal Asy-Syar`iyah, Vol. 42, No. II, 2008, hal. 372-373
[10]M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Tangerang: Lentera Hati, 2007), hal. 82
[11]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 111
[12]Al-Imam Abi al-Fath Muhammad `Abd al-Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, cet. 1, (Beirut: Dar al-Sadi, 1412 H/1992 M), hal. 157 
[13]H.R. Gib dan J.H. Kramers, Shorter, hal. 651 
[14]Hasan Muarif Hanbary, Ensiklopedi Islam Jilid I, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hal. 155
[15]Subhi al-Mahshani, Falsafah al-Tasyri Fi al-Islam, Terj. Ahmad Sujono, (Bandung: al-Ma’arif, t.th), hal.63
`               [16]Abu Zahrah, Op. Cit., hal 631
[17]Abu Zahrah, Log. Cit., hal. 632
[18]Ibid, hal. 631
[19]Mahmud Basuni Faudah, Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H.M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid,(Bandung: Pustaka, cet. I, 1987), hal. 238
[20]Ibid
[21]Ibid. hal. 632
[22]Hasbi al-Shidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam, jilid I. (Jakarta: Bulan Bintang. Cet.I, 1973), hal. 53-54
[23]Abu Zahrah, Log.Cit., hal. 632
[24]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa:Moh Zuhri, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal. 66
[25]Ibid.
[26]Abu Zahrah, Op.Cit.,, hal. 632 
[27]Ibid, hal. 632-633
[28]Ibid, hal. 632
[29]Fadli Su`ud Ja`fari, Islam Syi`ah Telah Pemikiran Imamah Habib Husein Al-Habsyi, (Malang: UIN Malik Press, 2010), hal. 51
[30]Ahmad Yani Anshori, Op.Cit., hal.372
[31]Ibid., hal. 378

1 comment: