SEJARAH SOSIAL DAN TEORI HUKUM ISLAM SYI`AH ZAIDIYAH
A. Pendahuluan
Setelah Rasulullah saw wafat, sebagian besar
sahabat menyetujui dan berbai'at kepada Abu Bakar sebagai khalifah pertama, dan
sebahagian lainnya berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali
bin Abi Thalib. Itulah titik
awal dari lahirnya golongan syi'ah.
yaitu golongan pengikut dan pendukung Ali bin Abi
Thalib. Golongan ini mulai berkembang pada tahun-tahun terakhir pemerintahan
Usman bin
Affan dan semakin berkembang ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah. Setelah
Ali bin AbiThalib meninggal, Syi'ah pecah aliran, ada yang ekstrim
dan ada yang moderat, yang semuanya memiliki kefanatikan
yang mendalam terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib.
Dalam perkembangan selanjutnya kelompok syi`ah pecah ke dalam
beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terpecah lagi ke dalam beberapa
kelompok. Sebab-sebab perpecahan di antara mereka berkisar pada masalah
penetapan imam dan strategi perjuangan dalam meraih jabatan tersebut.
Salah satunya adalah syi`ah Zaidiyah yang muncul
sepeninggal `Ali Zainal `Abidin, imam keempat dalam Syi`ah Imamiyah. Nama
kelompok ini diambil dari nama pemimpinnya, yaitu Zaid bin `Ali Zain
al-`Abidin bin Husen bin `Ali bin Abi Talib. Syi`ah Zaidiyah muncul pada tahun
94 H ketika `Ali Zain al-`Abidin wafat. Saat itu kelompok syi`ah terbagi ke
dalam dua kelompok, yaitu kelompok pengikut Zaid bin `Ali dan kelompok pengikut
Muhammad al-Baqir bin `Ali, saudara Zaid sendiri. Muhammad al-Baqir mengklaim diri
sebagai imam berdasarkan nass dan wasiat dari ayahnya (imam
sebelumnay), sedangkan Zaid tidak mengakui keberadaan nass dan wasiat
dari imam sebelumnya. Menrutnya seorang imam tidak cukup hanya klaim
semata, tetapi harus berani memproklamirkan diri secara terbuka dan berjuang
untuk mendapatkan jabatan tersebut.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba
memaparkan hal-hal yang terkait dengan syi`ah Zaidiyah. Baik itu biografi Zaid
bn Ali Zainal Abidin, kemudian perkembangan syi`ah Zaidiyah, kemudian teori-teori
hukum yang disajikan oleh syi`ah Zaidiyah sendiri.
B. Biografi Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain dan Perkembangan Syi`ah
Zaidiyah
Syi'ah Zaidiyah adalah sekte syi'ah yang dinisbatkan kepada Zaid
bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali ra.[1]
Zaid bin Ali hidup di masa Bani Umayyah pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul
Malik yang merupakan khalifah kesepuluh dalam urutan khalifah Bani Umayyah.
Zaid bin Ali pada saat itu berdomisili di Kuffah.
Ayah Zaid adalah Ali bin Zainal Abidin,
Ayahnya meninggal pada tahun 94 H. Ketika usia Abu Zaid bin Ali Zainal Abidin
berusia 14 tahun.[2]
Pada masa itu Zaid bin Ali dikenal sebagai seseorang
yang pemberani, memiliki pengetahuan yang tinggi, disegani oleh masyarakat dan
pantang mundur dalam rangka memperjuangkan dakwahnya. Dia mempunyai hubungan dekat dengan
Washil bin Atha' dan sering bertukar pikiran dengan Abu
Hanifah di Irak.[3]
Zaid Bin Ali
tumbuh dan berkembang ditengah-tengan keluarga yang selalu memprioritaskan
pendidikan. Dalam usianya yang masih muda, Zaid sudah memiliki keunggulan yang
jarang dimiliki oleh orang lain sebayanya, seperti keilmuan dan
kesopan-santunan yang luar biasa, akhlak yang sempurna, dll. Hal itu didukung
oleh beberapa faktor internal,
diantaranya ialah:
1.
Karena Zaid mempunyai nasab yang paling mulia
dinegeri arab, dan didalam tubuhnya mengalir darah suci Rasulullah SAW.
2.
Karena beliau dan keluarganya telah lulus ujian
yang diberikan Allah kepada mereka, sehingga Allah mengangkat derajat mereka.
3.
Karena keluarganya yang selalu mengarahkannya
kepada ilmu pengetahuan, serta menganggap suatu ujian sebagi hiburan yang pada
akhirnya akan berbuah pengetahuan.[4]
Dari tiga faktor internal inilah, Zaid bin Ali tumbuh
dan berkembang selalu dalam pengawasan ayahnya hingga menjadi seorang ulama’
terkemuka di Kuffah, yang alim dan banyak menguasai ilmu pengetahuan tentang
islam. Dia adalah seorang imam yang ahli dalam bidang qira’aat, seperti
ilmu Al-Qur’an beserta tafsirnya, ilmu nasikh wal mansukh, dan dia juga
seorang ulama’ aqidah yang banyak dijadikan rujukan. Di samping ilmu
qira’at, Zaid juga seorang yang mumpuni dalam bidang fiqih dan hadits, karena
beliau mengambil hadits langsung dari ayahnya, ahlul bait, dan selainnya.
Bahkan banyak syekh dari Kuffah yang belajar kepadanya. Berbagai pujian dan
sanjungan datang kepada beliau dari orang yang pernah belajar kepadanya,
diantaranya ialah Imam Abu Hanifah, Abdullah Bin Al-Hasan Bin Al-Hasan, Abu
Muhammad , Ibrahim, dll.[5]
Abu Hanifah pernah
berkomentar mengenai Zaid bin Ali, beliau mengungkapkan bahwa “Aku tidak pernah
melihat seseorang pun di zaman Zaid bin Ali yang lebih faqih darinya
dalam ilmu agama”.[6]
Di akhir hidupnya Zaid bin Ali menentang kekuasaan Dinasti Umayyah dengan memobilisasi para pendukungnya di antara penduduk
Kufah untuk melawan kekhalifahan.[7] Salah satu sebab yang memicu perlawan Zaid
adalah karena ia merasa tersinggung atas perlakuan Khalifah terhadapnya ketika
Zaid menghadiri suatu pertemuan yang dihadiri Hisyam.[8]
Zaid menyatakan keimamahannya di Kufah pada tahun 740 M.
dalam memimpin gerakannya, Zaid mengambil sikap oposisi yang revolusioner terhadap
Khilafah Umayyah yang waktu itu dipimpin oleh Hisyam
bin Abd al-Malik (w. 743 M). Untuk mengambil hak kekhilafahan, Zaid menyatakan perang terbuka dengan penguasa Umayyah dan sikapnya yang revolusioner ini, menarik simpati kalangan pendukung ahl al-bait lalu bergabung dalam barisannya. Pada tahun 737 M, Zaid mulai mengatur strategi pemberontakan terhadap Khilafah Umayyah. Zaid mendatangi Madinah melakukan agitasi politik ditempat itu yang kemudian ia ditangkap dan diintrogasi oleh penguasa Damaskus, Hisyam bin Abd Malik. Tak lama setelah itu ia dibebaskan dan mendatangi Kufah untuk hal yang sama dengan sebelumnya ketika di Madinah, ia melakukan agitasi politik terhadap masyarakat Kufah.
Di
kota ini, kota yang pernah mengkhianati kakeknya, Husein bin Ali dalam peristiwa Karbala, ia mendapat banyak dukungan dan pengaruh. Sampai akhirnya ia mampu menyusun pasukan yang cukup tangguh untuk melawan kekuatan pemerintahan Hisyam di Damaskus. Tetapi, dalam berbagai serangan yang ia lancarkan selalu dapat dipadamkan oleh pasukan pemerintah, meskipun ia telah mengatur strategi pertempuran yang matang. Mengulang penyebab tragedi Karbala, kegagalan serangan pasukan oposisi Zaid konon juga disebabkan oleh ketidaksetiaan para pendukungnya di Kufah. Kegagalan Zaid dalam revolusi ini menyebabkan ia terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah di bawah pimpinan panglima Yusuf b. Umar al-Tsaqafi. Sebagai peringa- tan
dan juga intimidasi kepada lawan-lawan politiknya, Khilafah Umayyah sengaja menyalib dan menggantung jasad Zaid lalu dipamerkan di tengah-tengah kota. Tragedi Husein di Karbala kini menimpa cucunya, Zaid bin Ali bin Husein. Zaid meninggal dalam pertempuran melawan pasukan penguasa, lalu tubuhnya disalib tanpa busana sampai membusuk kurang lebih selama empat tahun, baru kemudian tiang salib berikut sisa-sisa tubuh Zaid dibakar dan abunya dibuang di sungai Euphrat.[9]
Syiah
Zaidiyah adalah golongan yang paling moderat dibandingkan dengan sekte-sekte lain
dan paling dekat dengan paham keagamaannya dengan aliran Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah.[10] Dalam hal ini diterangkan :
“Syi’ah Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak
menyimpang) kepada Ahlus Sunnah dan yang paling lurus. Dia tidak
mengangkat imam-imamnya sampai martabat kenabian, bahkan juga tidak
dapat mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap
imam-imam itu seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka seutama-utama
orang sesudah Rasullah Saw. Mereka tidak mengkafirkan seorangpun diantara
sahabat-sahabat nabi dan terutama orang (Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsaman ra)
yang diba’iat oleh Ali dan mengakui keimamannya”.[11]
Pada awal perkembangannya setelah Zaid bin Ali
wafat, syi`ah Zaidiyah terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1.
Jurudiyah mereka merupakan pengikut dari Abi Jarud bin
Abi Ziad. Menurut kalangan ini bahwa Nabi sebelum sepeninggalannya telah
mengemukakan sifat-sifat imam. Menurut mereka sifat-sifat tersebut merupakan
sifat yang melekat pada diri Ali, akan tetapi menurut mereka umat muslim saat
itu tidak tidak mengetahui sifat tersebut dan juga tidak berusaha mencarinya
sehingga kemudian kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Maka menurut mereka
kafirlah mereka yang tidak berusaha mencari dan mengangkat Abu Bakar menjadi
khalifah setelah wafatnya Nabi. Melihat hal tersebut syi`ah Jurudiyah ini
dikatakan sudah menyimpang dari pendapat yang dikemukakan oleh Zain bin Ali
sendiri.
2.
Sulaimaniyyah, mereka adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Menurut mereka imamah
harus diputuskan dengan cara musyawarah. Oleh karena itu Abu Bakar dan `Umar
berhak atas imamah karena dipilih berdasarkan ijtihad. Namun demikian
ijtihadnya salah karena ada `Ali bin Abi Talib. Imam al-mafdul sah
walaupun ada imam al-afdal. Sedangkan `Usman kafir karena perbuatannya. Begitu juga dengan
`Aisyah, Zubair, dan Talhah.
3.
Salihiyah dan Butriyyah, Salihiyah adalah pengikut al-Hasan bin Salih
bin Hayy, sedangkan Butriyyah pengikut Kasir al-Nawa al-Abtur. Walaupun tokohnya dua orang namun mereka satu mazhab karena
pendapat mereka sama. Pendapat mereka tentang imamah sama seperti pendapatnya
Sulaimaniyah. Bedanya mereka tawaquf tentang `Usman. Mereka tidak
memberikan pendapatnya apakah `Usman itu mu`min atau kafir.[12]
Dalam bidang ilmu pengetahuan terdapat aktivitas keilmuan yang luas
di kalangan Syi`ah Zaidiyah. Hal ini ditandai dengan banyaknya buku-buku yang
dihasilkan oleh pemikir-pemikir mereka. Salah satu pendorongnya adalah salah
satu kualifikasi imam yang harus mempunyai pengethuan yang luas, sedangkan
mereka tidak mengakui adanya ilmu laduni. Oleh karena itu para pengarang kitab
di kalangan Syi`ah Zaidiyah adalah para imam.
Dalam bidang fikih Zaidiyah mempunyai pemikiran sandiri. Zaid bin
`Ali sendiri berhasil menyusun sebuah kitab yang berjudul Al-Majmu`. Di
antara pendapatnya dalam bidang fikih yang berbeda dengan Syi`ah lainnya adalah
penetapan lima takbir dalam salat jenazah, menolak adanya mash `ala khuffain,
menolak pendapat yang mengatakan bahwa imam salat harus `alim, melarang memakan
daging yang disembelih oleh non-muslim, dan menolak adanya nikah mut`ah yang
merupakan ciri khas Syi`ah (Imamiyah).[13]
Kitab fiqih
yang jadi rujukan Zaidiyah ada tiga, yaitu: Al-Majmu’ yang
disusun oleh Zaid bin Ali bin Husein, al-Bahr
az-Zahkhar al-Jami’ li Mazahib
Ulama al-Amsar, kitab ini disusun oleh Ahmad bin Yahya
al-Murtada. Yang ketiga ialah kitab al-Raud an-Nadir yang merupakan
syarah dari al-Majmu’. Dikarang oleh Syarifuddin al-Husain bin Ahmad.[14]
Sedangkan Ulama-ulama yang terkenal dari Mazhab Zaidiyah antara
lain : Hasan bin Shalih bin Hay (168 H), Hasan bin Zaid bin Muhammad yang
digelari dengan Imam Da’i ila al-Haq (imam pengajak kepada kebenaran)
yang juga menjadi raja di Tabaristan pada tahun 250-270 H. Qasim bin Ibrahim
al-Alawi dan cucunya al-Hadi Yahya bin Husain bin Qasim, Abu Ja’far al-Muradi.[15]
Sedangkan madzhab syi`ah Zaidiyah sudah berkembang sejak pertengahan abad ketiga Hijriyah. Hasan bin Zaid
pernah mendirikan
negara Zaidiyah di Dailam (suatu daerah pegunungan di
sebelah utara laut Kaspia), negara Tabristan (terletak di sebelah selatan
laut Kaspia). Bahkan lebih khusus di Yaman Utara diketahui bahwa
mayoritas penduduknya bermadzhab syi`ah Zaidiyah ini.
C. Teori Hukum Islam Syi`ah Zaidiyah
Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh
Al-Madzaib Al-Siyasah Al-Aqaid, mengatakan bahwa dalam mengistinbathkan
hukum manhaj yang digunakan Zaid bin Zainal Abidin tidak jauh berbeda dari
manhaj yang digunakan oleh para imam yang hidup di masanya. Seperti Imam Abu
Hanifah, Abd Rahman bin Abi Laili, Usman Al-Buti, Az-Zuhri, dll.[16]
Yaitu dengan mendahulukan Al-Qur`an, sunnah, ijma`, qiyas, dan akal.[17]
1.
Al-Qur`an
Tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka al-Qur’an merupakan
sumber utama dalam pembentukan hukum Islam. Seluruh Fuqaha’ dan umat Islam begitu juga dengan Mazhab Zaidiyah menyatakan bahwa
al-Qur’an adalah sumber utama dalam hukum Islam.[18]
Dalam hal memahami al-Qur`an madzhab Zaidiyah setuju sepenuhnya dengan keyakinan jumhur kaum
Muslimin, bahwa Al-Quran adalah kitabullah yang tidak dinodai
oleh kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan
dari hadirat yang Maha Bijaksana dan Terpuji.[19]
2.
Sunnah
Dalam pandangan Syiah Zaidiyah dalam penetapan al-Sunnah sebagai
sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Golongan Syiah Zaidiyah juga
menganggap shahih apa yang terdapat dalam kutub al-Sunnah lain
selain kitab al-Majmu’ karangan Imam Zaid bin Ali dan menggunakannya
sebagai sumber dalil.
Mereka tidak memberikan batasan antara mereka dengan para Ahli
hadist, mereka juga menerima Rawi-rawi hadist yang adil yang
bukan semazhab dengan mereka sebagaimana mereka menerima Rawi-rawi
yang semazhab dengan mereka. Tidak seperti Syi’ah Imamiyah yang tidak menerima
perawi yang adil yang tidak termasuk dari golongan mereka.[20] Hal inilah yang membedakan Syi’ah Zaidiyah dan golongan Syi’ah
yang lain.
Menurut syi`ah Zaidiyah dalam menerapkan
sunnah mereka mendahulukan sunnah qauli, dan fi`li¸kemudian taqriri.
Karena menurut madzhab syi`ah Zaidiyah lafaz-lafaz hadist yang secara qauli,
menunjukkan kepada hukum syari`iyah yang jelas.[21]
3.
Ijma`
Mazhab Syi’ah, baik Syi’ah Imamiyah maupun Zaidiyah menggunakan ijma’
sebagai dasar dalam istinbat hukum, akan tetapi yang mereka maksud
adalah ijma’ dari Imam-imam mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Hasbi
al-Shidiqi bahwa Mazhab Syi’ah juga berpegang kepada ijma’ yang sumber
pembentukannya berasal dari Imam-imam yang ma’shum. Hal ini terbukti
bahwa golongan Syi’ah mengatakan ijma’ itu adalah: Kesepakatan suatu
kelompok dimana kesepakatan itu berpijak atas dasar pandangan imam yang ma’sum.
Pandangan ini
yang menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah. Artinya golongan Syi’ah yang hanya
mengakui ijma’ ulama. Sementar itu, Syi’ah Zaidiyah sendiri sebenarnya
ada perbedaan dengan Syi’ah Imamiyah. Syiah Zaidiyah dalam penerimaaan mereka
tentang ijma’ lebih luwes. Mereka menerima ijma’ yang disepakati
oleh semua ulama tanpa membedakan dan pengecualian, kecuali golongan yang tidak
dipandang ahli dalam istinbath.
Akan tetapi, Syi’ah Zaidiyah juga mampunyai kekhususan tentang ijma’,
yaitu mereka memgkhususkan ijma’ kepada imam empat yang tidak boleh
ditolak. Keempat
Imam yang dimaksud adalah Ali bin Abu Thalib, Fatimah, Hasan, Husain. Menurut
golongan Syi’ah Zaidiyah keempat tokoh yang disebut terakhir ini sebagai
orang-orang yang ma’sum.[22]
4.
Qiyas
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahrah
bahwa madzhab Zaidiyah ketika beristinbath disebutkan pertma merujuk kepada
kitabullah dan apabila tidak ditemukan mereka merujuk kepada sunnah Nabi, dan
apabila tidak ditemukan mereka juga mempergunakan qiyas dalam manhaj istinbath
hukum mereka.[23]
Qiyas menurut ahli ilmu ushul fiqh adalah
mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang
ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena mempersamakan kedua hal
tersebut dalam illat hukumnya.[24]
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan
hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah
satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama
dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga
terdapat pada kasus itu, maka hukum kauss itu disamakan dengan hukum kasus yang
ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena pada dasarnya hukum
itu ada di mana illat hukum itu ada.[25]
Dalam hal memahami qiyas agaknya madzhab Zaidiyah
juga memahami sebagaimana qiyas pada umumnya. Akan tetapi hal yang berbeda dari
madzhab Zaidiyah ketika memahami qiyas adalah
bahwa madzhab syi`ah Zaidiyah juga mengkategorikan istihsan dan maslahah
mursalah ke dalam bagian dari qiyas.[26]
5.
Akal
Penggunaan akal oleh golongan Syi’ah Zaidiyah dapat kita ambil kesimpulan
bahwa Madzhab ini hampir sama dengan Madzhab Mu’tazilah yaitu mereka memberikan
akal peran sentral dalam pemahaman akidah. Mereka juga mengggunakan akal untuk memahami
hukum syari’at dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena mereka
memberikan porsi yang banyak terhadap akal untuk
mengetahui baik dan buruknya sesuatu, maka apabila menurut akal sesuatu itu
baik maka wajib hukumnya untuk menjalani dan apabila ditinggalkan maka akan
mendapatkan dosa. Begitu juga sebaliknya apabila menuruk akal buruk maka hukumnya dilarang.
Kecanderungannya dalam penggunaan akal yang sangat berlebihan ini disebabkan
karena kedekatannya dengan Washil bin Atho’, yang tidak lain adalah pendiri golongan Mu’tazilah. [27]
Mazhab inilah yang diambil oleh Syi’ah Zaidiyah, akal mempunyai peran
banyak dalam menentukan baik buruknya setiap sesuatu dan beberapa
konsekwensinya seperti hukum wajib, dilarang, pahala dan dosa. Akan tetapi
Syi’ah Zaidiyah tidak memposisikannya langsung setelah dalil nash bahkan
mereka memposisikannya setelah Qiyas beserta macam-macamnya dan ijma’.
Dan menurut mereka bahwa akal digunakan apabila tidak ditemukan lagi jalan
istinbath hukum dari beberapa sumber yang telah disebutkan di atas.[28]
D. Beberapa Pandangan Syi`ah Zaidiyah
Sebagaimana yang diketahui bahwa syi`aah
Zaidiyah merupakan sekte syi`ah yang paling dekat dengan ahl sunnah wal
jama`ah. Salah satu produk fiqih dari syi`ah Zaidiyah ini adalah terkait
dengan larangan nikah mut`ah.
Secara umum selama ini dipahami bahwa nikah
mut`ah diperbolehkan di kalangan madzhab syi`ah. Meskipun demikian dalam hal
ini madzhab Zaidiyah menganggap nikah mut`ah adalah nikah yang dilarang, dan
hal tersebut berdasarkan hadits yang disampaikan oleh khalifah Umar bin khattab
yang mengungkapkan pelarangan nikah mut`ah pada masa kekhalifahannya yang
secara eksplisit matan hadis tersebut menghapuskan dan melarang mengenai
praktik nikah mut`ah. Di sini terlihat bahwa syi`ah Zaidiyah masih mengikuti
alur fiqh sunni yang mengharamkan praktik nikah mut`ah.[29]
Di sini juga dapat dipahami bahwa dalam
penggunaan hadist syi`ah Zaidiyah tidak terlalu mempeeketat bahwa hadits yang
dapat diterima hanyalah hadits yang diriwayatkan oleh ahl bait. mereka juga
menerima Rawi-rawi hadist yang adil yang bukan semazhab dengan
mereka sebagaimana mereka menerima Rawi-rawi yang semazhab dengan
mereka.
Dapat dikatakan juga bahwa hal ini merupakan
implikasi dari pemahaman imamah yang dimiliki oleh syi`ah Zaidiyah. Yang
beranggapan bahwa walaupun Syi`ah Zaidiyah mengakui bahwa `Ali merupakan
sahabat Nabi yang paling utama (afdal) sehingga ia lah yang paling
berhak menjadi imam, namun mereka mengakui imamah Abu Bakar dan `Umar. Inilah
yang mereka sebut dengan imam al-mafdul.
Dalam pandangan Zaidiyyah, kekhalifahan Abu Bakar dan
Umar bin Khattab adalah sah. Keduanya tidak merampas
kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Jika ahl al-halli wa
al-aqdi telah memilih seorang Imam dari kalangan
kaum muslimin, meskipun orang yang terpilih tidak memenuhi
standar dan sifat-sifat keImamahan, dan seluruh rakyat
telah membaiatnya, maka, keImamahannya adalah sah dan
rakyat wajib berbaiat kepadanya.[30]
Pandangan seperti ini menyebabkan banyak pengikut yang keluar dari
Syi’ah Zaidiyyah. Salah satu fenomenanya adalah mengendurnya dukungan
terhadap perjuangan Zaid dalam mengangkat senjata melawan pasukan Hisyam bin Abd Malik.
Hal ini disebabkan karena iklim Syi’ah kala itu pada umumnya
menolak ke-Khilafah-an Abu Bakar dan Umar dan menuduh
keduanya telah merampas hak ke-Khilafahan dari tangan Ali
bin Abi Thalib. Sebagai pengakuan terhadap ke-Khilafah-an
Umar bin Khattab, Syi’ah Zaidiyah menolak doktrin
nikah mut’ah (temporer), sementara bagi sekte Syi’ah
lainnya nikah mut’ah menjadi salah satu ciri khas
teologisnya. Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan salah
satu jenis pernikahan pada masa Nabi Muhammad.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kebolehan nikah
mut’ah dihapuskan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Karena pengakuannya terhadap keKhilafahan Abu Bakar
dan Umar juga penolakannya terhadap pernikahan mut’ah, para
pengkaji sering menyimpulkan kedekatan doktrin Syi’ah
Zaidiyyah dengan doktrin Sunni ketimbang Syi’ah-syi’ah
lainnya. Syi’ah tetaplah Syi’ah, yang berbeda dengan Sunni.
Syi’ah Zaidiyyah tetap menggunakan symbol dan amalan
Syi’ah. Dalam adzan misalnya, mereka memberikan
imbuhan hayya ala khairi al-amal, dalam shalat Janazah
menggunakan takbir lima kali dan menolak sahnya mash
al-khuffain (mengusap “kaos kaki”) dan menolak memakan
hewan sembelihan non-muslim.[31]
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
syi`ah Zaidiyah merupakan sekte syi`ah yang menisbathkan madzhabnya kepada Zain
bi Ali Zainal Abidin. yang merupakan anak dari Zainal Abidin. Melihat paparan
di atas dapat dikatakan bahwa sekte syi`ah Zaidiyah merupakan syi`ah yang
paling dekat pemahamannya dengan ahl sunnah wal jama`ah.
Dalam perkembangannya madzhab ini sebenarnya
ada setelah Zaid bin Ali wafat. Kemudian madzhab dikembangkan oleh pengikut
Zaid bin Ali dan menyusun kitab tersendiri, khususnya dalam masalah fiqh dan
masalah hadits yang disebut dangan kitab Majmu` Al-Kabir. Sampai
sekarang syi`ah Zaidiyah masih tetap eksis khususnya di negara Yaman Utara,
karena diketahui mayoritas penduduk Yaman Utara bermadzhab syi`ah Zaidiyah.
Mengenai teori hukum Islam dalam madzhab
Zaidiyah ini, sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa manhaj madzhab Zaidiyah
tidak terlalu jauh dari ahl sunnah wal jamaah. Dalam urutan
manhaj/metode istinbath hukumnya madzhab Zaidiyah tetap memposisikan al-Qur`an
sebagai sumber pertama dan kemudian sunnah, ijma`, qiyas, dan akal. Namun,
sedikit perbedaan yang jelas di sini adalah ketika madzhab Zaidiyah memahami
bahwa istihsan dan maslahah mursalah adalah bagian dari qiyas.
[1]Ali
Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at al-Ilm al-Kalam Ind al-Muslimin, (Mesir: t.tp, 1985), hal. 289
[2]Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah fi Al-Siyasah wa Al-Aqdid,
(t.tp: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th), hal. 607
[4]Abdl Kadir Al-Hamid, Al-Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein, diakses
dari https://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/al-imam-zaid-bin-ali-zainal-abidin.html pada tanggal 20 November 2018
[7]Aminum P Obulum, Syi`ah Zaidiyah dan Ajaran-Ajaran Lainnya, dalam
Hunfa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No.2, hal. 210
[9]Ahmad Yani Anshori, Ideologi Syi`ah Penelusuran Sejarah, dalam
Jurnal Asy-Syar`iyah, Vol. 42, No. II, 2008, hal. 372-373
[10]M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Tangerang:
Lentera Hati, 2007), hal. 82
[11]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 111
[12]Al-Imam Abi
al-Fath Muhammad `Abd al-Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, cet.
1, (Beirut: Dar al-Sadi, 1412 H/1992 M), hal. 157
[14]Hasan Muarif Hanbary, Ensiklopedi Islam Jilid I, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hal. 155
[15]Subhi
al-Mahshani, Falsafah al-Tasyri Fi al-Islam, Terj. Ahmad Sujono, (Bandung:
al-Ma’arif, t.th), hal.63
[19]Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan Metodologi Tafsir, terj.
H.M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid,(Bandung:
Pustaka, cet. I, 1987),
hal. 238
[20]Ibid
[22]Hasbi
al-Shidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam,
jilid I. (Jakarta: Bulan Bintang. Cet.I, 1973), hal. 53-54
[23]Abu Zahrah, Log.Cit., hal. 632
[24]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa:Moh Zuhri,
(Semarang: Dina Utama, 1994), hal. 66
[26]Abu Zahrah, Op.Cit.,, hal. 632
[29]Fadli Su`ud Ja`fari, Islam Syi`ah Telah Pemikiran Imamah Habib Husein
Al-Habsyi, (Malang: UIN Malik Press, 2010), hal. 51
[30]Ahmad Yani Anshori, Op.Cit., hal.372
semoga Allah memberikan HidayahNya kepada kita semua.
ReplyDelete