Wednesday, January 16, 2019

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI YAMAN



PNEDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebelum tersebar luar ke penjuru dunia, mengandalkan aturan hukum pada kuatnya tradisi riwayat yang dimulai dari masa Nabi Muhammad saw sampai kepada zaman sahabat dan tabi’in. Baru setelah Islam berada di wilayah-wilayah yang jauh dari heart of Islam yakni Mekah dan Madinah, dan Islam saat itu mulai menjadi alat kekuasaan dari para raja-raja kecil di daerah, maka terjadilah pembaharuan hukum di dalamnya melalui jalan ijtihad, termasuk dengan hukum keluarganya.
Pembaruan Hukum Keluarga Islam (Hukum Perkawinan dan Perceraian) dimulai tahun 1917 oleh Turki. Usaha Turki ini diikuti Mesir tahun 1920. Usaha yang sama dilakukan sejumlah Negara muslim lainnya. Walhasil, sampai tahun 1996, di negara Timur Tengah misalnya, hanya tinggal lima negara yang belum memperbaharuai hukum keluarga, bahkan Negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan draft, yakni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman.[1]
Tujuan usaha pembaruan ini secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, unifikasi hukum perkawinan. Kedua, peningkatan status wanita. Ketiga, respon terhadap dan menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ada juga yang menambahkan untuk tujuan kepastian hukum. Dalam upaya peningkatan status perempuan dapat dikategorikan secara umum menjadi dua. Pertama, menjamin hak-hak mereka. Kedua, melindungi mereka dari perlakukan sewenang-wenang suami. Jabaran dari upaya jaminan dan perlindungan ini muncul dalam berbagai bentuk aturan.
Dalam perkembangannya banyak negara-negara muslim yang ikut dalam pembaharuan hukum khususnya di bidang hukum keluarga. Salah satu negara yang melakukakn pembaharuan tersebut adalah Yaman.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk melihat bagaimana bentuk pembaharuan hukum keluarga di Yaman, serta pembaharuan hukum keluarga di bidang apa saja yang telah dilakukan Yaman dalam merancang Undang-Undang hukum keluarga Republik Yaman.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, ada beberapa masalah yang akan penulis bahas, di antaranya :
1.    Menjelaskan profil negara Yaman.
2.    Menjelaskan pembaharuan hukum keluarga di Yaman.

1.       
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA NEGARA YAMAN
A.    Profil Negara Yaman
Yaman adalah sebuah negara Republik yang terletak di Jazirah Arab, kawasan Timur Tengah benua Asia. Negara yang secara astronomis berada diantara 12°-19°LU dan 42°-55°BT ini hanya berbatasan darat dengan 2 negara yaitu Arab Saudia di sebelah Utara dan Oman di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Selatan Yaman adalah teluk Aden dan sebelah Baratnya adalah Laut Merah.  Yaman memiliki sekitar 200 pulau besar dan pulau kecil. Pulau terbesarnya adalah Pulau Sokotra yang terletak di sekitar 415km dari Selatan Yaman.[2]
Yaman merupakan salah satu negara dengan peradaban tertua di dunia. Zaman dahulu Yaman wilayah kerajaan Saba’ yang sangat tersohor dengan kekayaan alamnya. Namun, karena penguasaan dan eksplorasi bangsa lain yang melampaui batas, kini Yaman menjadi negara termiskin dengan rata-rata perkapita pertahun sebesar 800 dollar AS.[3]
Islam masuk ke Yaman pada tahun 630 ketika Nabi Muhammad Saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan ajaran Islam di Sana’a.[4] Pada saat itu, Yaman merupakan wilayah yang paling maju di Jazirah Arab.
Pada abad ke-16, Yaman dikuasai oleh Dinasti Usmaniyyah yang kemudian ditaklukkan oleh kelompok Syi’ah Zaidiyyah dibawah pimpinan Yahya Muhammad Hamiduddin. Sejak saat itu, kelompok Syi’ah Zaidiyyah menjadikan Yaman Utara sebagai pusat pemerintahannya.
Jumlah penduduk Yaman adalah sebanyak 23 juta jiwa. Sekitar 99,7 % penduduknya memeluk Islam, selain itu juga terdapat ajaran lainnya seperti Ismailiyyah (0,3%), Kristen (<0,1 %), Hindu (<0,1%), dan Yahudi (<0,1 %). Dari seluruh mayoritas penduduk yang beragama Islam sekitar 53% penganut Muslim Sunni dan 47% penganut Muslim Syiah Zaidiyyah.[5]
Bahasa resmi negara Yaman adalah bahasa Arab.Bahasa Arab digunakan secara resmi oleh lebih dari 22 negara. Bahasa Arab dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, Bahasa Arab Fusha (bahasa arab standar baku/classical Arabic), bahasa religius dan sastra yang diucapkan dan dituliskan secara seragam di dunia Arab. Kedua, Bahasa Arab `Amiyah (bahasa arab pasaran) bahasa Arab untuk percakapan sehari-hari (colloquial Arabic), bahasa lisan informal yang berbeda-beda, tergantung dialek masing-masing daerah.[6]
Ekonomi Dasar. Sekitar seperempat produk lokal pendapatan berasal dari pertanian. Namun, negara tersebut mengimpor lebih dari enam puluh persen kebutuhan pangannya. Sekitar dua puluh persen penduduk menderita kekurangan gizi. Pertanian mempekerjakan lebih dari separuh angkatan kerja. Hasil pertaniannya adalah sorgum, kentang, kurma, gandum, anggur, jelai, jagung, kapas, millet, dan sayuran kebun, namun hanya sebagian dari hasil panen yang diproduksi untuk dijual. Ini juga berlaku untuk hewan ternak. Orang-orang Yaman masih mempraktikkan kerajinan tradisional seperti perak dan tembaga, manufaktur kerat, pertukangan, pembuatan kapal, tembikar, tenun dan pencelupan, anyaman, dan penyamakan kulit. Prospek ekonomi bergantung pada pengembangan sumber daya minyak.[7]
Hal yang menarik dari Yaman adalah berdasarkan pasal 3 Konstitusi 1994 yang mengidentifikasikan bahwa Syari'a (hukum Islam) sebagai sumber semua undang-undang, meskipun di Yaman secara umum madzhab yang populer adalah madzhab Syafi`i di daerah Selatan dan madzhab Syi`ah Zaidiyah di Yaman Utara. Dalam sebuah tulisan dinyatakan bahwa di Yaman, hukum Islam didasarkan kepada mazhab Zaidi. Namun, penduduk Yaman selatan menganut mazhab Syafi‘i dan Hanafi.
Republik Arab Yaman (Yaman Utara) dan Rakyat Demokratik Republik Yaman (Yaman Selatan) bersatu pada 22 Mei 1990, untuk membentuk Republik Yaman saat ini. Yaman Utara telah ditetapkan sebagai pemerintahan tribal-militer pada tahun 1962 setelah penggulingan Zaydi teokratis Imam Sy`iah. Sebaliknya, Yaman Selatan, yang memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1967, adalah satu-satunya rezim Marxis di dunia Arab.[8]
Sepanjang sejarahnya, Yaman Utara dan Yaman Selatan kerap terlibat konflik. Yaman Utara mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Yaman Selatan mendapat suplai senjata dari Uni Soviet. Pada tahun 1990, Yaman Utara dan Yaman Selatan menyepakati penyatuan yang pada akhirnya disetujui oleh referendum pada Mei 1990. Sejak saat itu pula Ali Abdullah Saleh diangkat menjadi presiden baik di Yaman Utara maupun Yaman Selatan. Dari adanya penyatuan tersebut diharapkan dapat diwujudkan suatu negara yang integral dan sejahtera. Akan tetapi hingga saat ini ternyata di Yaman sering terjadi konflik, terutama konflik antara Pemerintah pusat Yaman dengan pemberontak Al Houthi di Yaman Utara.[9]
Pemberontak Al Houthi merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Yaman Utara. Para pengikut pemberontak ini terkenal dengan sebutan Houthis. Penamaan ini berdasarkan pencetusnya yaitu Husein Badaruddin Houthi. Husein Al Houthi adalah anak Alamah Sheik Badruddin Al Houthi yang merupakan seorang tokoh Syi’ah Zaidiyah di Yaman. Karir politiknya dimulai sebagai salah seorang pendiri partai Al Haq yang lebih berpandangan terhadap Islam. Ketika pada tahun 1991 partai sosialis berkuasa di Yaman, partai Al Haq yang pandangannya berdasarkan Islam dibentuk untuk mencegah meluasnya pemikiran ekstrim Partai Asosiasi Reformasi Yaman.[10]
Secara politik, terdapat upaya untuk menyatukan partai politik. Pada Mei 1993, dua partai yang berkuasa GPC dan YSP bersatu untuk membentuk partai tunggal, sehingga pada pemilu legislatif terdapat partai dengan suara mayoritas di parlemen. Pada tahun 1993, wakil presiden Al-Bayadh melakukan pemberontakan dan menyatakan membentuk Republik Demokratik Yaman baru yang berpusat di Aden. Akibatnya terjadi perang sipil antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Namun, pada 7 Juli 1994 pasukan Ali Abdullah Saleh berhasil menguasai Aden dan mengakhiri konflik. Untuk memperkuat posisinya, Presiden Saleh melarang keanggotaan partai politik dalam angkatan bersenjata dan melakukan amandemen konstitusi untuk menghapus Dewan Presiden.[11]
B.     Pembaharuan Hukum Keluarga di Yaman
Sebelum bersatu divnegara ini terdapat Yaman Selatan dan Yaman Utara. Yaman Selatan yang dibawah pimpinan Raja Shihr dan Mukatta mengkodifikasi hukum Islam berdasarkan Dikrit Raja (Royal), tahun 1924. Kemudian diperbaharui dengan Qunun Ushrah (Family Law) No. 1 tahun 1974 yang ditetapkan pada tanggal 5 Januari tahun 1974. Undang-undang ini mengandung 53 pasal aturan perkawinan, perceraian akibat putusnya perkawinan, dan pemeliharaan anak.
Sementara Yaman Utara yang myorias penduduknya mengikuti Syi’ah Zaidiyah tetap menggunakan Qanun al-Usrah (Family Law) No. 3 Tahun 1978 sebagai undang-undang hukum keluarga, dan mulai diberlakukan 8 Januari 1978. Sebelumnya, di Yaman Utara telah dikodifikasi UU Kewarisan, Qanun al-Mawaris al-Syari’ah, UU No. 4 Tahun 1976, dan mulai berlaku 24 Pebruari 1976. UU No. 3 Tahun 1978 memuat 159 Pasal, 3 bab.  Namun sejak ditetapkannya negara Republik Yaman maka resmilah UU Republik (Republic Decree Law) No. 20 tahun 1992 sebagai undang-undang hukum keluarga.[12]
Hal yang menarik menurut penulis bahwa sebelum tahun 1990 Republik Yaman saat ini yang terpecah dalam bentuk dua negara Yaman Selatan dan Yaman Utara telah memiliki Undang-Undang Hukum Keluarga tersendir. Akan tetapi pada tahun 1992 Republik Yaman yang merupakan gabungan dari Yaman Selatan dan Utara mengeluarkan UU Republik Yaman sebagai Undang-undang Hukum Keluarga. Untuk itu dalam bahasan ini penulis akan mencoba untuk merincikan meskipun tidak secara komprehensif, setidaknya penulis juga mengemukakan beberapa aturan tentang hukum keluarga baik di Yaman Utara baik Yaman Selatan sebelum menjadi Republik Yaman seperti saat ini.
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan dari penulis terkait dengan pembaharuan yang dilakukan oleh Republik Yaman dalam rangka pembaharuan hukum keluarga, di antaranya :
1.      Batas Usia Perkawinan
Menurut Undang-Undang Keluarga Yaman, perkawinan anak di bawah umur dilegalkan, tetapi hukum melarang melakukan hubungan seksual sebelum permulaan masa pubertas. Pelanggaran terhadap hukum dapat dikenakan hukuman denda atau hukuman penjara antara satu dan tiga tahun dan kompensasi ganti rugi kepada istri atas hilangnya keperawanan.[13]
Undang-Undang Status Pribadi tahun 1992 menetapkan usia minimum pernikahan pada 15 tahun untuk anak laki-laki dan perempuan, tetapi pada saat yang sama mencabut hak anak di bawah umur untuk membubarkan perkawinan pada saat mencapai pubertas, seperti yang diperbolehkan oleh Undang-undang YAR 1976.[14]
Sebagaimana hukum keluarga di Negara-negara yang lain, sebelum terjadi penyatuan Yaman Selatan dan Yaman Utama, Yaman Selatan juga menerapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun batasan ini tidak terkait dengan keabsahan akad nikah, hanya disebutkan bahwa itu merupkan suatu yang perlu untuk diperhatikan. Tampaknya hanya kemaslahatanlah yang mendasari ketetapan ini dan tidak banyak kepentingan Negara untuk ikut mengaturnya, sehingga peraturan ini hanya bersifat “anjuran”. Bila dikaitkan dengan fiqih klasik, hal ini terlihat tidak banyak berubah.  Perkawinan perempuan yang belum baligh (bila batasan usiah pernikahan tersebut boleh dikiaskan dengan kedewasaan, bulug), hampir semua fuqaha menyatakan keabsahannya. “Anjuran” di atas sama dengan satu riwayat dari asy-Syafi’I yang menyebutkan bahwa saya lebih senang jika seorang ayah tidak menikahkan anak perempuannya sebelum baligh. Sedangkan di Yaman Utara batasan usia perkawinan yang diberikan adalah 15 tahun laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan.
Masih terkait dengan usia antara calon pengantin, juga ditetapkan bahwa perbedaan usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahum, kecuali bila calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam pandangan fuqaha klasik, tidak ada larangan seperti ini. Preseden yang sering dijadikan rujukan adalah perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang berbeda usia keduanya sangat jauh pada saat pernikahan.[15]
Sepertinya pada UU No.20 tahun 1992 yang mengatur mengenai hukum keluarga Yaman mengadopsi apa yang sebelumnya menjadi UU hukum keluarga di Yaman Utara, karena Yaman menetapkan batas usia minimum pernikahan adalah 15 tahun baik itu laki-laki maupun perempuan.
2.      Perwalian
Untuk sebuah akad pernikahan yang sah, seorang wanita Yaman membutuhkan izin dan tanda tangan wali laki-laki pada saat dia tidak hadir dalam akad pernikahan, dan kemudian dilakukan oleh seorang hakim pengadilan (Pasal 15-17).
Pasal 7 tidak mengharuskan kehadiran pengantin perempuan untuk menghadiri sebuah akad pernikahan. Kemudian pada pasal 10 menetapkan bahwa perkawinan apa pun yang dilakukan secara paksa dapat dibatalkan[16]. Pada pasal 15 menyebutkan bahwa Wali boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil (al-shaghirah) tetapi tidak boleh disetubuhi oleh suaminya sebelum bisa (kuat) disetubuhi, meskipun umurnya sudah menginjak 15 tahun. Mengawinkan anak diperbolehkan jika ada maslahat.[17] Dan Pasal 23 secara eksplisit mengharuskan persetujuan pengantin untuk perkawinan,.[18]
3.      Pencatatan Perkawinan
Pasal 14 Undang-undang Republik Yaman No. 20 Tahun 1992 mengharuskan pencatatn perkawinan. Mereka yang tidak mancatatkannya, paling lambat 7 hari setelah dilangsungkannya akad nikah, dapat diancam dengan sanksi penjara.[19]
Secara khusus pencatatan perkawinan yang diberlakukan di Yaman Selatan memiliki perbedaan dengan negara-negara muslim lainnya. Menurut hukum keluarga negara ini, pencatatan perkawinan berpengaruh terhadap keabsahan (validitas) suatu perkawinan. Dengan demikian, pencatatan perkawinan bukan sekedar persyaratan administratif saja.[20] Hal ini berarti bahwa suatu pernikahan belum dianggap sah ketika pernikahan tersebut belum tercatat pada lembaga pencatat nikah yang sah.
4.      Perceraian
UU Republik Yaman No. 20 tahun 1992 menetapkan, pembatalan perkawinan harus dengan keputusan pengadilan. Menariknya, alasan tidak se-kufu’ dalam status sosial dapat menjadi alasan pembatalan perceraian, dan suami yang ketagihan alkohol dan narkotik dapat menjadi alasan perceraian tanpa harus mengembalikan mahar.[21]
Suami memiliki hak untuk mengakhiri pernikahan dengan talaq, suatu bentuk perceraian sepihak (penolakan) dengan mengucapkan tiga kali “Aku menalakmu. Hal ini memberi pemahaman bahwa perceraian menjadi sah setelah suami mengucapkan kalimat dengan maksud menceraikan istrinya. Seorang wanita hanya dapat mengajukan perceraian ke pengadilan dengan sejumlah alasan terbatas yang ditentukan oleh hukum, seperti suami tidak mampu memberi nafkah, atau telah menyebabkan kerugian, atau pergi dari kediaman selama lebih dari enam bulan. Ketika permintaan perceraiannya didasarkan pada alasan lain (khulu`), ia diharuskan membayar kembali maharnya dan membatalkan hak pemeliharaan.[22]
Setelah perceraian, mantan isteri memiliki hak yang lebih besar untuk mendapatkan hak asuh atas anak-anaknya daripada suami, yaitu dalam waktu 9 tahun pertama dalam kasus anak laki-laki, dan 12 tahun untuk anak perempuan. Rumah suami-istri dan anak-anak yang lebih besar, kebanyakan diberikan kepada suami. Seorang wanita yang diceraikan biasanya kembali ke rumah ayahnya. Dia menerima nafkah iddah selama tiga bulan, periode tiga quru` (tiga menstruasi), hingga terbukti bahwa dia tidak hamil. Setelah itu isteri - secara hukum - bebas untuk menikah lagi.[23]
Secara khsusus di Yaman selatan ada  Beberapa pasal penting yang termuat dalam Family Law of Republic Yaman South yang  mengatur tentang permasalahan perceraian diatur dalam pasal 25 sampai pasal 30 dengan azas perceraian sebagai berikut :
Pasal 25: Perceraian yang dilakukan se pihak adalah dilarang. Perceraian tidak sah (tidak ada) baik yang diucapkan atau di tulis kecuali setelah mendapat izin  dari Badan Peradilan Pemerintah.
Pengadilan (District Court) setelah diadakan pemeriksaan. Dan Pengadilan tidak akan mengabulkan/menizinkan kecuali setelah menunjuk seseorang yang bertanggung jawab dan telah berusaha sekuat-kuatnya untuk mengupayakan perdamaian antara para pihak dan Pengadilan membenarkan alasan-alasan untuk menjatuhkan talak sehingga kelanjutan ikatan pernikahan tersebut dan hidup rumah tangga tidak mungkin lagi.
Pasal 26: Perceraian yang dilakukan secara sepihak, batal menurut hukum dan Pengadilan dapat memberi sanksi bagi yang menjatuhkan talak lebih dari satu dalam sesaat.
Pasal 29: Pengadilan dapat membubar kan/memutuskan sebuah perkawinan dengan putusan cerai (pisah) atas perkawinan secara mutlak, pada kasus sebagai berikut : (1) Apabila salah satu pihak sejak menikah merasa menderita karena salah satu pihak mengidap penyakit dimana penyakitnya tersebut dokter menyatakan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melanjutkan pernikahan.(2) Apabila salah satu pihak hilang/pergi dalam waktu 3 tahun berturut-turut. Jika suami atau isteri kembali, maka hubungan pernikahan dapat dilanjutkan dengan masa iddah. (3) Apabila salah pihak tidak sanggup memberikan nafkah dimana ketidak  sanggupan pemberian nafkah tersebut patut terjadi  maka dalam kasus ini Pengadilan dapat memberikan kelonggaran selama 3 bulan dan apabila sampai batas waktu yang telah ditentukan tidak mampu memenuhinya maka perkawinan dapat dibubarkan.
Seorang isteri dapat meminta terputusnya pernikahan (cerai gugat) apabila suaminya telah menikah lagi dengan wanita lain, sebagaimana pasal 11 Undang-Undang ini.
Pasal 30: (a) Apabila Pengadilan menemukan fakta bahwa suami yang menjadi faktor penyebab perselisihan yang mengarah pada perceraian tersebut, sedangkan isteri tidak ditemukan kesalahannya. Maka isteri yang telah dicerai harus mendapatkan ganti rugi yang tidak terbatas seperti halnya pemberian nafkah selama satu tahun. (b) Apabila seorang isteri didapati suka bertengkar dan menjadi penyebab keretakan, maka Pengadilan dapat menetakan suami mendapatkan ganti rugi tidak terbatas seperti halnya mahar yang diberikan.[24]
5.      Kawin Beda Agama
Di Yaman Utara, perkawinan beda agama diatur dalam Undang-undang Hukum Keluarga (Qanun al-Usrah) No. 31978/. Pasal 47 menyebutkan:
Ketika seorang suami non-Muslim masuk Islam dan isterinya yang bukan Ahl al-Kitab tidak masuk Islam atau agama Ahl al-Kitab, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ketika seorang isteri non-Muslim masuk Islam sementara suaminya tetap non-Muslim, perkawinan dapat dibatalkan. Ketika salah seorang suami-istri keluar dari Islam, maka perkawinan dibatalkan.
Pengaturan perkawinan beda agama di Yaman Utara masih memandang bahwa seorang perempuan tidak boleh menikah dengan non-Muslim dan seorang laki-laki hanya boleh menikah dengan wanita Ahl al-Kitab. Sehingga dalam Hukum Keluarga Yaman Utara ditetapkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan ketika suami (yang non-Muslim) masuk Islam, sedangkan isterinya (yang bukan Ahl al-Kitab) tidak masuk Islam atau tidak beragama Ahl al-Kitab. Begitu pula sebaliknya ketika sang suami tetap non-Muslim, sementara istrinya masuk Islam, perkawinan dibatalkan. Hal ini berarti hukum perkawinan beda agama mengikuti pendapat fikih bahwa perkawinan harus didasarkan pada prinsip, “suami harus beragama Islam atau istri beragama Ahl al-Kitab”.[25]
Yaman Utara adalah negara yang mayoritas penduduknya pengikut Syiah. Tidak mengherankan jika pengaturan perkawinan beda agama di Yaman Utara sejalan dengan pendapat ulama Syiah tentang kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al-Kitāb. Sebagian dari mereka hanya berpendapat bahwa laki-laki Muslim yang menikahi wanita Ahl al-Kitab tidak baik dalam bentuk nikah dā’im atau mut’ah. Namun demikian, jika dirujuk pada pendapat mazhab Shāfi’ī, yang juga banyak dianut Muslim Yaman Utara nampaknya aturan perkawinan beda agamanya tidak sejalan. Mazhab Syafi`i berpendapat bahwa menikahi Ahl al-Kitab makruh hukumnya apabila mereka berada di dar al-Islam dan lebih makruh lagi jika mereka berada di dar al-ḥarb. Ini berarti Yaman Utara beranjak dari pendapat mazhab Shāfi’ī karena Hukum Keluarga Yaman Utara tidak menghindari perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Meskipun dalam fikih, makruh bukan berarti dilarang secara mutlak, tapi pada umumnya ketika dikenakan hukum makruh, maka akan dihindari.[26]
Hukum Keluarga Yaman Utara juga tampaknya hanya menafsirkan Alquran (Q.s. Al-Ma’idah [5]: 5) secara tekstual tanpa melihat mudarat yang ditimbulkan akibat perkawinan beda agama. Sebagaimana sudah ditegaskan oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭab bahwa menikahi Ahl al-Kitāb akan mendatangkan pengaruh negatif yang tidak diinginkan karena laki-laki Muslim akan lebih tertarik kepada wanita Ahl al-Kitab ketimbang para Muslimah. Prinsip ‘Umar dalam menghukumi perkawinan dengan Ahl al-Kitab ini menggunakan metode sad al-dzhari’ah, yaitu menutup bahaya yang ditimbulkan akibat suatu perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya.[27]
6.      Poligami
Hukum Keluarga Yaman pada saat ini memungkinkan seorang pria Muslim berpoligami dengan hingga empat wanita (juga non-Muslim), jika ia dapat berlaku adil kepada semua isteri-isterinya (Pasal 12). Sedangkan wanita muslim hanya bisa menikahi satu pria, yang harus menjadi Muslim. Dalam Undang-undang 1992 yang diperlukan dari suami hanyalah dapat memberi pembuktian 'tunjangan sah' untuk menikahi lebih dari satu istri, maka undang-undang pada tahun 1998 mencabut hal tersebut, kemudian mengganti dengan istilah dapat memberikan jaminan untuk istri pertama. Perubahan lain yang dilakukan terhadap Undang-Undang 1992 pada tahun 1998 yaitu membebaskan suami untuk memberi tahu istri pertama/yang telah ada mengenai niatnya untuk menikah lagi (poligami). Yang diperlukan hanya menginformasikan kepada calon pengantin/calon isteri bahwa dia sudah menikah.[28]
Di Yaman khususnya Yaman Selatan, bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam Pasal-Pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan Undang-Undang (salah satunya mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 Tahun; atau kedua sekaligus. Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.[29]
7.      Perjanjian Perkawinan
Menurut syari'at, istri memiliki pilihan untuk memasukkan ketentuan dalam perjanjian pernikahan, yang merupakan sarana yang digunakan oleh wanita Muslim dahulu untuk memperkuat hak perkawinannya. Meskipun Hukum Status Pribadi tidak melarang hak ini, itu sangat tidak disarankan oleh keyakinan tradisionalis dan kebiasaan sosial. Wanita di Yaman sebagian besar tidak menyadari kemungkinan ini. Tanpa adanya ketentuan perjanjian, ketentuan hukum di Yaman mewajibkan istri untuk mematuhi suaminya, dan dia tidak dapat meninggalkan rumah atau bepergian ke luar negeri tanpa persetujuannya (Pasal 40).[30]
Dalam Undang-Undang Yaman Utara tahun 1978 (Qanun al-Usrah), masalah taklik talak dicantumkan dalam pasal 4, bahwa satu perkawinan yang ada taklik (perjanjian perkawinan) yang sah dan berlaku bagi pihak-pihak, maka perkawinannya adalah sah dan perjanjian pun berlaku. Kemudian ditambahkan, perjanjian tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan bersama.[31]


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Yaman merupakan negara berbentuk republik yang merupakan gabungan dari dua negara yaitu Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dalam memberlakukan hukum keluarga, Yaman melakukan unifikasi dengan melahirkan UU No.20 Tahun 1992 yang menjadi undang-undang hukum keluarga Yaman. Menurut informasi bahwa hukum Islam yang berlaku di Yaman bersumber dari madzhab Syi`ah Zaidiyah, sedangkan mayoritas penduduk Yaman bagian selatan merupakan penduduk dengan Madzhab Syafi`i dan Hanafi.
Di antara pembaharuan hukum keluarga Yaman, di antaranya :
1.      Batasan usia perkawinan
2.      Perwalian
3.      Pencatatan perkawinan
4.      Perceraian
5.      Kawin beda agama
6.      Poligami
7.      Perjanjian perkawinan
B.     Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan baik itu kekurangan secara materi maupun referensi. Untuk itu, penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan kritikan maupun saran agar makalah ini dapat disempurnakan sebagaimana mestinya.


[1]Atho` Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), hal. 17
[3]Sarah Phillips, Yemen’s Democracy Experiment in Regional Perspective: Patronage and Pluralized Authoritarianism (New York: Palgrave Macmillan, 2008), hal. 39
[4]“Menelusuri Sejarah Islam di Yaman,” Republika, diakses dari  http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/04/30/nnmjwf-menelusuri-sejarah-islam-di-negeri-yaman-1, diakses pada tanggal 1 Mei 2018
[6]Silvia Dwi Astuti, Antropologi Yaman, http://kujyou.blogspot.co.id/2018/03/antropologi-yaman.html  pada tanggal 3 Mei 2018
[7]Silvia Dwi Astuti, Antropologi Yaman, http://kujyou.blogspot.co.id/2018/03/antropologi-yaman.html pada tanggal 3 Mei 2018
[8]Elham Manea, Yemen, Journal Women’s Rights In The Middle East And North Africa, hal. 1
[9]Gilang Prabowo Jakti dan Alfa Jamil, Upaya Pemerintah Ali Abdullah Saleh Menyelesaikan Konflik dengan Pemberontak Houthi, E-Journal Hubungan International, hal. 1
[10]Gilang Prabowo Jakti dan Alfa Jamil, Upaya Pemerintah Ali Abdullah Saleh Menyelesaikan Konflik dengan Pemberontak Houthi,..., hal. 2
[11]Muhammad Fakhry Ghafur, Problematika Politik Islam di Yaman, Suriah, dan AlJazair, (Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2015), hal. 120-121
[12]http://yusmaulanaazdy.blogspot.co.id/2014/05/makalah-pembaruan-hukum-keluarga-di.html diakses pada tanggal 4 Mei 2018
[13]Anna Wurth, Stalled Reform, Famili Law in Post-Unification Yemen, Berlin : Leiden, in Islamic Law and Society, 2003, hal. 14
[14]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges, (Hill : Inovating Justice, 2012), hal. 42
[15]http://makalahhukumislamlengap.blogspot.co.id/2013/12/batas-usia-perkawinan.html diakses pada tanggal 4 Mei 2018
[16]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,..., hal. 42
[17]Jamaluddin Muhammad, Tantangan Perempuan Yaman, diakses dari https://rumahkitab.com/tantangan-perempuan-yaman/
[18]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,..., hal. 42
[19]Ahmad Tholabi Kahrlie, Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern, Jurnal BIMAS ISLAM, Vol.9, No. 2, 2016, hal. 280
[20]Atho` Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,..., hal. 71
[21]Moh. Affandi, Hukum Perkawinan di Indonesia; Studi Komperatif Antara Fikih Konvensional dan Negara-Negara Muslim; Persfektif HAM dan CEDAW, Jurnal Al-Ahwal Vol. 7, No, 2, 2014, hal. 196
[22]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,..., hal. 42
[23]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,..., hal. 42
[24]Nurul Hakim, Perbandingan Hukum Tentang Alasan Perceraian The Family Law of Yemen South dan Kompilasi Hukum Islam, diakses dari https://riderrz.files.wordpress.com/2010/06/perbandingan-talaq.pdf
[25]Khamami Zada, Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama, Jurnal Al-Ahkam Vol, XIII, NO. 1, 2013, hal. 42-43
[26]Khamami Zada, Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama,..., hal. 43 
[27]Khamami Zada, Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama,..., hal. 43 
[28]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,..., hal. 42
[29]M. Zaki, Dinamika Introduksi Sanksi Poligami dalam Hukum Negara Muslim Modern, Jurnal Al-Risalah Vol. 14, No.2, 2014, hal. 321
[30]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,..., hal. 43
[31]Khoirudin Nasution, Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik Talak dan Perjanjian Perkawinan, Jurnal UNISIA, Vol. XXXI, No. 70, 2008, hal. 340

1 comment:

  1. mohon copas sedikit,,, untuk bahan kuliah nkami dan kawan-kawan

    ReplyDelete