PNEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebelum tersebar luar ke penjuru dunia, mengandalkan aturan
hukum pada kuatnya tradisi riwayat yang dimulai dari masa Nabi Muhammad saw
sampai kepada zaman sahabat dan tabi’in. Baru setelah Islam
berada di wilayah-wilayah yang jauh dari heart of Islam yakni Mekah dan
Madinah, dan Islam saat itu mulai menjadi alat kekuasaan dari para raja-raja
kecil di daerah, maka terjadilah pembaharuan hukum di dalamnya melalui jalan
ijtihad, termasuk dengan hukum keluarganya.
Pembaruan
Hukum Keluarga Islam (Hukum Perkawinan dan Perceraian) dimulai tahun
1917 oleh Turki. Usaha Turki ini diikuti Mesir tahun 1920. Usaha yang sama
dilakukan sejumlah Negara muslim lainnya.
Walhasil, sampai tahun 1996, di negara Timur Tengah misalnya, hanya tinggal lima
negara yang belum memperbaharuai hukum keluarga,
bahkan Negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan
draft, yakni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman.[1]
Tujuan usaha pembaruan ini secara umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, unifikasi hukum perkawinan. Kedua, peningkatan
status wanita. Ketiga, respon terhadap dan menyesuaikan dengan perkembangan
dan tuntutan zaman. Ada juga yang menambahkan untuk tujuan kepastian
hukum. Dalam upaya peningkatan status perempuan dapat dikategorikan secara umum
menjadi dua. Pertama, menjamin hak-hak mereka. Kedua, melindungi
mereka dari perlakukan sewenang-wenang suami. Jabaran dari upaya jaminan
dan perlindungan ini muncul dalam berbagai bentuk aturan.
Dalam perkembangannya banyak negara-negara
muslim yang ikut dalam pembaharuan hukum khususnya di bidang hukum keluarga.
Salah satu negara yang melakukakn pembaharuan tersebut adalah Yaman.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk
melihat bagaimana bentuk pembaharuan hukum keluarga di Yaman, serta pembaharuan
hukum keluarga di bidang apa saja yang telah dilakukan Yaman dalam merancang
Undang-Undang hukum keluarga Republik Yaman.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, ada beberapa masalah yang akan
penulis bahas, di antaranya :
1. Menjelaskan profil negara Yaman.
2. Menjelaskan pembaharuan hukum keluarga di Yaman.
1.
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA NEGARA YAMAN
A. Profil Negara Yaman
Yaman adalah sebuah negara Republik yang terletak di Jazirah Arab,
kawasan Timur Tengah benua Asia. Negara yang secara astronomis berada diantara 12°-19°LU
dan 42°-55°BT ini hanya berbatasan darat dengan 2 negara yaitu Arab Saudia di
sebelah Utara dan Oman di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Selatan Yaman
adalah teluk Aden dan sebelah Baratnya adalah Laut Merah. Yaman memiliki
sekitar 200 pulau besar dan pulau kecil. Pulau terbesarnya adalah Pulau Sokotra
yang terletak di sekitar 415km dari Selatan Yaman.[2]
Yaman merupakan salah satu negara dengan peradaban
tertua di dunia. Zaman dahulu Yaman wilayah kerajaan Saba’ yang sangat tersohor
dengan kekayaan alamnya. Namun, karena penguasaan dan eksplorasi bangsa lain
yang melampaui batas, kini Yaman menjadi negara termiskin dengan rata-rata
perkapita pertahun sebesar 800 dollar AS.[3]
Islam masuk ke Yaman pada tahun 630 ketika Nabi
Muhammad Saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan ajaran Islam di
Sana’a.[4] Pada saat itu, Yaman merupakan wilayah yang
paling maju di Jazirah Arab.
Pada abad ke-16, Yaman dikuasai oleh Dinasti Usmaniyyah yang
kemudian ditaklukkan oleh kelompok Syi’ah Zaidiyyah dibawah pimpinan Yahya
Muhammad Hamiduddin. Sejak saat itu, kelompok Syi’ah Zaidiyyah menjadikan Yaman
Utara sebagai pusat pemerintahannya.
Jumlah penduduk Yaman adalah sebanyak 23 juta jiwa. Sekitar 99,7 % penduduknya memeluk Islam, selain itu
juga terdapat ajaran lainnya seperti Ismailiyyah (0,3%), Kristen (<0,1 %),
Hindu (<0,1%), dan Yahudi (<0,1 %). Dari seluruh mayoritas penduduk yang
beragama Islam sekitar 53% penganut Muslim Sunni dan 47% penganut Muslim Syiah
Zaidiyyah.[5]
Bahasa resmi
negara Yaman adalah bahasa Arab.Bahasa Arab digunakan secara resmi oleh lebih
dari 22 negara. Bahasa Arab dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, Bahasa Arab
Fusha (bahasa arab standar baku/classical Arabic), bahasa religius dan sastra
yang diucapkan dan dituliskan secara seragam di dunia Arab. Kedua, Bahasa
Arab `Amiyah (bahasa arab pasaran) bahasa Arab untuk percakapan sehari-hari
(colloquial Arabic), bahasa lisan informal yang berbeda-beda, tergantung dialek
masing-masing daerah.[6]
Ekonomi Dasar.
Sekitar seperempat produk lokal pendapatan berasal dari pertanian. Namun,
negara tersebut mengimpor lebih dari enam puluh persen kebutuhan pangannya.
Sekitar dua puluh persen penduduk menderita kekurangan gizi. Pertanian
mempekerjakan lebih dari separuh angkatan kerja. Hasil pertaniannya adalah
sorgum, kentang, kurma, gandum, anggur, jelai, jagung, kapas, millet, dan
sayuran kebun, namun hanya sebagian dari hasil panen yang diproduksi untuk
dijual. Ini juga berlaku untuk hewan ternak. Orang-orang
Yaman masih mempraktikkan kerajinan tradisional seperti perak dan tembaga,
manufaktur kerat, pertukangan, pembuatan kapal, tembikar, tenun dan pencelupan,
anyaman, dan penyamakan kulit. Prospek ekonomi bergantung pada pengembangan
sumber daya minyak.[7]
Hal yang menarik dari Yaman adalah berdasarkan pasal 3 Konstitusi 1994 yang
mengidentifikasikan bahwa Syari'a (hukum Islam) sebagai sumber semua
undang-undang, meskipun di Yaman secara umum madzhab yang populer adalah
madzhab Syafi`i di daerah Selatan dan madzhab Syi`ah Zaidiyah di Yaman Utara.
Dalam sebuah tulisan dinyatakan bahwa di
Yaman, hukum Islam didasarkan kepada mazhab Zaidi. Namun, penduduk
Yaman selatan menganut mazhab Syafi‘i dan Hanafi.
Republik Arab Yaman (Yaman Utara) dan Rakyat Demokratik
Republik Yaman (Yaman Selatan) bersatu pada 22 Mei 1990, untuk membentuk
Republik Yaman saat ini. Yaman Utara telah ditetapkan sebagai pemerintahan
tribal-militer pada tahun 1962 setelah penggulingan Zaydi teokratis Imam Sy`iah.
Sebaliknya, Yaman Selatan, yang memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada
tahun 1967, adalah satu-satunya rezim Marxis di dunia Arab.[8]
Sepanjang sejarahnya, Yaman Utara dan Yaman Selatan
kerap terlibat konflik. Yaman Utara mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Yaman
Selatan mendapat suplai senjata dari Uni Soviet. Pada tahun 1990, Yaman Utara
dan Yaman Selatan menyepakati penyatuan yang pada akhirnya disetujui oleh
referendum pada Mei 1990. Sejak saat itu pula Ali Abdullah Saleh diangkat
menjadi presiden baik di Yaman Utara maupun
Yaman Selatan. Dari adanya penyatuan
tersebut diharapkan dapat diwujudkan suatu negara
yang integral dan sejahtera. Akan tetapi hingga
saat ini ternyata di Yaman sering terjadi
konflik, terutama konflik antara Pemerintah pusat Yaman
dengan pemberontak Al Houthi di Yaman Utara.[9]
Pemberontak Al
Houthi merupakan kelompok
pemberontak yang berbasis di Yaman Utara. Para
pengikut pemberontak ini terkenal dengan sebutan
Houthis. Penamaan ini berdasarkan
pencetusnya yaitu Husein Badaruddin Houthi. Husein
Al Houthi adalah anak Alamah Sheik Badruddin
Al Houthi yang merupakan seorang tokoh
Syi’ah Zaidiyah di Yaman. Karir politiknya
dimulai sebagai salah seorang pendiri partai Al Haq
yang lebih berpandangan terhadap Islam. Ketika
pada tahun 1991 partai sosialis berkuasa di
Yaman, partai Al Haq yang pandangannya
berdasarkan Islam dibentuk untuk mencegah
meluasnya pemikiran ekstrim Partai Asosiasi
Reformasi Yaman.[10]
Secara politik, terdapat upaya untuk menyatukan partai
politik. Pada Mei 1993, dua partai yang berkuasa GPC dan YSP bersatu untuk
membentuk partai tunggal, sehingga pada pemilu legislatif terdapat partai
dengan suara mayoritas di parlemen. Pada tahun 1993, wakil presiden Al-Bayadh
melakukan pemberontakan dan menyatakan membentuk Republik Demokratik Yaman baru
yang berpusat di Aden. Akibatnya terjadi perang sipil antara Yaman Utara dan
Yaman Selatan. Namun, pada 7 Juli 1994 pasukan Ali Abdullah Saleh berhasil
menguasai Aden dan mengakhiri konflik. Untuk memperkuat posisinya, Presiden
Saleh melarang keanggotaan partai politik dalam angkatan bersenjata dan
melakukan amandemen konstitusi untuk menghapus Dewan Presiden.[11]
B. Pembaharuan Hukum Keluarga di Yaman
Sebelum bersatu divnegara ini terdapat Yaman Selatan dan Yaman Utara. Yaman Selatan yang
dibawah pimpinan Raja Shihr dan Mukatta mengkodifikasi hukum Islam berdasarkan
Dikrit Raja (Royal), tahun 1924. Kemudian diperbaharui dengan Qunun Ushrah
(Family Law) No. 1 tahun 1974 yang ditetapkan pada tanggal 5 Januari tahun
1974. Undang-undang ini mengandung 53 pasal aturan perkawinan, perceraian
akibat putusnya perkawinan, dan pemeliharaan anak.
Sementara Yaman Utara yang myorias penduduknya mengikuti Syi’ah Zaidiyah
tetap menggunakan Qanun al-Usrah (Family Law) No. 3 Tahun 1978 sebagai undang-undang
hukum keluarga, dan mulai diberlakukan 8 Januari 1978. Sebelumnya, di Yaman Utara
telah dikodifikasi UU Kewarisan, Qanun al-Mawaris al-Syari’ah, UU No. 4
Tahun 1976, dan mulai berlaku 24 Pebruari 1976. UU No. 3 Tahun 1978 memuat 159
Pasal, 3 bab. Namun sejak ditetapkannya negara Republik
Yaman maka resmilah UU Republik (Republic Decree Law) No. 20 tahun 1992 sebagai
undang-undang hukum keluarga.[12]
Hal yang menarik menurut penulis bahwa sebelum tahun 1990 Republik Yaman
saat ini yang terpecah dalam bentuk dua negara Yaman Selatan dan Yaman Utara
telah memiliki Undang-Undang Hukum Keluarga tersendir. Akan tetapi pada tahun
1992 Republik Yaman yang merupakan gabungan dari Yaman Selatan dan Utara
mengeluarkan UU Republik Yaman sebagai Undang-undang Hukum Keluarga. Untuk itu
dalam bahasan ini penulis akan mencoba untuk merincikan meskipun tidak secara
komprehensif, setidaknya penulis juga mengemukakan beberapa aturan tentang
hukum keluarga baik di Yaman Utara baik Yaman Selatan sebelum menjadi Republik
Yaman seperti saat ini.
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan dari penulis terkait dengan
pembaharuan yang dilakukan oleh Republik Yaman dalam rangka pembaharuan hukum
keluarga, di antaranya :
1.
Batas Usia Perkawinan
Menurut Undang-Undang Keluarga Yaman,
perkawinan anak di bawah umur dilegalkan, tetapi hukum melarang melakukan
hubungan seksual sebelum permulaan masa pubertas. Pelanggaran terhadap hukum
dapat dikenakan hukuman denda atau hukuman penjara antara satu dan tiga tahun
dan kompensasi ganti rugi kepada istri atas hilangnya keperawanan.[13]
Undang-Undang Status Pribadi tahun 1992
menetapkan usia minimum pernikahan pada 15 tahun untuk anak laki-laki dan perempuan,
tetapi pada saat yang sama mencabut hak anak di bawah umur untuk membubarkan
perkawinan pada saat mencapai pubertas, seperti yang diperbolehkan oleh
Undang-undang YAR 1976.[14]
Sebagaimana hukum keluarga di Negara-negara yang lain, sebelum terjadi penyatuan
Yaman Selatan dan Yaman Utama, Yaman Selatan juga menerapkan adanya batasan
minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk
perempuan. Namun batasan ini tidak terkait dengan keabsahan akad nikah, hanya
disebutkan bahwa itu merupkan suatu yang perlu untuk diperhatikan. Tampaknya hanya
kemaslahatanlah yang mendasari ketetapan ini dan tidak banyak kepentingan
Negara untuk ikut mengaturnya, sehingga peraturan ini hanya bersifat “anjuran”.
Bila dikaitkan dengan fiqih klasik, hal ini terlihat tidak banyak berubah. Perkawinan perempuan yang belum baligh (bila
batasan usiah pernikahan tersebut boleh dikiaskan dengan kedewasaan, bulug),
hampir semua fuqaha menyatakan keabsahannya. “Anjuran” di atas sama dengan satu
riwayat dari asy-Syafi’I yang menyebutkan bahwa saya lebih senang jika seorang
ayah tidak menikahkan anak perempuannya sebelum baligh. Sedangkan di Yaman Utara batasan usia perkawinan yang diberikan adalah 15
tahun laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan.
Masih terkait
dengan usia antara calon pengantin, juga ditetapkan bahwa perbedaan usia antara
kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahum, kecuali bila calon
perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam pandangan fuqaha klasik, tidak
ada larangan seperti ini. Preseden yang sering dijadikan rujukan adalah
perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang berbeda usia keduanya sangat jauh pada saat
pernikahan.[15]
Sepertinya pada UU No.20 tahun 1992 yang mengatur mengenai hukum keluarga
Yaman mengadopsi apa yang sebelumnya menjadi UU hukum keluarga di Yaman Utara,
karena Yaman menetapkan batas usia minimum pernikahan adalah 15 tahun baik itu
laki-laki maupun perempuan.
2.
Perwalian
Untuk sebuah akad pernikahan yang sah, seorang
wanita Yaman membutuhkan izin dan tanda tangan wali laki-laki pada saat dia
tidak hadir dalam akad pernikahan, dan kemudian dilakukan oleh seorang hakim
pengadilan (Pasal 15-17).
Pasal 7 tidak mengharuskan kehadiran pengantin
perempuan untuk menghadiri sebuah akad pernikahan. Kemudian pada pasal 10
menetapkan bahwa perkawinan apa pun yang dilakukan secara paksa dapat
dibatalkan[16].
Pada pasal 15 menyebutkan bahwa Wali boleh menikahkan anak perempuannya yang
masih kecil (al-shaghirah) tetapi tidak boleh disetubuhi oleh suaminya sebelum
bisa (kuat) disetubuhi, meskipun umurnya sudah menginjak 15 tahun. Mengawinkan
anak diperbolehkan jika ada maslahat.[17]
Dan Pasal 23 secara eksplisit mengharuskan persetujuan pengantin untuk
perkawinan,.[18]
3.
Pencatatan Perkawinan
Pasal 14
Undang-undang Republik Yaman No. 20 Tahun 1992
mengharuskan pencatatn perkawinan. Mereka yang tidak mancatatkannya,
paling lambat 7 hari setelah dilangsungkannya akad nikah, dapat
diancam dengan sanksi penjara.[19]
Secara khusus pencatatan
perkawinan yang diberlakukan di Yaman Selatan memiliki perbedaan dengan
negara-negara muslim lainnya. Menurut hukum keluarga negara ini, pencatatan
perkawinan berpengaruh terhadap keabsahan (validitas) suatu perkawinan. Dengan
demikian, pencatatan perkawinan bukan sekedar persyaratan administratif saja.[20] Hal ini berarti bahwa suatu pernikahan belum
dianggap sah ketika pernikahan tersebut belum tercatat pada lembaga pencatat
nikah yang sah.
4.
Perceraian
UU Republik Yaman No. 20 tahun 1992 menetapkan,
pembatalan perkawinan harus dengan keputusan pengadilan. Menariknya, alasan
tidak se-kufu’ dalam status sosial dapat menjadi alasan
pembatalan perceraian, dan suami yang ketagihan alkohol dan narkotik dapat
menjadi alasan perceraian tanpa harus mengembalikan
mahar.[21]
Suami memiliki hak untuk mengakhiri pernikahan
dengan talaq, suatu bentuk perceraian sepihak (penolakan) dengan mengucapkan
tiga kali “Aku menalakmu. Hal ini memberi pemahaman bahwa perceraian menjadi
sah setelah suami mengucapkan kalimat dengan maksud menceraikan istrinya.
Seorang wanita hanya dapat mengajukan perceraian ke pengadilan dengan sejumlah
alasan terbatas yang ditentukan oleh hukum, seperti suami tidak mampu memberi
nafkah, atau telah menyebabkan kerugian, atau pergi dari kediaman selama lebih
dari enam bulan. Ketika permintaan perceraiannya didasarkan pada alasan lain (khulu`),
ia diharuskan membayar kembali maharnya dan membatalkan hak pemeliharaan.[22]
Setelah perceraian, mantan isteri memiliki hak
yang lebih besar untuk mendapatkan hak asuh atas anak-anaknya daripada suami,
yaitu dalam waktu 9 tahun pertama dalam kasus anak laki-laki, dan 12 tahun
untuk anak perempuan. Rumah suami-istri dan anak-anak yang lebih besar,
kebanyakan diberikan kepada suami. Seorang wanita yang diceraikan biasanya
kembali ke rumah ayahnya. Dia menerima nafkah iddah selama tiga bulan, periode
tiga quru` (tiga menstruasi), hingga terbukti bahwa dia tidak hamil.
Setelah itu isteri - secara hukum - bebas untuk menikah lagi.[23]
Secara khsusus di Yaman selatan ada Beberapa pasal penting yang termuat dalam Family
Law of Republic Yaman South yang mengatur tentang permasalahan perceraian diatur
dalam pasal 25 sampai pasal 30 dengan azas perceraian sebagai berikut
:
Pasal 25: Perceraian yang
dilakukan se pihak adalah dilarang. Perceraian tidak sah (tidak ada)
baik yang diucapkan atau di tulis kecuali setelah mendapat izin dari Badan Peradilan Pemerintah.
Pengadilan
(District Court) setelah diadakan pemeriksaan. Dan Pengadilan tidak akan
mengabulkan/menizinkan kecuali setelah menunjuk seseorang yang bertanggung
jawab dan telah berusaha sekuat-kuatnya untuk
mengupayakan perdamaian antara para pihak dan Pengadilan membenarkan
alasan-alasan untuk menjatuhkan talak sehingga kelanjutan ikatan pernikahan
tersebut dan hidup rumah tangga tidak mungkin lagi.
Pasal 26: Perceraian yang
dilakukan secara sepihak, batal menurut hukum dan Pengadilan dapat memberi
sanksi bagi yang menjatuhkan talak lebih dari satu dalam sesaat.
Pasal 29: Pengadilan
dapat membubar kan/memutuskan sebuah perkawinan dengan putusan
cerai (pisah) atas perkawinan secara mutlak, pada kasus sebagai berikut : (1) Apabila salah
satu pihak sejak menikah merasa menderita karena salah satu pihak mengidap
penyakit dimana penyakitnya tersebut dokter menyatakan bahwa penyakitnya tidak
dapat disembuhkan dan tidak dapat melanjutkan pernikahan.(2) Apabila salah
satu pihak hilang/pergi dalam waktu 3 tahun berturut-turut. Jika suami atau
isteri kembali, maka hubungan pernikahan dapat dilanjutkan dengan masa iddah. (3) Apabila salah pihak tidak sanggup memberikan nafkah dimana
ketidak sanggupan pemberian nafkah
tersebut patut terjadi maka dalam kasus
ini Pengadilan dapat memberikan kelonggaran selama 3 bulan dan apabila sampai
batas waktu yang telah ditentukan tidak mampu memenuhinya maka perkawinan dapat
dibubarkan.
Seorang isteri
dapat meminta terputusnya pernikahan (cerai gugat) apabila suaminya telah
menikah lagi dengan wanita lain, sebagaimana pasal 11 Undang-Undang ini.
Pasal 30:
(a) Apabila
Pengadilan menemukan fakta bahwa suami yang menjadi faktor penyebab
perselisihan yang mengarah pada perceraian tersebut, sedangkan isteri tidak
ditemukan kesalahannya. Maka isteri yang telah dicerai harus mendapatkan ganti
rugi yang tidak terbatas seperti halnya pemberian nafkah selama satu tahun. (b) Apabila
seorang isteri didapati suka bertengkar dan menjadi penyebab keretakan, maka
Pengadilan dapat menetakan suami mendapatkan ganti rugi tidak terbatas seperti
halnya mahar yang diberikan.[24]
5.
Kawin Beda Agama
Di Yaman Utara, perkawinan
beda agama diatur dalam Undang-undang Hukum Keluarga (Qanun al-Usrah) No.
31978/. Pasal 47 menyebutkan:
Ketika seorang suami non-Muslim masuk Islam dan
isterinya yang bukan Ahl al-Kitab tidak masuk Islam atau agama Ahl al-Kitab, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ketika
seorang isteri non-Muslim masuk Islam sementara suaminya tetap non-Muslim,
perkawinan dapat dibatalkan. Ketika salah seorang suami-istri keluar dari
Islam, maka perkawinan dibatalkan.
Pengaturan perkawinan beda agama di Yaman Utara masih memandang
bahwa seorang perempuan tidak boleh menikah dengan non-Muslim dan seorang
laki-laki hanya boleh menikah dengan wanita Ahl al-Kitab.
Sehingga dalam Hukum Keluarga Yaman Utara ditetapkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan ketika suami (yang non-Muslim) masuk Islam, sedangkan isterinya
(yang bukan Ahl al-Kitab)
tidak masuk Islam atau tidak beragama Ahl al-Kitab.
Begitu pula sebaliknya ketika sang suami tetap non-Muslim, sementara istrinya
masuk Islam, perkawinan dibatalkan. Hal ini berarti hukum perkawinan beda agama
mengikuti pendapat fikih bahwa perkawinan harus didasarkan pada prinsip, “suami
harus beragama Islam atau istri beragama Ahl al-Kitab”.[25]
Yaman Utara adalah negara yang mayoritas penduduknya
pengikut Syiah. Tidak mengherankan jika pengaturan perkawinan beda agama di
Yaman Utara sejalan dengan pendapat ulama Syiah tentang kebolehan laki-laki
Muslim menikahi wanita Ahl al-Kitāb. Sebagian dari mereka hanya
berpendapat bahwa laki-laki Muslim yang menikahi wanita Ahl al-Kitab tidak
baik dalam bentuk nikah dā’im atau mut’ah. Namun demikian, jika
dirujuk pada pendapat mazhab Shāfi’ī, yang juga banyak dianut Muslim Yaman
Utara nampaknya aturan perkawinan beda agamanya tidak sejalan. Mazhab Syafi`i berpendapat bahwa menikahi Ahl al-Kitab makruh
hukumnya apabila mereka berada di dar al-Islam dan
lebih makruh lagi jika mereka berada di dar al-ḥarb. Ini berarti Yaman Utara beranjak dari pendapat mazhab Shāfi’ī
karena Hukum Keluarga Yaman Utara tidak menghindari perkawinan dengan wanita Ahl
al-Kitab. Meskipun dalam fikih, makruh bukan berarti dilarang
secara mutlak, tapi pada umumnya ketika dikenakan hukum makruh, maka akan
dihindari.[26]
Hukum Keluarga Yaman Utara juga tampaknya hanya
menafsirkan Alquran (Q.s. Al-Ma’idah [5]: 5) secara tekstual tanpa melihat mudarat yang
ditimbulkan akibat perkawinan beda agama. Sebagaimana sudah ditegaskan oleh
‘Umar ibn al-Khaṭṭab
bahwa menikahi Ahl al-Kitāb akan mendatangkan pengaruh negatif yang
tidak diinginkan karena laki-laki Muslim akan lebih tertarik kepada wanita Ahl
al-Kitab ketimbang para Muslimah. Prinsip ‘Umar dalam menghukumi
perkawinan dengan Ahl al-Kitab ini menggunakan
metode sad al-dzhari’ah, yaitu menutup bahaya yang ditimbulkan akibat
suatu perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya.[27]
6.
Poligami
Hukum Keluarga Yaman pada saat ini
memungkinkan seorang pria Muslim berpoligami dengan hingga empat wanita (juga
non-Muslim), jika ia dapat berlaku adil kepada semua isteri-isterinya (Pasal
12). Sedangkan wanita muslim hanya bisa menikahi satu pria, yang harus menjadi Muslim.
Dalam Undang-undang 1992 yang diperlukan dari suami hanyalah dapat memberi
pembuktian 'tunjangan sah' untuk menikahi lebih dari satu istri, maka
undang-undang pada tahun 1998 mencabut hal tersebut, kemudian mengganti dengan
istilah dapat memberikan jaminan untuk istri pertama. Perubahan lain yang
dilakukan terhadap Undang-Undang 1992 pada tahun 1998 yaitu membebaskan suami
untuk memberi tahu istri pertama/yang telah ada mengenai niatnya untuk menikah
lagi (poligami). Yang diperlukan hanya menginformasikan kepada calon
pengantin/calon isteri bahwa dia sudah menikah.[28]
Di Yaman khususnya Yaman Selatan, bigami
(beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari
Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan
oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit
kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta
penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga. Meskipun
tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam Pasal-Pasal
yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun
Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait
pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan
perkawinan yang bertentangan dengan Undang-Undang (salah satunya mengenai
bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda
maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 Tahun; atau kedua sekaligus. Dengan
demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan
tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.[29]
7.
Perjanjian Perkawinan
Menurut syari'at, istri memiliki pilihan untuk
memasukkan ketentuan dalam perjanjian pernikahan, yang merupakan sarana yang
digunakan oleh wanita Muslim dahulu untuk memperkuat hak perkawinannya.
Meskipun Hukum Status Pribadi tidak melarang hak ini, itu sangat tidak
disarankan oleh keyakinan tradisionalis dan kebiasaan sosial. Wanita di Yaman
sebagian besar tidak menyadari kemungkinan ini. Tanpa adanya ketentuan
perjanjian, ketentuan hukum di Yaman mewajibkan istri untuk mematuhi suaminya,
dan dia tidak dapat meninggalkan rumah atau bepergian ke luar negeri tanpa
persetujuannya (Pasal 40).[30]
Dalam Undang-Undang Yaman Utara tahun 1978 (Qanun
al-Usrah), masalah taklik talak dicantumkan dalam pasal 4, bahwa satu
perkawinan yang ada taklik (perjanjian perkawinan) yang sah dan berlaku bagi
pihak-pihak, maka perkawinannya adalah sah dan perjanjian pun berlaku. Kemudian ditambahkan, perjanjian tidak boleh dirubah kecuali
atas persetujuan bersama.[31]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat
disimpulkan bahwa Yaman merupakan negara berbentuk republik yang merupakan
gabungan dari dua negara yaitu Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dalam
memberlakukan hukum keluarga, Yaman melakukan unifikasi dengan melahirkan UU
No.20 Tahun 1992 yang menjadi undang-undang hukum keluarga Yaman. Menurut informasi
bahwa hukum Islam yang berlaku di Yaman bersumber dari madzhab Syi`ah Zaidiyah,
sedangkan mayoritas penduduk Yaman bagian selatan merupakan penduduk dengan
Madzhab Syafi`i dan Hanafi.
Di antara pembaharuan hukum keluarga Yaman, di
antaranya :
1. Batasan usia perkawinan
2. Perwalian
3. Pencatatan perkawinan
4. Perceraian
5. Kawin beda agama
6. Poligami
7. Perjanjian perkawinan
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
masih terdapat banyak sekali kekurangan baik itu kekurangan secara materi
maupun referensi. Untuk itu, penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan
kritikan maupun saran agar makalah ini dapat disempurnakan sebagaimana
mestinya.
[1]Atho` Mudzhar
dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi
Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta
: Ciputat Press, 2003), hal. 17
[3]Sarah Phillips,
Yemen’s Democracy Experiment in Regional Perspective: Patronage and
Pluralized Authoritarianism (New York: Palgrave Macmillan, 2008), hal. 39
[4]“Menelusuri
Sejarah Islam di Yaman,” Republika, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/04/30/nnmjwf-menelusuri-sejarah-islam-di-negeri-yaman-1,
diakses pada tanggal 1 Mei 2018
[6]Silvia Dwi Astuti, Antropologi Yaman,
http://kujyou.blogspot.co.id/2018/03/antropologi-yaman.html pada tanggal 3 Mei 2018
[7]Silvia Dwi Astuti, Antropologi Yaman,
http://kujyou.blogspot.co.id/2018/03/antropologi-yaman.html pada tanggal 3 Mei
2018
[9]Gilang Prabowo Jakti dan Alfa Jamil, Upaya Pemerintah Ali Abdullah Saleh
Menyelesaikan Konflik dengan Pemberontak Houthi, E-Journal Hubungan
International, hal. 1
[10]Gilang Prabowo Jakti dan Alfa Jamil, Upaya Pemerintah Ali Abdullah Saleh
Menyelesaikan Konflik dengan Pemberontak Houthi,..., hal. 2
[11]Muhammad Fakhry Ghafur, Problematika Politik Islam di Yaman, Suriah, dan
AlJazair, (Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 2015), hal. 120-121
[12]http://yusmaulanaazdy.blogspot.co.id/2014/05/makalah-pembaruan-hukum-keluarga-di.html
diakses pada tanggal 4 Mei 2018
[13]Anna Wurth, Stalled Reform, Famili Law in Post-Unification Yemen, Berlin
: Leiden, in Islamic Law and Society, 2003, hal. 14
[14]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges, (Hill
: Inovating Justice, 2012), hal. 42
[15]http://makalahhukumislamlengap.blogspot.co.id/2013/12/batas-usia-perkawinan.html
diakses pada tanggal 4 Mei 2018
[16]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,...,
hal. 42
[17]Jamaluddin Muhammad, Tantangan Perempuan Yaman, diakses dari https://rumahkitab.com/tantangan-perempuan-yaman/
[18]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,...,
hal. 42
[19]Ahmad Tholabi Kahrlie, Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern, Jurnal
BIMAS ISLAM, Vol.9, No. 2, 2016, hal. 280
[20]Atho` Mudzhar
dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi
Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,..., hal. 71
[21]Moh. Affandi, Hukum Perkawinan di Indonesia; Studi Komperatif Antara
Fikih Konvensional dan Negara-Negara Muslim; Persfektif HAM dan CEDAW, Jurnal
Al-Ahwal Vol. 7, No, 2, 2014, hal. 196
[23]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,...,
hal. 42
[24]Nurul Hakim, Perbandingan Hukum Tentang Alasan Perceraian The Family Law
of Yemen South dan Kompilasi Hukum Islam, diakses dari https://riderrz.files.wordpress.com/2010/06/perbandingan-talaq.pdf
[25]Khamami Zada, Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama, Jurnal
Al-Ahkam Vol, XIII, NO. 1, 2013, hal. 42-43
[28]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,...,
hal. 42
[29]M. Zaki, Dinamika Introduksi Sanksi Poligami dalam Hukum Negara Muslim
Modern, Jurnal Al-Risalah Vol. 14, No.2, 2014, hal. 321
[30]Laila Al-Zwaini, The Rule Of Law in Yemen Prospects and challanges,...,
hal. 43
[31]Khoirudin Nasution, Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik Talak dan
Perjanjian Perkawinan, Jurnal UNISIA, Vol. XXXI, No. 70, 2008, hal. 340
mohon copas sedikit,,, untuk bahan kuliah nkami dan kawan-kawan
ReplyDelete