Wednesday, January 16, 2019

TA`LIL AL-AHKAM SEBAGAI PROSES DALAM MENEMUKAN FILOSOFIS HUKUM ISLAM



A.    Pendahuluan
 Hukum Islam merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim dan ajaran Islam. Kajian tentang hukum Islam menjadi sebuah kajian yang tidak akan lepas dari kajian tentang Islam itu sendiri. Joseph Schacht, misalnya, mengatakan bahwa hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup seorang Muslim dan merupakan inti dan saripati Islam itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang hukum Islam menjadi kajian yang sudah ada sejak periode awal Islam dan tetap berlangsung hingga saat ini.
Tidak dapat diingkari bahwa realitasnya hukum Islam itu bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan tuntunan perkembangan waktu dan tempat. Dengan kata lain, perkembangan hukum Islam, disamping tuntutan masyarakat, juga tidak lepas dari peran ‘illat sebagai dasar yang melatarbelakangi tasyri’ atau pensyari’atan hukum. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sejak awal hingga sekarang, terlihat bahwa ‘illat memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Dalam kajian Ushul Fiqh, kegiatan ini dikenal dengan istilah teori ‘illat dan penalaran ta’lili.
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan Allah untuk mengatur prilaku manusia memiliki alasan logis (nilai hukum) dan hikmah yang hendak dicapai.[1] Dikalangan ulama Ushul Fiqh, ‘illat itu diartikan dengan sesuatu yang menjadi pautan hukum.[2] Dengan kata lain, ‘illat itu ialah sesuatu yang menjadi alasan atau dasar yang melatarbelakang penetapan hukum syara’. Setiap ketentuan hukum yang diturunkan Allah baik perintah maupun larangan, pasti memiliki alasan-alasan tersendiri, yang disebut dengan ‘illat.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk memaparkan beberapa hal yang terkait dengan permasalah ta`lili al-ahkam dalam rangka menemukan filosofis hukum Islam. sehingga nantinya dapat dipahami peran ta`lili al-ahkam dalam pengembangan serta pemenuhuan kebutuhan zaman terhadap hukum Islam dengan kerangka berfikir yang sistematis dan logis.  
B.     Pengertian Ta`lil Al-Ahkam 
Pembicaraan tentang illat didasarkan kepada anggapan bahwa ketentuan-ketentuan Allah untuk mengatur perilaku manusia ada alasan logis dam hikmah yang ingin dicapainya. Allah tidak menurunkan ketentuan dan aturan tersebut secara sia-sia atau tanpa tujuan apa-apa. Secara umum tujuan tersebut adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Tetapi secara lebih khusus, setiap perintah dan larangan mempunyai alasan logis dan tujuan masing-masing. Sebagiannya disebut di dalam Al-Qur`an ataupun hadis, sebagian lagi diisyaratkan saja dan adapula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Jumhur ulama berpendapat bahwa alasan logis tersebt selalu ada, akan tetapi ada yang tidak terjangkau oleh akal manusia sampai saat ini, seperti alasan logis untuk berbagai ketentuan dalam bidang ibadah. Alasan logis inilah yang dinamakan dengan lllat atau manath al-hukm.[3]
Menurut Syamsul Bahri bahwa illat atau ta`lil berarti menggugat makna, tetapi merupakan dasar bagi dibinanya hukum dan dapat dijadikan untuk menentukan ada atau tidaknya hukum.[4] Untuk itu penulis akan mencoba untuk menjelas definisi ta`lil al-ahkam ini ataupun yang biasa disebut dengan illat.  
Secara etimologi kata al-ta`lil adalah masdar dari `allala-yu`allilu-ta`lilan, yang berarti “sesuatu yang berubah keadaannya karena sampainya sesuatu yang lain padanya”. Sakit adalah illat karena tubuh berbubah keadaannya dengan adanya sakit.[5] Oleh karena itu ada beberapa ungkapan si fulan dikatakan ber-illat apabila keadaannya berubah dari sehat menjadi sakit.
Sedangkan secara terminologi sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa yang dimaksud dengan illat adalah suatu sifat yang terdapat pada suatu nash (ashl/pokok) yang menjadi dasar dari hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far` (kasus di luar nash/cabang).[6]  Wahbah al-Zuhaili juga memberikan definisi bahwa illat adalah suatu sifat yang konkrit dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya dapat mewujudkan tujuan hukum yaitu tercapainya sebuah kemaslahatan (maa syara al-hukmu ‘indahu tahqiqan lil maslahati al-muarraf lil hukmi).[7]  Muhamamd Abu Zahrah mendefinisikan illat sebagai suatu sifat yang jelas, tetap dan sesuai dengan dasar hukum.[8] Saufi Hasan Ibnu Tholib menjelaskan bahwa illat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kasus ashal dan juga kasus furu’, dan illat tersebut menjadi hikmah yang menjadi tujuan syara` dan dapat diketahui dengan akal. Illat bisa juga diartikan sebagai suatu sifat yang nampak dan pasti yang mana hukum dibangun atas dasar illat tersebut, dan ada tidaknya sebuah hukum sangat tergantung dengan adanya illat tersebut.[9]
Terminologi di atas menggambarkan adanya diskusi para ulama ushul fikih klasik dalam memahami hakikat illat ketika dihubungkan dengan hukum.Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh diskursus dalam ilmu kalam.Dalam diskursus tersebut, ada tiga kalimat yang menjadi poros perbedaan yaitu apakah illat itu adalah ba’its (pendorong), muatsir (pemberi pengaruh), ataukah mu’arif (pemberi tahu).Apabila illat diartikan sebagai ba’its, maka illat diposisikan sebagai sesuatu yang mengandung hikmah yang pantas menjadi tujuan hukum. Apabila diartikan sebagai mu’atsir, illat dipahami sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh terhadap hukum sehingga dapat diidentifikasi suatu maslahat dan mafsadat. Apabila diartikan sebagai mu’arif, illat hukum diposisikan sebagai pemberi tanda adanya hukum yang bisa tidak terikat dengan kewajiban adanya nash. Di kalangan Asy’ariyah pada umumnya menerima konsep illat sebagai sebuah al-Mua’rif, yang sepadan dengan makna ‘alamah dan amarah (tanda adanya suatu hukum). Mereka menolak illat hukum sebagai al-Ba’its, dan mu’atsir.Namun pemaknaan ini tidak diakui secara utuh di kalangan Asy’ariyah yang pada umumnya bermazhab fikih Syafi’i, misalkan Al-Amidi, Ibn Hajib bahkan al-Ghazali mengartikan illat sebagai sebuah al-Ba’its.[10]
Bahasa apapun yang digunakan oleh para ulama dalam memahami hakikat illat, semua mempunyai maksud yang sama bahwa illat bisa dijadikan sebagai sebuah titik tolak untuk mengidentifikasi adanya hukum (ta’lil al-Ahkam) dan Allah lah yang sesungguhnya menentukan segala hukum, bukan illat itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan yang terjadi hanya pada tataran konsep dan pendekatan yang digunakan.
Satu hal lagi yang perlu ditegaskan adalah perbedaan antara illat dan al-sabab. Dalam hubungan ini jika sesuatu yang menjadi tambatan/alasan hukum itu dapat dinalar oleh akal secara jelas sifat dan keberadaannya serta hubungnannya dengan hukum yang ditetapkan, maka dinamakan dengan illat. Akan tetapi jika tidak bisa dinalar dan dipahami secara rasional, maka dinamakan dengan al-sabab, sehingga dalam hubungan ini timbul ungkapan bahwa illat itu adalah al-sabab dan tidak berarti al-sabab itu adalah illat. Dengan kata lain, setiap ketentuan hukum mempunyai alasn-alasan yang melatarbelaknginya, hanya saja ada yang diketahui secara rasional dan ada yang tidak diketahui. Ketentuan-ketentuan dalam bidang muamalah secara umum dapat diketahui alasan pensyariatan hukumnya, seperti dalam masalah hak bertetangga. Apabila seseorang ingin menjual sebidang tanahnya kepada orang lain, maka yang lebih berhak membelinya adalah tetangga terdekat dengannya karena dikhawatirkan akan terjadi masalah jika dijual kepada orang lain. Sementara itu untuk bidang ibadah kebanyakan illatnya tidak diketahui, seperti mencium hajar aswad ketika melaksanakan ibadah haji. Dengan kata lain alasan pelaksanaannya adalah ta`abuddi.[11]
C.    Dasar Pemikiran Pentingnya Ta`lil Al-Ahkam dalam Menemukan Hukum Islam
Bila mengkaji masalah pengembangan hukum Islam, maka persoalannya tidak terlepas dari alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Dalam kajian ushul fiqh, sebagaimana disebutkan oleh Alyasa Abubakar, persoalan ini termasuk dalam kajian ’illat dan penalaran ta’lili. Menurut Alyasa, dalam kajian ’illat terdapat asumsi bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan (ditetapkan) Allah untuk mengatur prilaku manusia memiliki alasan-alasan logis (nilai hukum) dan hikmah yang hendak dicapai.[12]
Dengan kata lain, suatu ketentuan hukum akan terpaut dengan ’illatnya, yang oleh Imam al-Gazali disebutnya dengan manath al-hukm.[13] Dalam prakteknya, teori ’illat bukan saja melihat dan memahami fungsi ’illat sebagai sesuatu yang menjadi sebab atau yang melatarbelakangi lahirnya hukum, tetapi ’illat juga terkait dengan perubahan dan pengembangan hukum. Dengan demikian, eksistensi ’illat menjadi sangat penting, lebih-lebih terkait dengan perubahan dan pengembangan hukum Islam.
Dilihat dari segi penggunaannya, oleh Alyasa Abubakar ’illat dibedakan kepada dua macam, yaitu; apa yang ia sebut dengan ’illat qiyasi dan ’illat tasyri’iy.
Pertama, ’Illat qiyasi, seperti disebutkan oleh Alyasa Abubakar ialah untuk menetapkan suatu ketentuan hukum yang berlaku bagi suatu masalah yang telah disebutkan dalam nash dapat diberlakukan pula pada masalah lain yang tidak atau belum ada ketentuan hukumnya dalam nash (masalah baru). Karena adanya kesamaan ’illat antara keduanya. Dengan kata lain, dalam konsep qiyas ’illat merupakan salah satu unsur (rukun) dan sebagai sarana untuk mencari padanan—persamaan substansi/nilai)—atau titik temu antara sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Dalam istilah lain kegiatan ini dikenal pula dengan sebutan penganalogian hukum.
Kegiatan penganalogian hukum ini merupakan salah satu bentuk usaha pengembangan hukum dan merupakan kegiatan yang paling luas digunakan oleh para ulama dan mazhab hukum dalam memberikan jawaban atas masalah-masalah baru hingga sekarang ini, kecuali kalangan Zhahiriyah yang menolak penggunaan analogi hukum. Banyak persoalan baru yang muncul diselesaikan dengan penganalogian ini. Konsep penganalogian hukum (qiyas) adalah bertumpu pada 4 (enpat) unsur, di samping ada ’illat juga harus ada pokok (al-Ashl), ada masalah baru yang akan disamakan atau dianalogikan dengan persoalan yang sudah ada dalam nash (al-far’u) dan ketetapan hukum baku (al-hukm) yang melekat pada persoalan asal.[14]
Salah satu contoh klasik yang tetap aktual dalam hal ini, yang sering dirujuk oleh para ulama ialah berkenaan dengan dijadikannya khamar sebagai tempat penganalogian minuman-minuman lainnya disamakan hukumnya dengan khamar. Sebagaimana diketahui bahwa khamar hukumnya haram diminum, karena ’illatnya memabukkan (iskar). Hal ini didasarkan atas sabda Nabi. Hadis Nabi tersebut dijadikan tempat qiyas atau sebagai sandaran penganalogian (penyamaan) minuman-minuman lainnya yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash. Dalam kenyataanya, terdapat sejumlah jenis minuman yang mengandung zat yang dapat memabukkan bila diminum oleh manusia. Untuk itulah penggunaan qiyas menjadi sarana yang sangat penting ketika dihadapkan dengan kasus-kasus baru yang tidak disebutkan dalam nash.
Kedua, dengan menggunkan ‘illat tasyri’iy. Dalam kajian ushul Fiqh, yang disebut dengan ‘illat tasyri’iy adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum dapat berlaku terus atau sepantyasnya berubah karena ‘illat yang melandasi penetapannya telah mengalami perubahyan.[15]
Banyak ketentuan fiqh yang mengalami perubahan dan perkembangan berdasarkan asas ini.[16] Perubahan itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu: Pertama, pemahaman ‘illat hukum itu sendiri yang berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman terhadap dalil nash yang menjadi landasannya. Perubahan pemahaman tentang ‘illat ini karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baru dalam kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat hasil pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illat-nya adalah makanan pokok yang disebut dengan al-qut, dapat disimpan lama, dapat ditakar atau ditimbang. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut dengan al-nama` (produktif). Jadi, semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya. Sebelumnya zakat hasil pertanian itu hanya dikenakan kepada empat jenis hasil pertanian saja sebagaimana disebutkan dalam hadist yang artinya:
Dan dari Abu Musa al-‘Asy’ari dan Muaz, semoga Allah meredlai mereka berdua. Sesungguhnya Nabi Saw. berkata kepada mereka berdua, janganlah kamu pungut zakat kecuali terhadap empat jenis yaitu: syair, gandum, anggur dan kurma. (HR. Thabrânî dan al-Hakim)
Pemahaman ‘illat atas hasil pertanian mengalami perubahan dan perkembangan yang semula adalah al-qut (makan pokok yang mengenyangkan) kemudian berubah menjadi al-nama` (produktif). Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat wajib zakat atas hasil pertanian seperti disebut terakhir ini sesungguhnya lebih tepat dan lebih mencakup karena dapat menjangkau berbagai jenis tanaman yang tidak disebutkan oleh nash yang keberadaannya lebih produktif, memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta dapat mendatangkan kekayaan.
Dalam hubungan ini, Ibrahim Husen menyebutkan bahwa apa saja yang tumbuh di muka bumi dan bermanfaat dalam menopang kehidupan manusia, seperti kelapa, buah pala, merica, lada, cengkeh, kopi, tebu, bunga anggrek, kayu jati dan lain-lain wajib dikenakan zakat. Bagi Ibrahim Husen, penetapan wajib zakat terhadap berbagai jenis tumbuhan di atas adalah bertolak dari penetapan zakat atas empat jenis tumbuhan yang disebutkan dalam hadist di atas, yang ‘illat-nya adalah karena ia bermanfaat dalam menopang kehidupan. Dan ‘illat ini dapat diterapkan atas semua jenis tanaman atau tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, setiap tanaman mengandung manfaat serta dapat menopang kehidupan manusia dapat di-qiyas-kan kepada empat jenis tanaman yang hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya. [17]
Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat zakat hasil pertanian terhadap empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist di atas -dari al-qut (makanan pokok) menjadi al-nama` (produktif) sebagai dikemukakan oleh Alyasa Abubakar atau bermanfaat seperti diungkapkan oleh Ibrahim Husin adalah didorong oleh keinginan untuk menyesuaikan pemahaman ‘illat dengan perkembangan baru. Sekiranya ‘illat zakat hasil pertanian -bagi empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist itu- tetap dipahami seperti semula atau tidak diubah. Maka, ia tidak dapat menjangkau berbagai jenis tanaman lainnya, yang keberadaannya juga tidak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan fungsinya untuk menopang kehidupan. Perubahan pemahaman ‘illat zakat hasil pertanian dari al-qut menjadi al-nama` atau kemanfaatan agar ia dapat diterapkan kepada berbagai jenis tanaman -selain dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist- yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi serta menjadi mata pencaharian penduduk di beberapa tempat, yang sesungguhnya wajib dikeluarkan zakatnya.
Menurut Ibrahim Husen pemahaman terhadap ‘illat ini sangat penting dalam upaya melakukan istinbath hukum. Dan dalam hubungannya dengan kewajiban zakat atas empat jenis, tanaman yang disebutkan dalam hadist, menurut Ibrahim Husen ‘illat-nya adalah mustanbathah, karena tidak disebutkan secara jelas, ia dapat diperluas kepada persoalan lain yang essensinya sama, sekalipun tidak dijelaskan oleh nash. [18]
Kedua, pemahaman terhadap ‘illat masih tetap seperti sediakala, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemahaman atas hukum yang didasarkan padanya diubah. Dalam hubungan ini, Alyasa Abubakar memberikan contoh tentang pembagian tanah rampasan perang di Irak pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khattab.[19] Adapun ‘illat pembagiannya sebagaimana dijelaskan oleh ayat tersebut, adalah agar harta itu tidak hanya beredar atau didominasi oleh orang-orang kaya saja.[20] Pada masa Rasulullah kebun-kebun orang Yahudi yang kalah perang dibagi-bagikan kepada kaum muslimin. Akan tetapi, Umar tidak mau membagi lahan atau tanah pertanian yang ditaklukkan itu setelah selesai perang.[21] Menurut Umar, pembagian itu akan melahirkan sekelompok orang kaya baru yang justru dihindari oleh al-Qur`an. Tanah tersebut harus menjadi milik negara dan disewakan kepada penduduk. Hasil sewaan inilah yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan dari keuangan negara.[22] Contoh lainnya, misalnya Umar tidak memberikan hak muallaf, sebagai salah satu mustahiq zakat, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Umar beranggapan bahwa sifat muallaf tidak berlaku sepanjang hidup, seperti halnya kemiskinan. Pemberian zakat kepada muallaf pada awal Islam adalah karena Islam masih lemah.[23] Di samping itu, golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu dibujuk hatinya agar tetap bertahan dengan keislamannya atau agar mereka menahan diri dari melakukan tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam. Dengan kata lain ‘illat pemberian zakat kepada golongan muallaf ialah karena Islam dan iman mereka masih lemah.
Menurut Umar, Rasulullah memberikan bagian zakat kepada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi. Dengan kata lain ketika Islam telah kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu tidak perlu lagi.[24] Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri. Menurut Umar bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman mereka masih lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah kuat, maka pemberian zakat kepada muallaf tidak dilaksanakan lagi.
Dua contoh kasus ijtihad Umar yang telah dikemukakan di atas, diakui memang menimbulkan perdebatan dikalangan ulama dan pakar hukum Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat,[25] bahwa paling tidak ada 5 (lima) pandangan tentang ijtihad Umar yaitu: 1). Ijtihad Umar tidak meninggalkan nash, apalagi mengganti atau menghapus ketentuan hukumnya. 2). Ijtihad Umar memang meninggalkan zhahir nash, tetapi ia berpegang kepada substansi nash atau maqashid ahkam al-syar‘iyah. 3). Ijtihad Umar berkenaan dengan masalah qath’iyah yang bukan bidang Ijtihad, tetapi diperbolehkan khusus untuk Umar. 4). Ijtihad Umar telah meninggalkan nash yang sharih, tetapi sebagaimana berlaku pada setiap mujtahid, ijtihadnya tetap mendapat satu ganjaran. 5). Ijtihad Umar memang banyak melanggar nash yang qath‘i, tetapi hal ini terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.
Bila dihubungkan kelima pandangan ini dengan dua contoh kasus ijtihad Umar yang telah disebutkan di atas. Maka rasanya tidak mungkin Umar mengambil kebijakan atau melakukan ijtihad dengan meninggalkan nash. Umar adalah salah seorang sahabat terkemuka, mustahil akan melanggar atau menentang nash.[26] Dua contoh kasus ijtihad Umar yang kontroversial di atas, -tentang perubahan pembagian harta rampasan perang dan penghentian pemberian zakat untuk muallaf- sesungguhnya tidak meninggalkan nash, tetapi dilatarbelakangi oleh perubahan pemahaman tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapannya sebab jika tidak demikian apa yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum tidak dapat diwujudkan.
Ketika suatu ketentuan hukum tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan dalam kehidupan. Maka, kita harus melihat kembali ‘illat yang mendasari penetapannya. Artinya, kita harus mengubah dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat yang mendasari penetapan hukum tersebut, dengan melihat konteks perubahan zaman, keadaan dan tempat, dan tujuan pensyari‘atan hukum itu sendiri, sebagaimana halnya terjadi pada ijtihad Umar yang telah disebutkan di atas. Inilah yang disebut oleh Mustafa Syalabi dengan istilah hukum berubah karena terjadinya perubahan kepentingan.
Pandangan Mushthafa Syalabi ini menunjukkan bahwa ‘illat menempati posisi yang sangat penting dalam pembinaan hukum syara‘ yang di dalamnya tercakup apa yang menjadi tujuan hukum tersebut, yaitu untuk merealisir kepentingan (kemaslahatan) manusia. Seperti disebutkan dalam kaidah bahwa hukum bergantung dengan ada dan tidak adanya ‘illat. Artinya ada ‘illat ada hukum dan bila ‘illat tidak ada, maka hukum menjadi tidak ada. Dan dalam hubungan ini, termasuk pula ke dalamnya perubahan hukum.[27]
Terjadinya perubahan hukum sesungguhnya karena adanya perubahan pemahaman terhadap ‘illat dan perubahan pemahaman ‘illat terkait dengan perubahan kepentingan yang muncul dalam kehidupan yang selalu dinamis. Perubahan kepentingan dalam konteks ini adalah menyangkut “kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia. Dalam kenyataannya, apa yang menjadi kepentingan manusia tersebut akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Dalam hubungan ini Mushthafa Syalabi  mengatakan:
Sesungguhnya tasyrî‘ akan berjalan seiring dengan kepentingan atau kemaslahatan manusia, dan tidaklah segala sesuatu itu merupakan hal yang permanent yang tidak mengalami perubahan. Hal ini merupakan petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana bagi para pemegang urusan (umat) agar mereka memperhatikan keadaan dan kondisi yang berkaitan dengan hukum-hukum mereka.[28]
Tentu saja pandangan Syalabi ini tidak berlaku untuk semua ketetapan hukum. Sebab sebagaimana dijelaskan oleh Yûsuf al-Qardhawi bahwa ketetapan-ketetapan hukum itu terdiri dari dua macam: Pertama, ketetapan-ketetapan hukum dalam nash yang sifatnya tidak berubah keadaan dari semula, meski terjadi perubahan zaman, tempat ataupun ijtihad para pakar hukum, seperti pengharaman segala yang diharamkan dan sesuatu yang telah diwajibkan hukum hadd yang telah ditetapkan oleh syara‘ bagi pelaku kejahatan. Ketetapan-ketetapan hukum jenis ini tidak akan akan pernah mengalami perubahan dan tidak dapat dirubah oleh ijtihad. Inilah yang disebut dengan istilah al-ahkam al-tsabitah atau hukum-hukum yang manshus. Hukum-hukum yang dikategorikan kepada jenis ini tidak akan berubah meskipun terjadi perubahan keadaan, situasi dan zaman. Hal ini, misalnya berkaitan dengan bidang ibadah mahdhah, masalah qishash dan hudud.[29]
Kedua, ketetapan hukum yang dapat berubah karena sesuai dengan tuntutan kepentingannya, baik berupa zaman, tempat dan keadaan. Ketentuan-ketentuan hukum yang termasuk kategori ini disebut dengan istilah al-ahkam al- mutaghayyirah atau hukum-hukum mustanbathah. Perubahan hukum itu adalah hanya berkenaan dengan hukum-hukum yang bersifat ijtihadi dan hukum yang bersifat ijtihadi ini adalah produk atau hasil ijtihad para mujtahid yang terjadi pada setiap kurun waktu dan tempat yang kedudukannya tidak permanen.
Produk atau hasil ijtihad tersebut boleh jadi berupa fatwa-fatwa dari seorang mujtahid (al-ijtihâd al-fardi) atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh sekelompok ulama dan institusi yang dikenal dengan istilah klektif (al-ijtihad al-jamai). Terhadap produk-produk hukum yang tidak permanen seperti disebutkan di atas, Fathurrahman Djamil menyebutnya sebagai sesuatu yang relatif, tidak mutlak benar atau dalam Ushul Fiqh disebut dengan zhanni. Istilah ini dikalangan ahli Ushul Fiqh merupakan sesuatu yang mendekati kebenaran menurut pandangan mujtahid.[30]
Karena itu, dari penjelasan di atas dan dikaitkan dengan penggunaan ‘illat baik ‘illat qiyasi maupun ‘illat tasyri`i, ternyata bidang ini merupakan bidang garapan yang sangat subur untuk pengembangan hukum Islam. Dapat dinyatakan bahwa upaya pengembangan hukum Islam adalah menyangkut kegiatan ijtihad terhadap berbagai persoalan yang muncul dengan ‘illat yang melatar-belakanginya. Kegiatan ahli Fiqh atau mujtahid telah memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan hukum Islam dari waktu ke waktu. Dan dalam prakteknya, pengembangan hukum Islam tersebut akan selalu terkait dengan ‘illat. Artinya, hukum baru dianggap ada bilamana ‘illat itu ada dan begitu pula sebaliknya.[31]
D.    Cara-cara yang Ditempuh dalam Menemukan dan Mengaplikasikan Ta`lil Al-Ahkam
Para ulama sepakat bahwa semua hukum syari’at yang telah ditetapkan memiliki latar belakang, sebab-sebab dan unsur kemaslahatan bagi umat manusia. Penetapan hukum syari’at, tidak hanya sekedar menuntut mukallaf untuk memenuhinya sebagai kekuasaan hukum, tetapi ditetapkan karena ada kemaslahatan yang dikehendaki oleh Syari’. Selain  menetapkan kewajiban suatu perbuatan, seperti ibadah shalat, puasa dan lainnya, maka Syari’at juga telah mengharamkan beberapa makanan dan minuman, beberapa masalah mu’amalah dan lain sebagainya. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak manusia atau membebani manusia dengan tugas-tugas yang berat. Namun, disebalik ketetapan syari’at tersebut terkandung kemaslahatan bagi manusia, yakni “menolak bahaya dan menghilangkan berbagai kesulitan manusia”.
Tujuan tersebut dapat dilihat dari beberapa isyarat atau tanda (illat) yang terdapat di dalam nash. Sebagian disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagian lagi hanya berupa isyarat, ada pula yang harus diamati dan dianalisa terlebih dahulu, sehingga Mujtahid memerlukan cara-cara tertentu untuk mengetahuinya yang disebut dengan “masalik al-‘illat” atau “turuq al-‘illat”.[32]
Ulama ushul fiqh telah mengemukakan beberapa cara untuk mencari illat, akan tetapi pada prinsipnya dapat dikategorikan kepada tiga macam, yaitu melalui nash (Al-Qur`an dan sunnah), melalui penalaran logis (akal) yang disebut dengan illat mustanbathah/ghair manhsusah, dan melalui ijma`. Illat manshusah maksudnya apabila nash, baik Al-Qur`an maupun hadis bahwa illat hukumnya adalah sifat yang disebut oleh nash itu sendiri. Adapun illat mustanbathah/ghair manshusah apabila nash tidak menunjuk dengan tegas bahwa illat hukumnya adalah sifat yang tersebut dalam nash itu sendiri.[33]
Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba menjabarkan bagaimana cara yang ditempuh untuk menemukan illat dalam suatu hukum.
1.      Diperoleh berdasarkan nash (illat manshusah)
Illat suatu hukum dapat diperoleh apabila nash dalam Al-Qur`an atau sunnah menunjukkan bahwa illat suatu hukum adalah sifat tertentu yang ditunjukkan oleh nash itu sendiri. maka sifat tersebut menjadi illat berdasarkan nash.[34]
Di antara illat yang ditetapkan berdasarkan nash ialah seperti pada surat An-Nisa` ayat 165 :
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Rasul-rasul itu membawa berita gembira dan memberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah rasul-rasul itu diutus”
Kata لِئَلَّا (supaya) yang diiringi dengan kalimat sesudahnya dalam ayat tersebut merupakan illat bagi ketentuan Allah dalam mengutus para rasul-Nya selaku pembawa berita gembira dan peringatan bagi manusia. Illat dalam ayat tersebut jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain. Contoh di atas, alasan hukumnya ditetapkan berdasarkan ayat yang sharihah Qath`iyyah.[35]
Yang dimaksud dengan sharihah qath`iyyah adalah apabila penunjukkan lafal nash kepada illat hukum tidak mungkin dipahami dengan makna yang lain.[36] Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah seperti dalam surat Al-Hasyr ayat 7 :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
“apa saja harta rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang bersal dari penduduk negeri-negeri) maka itu adalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu”
Dalam ayat di atas mengatakan bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak adalah agar harta tersebut tidak hanya menjadi milik orang-orang kaya saja. Dalam ayat ini dipakaikan lafaz كَيْ untuk menunjukkan illat, dan tidak mengandung kemungkinan yang lain. inilah yang menurut ulama ushul disebut dengan illat sharih.[37]
Namun terkadang memang ada nash yang menunjukkan illat secara implisit atau mengandung makna pengertian selain keillatan. Maka hal yang seperti itu disebut dengan sharihah zahnniyah (jelas dan bersifat dugaan),[38] yang oleh para ulama ushul fiqh dibagi menjadi dua macam :
a.       Lafaz-lafaz tertentu yang mengandung makna illat seperti lam, ba`, anna, dan in. Seperti dalam surat al-Zariyat ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”
Huruf lam dalam kata لِيَعْبُدُونِ adalah lafaz yang menunjukkan illat, akan tetapi ada juga lam yang bermakna milik dan akibat, namun bersifat lemah. Oleh karena itu, para ulama menyatakan illat sepeti ini dapat dijadikan illat suatu hukum.
b.      Nash yang mengandung illat tetapi melalui suatu isyarat yang dapat diketahui melalui suatu indikasi lain. hal ini dapat terjadi apabila  : (1) hukum itu merupakan suatu jawaban pertanyaan, seperti sabda Rasulullah SAW memerdekakan budak terhadap orang yang menggauli isterinya di siang bulan Ramadhan. Dari kisah ini diketahui bahwa hukuman untuk memerdekakan budak itu adalah disebabkan perbuatan melakukan hubungan suami isteri di siang hari Ramadhan, dan jawaban Rasululllah memerekakan budak memberi isyarat bahwa illat hukum tersebut adalah senggama di siang hari Ramadhan. (2) hukum itu diiringi oleh suatu sifat, seperti sabda Rasulullah yang mengisyaratkan seorang hakim tidak boleh memutus perkara dalam keadaan marah. Sifat marah merupakan isyarat bahwa perkara itulah illat hukum tidak dibolehkannya hakim memutus suatu perkara.[39]
Dalam hal ini Busyro dalam bukunya menyebutkan hal ini dengan istilah dalalah nash dengan isyarat al-ima`, yaitu penyebutan dua sifat (keadaan) beriringan dengan suatu ketentuan sehingga dugaan kuat bahwa penyebutan ini adalah untuk illat. Dengan kata lain, kalau tidak dimaksudkan untuk illat tentu keduanya tidak disebutkan secara beriringan.[40]
2.      Melalui ijma`
Maksudnya penetapan illat melalui ijma` ini adalah apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas keillatan suatu sifat bagi suatu hukum syara`, maka keillatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma`.[41]
Berdasarkan praktek yang berkembang di kalangan ulama ushul fiqh, sesuatu yang sudah disepakati dapat dijadikan sebagai alasan (hujjah) untuk menentukan illat suatu hukum dengan melihat sifat atau keadaan yang mempunyai pengaruh terhadap penetapan hukum tersebut.
Contohnya adalah jika seorang perempuan mempunyai dua orang saudara laki-laki salah satunya saudara kandung dan yang lainnya saudara seayah, maka saudara laki-laki kandung lebih utama dalam soal wali nikah. illatnya ialah karena saudar laki-laki kandung lebih utama dari saudara laki-laki seayah dalam hak penerimaan waris. Jika dalam soal waris saudara kandung lebih utama dari saudar seayah adalah karena kedekatan pertalian persaudaraan, dan ia merupakan illat yang membawa pengaruh langsung soal waris.[42]
Penetapan illat dengan jalan ijma` ini memang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini berakar pada pandangan apakah illat yang didasarkan kepada ijma` tersebut qath`i atau zhanni. Ahmad Hasan menyebutkan bahwa mayoritas ulama ushul menyatakan bahwa illat yang didasarkan pada ijma` adalah qath`i. Akan tetapi sekelompok ulama mengatakan tidak qath`i, tetapi zhanni. Kelompok ini di antaranya al-Syaukani dan Qadhi `Ad al-Din al-Iji. Namun al-Juraini menolak pandangan ini, ia tetap mengatakan bahwa penetapan illat berdasarkan ijma` tetap qath`i.[43]
3.      Melalui penalaran logis
Jika ilat tidak dapat diperoleh dengan salah satu yang telah dikemukakan di atas, maka para ulama membolehkan penggunaan penalaran logis untuk menentukan apa kira-kira yang menjadi alasan kuat pensyariatan suatu ketentuan hukum. Penentuan illat dalam bentuk ini dapat dikemukakan dengan cara :[44]
a.       Al-Sibr wa Taqsim
Apabila datang suatu nash mengenai suatu kejadian dan tidak terdapat dalil nash atau ijma` yang menunjukkan illat hukumnya, maka mujtahid harus menempuh jalan untuk dapat mengetahui illat hukum ini dengan jalan Al-sibr wa Taqsim yang artinya percobaan, Al-Taqsim berarti meringkas sifat-sifat yang baik untuk menjadi illat pada asal. Kata Al-Sibr berarti menliti kemungkinan-kemungkinan dan al-Taqsim artinya menyelesaikan atau memisah-misahkan. Al-Sibr wa Taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih di antara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai illat hukum.[45]
Sebagai contoh sebagaimana dalam hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَمْرٌو النَّاقِدُ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ» (رواه مسلم)[46]
(Penukaran) emas dengan emas perak dengan perak gandum dengan gandum, sya`ir dengan sya`ir, korma dengan korma, garam dengan garam, barang-barang semisal dan sama pertukaran dengan cara tunai. Apabila berbeda jenis-jenis benda itu, maka lakukanlah jual beli sesuai dengan keinginanmu, dengan syarat dilakukan dengan tunai. (H.R Muslim)
Penukaran benda sejenis dengan cara tidak sama pada hadits di atas illatnya tidak sama, sebab gandum sebagai salah satu jenis dari enam macam benda tersebut kadang-kadang bisa sebagai makanan pokok dan makanan biasa. Jika illatnya dikatakan pokok maka hal ini kurang tepat (dalam pandangan Hanafiyah) karena riba dapat pula terjadi pada garam yang bukan makanan pokok. Juga tidak cocok karena riba terjadi pula pada emas dan perak yang bukan berupa makanan.
Pada gandum terdapat tida sifat, yaitu : dapat dipastikan kadarnya (takarannya), termasuk makanan dan tanaman. Kemudian sifat ini diterapkan kepada lima macam yang lain. ada emas dan perak hanya didapati sifat pertama. Pada syair  dan korma terdapat tiga macam sifat di atas, tapi pada garam hanya ada dua sifat, yaitu sifat pertama dan kedua. Berdasarkan hal itu para mujtahid berusaha mencari satu sifatyang sama terhadap seluruh jenis benda ini. Akhirnya setelah meneliti secara seksama diperoleh suatu sifat yang dipunyai oleh keenam macam benda tersebut yaitu sifat yang pertama, bahwa keenamnya dapat diukur, baik dengan timbangan maupun takaran. Sifat inilah yang dapat dijadikan illat untuk menetapkan hukum haramnya mempertukaran barang yang sejenis bila tidak sama timbangan, takaran dan ukuran.[47]
b.      Munsabah
Yang dimaksud dengan cara ini ialah mencermati illat dari segi kepantasan dan kesesuainnya dengan pensyariatan hukum, yaitu berdasarkan pada sesuatu yang dapat menciptakan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan.
Selain memakai istilah munasabah para ahli ushul fiqh memakai pula istilah takhrij al-manath, yaitu mendapatkan illat pada hukum asal semata-mata mengaitkan antara kesesuainnya (munasabah) dengan pensyariatan hukum. Selain itu juga dipakai istilah al-ikhalah yang artinya diduga bahwa suatu sifat itu merupakan illat hukum atau maslahah atau penalaran tujuan-tujuan syara`. Jadi walaupun terdapat banyak istilah dalam hal ini namun tetap mengacu kepada substansi yang sama, yaitu adanya keserasian hukum yang ditetapkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan hukum itu (munasabah).[48]
c.       Tanqih Al-Manath
Tanqih secara bahasa adalah meluruskan, memurnikan dan membedakan. Adapun manath adalah tempat untuk menyandarkan. Oleh karena itu ‘illat hukum bisa disebut dengan manath karena adanya hubungan suatu hukum dengan yang dikaitkan.[49]
Jadi, tanqihul manath adalah menetapkan satu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat di dalam ashal untuk menjadi ‘illat hokum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu ditinggalkan dan hukum diberi ‘illat dengan yang lebih umum.[50] Perbedaan tanqihul manath dengan sabru wa taqsim meskipun sama-sama meneliti dan membatalkan, ialah dalam tanqihul manath sifat-sifat yang diteliti untuk ditinggalkan satu diantaranya untuk menjadi ‘illat telah tersebut dalam nash, sedangkan pada sabru wa taqsim, semua sifatnya masih dicari-cari dan dimunculkan kemungkinannya.[51]
d.      Tahqiq Al-Manath
Tahqiqul manath adalah mengamati adanya ‘illat pada salah satu permasalahan furu’iyah yang dikehendaki untuk diqiyaskan dengan ashalnya, adakalanya ‘illat ashal tersebut sudah dinashkan dan adakalanya
diistinbathkan. Jadi, yang dimaksud dengan tahqiqul manath adalah  memandang ‘illat yang sudah ada ketetapan nash (al-Qur’an) atau ijma’
atau metode lain dalam realita yang tidak ada nashnya.[52]
e.       Al-Thard
Al-Thard ialah penyertaan hukum dengan suatu sifat dan sifat itu tidak mempunyai keserasian dengan hukum yang ditetapkan. Maksudnya, dalam penetapan suatu huku disebutkan pula sifat yang mengiringinya namun antara hukum dan sifat itu tidak mempunyai kaitan sama sekali. Misalnya ucapan “Hukumlah seorang pincang itu”.
Dalam contoh di atas memang diperintahkan untuk menghukum seseorang disertai dengan penjelasan sifatnya (pincang), namun antara sifat dengan hukum tidak ada keterkaitan yang berarti, artinya tidak ada sangkut pautnya antara penetapan hukuman dengan pincang dalam ucapan tersebut.[53]
f.       Al-Dauran
Al-Dauran adalah memberlakukan ssuatu hukum apabila terdapat sifat yang menyertai hukum itu dan menangguhkan/tidak memberlakukan hukum apabila sifat itu tidak ada. Contohnya al-`ashir (perasan buah) itu tidak haram pada mulanya karena itu tidak memabukkan, tetapi ia bisa menjadi haram kalau akhirnya perasan buah tersebut punya daya memabukkan. Hal ini terjadi mungkin saja dengan memasukkan suatu benda ke dalamnya. Keharaman perasan buah ini tetap berlanjut sampai sifat memabukkan itu hilang.[54]
g.      Al-Syabah
Yang dimaksud dengan cara ini adalah upaya mencari kesamaan atau keserupaan illat dengan yang lainnya. Dengan kata lain, al-syabah ialah mencari hubungan keserupaan liar di antara dua hukum pokok yang berbeda, tapi satu sama lainnya mempunyai tujuan dan hikmah yang sama. Seperti persoalan wudhu dan tayamum adalah dua hal yang berbeda akan tetapi mempunyai persamaan yaitu menghilangkan najis.
Menurut ulama ushul al-syabah ada dua bentuk :
-          Melakukan qiyas dengan melihat kesamaan yang dominan antara dua hukum asal dengan furu` yang mempunyai dua bentuk kesamaan dengan dua hukum asal tetapi kemiripannya dengan satu sifat lebih dominan dibandingkan dengan sifat lainnya.
-          Qiyas shuri, yaitu mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan bentuknya, seperti mengqiyaskan kuda kepada keledai dalam hal yang tidak dikenakan kewajiban zakat.[55]
h.      Ilgha` Al-Fariq
Ilgha` Al-Fariq merupakan suatu penjelasan yang dikemukakan oleh ulama ushul bahwa antara asal dan furu` tidak terdapat perbedaan. Ketika itu mestilah menyamakannya dalam hukum. Misalnya meniadakan perbedaan antara pembunuhan dengan alat yang biasa dipergunakan untuk membunuh dengan pembunuhan dengan menimpakan sesuatu yang berat. Sebagaimana diketahui, disyari`atkan hukum qishas adalah untuk memelihara jiwa dan kehidupan manusia. Dengan adanya pembunuhan, baik dengan alat ataupun dengan menimpakan sesuatu yang berat, maka keduanya sama-sama melenyapkan jiwa manusia. Oleh karena itu dengan cara apapun manusia dibunuh, maka kepada si pelakunya diberlakukan hukum qishas. Dengan demikian illatnya di sini adalah pembunuhan secara mutlak.[56]
E.     Kesimpulan
Dari paparan singkat di atas terkait dengan ta`lil al-ahkam dapat disimpulkan, bahwa ta`lil al-ahkam merupakan upaya dalam menggali illat yang terdapat dalam sebuah hukum. Karena berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas illat merupakan sesuatu yang ada dalam sebuah hukum, serta illat juga digunakan dalam merentangkan suatu nash untuk menjawab persoalan-persolan yang secara eksplisit tidak diatur dalam nash.
Ta`lil al-ahkam sangat berpengaruh dalam pengembangan hukum Islam serta dalam rangka berfikir filosofis yang sistematis serta logis. Karena penggunaan ‘illat baik ‘illat qiyasi maupun ‘illat tasyri`i, ternyata bidang ini merupakan bidang garapan yang sangat subur untuk pengembangan hukum Islam. Dapat dinyatakan bahwa upaya pengembangan hukum Islam adalah menyangkut kegiatan ijtihad terhadap berbagai persoalan yang muncul dengan ‘illat yang melatar-belakanginya. Kegiatan ahli Fiqh atau mujtahid telah memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan hukum Islam dari waktu ke waktu. Dan dalam prakteknya, pengembangan hukum Islam tersebut akan selalu terkait dengan ‘illat. Artinya, hukum baru dianggap ada bilamana ‘illat itu ada dan begitu pula sebaliknya.
Dalam menemukan serta mengaplikasi illat suatu hukum sebenarnya merupakan kajian yang sangat panjang serta kajian yang begitu penting dalam rangka berfikir filosofis dalam hukum Islam. berdasarkan apa yang penulis kemukakan secara singkat setidaknya ada 3 metode yang dapat digunakan dalam menemukan illat suatu hukum, yaitu : (1) illat yang telah disebutkan oleh nash, (2) illat berdasarkan ijma`, dan (3) illat berdasarkan penalaran logis.



[1]Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : Remadja Rosda Karya, 2006), hal. 179
[2]Al-Ghazali, al-Mustasfa, (Mesir, Makatabah al-Jundiyah, 1971), hal. 395
[3]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo : WADE GROUP, 2016), hal. 171
[4]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : TERAS, 2008), hal. 244
[5]Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus : Dar Al-Kitab, 1987), hal. 205
[6]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Mohammad Zuhri, dkk, (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hal. 85
[7]Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy,..., hal. 207
[8]Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al’Arabi, t.th), hal. 188
[9]Shaufi Hasan Ibnu Thalib, Tathbiq al-Syariah al-Islamiyah fii al-Bilad al-Arabiyah, (t.tp: Dar al-Nadhah al-Arabiyah, 1995), hal. 148
[10]Ridzwan Bin Ahmad, “Permasalahan Ta’lil al-Ahkam Sebagai Asas Penerimaan Maqashid al- Shari’ah Menurut Ulama Usul” dalam Jurnal Fiqh.No. 5 2008, hal. 184-191
[11]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 183-184
[12]Alyasa Abubakar, “Teori ‘Illat dan Penalaran Ta’lili”, dalam Tjun Surjaman (Edit.), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosda Karya), hal. 179
[13]Al-Ghazali, Al-Mustasfa,..., hal. 395
[14]Abd. Karim bin Ali bin Muhammad al-Namilahlm, Syarah al-Minhaj al-Baidhawi Fi al-‘Ilm al-Hshul, (Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1999), hal. 667
[15]Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia,..., hal. 181
[16]Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia,..., hal. 181
[17]Ibrahim Husen, “Perluasan Cakrawala Zakat dan Efesiensi Pendayagunaannya” dalam Mimbar Ulama edisi Oktober (Jakarta: 1989), hal. 4-16
[18]Ibrahim Husen, “Perluasan Cakrawala Zakat”,.., hal. 4-16
[19]Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia,..., hal. 182
[20]Abdul Karim al-Namilah, Syarh al-Minhaj li al-Baidhawi,..., hal. 670
[21]Jalaluddin Rahmat, "Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar" dalam: Iqbal Abdurrauf Saimina (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 46
[22]Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia,..., hal. 182
[23]Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam (Jakarta: Rajawali Pess, 1987), hal. 138-142
[24]Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khatab,..., hal. 138-142
[25]Jalaluddin Rahmat, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, hal. 46
[26]Jalaluddin Rahmat, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, hal. 46
[27]Romli, Illat dan Penembangan Hukum Islam, dalam Jurnal Intizar Vol. 20 No. 2, 2014, hal 231
[28]Romli, Illat dan Penembangan Hukum Islam,..., hal. 232
[29]Yûsuf al-Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘at wa al-Murunah fî al-Syarî‘ah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Syahwah, 1985), hal. 77
[30]Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2000), hal.. 12-13
[31]Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal. 131
[32]H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007), Cet.I, hal. 83-84
[33]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 211
[34]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,..., hal. 102
[35]Syamsul Bahri, Metodolog hukum Islam,..., hal. 251
[36]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 212
[37]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 213
[38]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,..., hal. 103
[39]Samsyul bahri, Metodologi Hukum Islam, hal. 251-252
[40]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 217
[41]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,..., hal. 105
[42]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 219
[43]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 219-220
[44]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 220
[45]Mu`in Salim, Ushul Fiqh I, (Jakarta : t.tp, 1986), hal. 136-137
[46]Muslim, Shahih Muslim Juz III, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi), hal. 1211
[47]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 222
[48]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 223
[49]Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy,..., hal. 691-692  
[50]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, (Jakarta: Kencana 2009), hal. 233
[51]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1,..., hal. 234
[52]Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy,..., hal. 694
[53]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 233
[54]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 234
[55]Busyro, Dasar-dasar filosofis Hukum Islam,..., hal.235-236
[56]Busyro, Dasar-dasar filosofis Hukum Islam,..., hal.237-238

4 comments:

  1. Terimakasih ilmunya min :)

    ReplyDelete
  2. Bagus isi makalahnya kak, saya izin ambil sedikit ya kak sebagai bahan rujukan

    ReplyDelete
  3. Silahkan, semoga bermanfaat ya :)

    ReplyDelete