A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan bagian
yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim dan ajaran Islam. Kajian
tentang hukum Islam menjadi sebuah kajian yang tidak akan lepas dari kajian
tentang Islam itu sendiri. Joseph Schacht, misalnya, mengatakan bahwa hukum
Islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari cara
hidup seorang Muslim dan merupakan inti dan saripati Islam itu sendiri. Oleh
karena itu kajian tentang hukum Islam menjadi kajian yang sudah ada sejak
periode awal Islam dan tetap berlangsung hingga saat ini.
Tidak dapat diingkari bahwa realitasnya hukum Islam itu bersifat
dinamis dan berkembang sesuai dengan tuntunan perkembangan waktu dan tempat.
Dengan kata lain, perkembangan hukum Islam, disamping tuntutan masyarakat, juga
tidak lepas dari peran ‘illat sebagai dasar yang melatarbelakangi tasyri’
atau pensyari’atan hukum. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sejak
awal hingga sekarang, terlihat bahwa ‘illat memegang peranan yang sangat
penting dalam pengembangan hukum Islam. Dalam kajian Ushul Fiqh, kegiatan ini
dikenal dengan istilah teori ‘illat dan penalaran ta’lili.
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa ketentuan-ketentuan hukum
yang diturunkan Allah untuk mengatur prilaku manusia memiliki alasan logis
(nilai hukum) dan hikmah yang hendak dicapai.[1]
Dikalangan ulama Ushul Fiqh, ‘illat itu diartikan dengan sesuatu yang
menjadi pautan hukum.[2]
Dengan kata lain, ‘illat itu ialah sesuatu yang menjadi alasan atau
dasar yang melatarbelakang penetapan hukum syara’. Setiap ketentuan hukum yang
diturunkan Allah baik perintah maupun larangan, pasti memiliki alasan-alasan
tersendiri, yang disebut dengan ‘illat.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk
memaparkan beberapa hal yang terkait dengan permasalah ta`lili al-ahkam dalam
rangka menemukan filosofis hukum Islam. sehingga nantinya dapat dipahami
peran ta`lili al-ahkam dalam pengembangan serta pemenuhuan kebutuhan
zaman terhadap hukum Islam dengan kerangka berfikir yang sistematis dan logis.
B. Pengertian Ta`lil Al-Ahkam
Pembicaraan tentang illat didasarkan kepada
anggapan bahwa ketentuan-ketentuan Allah untuk mengatur perilaku manusia ada
alasan logis dam hikmah yang ingin dicapainya. Allah tidak menurunkan
ketentuan dan aturan tersebut secara sia-sia atau tanpa tujuan apa-apa. Secara
umum tujuan tersebut adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Tetapi secara lebih khusus, setiap perintah dan larangan mempunyai alasan logis
dan tujuan masing-masing. Sebagiannya disebut di dalam Al-Qur`an ataupun hadis,
sebagian lagi diisyaratkan saja dan adapula yang harus direnungkan dan
dipikirkan terlebih dahulu. Jumhur ulama berpendapat bahwa alasan logis tersebt
selalu ada, akan tetapi ada yang tidak terjangkau oleh akal manusia sampai saat
ini, seperti alasan logis untuk berbagai ketentuan dalam bidang ibadah. Alasan
logis inilah yang dinamakan dengan lllat atau manath al-hukm.[3]
Menurut Syamsul Bahri bahwa illat atau ta`lil
berarti menggugat makna, tetapi merupakan dasar bagi dibinanya hukum dan
dapat dijadikan untuk menentukan ada atau tidaknya hukum.[4]
Untuk itu penulis akan mencoba untuk menjelas definisi ta`lil al-ahkam ini
ataupun yang biasa disebut dengan illat.
Secara etimologi kata al-ta`lil adalah
masdar dari `allala-yu`allilu-ta`lilan, yang berarti “sesuatu yang
berubah keadaannya karena sampainya sesuatu yang lain padanya”. Sakit adalah illat
karena tubuh berbubah keadaannya dengan adanya sakit.[5]
Oleh karena itu ada beberapa ungkapan si fulan dikatakan ber-illat apabila
keadaannya berubah dari sehat menjadi sakit.
Sedangkan secara terminologi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa yang dimaksud dengan illat adalah
suatu sifat yang terdapat pada suatu nash (ashl/pokok) yang menjadi dasar dari
hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far`
(kasus di luar nash/cabang).[6] Wahbah al-Zuhaili juga memberikan definisi bahwa illat
adalah suatu sifat yang konkrit dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap
pelakunya dan menurut sifatnya dapat mewujudkan tujuan hukum yaitu tercapainya
sebuah kemaslahatan (maa syara al-hukmu ‘indahu tahqiqan lil maslahati
al-muarraf lil hukmi).[7] Muhamamd
Abu Zahrah mendefinisikan illat sebagai suatu sifat yang jelas, tetap
dan sesuai dengan dasar hukum.[8] Saufi Hasan Ibnu Tholib
menjelaskan bahwa illat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kasus ashal dan juga kasus furu’, dan illat tersebut
menjadi hikmah yang menjadi tujuan syara` dan dapat diketahui dengan akal. Illat bisa juga diartikan
sebagai suatu sifat yang nampak dan pasti yang mana hukum
dibangun atas dasar illat tersebut, dan ada tidaknya sebuah hukum sangat
tergantung dengan adanya illat tersebut.[9]
Terminologi di atas menggambarkan adanya
diskusi para ulama ushul fikih klasik dalam memahami hakikat illat
ketika dihubungkan dengan hukum.Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh diskursus
dalam ilmu kalam.Dalam diskursus tersebut, ada tiga kalimat yang menjadi poros
perbedaan yaitu apakah illat itu adalah ba’its (pendorong), muatsir (pemberi pengaruh), ataukah mu’arif (pemberi tahu).Apabila
illat diartikan sebagai ba’its, maka illat diposisikan sebagai sesuatu yang mengandung
hikmah yang pantas menjadi tujuan hukum. Apabila diartikan sebagai mu’atsir, illat dipahami sebagai
sesuatu yang memberikan pengaruh terhadap hukum sehingga dapat diidentifikasi
suatu maslahat dan mafsadat. Apabila diartikan sebagai mu’arif, illat hukum diposisikan sebagai pemberi
tanda adanya hukum yang bisa tidak terikat dengan kewajiban adanya nash. Di kalangan Asy’ariyah
pada umumnya menerima konsep illat sebagai sebuah al-Mua’rif, yang sepadan dengan makna ‘alamah dan amarah (tanda adanya suatu
hukum). Mereka menolak illat hukum sebagai al-Ba’its, dan mu’atsir.Namun pemaknaan ini tidak diakui secara utuh
di kalangan Asy’ariyah yang pada umumnya bermazhab fikih Syafi’i, misalkan
Al-Amidi, Ibn Hajib bahkan al-Ghazali mengartikan illat sebagai sebuah al-Ba’its.[10]
Bahasa apapun yang digunakan oleh para ulama
dalam memahami hakikat illat, semua mempunyai maksud yang sama bahwa illat bisa dijadikan
sebagai sebuah titik tolak untuk mengidentifikasi adanya hukum (ta’lil al-Ahkam) dan Allah lah yang
sesungguhnya menentukan segala hukum, bukan illat itu sendiri. Dengan demikian,
perbedaan yang terjadi hanya pada tataran konsep dan pendekatan yang digunakan.
Satu hal lagi yang perlu ditegaskan adalah
perbedaan antara illat dan al-sabab. Dalam hubungan ini jika
sesuatu yang menjadi tambatan/alasan hukum itu dapat dinalar oleh akal secara
jelas sifat dan keberadaannya serta hubungnannya dengan hukum yang ditetapkan,
maka dinamakan dengan illat. Akan tetapi jika tidak bisa dinalar dan
dipahami secara rasional, maka dinamakan dengan al-sabab, sehingga dalam
hubungan ini timbul ungkapan bahwa illat itu adalah al-sabab dan
tidak berarti al-sabab itu adalah illat. Dengan kata lain, setiap
ketentuan hukum mempunyai alasn-alasan yang melatarbelaknginya, hanya saja ada
yang diketahui secara rasional dan ada yang tidak diketahui.
Ketentuan-ketentuan dalam bidang muamalah secara umum dapat diketahui alasan
pensyariatan hukumnya, seperti dalam masalah hak bertetangga. Apabila seseorang
ingin menjual sebidang tanahnya kepada orang lain, maka yang lebih berhak
membelinya adalah tetangga terdekat dengannya karena dikhawatirkan akan terjadi
masalah jika dijual kepada orang lain. Sementara itu untuk bidang ibadah
kebanyakan illatnya tidak diketahui, seperti mencium hajar aswad ketika
melaksanakan ibadah haji. Dengan kata lain alasan pelaksanaannya adalah ta`abuddi.[11]
C. Dasar Pemikiran Pentingnya Ta`lil Al-Ahkam dalam Menemukan Hukum
Islam
Bila mengkaji masalah pengembangan hukum Islam, maka persoalannya
tidak terlepas dari alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Dalam kajian ushul
fiqh, sebagaimana disebutkan oleh Alyasa Abubakar, persoalan ini termasuk dalam
kajian ’illat dan penalaran ta’lili. Menurut Alyasa, dalam kajian
’illat terdapat asumsi bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan
(ditetapkan) Allah untuk mengatur prilaku manusia memiliki alasan-alasan logis
(nilai hukum) dan hikmah yang hendak dicapai.[12]
Dengan kata lain, suatu ketentuan hukum akan terpaut dengan ’illatnya,
yang oleh Imam al-Gazali disebutnya dengan manath al-hukm.[13]
Dalam prakteknya, teori ’illat bukan saja melihat dan memahami
fungsi ’illat sebagai sesuatu yang menjadi sebab atau yang
melatarbelakangi lahirnya hukum, tetapi ’illat juga terkait dengan
perubahan dan pengembangan hukum. Dengan demikian, eksistensi ’illat menjadi
sangat penting, lebih-lebih terkait dengan perubahan dan pengembangan hukum
Islam.
Dilihat dari segi penggunaannya, oleh Alyasa Abubakar ’illat dibedakan
kepada dua macam, yaitu; apa yang ia sebut dengan ’illat qiyasi dan ’illat
tasyri’iy.
Pertama, ’Illat qiyasi, seperti
disebutkan oleh Alyasa Abubakar ialah untuk menetapkan suatu ketentuan hukum
yang berlaku bagi suatu masalah yang telah disebutkan dalam nash dapat
diberlakukan pula pada masalah lain yang tidak atau belum ada ketentuan
hukumnya dalam nash (masalah baru). Karena adanya kesamaan ’illat antara
keduanya. Dengan kata lain, dalam konsep qiyas ’illat merupakan salah satu
unsur (rukun) dan sebagai sarana untuk mencari padanan—persamaan
substansi/nilai)—atau titik temu antara sesuatu yang sudah ada ketetapan
hukumnya dengan masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Dalam istilah
lain kegiatan ini dikenal pula dengan sebutan penganalogian hukum.
Kegiatan penganalogian hukum ini merupakan salah satu bentuk usaha
pengembangan hukum dan merupakan kegiatan yang paling luas digunakan oleh para
ulama dan mazhab hukum dalam memberikan jawaban atas masalah-masalah baru
hingga sekarang ini, kecuali kalangan Zhahiriyah yang menolak penggunaan
analogi hukum. Banyak persoalan baru yang muncul diselesaikan dengan
penganalogian ini. Konsep penganalogian hukum (qiyas) adalah bertumpu
pada 4 (enpat) unsur, di samping ada ’illat juga harus ada pokok (al-Ashl), ada
masalah baru yang akan disamakan atau dianalogikan dengan persoalan yang sudah
ada dalam nash (al-far’u) dan ketetapan hukum baku (al-hukm) yang
melekat pada persoalan asal.[14]
Salah satu contoh klasik yang tetap aktual dalam hal ini, yang
sering dirujuk oleh para ulama ialah berkenaan dengan dijadikannya khamar
sebagai tempat penganalogian minuman-minuman lainnya disamakan hukumnya dengan
khamar. Sebagaimana diketahui bahwa khamar hukumnya haram diminum, karena ’illatnya
memabukkan (iskar). Hal ini didasarkan atas sabda Nabi. Hadis Nabi tersebut
dijadikan tempat qiyas atau sebagai sandaran penganalogian (penyamaan)
minuman-minuman lainnya yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash. Dalam
kenyataanya, terdapat sejumlah jenis minuman yang mengandung zat yang dapat
memabukkan bila diminum oleh manusia. Untuk itulah penggunaan qiyas menjadi
sarana yang sangat penting ketika dihadapkan dengan kasus-kasus baru yang tidak
disebutkan dalam nash.
Kedua, dengan
menggunkan ‘illat tasyri’iy. Dalam kajian ushul Fiqh, yang disebut
dengan ‘illat tasyri’iy adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui
apakah suatu ketentuan hukum dapat berlaku terus atau sepantyasnya berubah
karena ‘illat yang melandasi penetapannya telah mengalami perubahyan.[15]
Banyak ketentuan fiqh yang mengalami perubahan dan perkembangan
berdasarkan asas ini.[16]
Perubahan itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu: Pertama, pemahaman ‘illat
hukum itu sendiri yang berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman
terhadap dalil nash yang menjadi landasannya. Perubahan pemahaman tentang ‘illat
ini karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baru dalam
kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat hasil pertanian
yang biasa dipahami sebagai ‘illat-nya adalah makanan pokok yang disebut
dengan al-qut,
dapat disimpan lama, dapat ditakar atau ditimbang. Akan tetapi, sekarang
dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut
dengan al-nama` (produktif). Jadi, semua tanaman yang produktif wajib dikenakan
zakatnya. Sebelumnya zakat hasil pertanian itu hanya dikenakan kepada empat
jenis hasil pertanian saja sebagaimana disebutkan dalam hadist yang artinya:
Dan dari Abu
Musa al-‘Asy’ari dan Muaz, semoga Allah meredlai mereka berdua. Sesungguhnya
Nabi Saw. berkata kepada mereka berdua, janganlah kamu pungut zakat kecuali
terhadap empat jenis yaitu: syair, gandum, anggur dan kurma.
(HR. Thabrânî dan al-Hakim)
Pemahaman ‘illat atas hasil
pertanian mengalami perubahan dan perkembangan yang semula adalah al-qut (makan pokok yang mengenyangkan) kemudian berubah menjadi al-nama` (produktif). Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat wajib
zakat atas hasil pertanian seperti disebut terakhir ini sesungguhnya lebih
tepat dan lebih mencakup karena dapat menjangkau berbagai jenis tanaman yang
tidak disebutkan oleh nash yang keberadaannya lebih produktif, memiliki nilai
ekonomis yang tinggi serta dapat mendatangkan kekayaan.
Dalam hubungan ini, Ibrahim Husen menyebutkan bahwa apa saja yang tumbuh di
muka bumi dan bermanfaat dalam menopang kehidupan manusia, seperti kelapa, buah
pala, merica, lada, cengkeh, kopi, tebu, bunga anggrek, kayu jati dan lain-lain
wajib dikenakan zakat. Bagi Ibrahim
Husen, penetapan wajib zakat terhadap berbagai jenis tumbuhan di atas
adalah bertolak dari penetapan zakat atas empat jenis tumbuhan yang disebutkan
dalam hadist di atas, yang ‘illat-nya adalah karena ia bermanfaat dalam
menopang kehidupan. Dan ‘illat ini dapat diterapkan atas semua jenis
tanaman atau tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, setiap tanaman mengandung
manfaat serta dapat menopang kehidupan manusia dapat di-qiyas-kan kepada empat jenis tanaman yang hukumnya wajib dikeluarkan
zakatnya. [17]
Perubahan dan perkembangan pemahaman
‘illat zakat hasil pertanian terhadap empat jenis tanaman yang
disebutkan dalam hadist di atas -dari al-qut (makanan pokok) menjadi al-nama` (produktif) sebagai dikemukakan oleh Alyasa Abubakar atau
bermanfaat seperti diungkapkan oleh Ibrahim Husin adalah didorong oleh
keinginan untuk menyesuaikan pemahaman ‘illat dengan perkembangan baru.
Sekiranya ‘illat zakat hasil pertanian -bagi empat jenis tanaman yang
disebutkan dalam hadist itu- tetap dipahami seperti semula atau tidak diubah.
Maka, ia tidak dapat menjangkau berbagai jenis tanaman lainnya, yang
keberadaannya juga tidak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan fungsinya
untuk menopang kehidupan. Perubahan pemahaman ‘illat zakat hasil
pertanian dari al-qut menjadi al-nama` atau kemanfaatan agar ia dapat diterapkan kepada
berbagai jenis tanaman -selain dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam
hadist- yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi serta menjadi mata
pencaharian penduduk di beberapa tempat, yang sesungguhnya wajib dikeluarkan
zakatnya.
Menurut Ibrahim Husen pemahaman
terhadap ‘illat ini sangat penting dalam upaya melakukan istinbath hukum. Dan dalam hubungannya dengan kewajiban zakat atas empat
jenis, tanaman yang disebutkan dalam hadist, menurut Ibrahim Husen ‘illat-nya
adalah mustanbathah, karena tidak disebutkan secara jelas, ia dapat
diperluas kepada persoalan lain yang essensinya sama, sekalipun tidak
dijelaskan oleh nash. [18]
Kedua, pemahaman terhadap ‘illat masih tetap seperti sediakala,
tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemahaman atas hukum
yang didasarkan padanya diubah. Dalam hubungan ini, Alyasa Abubakar memberikan
contoh tentang pembagian tanah rampasan perang di Irak pada masa pemerintahan
Umar Ibn al-Khattab.[19]
Adapun ‘illat pembagiannya sebagaimana dijelaskan oleh ayat tersebut,
adalah agar harta itu tidak hanya beredar atau didominasi oleh orang-orang kaya
saja.[20]
Pada masa Rasulullah kebun-kebun orang Yahudi yang kalah perang dibagi-bagikan
kepada kaum muslimin. Akan tetapi, Umar tidak mau membagi lahan atau tanah
pertanian yang ditaklukkan itu setelah selesai perang.[21]
Menurut Umar, pembagian itu akan melahirkan sekelompok orang kaya baru yang
justru dihindari oleh al-Qur`an. Tanah tersebut harus menjadi milik negara dan
disewakan kepada penduduk. Hasil sewaan inilah yang dibagi-bagikan kepada
orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan dari
keuangan negara.[22]
Contoh lainnya, misalnya Umar tidak memberikan hak muallaf, sebagai
salah satu mustahiq zakat, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Taubah ayat
60. Umar beranggapan bahwa sifat muallaf tidak berlaku sepanjang hidup,
seperti halnya kemiskinan. Pemberian zakat kepada muallaf pada awal
Islam adalah karena Islam masih lemah.[23]
Di samping itu, golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka
perlu dibujuk hatinya agar tetap bertahan dengan keislamannya atau agar mereka
menahan diri dari melakukan tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam.
Dengan kata lain ‘illat pemberian zakat kepada golongan muallaf ialah
karena Islam dan iman mereka masih lemah.
Menurut Umar, Rasulullah memberikan
bagian zakat kepada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika
keadaan telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi. Dengan kata
lain ketika Islam telah kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu
tidak perlu lagi.[24]
Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya
berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri.
Menurut Umar bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman
mereka masih lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah kuat, maka
pemberian zakat kepada muallaf tidak dilaksanakan lagi.
Dua contoh kasus ijtihad Umar yang
telah dikemukakan di atas, diakui memang menimbulkan perdebatan dikalangan
ulama dan pakar hukum Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat,[25]
bahwa paling tidak ada 5 (lima) pandangan tentang ijtihad Umar yaitu: 1).
Ijtihad Umar tidak meninggalkan nash, apalagi mengganti atau menghapus
ketentuan hukumnya. 2). Ijtihad Umar memang meninggalkan zhahir nash, tetapi ia
berpegang kepada substansi nash atau maqashid
ahkam al-syar‘iyah. 3). Ijtihad Umar berkenaan dengan masalah qath’iyah yang bukan bidang Ijtihad, tetapi diperbolehkan khusus untuk Umar.
4). Ijtihad Umar telah meninggalkan nash yang sharih, tetapi sebagaimana berlaku pada setiap mujtahid, ijtihadnya tetap
mendapat satu ganjaran. 5). Ijtihad Umar memang banyak melanggar nash yang qath‘i,
tetapi hal ini terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk
persoalan yang bersangkutan.
Bila dihubungkan kelima pandangan
ini dengan dua contoh kasus ijtihad Umar yang telah disebutkan di atas. Maka
rasanya tidak mungkin Umar mengambil kebijakan atau melakukan ijtihad dengan
meninggalkan nash. Umar adalah salah seorang sahabat terkemuka, mustahil akan
melanggar atau menentang nash.[26]
Dua contoh kasus ijtihad Umar yang kontroversial di atas, -tentang perubahan
pembagian harta rampasan perang dan penghentian pemberian zakat untuk muallaf-
sesungguhnya tidak meninggalkan nash, tetapi dilatarbelakangi oleh perubahan
pemahaman tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapannya sebab jika
tidak demikian apa yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum tidak dapat
diwujudkan.
Ketika
suatu ketentuan hukum tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan dalam
kehidupan. Maka, kita harus melihat kembali ‘illat yang mendasari
penetapannya. Artinya, kita harus mengubah dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat
yang mendasari penetapan hukum tersebut, dengan melihat konteks perubahan
zaman, keadaan dan tempat, dan tujuan pensyari‘atan hukum itu sendiri,
sebagaimana halnya terjadi pada ijtihad Umar yang telah disebutkan di atas.
Inilah yang disebut oleh Mustafa Syalabi dengan istilah hukum berubah karena
terjadinya perubahan kepentingan.
Pandangan Mushthafa
Syalabi ini menunjukkan bahwa ‘illat menempati posisi yang sangat
penting dalam pembinaan hukum syara‘ yang di
dalamnya tercakup apa yang menjadi tujuan hukum tersebut, yaitu untuk
merealisir kepentingan (kemaslahatan) manusia. Seperti disebutkan dalam kaidah
bahwa hukum bergantung dengan ada dan tidak adanya ‘illat. Artinya ada ‘illat
ada hukum dan bila ‘illat tidak ada, maka hukum menjadi tidak ada.
Dan dalam hubungan ini, termasuk pula ke dalamnya perubahan hukum.[27]
Terjadinya perubahan hukum
sesungguhnya karena adanya perubahan pemahaman terhadap ‘illat dan
perubahan pemahaman ‘illat terkait dengan perubahan kepentingan yang
muncul dalam kehidupan yang selalu dinamis. Perubahan kepentingan dalam konteks
ini adalah menyangkut “kemaslahatan“ yang dihajatkan
oleh manusia. Dalam kenyataannya, apa yang menjadi kepentingan manusia tersebut
akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perubahan zaman.
Dalam hubungan ini Mushthafa Syalabi mengatakan:
Sesungguhnya tasyrî‘ akan berjalan
seiring dengan kepentingan atau kemaslahatan manusia, dan tidaklah segala
sesuatu itu merupakan hal yang permanent yang tidak mengalami perubahan. Hal
ini merupakan petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana bagi para pemegang urusan
(umat) agar mereka memperhatikan keadaan dan kondisi yang berkaitan dengan
hukum-hukum mereka.[28]
Tentu saja pandangan Syalabi ini
tidak berlaku untuk semua ketetapan hukum. Sebab sebagaimana dijelaskan oleh
Yûsuf al-Qardhawi bahwa ketetapan-ketetapan hukum itu terdiri dari dua macam: Pertama,
ketetapan-ketetapan hukum dalam nash yang sifatnya tidak berubah
keadaan dari semula, meski terjadi perubahan zaman, tempat ataupun ijtihad para
pakar hukum, seperti pengharaman segala yang diharamkan dan sesuatu yang telah
diwajibkan hukum hadd yang telah ditetapkan oleh syara‘ bagi
pelaku kejahatan. Ketetapan-ketetapan hukum jenis ini tidak akan akan pernah
mengalami perubahan dan tidak dapat dirubah oleh ijtihad. Inilah yang
disebut dengan istilah al-ahkam al-tsabitah
atau hukum-hukum yang manshus. Hukum-hukum yang dikategorikan kepada jenis ini tidak akan
berubah meskipun terjadi perubahan keadaan, situasi dan zaman. Hal ini,
misalnya berkaitan dengan bidang ibadah mahdhah, masalah qishash dan hudud.[29]
Kedua, ketetapan hukum yang dapat berubah karena sesuai dengan tuntutan
kepentingannya, baik berupa zaman, tempat dan keadaan. Ketentuan-ketentuan
hukum yang termasuk kategori ini disebut dengan istilah al-ahkam
al- mutaghayyirah atau
hukum-hukum mustanbathah. Perubahan hukum itu adalah hanya berkenaan
dengan hukum-hukum yang bersifat ijtihadi dan hukum yang bersifat ijtihadi ini
adalah produk atau hasil ijtihad para mujtahid yang terjadi pada setiap kurun
waktu dan tempat yang kedudukannya tidak permanen.
Produk atau hasil ijtihad tersebut
boleh jadi berupa fatwa-fatwa dari seorang mujtahid (al-ijtihâd al-fardi) atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh sekelompok ulama dan
institusi yang dikenal dengan istilah klektif (al-ijtihad
al-jama‘i). Terhadap produk-produk hukum yang tidak permanen seperti disebutkan
di atas, Fathurrahman Djamil menyebutnya sebagai sesuatu yang relatif, tidak
mutlak benar atau dalam Ushul Fiqh disebut dengan zhanni.
Istilah ini dikalangan ahli Ushul Fiqh merupakan sesuatu yang mendekati
kebenaran menurut pandangan mujtahid.[30]
Karena
itu, dari penjelasan di atas dan dikaitkan dengan penggunaan ‘illat baik
‘illat qiyasi maupun ‘illat tasyri`i, ternyata
bidang ini merupakan bidang garapan yang sangat subur untuk pengembangan hukum
Islam. Dapat dinyatakan bahwa upaya pengembangan hukum Islam adalah menyangkut
kegiatan ijtihad terhadap berbagai persoalan yang muncul dengan ‘illat yang
melatar-belakanginya. Kegiatan ahli Fiqh atau mujtahid telah memberikan
sumbangan yang besar dalam pengembangan hukum Islam dari waktu ke waktu. Dan
dalam prakteknya, pengembangan hukum Islam tersebut akan selalu terkait dengan ‘illat.
Artinya, hukum baru dianggap ada bilamana ‘illat itu ada dan begitu pula
sebaliknya.[31]
D. Cara-cara yang Ditempuh dalam Menemukan dan Mengaplikasikan Ta`lil
Al-Ahkam
Para ulama sepakat bahwa semua hukum syari’at
yang telah ditetapkan memiliki latar belakang, sebab-sebab dan unsur kemaslahatan
bagi umat manusia. Penetapan hukum syari’at, tidak hanya sekedar menuntut
mukallaf untuk memenuhinya sebagai kekuasaan hukum, tetapi ditetapkan karena
ada kemaslahatan yang dikehendaki oleh Syari’. Selain menetapkan kewajiban suatu perbuatan, seperti
ibadah shalat, puasa dan lainnya, maka Syari’at juga telah mengharamkan beberapa
makanan dan minuman, beberapa masalah mu’amalah dan lain sebagainya. Hal ini
bukan dimaksudkan untuk mempersempit
ruang gerak manusia atau membebani manusia dengan tugas-tugas yang berat.
Namun, disebalik ketetapan syari’at tersebut terkandung kemaslahatan bagi
manusia, yakni “menolak bahaya dan menghilangkan
berbagai kesulitan manusia”.
Tujuan tersebut dapat dilihat dari beberapa
isyarat atau tanda (illat) yang terdapat di
dalam nash. Sebagian disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagian
lagi hanya berupa isyarat, ada pula yang harus diamati
dan dianalisa terlebih dahulu, sehingga Mujtahid memerlukan cara-cara tertentu
untuk mengetahuinya yang disebut dengan “masalik
al-‘illat” atau “turuq al-‘illat”.[32]
Ulama ushul fiqh telah mengemukakan beberapa
cara untuk mencari illat, akan tetapi pada prinsipnya dapat
dikategorikan kepada tiga macam, yaitu melalui nash (Al-Qur`an dan sunnah),
melalui penalaran logis (akal) yang disebut dengan illat mustanbathah/ghair
manhsusah, dan melalui ijma`. Illat manshusah maksudnya apabila
nash, baik Al-Qur`an maupun hadis bahwa illat hukumnya adalah sifat yang
disebut oleh nash itu sendiri. Adapun illat mustanbathah/ghair manshusah apabila
nash tidak menunjuk dengan tegas bahwa illat hukumnya adalah sifat yang
tersebut dalam nash itu sendiri.[33]
Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba
menjabarkan bagaimana cara yang ditempuh untuk menemukan illat dalam
suatu hukum.
1. Diperoleh berdasarkan nash (illat manshusah)
Illat suatu hukum dapat diperoleh apabila nash dalam Al-Qur`an
atau sunnah menunjukkan bahwa illat suatu hukum adalah sifat tertentu
yang ditunjukkan oleh nash itu sendiri. maka sifat tersebut menjadi illat berdasarkan
nash.[34]
Di antara illat yang ditetapkan berdasarkan nash
ialah seperti pada surat An-Nisa` ayat 165 :
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ
عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Rasul-rasul
itu membawa berita gembira dan memberi peringatan agar tidak ada alasan bagi
manusia membantah Allah sesudah rasul-rasul itu diutus”
Kata لِئَلَّا (supaya) yang diiringi dengan kalimat sesudahnya dalam ayat tersebut
merupakan illat bagi ketentuan Allah dalam mengutus para rasul-Nya
selaku pembawa berita gembira dan peringatan bagi manusia. Illat dalam
ayat tersebut jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain. Contoh di atas,
alasan hukumnya ditetapkan berdasarkan ayat yang sharihah Qath`iyyah.[35]
Yang dimaksud dengan sharihah qath`iyyah adalah
apabila penunjukkan lafal nash kepada illat hukum tidak mungkin dipahami
dengan makna yang lain.[36] Contoh
lain yang dapat dikemukakan adalah seperti dalam surat Al-Hasyr ayat 7 :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
“apa saja harta rampasan perang yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (yang bersal dari penduduk negeri-negeri) maka itu adalah bagi Allah,
bagi Rasul-Nya, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya di antara kamu”
Dalam ayat di atas mengatakan
bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak adalah agar harta tersebut
tidak hanya menjadi milik orang-orang kaya saja. Dalam ayat ini dipakaikan
lafaz كَيْ
untuk menunjukkan illat, dan tidak mengandung kemungkinan yang lain.
inilah yang menurut ulama ushul disebut dengan illat sharih.[37]
Namun terkadang memang ada nash
yang menunjukkan illat secara implisit atau mengandung makna pengertian
selain keillatan. Maka hal yang seperti itu disebut dengan sharihah
zahnniyah (jelas dan bersifat dugaan),[38]
yang oleh para ulama ushul fiqh dibagi menjadi dua macam :
a. Lafaz-lafaz tertentu yang mengandung makna illat seperti
lam, ba`, anna, dan in. Seperti dalam surat al-Zariyat ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembahku”
Huruf lam dalam kata لِيَعْبُدُونِ adalah lafaz yang menunjukkan illat, akan tetapi ada
juga lam yang bermakna milik dan akibat, namun bersifat lemah. Oleh
karena itu, para ulama menyatakan illat sepeti ini dapat dijadikan illat
suatu hukum.
b. Nash yang mengandung illat tetapi melalui suatu
isyarat yang dapat diketahui melalui suatu indikasi lain. hal ini dapat terjadi
apabila : (1) hukum itu merupakan suatu
jawaban pertanyaan, seperti sabda Rasulullah SAW memerdekakan budak terhadap
orang yang menggauli isterinya di siang bulan Ramadhan. Dari kisah ini
diketahui bahwa hukuman untuk memerdekakan budak itu adalah disebabkan
perbuatan melakukan hubungan suami isteri di siang hari Ramadhan, dan jawaban
Rasululllah memerekakan budak memberi isyarat bahwa illat hukum tersebut
adalah senggama di siang hari Ramadhan. (2) hukum itu diiringi oleh suatu
sifat, seperti sabda Rasulullah yang mengisyaratkan seorang hakim tidak boleh
memutus perkara dalam keadaan marah. Sifat marah merupakan isyarat bahwa
perkara itulah illat hukum tidak dibolehkannya hakim memutus suatu
perkara.[39]
Dalam hal ini Busyro dalam bukunya
menyebutkan hal ini dengan istilah dalalah nash dengan isyarat
al-ima`, yaitu penyebutan dua sifat (keadaan) beriringan dengan suatu
ketentuan sehingga dugaan kuat bahwa penyebutan ini adalah untuk illat. Dengan
kata lain, kalau tidak dimaksudkan untuk illat tentu keduanya tidak
disebutkan secara beriringan.[40]
2. Melalui ijma`
Maksudnya penetapan illat melalui ijma` ini adalah
apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas keillatan suatu sifat bagi
suatu hukum syara`, maka keillatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan
berdasarkan ijma`.[41]
Berdasarkan praktek yang berkembang di kalangan ulama
ushul fiqh, sesuatu yang sudah disepakati dapat dijadikan sebagai alasan
(hujjah) untuk menentukan illat suatu hukum dengan melihat sifat atau
keadaan yang mempunyai pengaruh terhadap penetapan hukum tersebut.
Contohnya adalah jika seorang perempuan mempunyai dua
orang saudara laki-laki salah satunya saudara kandung dan yang lainnya saudara
seayah, maka saudara laki-laki kandung lebih utama dalam soal wali nikah. illatnya
ialah karena saudar laki-laki kandung lebih utama dari saudara laki-laki seayah
dalam hak penerimaan waris. Jika dalam soal waris saudara kandung lebih utama
dari saudar seayah adalah karena kedekatan pertalian persaudaraan, dan ia
merupakan illat yang membawa pengaruh langsung soal waris.[42]
Penetapan illat dengan jalan ijma` ini memang
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini berakar pada
pandangan apakah illat yang didasarkan kepada ijma` tersebut qath`i atau
zhanni. Ahmad Hasan menyebutkan bahwa mayoritas ulama ushul menyatakan
bahwa illat yang didasarkan pada ijma` adalah qath`i. Akan tetapi
sekelompok ulama mengatakan tidak qath`i, tetapi zhanni. Kelompok
ini di antaranya al-Syaukani dan Qadhi `Ad al-Din al-Iji. Namun al-Juraini
menolak pandangan ini, ia tetap mengatakan bahwa penetapan illat berdasarkan
ijma` tetap qath`i.[43]
3. Melalui penalaran logis
Jika ilat tidak dapat diperoleh dengan salah satu
yang telah dikemukakan di atas, maka para ulama membolehkan penggunaan
penalaran logis untuk menentukan apa kira-kira yang menjadi alasan kuat
pensyariatan suatu ketentuan hukum. Penentuan illat dalam bentuk ini
dapat dikemukakan dengan cara :[44]
a. Al-Sibr wa Taqsim
Apabila datang suatu nash mengenai suatu kejadian dan
tidak terdapat dalil nash atau ijma` yang menunjukkan illat hukumnya, maka
mujtahid harus menempuh jalan untuk dapat mengetahui illat hukum ini dengan
jalan Al-sibr wa Taqsim yang artinya percobaan, Al-Taqsim berarti
meringkas sifat-sifat yang baik untuk menjadi illat pada asal. Kata Al-Sibr berarti
menliti kemungkinan-kemungkinan dan al-Taqsim artinya menyelesaikan atau
memisah-misahkan. Al-Sibr wa Taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian memisahkan atau memilih di antara sifat-sifat itu yang paling tepat
dijadikan sebagai illat hukum.[45]
Sebagai contoh sebagaimana dalam hadits Nabi :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَمْرٌو النَّاقِدُ، وَإِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا،
وَقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ خَالِدٍ
الْحَذَّاءِ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ
الصَّامِتِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ،
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ،
مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ
الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ» (رواه مسلم)[46]
(Penukaran)
emas dengan emas perak dengan perak gandum dengan gandum, sya`ir dengan sya`ir,
korma dengan korma, garam dengan garam, barang-barang semisal dan sama
pertukaran dengan cara tunai. Apabila berbeda jenis-jenis benda itu, maka
lakukanlah jual beli sesuai dengan keinginanmu, dengan syarat dilakukan dengan
tunai. (H.R Muslim)
Penukaran benda sejenis dengan cara tidak sama pada
hadits di atas illatnya tidak sama, sebab gandum sebagai salah satu jenis dari
enam macam benda tersebut kadang-kadang bisa sebagai makanan pokok dan makanan
biasa. Jika illatnya dikatakan pokok maka hal ini kurang tepat (dalam pandangan
Hanafiyah) karena riba dapat pula terjadi pada garam yang bukan makanan pokok.
Juga tidak cocok karena riba terjadi pula pada emas dan perak yang bukan berupa
makanan.
Pada gandum terdapat tida sifat, yaitu : dapat dipastikan
kadarnya (takarannya), termasuk makanan dan tanaman. Kemudian sifat ini
diterapkan kepada lima macam yang lain. ada emas dan perak hanya didapati sifat
pertama. Pada syair dan korma terdapat
tiga macam sifat di atas, tapi pada garam hanya ada dua sifat, yaitu sifat
pertama dan kedua. Berdasarkan hal itu para mujtahid berusaha mencari satu sifatyang
sama terhadap seluruh jenis benda ini. Akhirnya setelah meneliti secara seksama
diperoleh suatu sifat yang dipunyai oleh keenam macam benda tersebut yaitu
sifat yang pertama, bahwa keenamnya dapat diukur, baik dengan timbangan maupun
takaran. Sifat inilah yang dapat dijadikan illat untuk menetapkan hukum
haramnya mempertukaran barang yang sejenis bila tidak sama timbangan, takaran
dan ukuran.[47]
b. Munsabah
Yang dimaksud dengan cara ini ialah mencermati illat dari
segi kepantasan dan kesesuainnya dengan pensyariatan hukum, yaitu berdasarkan
pada sesuatu yang dapat menciptakan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan
kemudharatan.
Selain memakai istilah munasabah para ahli ushul
fiqh memakai pula istilah takhrij al-manath, yaitu mendapatkan illat pada
hukum asal semata-mata mengaitkan antara kesesuainnya (munasabah) dengan
pensyariatan hukum. Selain itu juga dipakai istilah al-ikhalah yang
artinya diduga bahwa suatu sifat itu merupakan illat hukum atau maslahah atau
penalaran tujuan-tujuan syara`. Jadi walaupun terdapat banyak istilah dalam hal
ini namun tetap mengacu kepada substansi yang sama, yaitu adanya keserasian
hukum yang ditetapkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan hukum itu
(munasabah).[48]
c. Tanqih Al-Manath
Tanqih secara bahasa adalah meluruskan,
memurnikan dan membedakan. Adapun manath adalah tempat untuk menyandarkan. Oleh karena itu ‘illat hukum bisa disebut dengan manath karena adanya hubungan suatu hukum dengan yang
dikaitkan.[49]
Jadi,
tanqihul manath adalah menetapkan satu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat di dalam ashal untuk menjadi ‘illat hokum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang
lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu
ditinggalkan dan hukum diberi ‘illat dengan yang lebih umum.[50] Perbedaan
tanqihul manath dengan sabru wa
taqsim meskipun sama-sama meneliti dan membatalkan, ialah dalam tanqihul manath sifat-sifat yang
diteliti untuk ditinggalkan satu diantaranya untuk menjadi ‘illat telah tersebut
dalam nash, sedangkan pada sabru wa
taqsim, semua sifatnya masih dicari-cari dan dimunculkan
kemungkinannya.[51]
d. Tahqiq Al-Manath
Tahqiqul manath adalah mengamati
adanya ‘illat pada salah satu permasalahan furu’iyah yang dikehendaki
untuk diqiyaskan dengan ashalnya, adakalanya ‘illat
ashal tersebut sudah dinashkan dan adakalanya
diistinbathkan. Jadi, yang dimaksud dengan tahqiqul manath adalah memandang ‘illat yang sudah ada ketetapan nash (al-Qur’an) atau ijma’
e. Al-Thard
Al-Thard ialah penyertaan hukum dengan suatu sifat dan sifat itu
tidak mempunyai keserasian dengan hukum yang ditetapkan. Maksudnya, dalam
penetapan suatu huku disebutkan pula sifat yang mengiringinya namun antara
hukum dan sifat itu tidak mempunyai kaitan sama sekali. Misalnya ucapan
“Hukumlah seorang pincang itu”.
Dalam contoh di atas memang diperintahkan untuk menghukum
seseorang disertai dengan penjelasan sifatnya (pincang), namun antara sifat
dengan hukum tidak ada keterkaitan yang berarti, artinya tidak ada sangkut
pautnya antara penetapan hukuman dengan pincang dalam ucapan tersebut.[53]
f. Al-Dauran
Al-Dauran adalah memberlakukan ssuatu hukum apabila terdapat sifat
yang menyertai hukum itu dan menangguhkan/tidak memberlakukan hukum apabila
sifat itu tidak ada. Contohnya al-`ashir (perasan buah) itu tidak haram
pada mulanya karena itu tidak memabukkan, tetapi ia bisa menjadi haram kalau
akhirnya perasan buah tersebut punya daya memabukkan. Hal ini terjadi mungkin
saja dengan memasukkan suatu benda ke dalamnya. Keharaman perasan buah ini
tetap berlanjut sampai sifat memabukkan itu hilang.[54]
g. Al-Syabah
Yang dimaksud dengan cara ini adalah upaya mencari
kesamaan atau keserupaan illat dengan yang lainnya. Dengan kata lain, al-syabah
ialah mencari hubungan keserupaan liar di antara dua hukum pokok yang
berbeda, tapi satu sama lainnya mempunyai tujuan dan hikmah yang sama. Seperti
persoalan wudhu dan tayamum adalah dua hal yang berbeda akan tetapi mempunyai
persamaan yaitu menghilangkan najis.
Menurut ulama ushul al-syabah ada dua bentuk :
-
Melakukan qiyas dengan melihat kesamaan yang
dominan antara dua hukum asal dengan furu` yang mempunyai dua
bentuk kesamaan dengan dua hukum asal tetapi kemiripannya dengan satu sifat
lebih dominan dibandingkan dengan sifat lainnya.
-
Qiyas shuri, yaitu mengqiyaskan sesuatu hanya
karena kesamaan bentuknya, seperti mengqiyaskan kuda kepada keledai dalam hal
yang tidak dikenakan kewajiban zakat.[55]
h. Ilgha` Al-Fariq
Ilgha` Al-Fariq merupakan suatu penjelasan yang dikemukakan
oleh ulama ushul bahwa antara asal dan furu` tidak terdapat perbedaan. Ketika
itu mestilah menyamakannya dalam hukum. Misalnya meniadakan perbedaan antara
pembunuhan dengan alat yang biasa dipergunakan untuk membunuh dengan pembunuhan
dengan menimpakan sesuatu yang berat. Sebagaimana diketahui, disyari`atkan
hukum qishas adalah untuk memelihara jiwa dan kehidupan manusia. Dengan adanya
pembunuhan, baik dengan alat ataupun dengan menimpakan sesuatu yang berat, maka
keduanya sama-sama melenyapkan jiwa manusia. Oleh karena itu dengan cara apapun
manusia dibunuh, maka kepada si pelakunya diberlakukan hukum qishas. Dengan
demikian illatnya di sini adalah pembunuhan secara mutlak.[56]
E. Kesimpulan
Dari paparan singkat di atas terkait dengan ta`lil
al-ahkam dapat disimpulkan, bahwa ta`lil al-ahkam merupakan upaya
dalam menggali illat yang terdapat dalam sebuah hukum. Karena
berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas illat merupakan sesuatu
yang ada dalam sebuah hukum, serta illat juga digunakan dalam
merentangkan suatu nash untuk menjawab persoalan-persolan yang secara eksplisit
tidak diatur dalam nash.
Ta`lil al-ahkam sangat berpengaruh dalam pengembangan hukum
Islam serta dalam rangka berfikir filosofis yang sistematis serta logis. Karena
penggunaan ‘illat baik ‘illat qiyasi maupun ‘illat
tasyri`i, ternyata bidang ini merupakan bidang
garapan yang sangat subur untuk pengembangan hukum Islam. Dapat dinyatakan
bahwa upaya pengembangan hukum Islam adalah menyangkut kegiatan ijtihad
terhadap berbagai persoalan yang muncul dengan ‘illat yang
melatar-belakanginya. Kegiatan ahli Fiqh atau mujtahid telah memberikan
sumbangan yang besar dalam pengembangan hukum Islam dari waktu ke waktu. Dan
dalam prakteknya, pengembangan hukum Islam tersebut akan selalu terkait dengan ‘illat.
Artinya, hukum baru dianggap ada bilamana ‘illat itu ada dan begitu pula
sebaliknya.
Dalam menemukan serta mengaplikasi illat suatu
hukum sebenarnya merupakan kajian yang sangat panjang serta kajian yang begitu
penting dalam rangka berfikir filosofis dalam hukum Islam. berdasarkan apa yang
penulis kemukakan secara singkat setidaknya ada 3 metode yang dapat digunakan
dalam menemukan illat suatu hukum, yaitu : (1) illat yang telah
disebutkan oleh nash, (2) illat berdasarkan ijma`, dan (3) illat berdasarkan
penalaran logis.
[3]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo : WADE GROUP,
2016), hal. 171
[5]Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus :
Dar Al-Kitab, 1987), hal. 205
[6]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Mohammad Zuhri,
dkk, (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hal. 85
[7]Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy,..., hal.
207
[9]Shaufi Hasan Ibnu Thalib, Tathbiq
al-Syariah al-Islamiyah fii al-Bilad al-Arabiyah, (t.tp: Dar al-Nadhah
al-Arabiyah, 1995), hal. 148
[10]Ridzwan Bin Ahmad, “Permasalahan Ta’lil
al-Ahkam Sebagai Asas Penerimaan Maqashid al- Shari’ah Menurut Ulama Usul”
dalam Jurnal Fiqh.No. 5 2008, hal. 184-191
[12]Alyasa
Abubakar, “Teori ‘Illat dan Penalaran Ta’lili”, dalam Tjun Surjaman
(Edit.), Hukum Islam di
Indonesia: Pemikiran dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosda Karya), hal.
179
[14]Abd. Karim bin Ali bin Muhammad al-Namilahlm, Syarah al-Minhaj
al-Baidhawi Fi al-‘Ilm al-Hshul, (Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1999), hal.
667
[17]Ibrahim Husen, “Perluasan
Cakrawala Zakat dan Efesiensi Pendayagunaannya” dalam Mimbar Ulama edisi
Oktober (Jakarta: 1989), hal. 4-16
[21]Jalaluddin
Rahmat, "Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar" dalam: Iqbal
Abdurrauf Saimina (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1988), hal. 46
[23]Amiur Nuruddin,
Ijtihad Umar Ibn al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam (Jakarta:
Rajawali Pess, 1987), hal. 138-142
[27]Romli, Illat dan Penembangan Hukum Islam, dalam Jurnal Intizar Vol.
20 No. 2, 2014, hal 231
[28]Romli, Illat dan Penembangan Hukum Islam,..., hal. 232
[29]Yûsuf al-Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘at wa al-Murunah fî al-Syarî‘ah
al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Syahwah, 1985), hal. 77
[31]Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian
Konsep Qiyas Imam Syafi’i, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal. 131
[32]H.M.
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2007), Cet.I,
hal. 83-84
[33]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 211
[34]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,..., hal. 102
[42]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 219
[43]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 219-220
[44]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 220
[46]Muslim, Shahih Muslim Juz III, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul
Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi), hal. 1211
[53]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 233
[54]Busyro, Dasar-dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 234
[56]Busyro, Dasar-dasar filosofis Hukum Islam,..., hal.237-238
Terimakasih ilmunya min :)
ReplyDeleteSama-sama ya, semoga ilmunya bermanfaat:)
DeleteBagus isi makalahnya kak, saya izin ambil sedikit ya kak sebagai bahan rujukan
ReplyDeleteSilahkan, semoga bermanfaat ya :)
ReplyDelete