Wednesday, January 16, 2019

PEMBAHARUAN HUKUM KONTRAK



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Formulasi akad dalam fikih muamalah modern cukup variatif, namun masih berkutat dalam kerangka mencari legitimasi syar’i bagi pengembangan produk-produk perbankan syari’ah. Hal demikian sebagai upaya memacu akselerasi industri keuangan syari’ah untuk dapat berkompetisi dengan industri keuangan berbasis bunga. Literatur fikih muamalah modern sarat dengan berbagai formulasi formal akad-akad yang diperlukan untuk melegitimasi upaya memaksimalkan margin industri keuangan syari’ah. Ini ditandai dengan bermunculannya akad-akad yang dikategorikan ghayr musamma (akad-akad baru yang belum disebut pada masa awal Islam) namun masih dalam kerangka formulasi klasik. Akad musamma (yang sudah diformulasikan secara rinci dalam literatur fikih klasik).
Akad-akad bentukan baru pada umumnya merupakan hasil sintesa akad-akad yang sudah ada sebelumnya yang kemudian diramu sedemikian rupa hingga menjadi akad yang terpadu. Akad-akad semacam ini belakangan dikenal dengan istilah hybrid contract atau multiakad (al-‘uqud al-murakkabah). Contoh akad ini antara lain akad bai bi thaman ‘ajil, akad ijarah muntahiyah bi ’l-tamlik dan akad musyarakah mutanaqiṣah. Akad bai‘ bi thaman ‘ajil merupakan perpaduan antara akad bai‘ al-murabaḥah (jual beli dengan margin yang diketahui) serta akad qarḍ (utang-piutang). Akad ijarah muntahiyah bai ’l-tamlik merupakan perpaduan antara akad ijarah (sewa) dengan akad bai (jual beli) atau akad hibah (pemberian). Akad musyarakah mutanaqiṣah merupakan perpaduan antara akad syirkah (kerja sama) dan akad ijarah (sewa). Contoh-contoh multiakad modern tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut. Mengingat di satu sisi terjadi progresivitas pemikiran Hukum Islam modern yang cenderung banyak mengkritik pola-pola aplikasi hukum formalis tekstualis, serta mengarah pada pemikiran hukum substansialis bahkan liberal. Seperti halnya pemikiran-pemikiran Hukum Islam Fazlur Rahman, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Muḥammad Shaḥrur, dan sebagainya. Namun di sisi lain, dalam tataran aplikatif muncul formulasi akad modern dalam fikih muamalah yang kental dengan corak tekstualis formalistisnya.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba mendeskripsikan bagaimana bentuk pembaharuan hukum kontrak (akad) khususnya di Indonesia, serta juga memaparkan berbagai bentuk multi akad yang dipakai di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini ada beberapa hal yang menjadi topik pembahasan di antaranya :
1.      Defenisi akad/kontrak.
2.      Evolusi akad.
3.      Multi akad dalam pandangan para ulama.
4.      Berbagai aturan multi akad yang berlaku di Indonesia..


PEMBAHASAN
PEMBAHARUAN HUKUM KONTRAK/AKAD
A.    Pengertian Akad (Kontrak)
Pengertian Akad dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah janji, perjanjian atau kontrak.[1] Sedangkan akad secara Bahasa adalah ikatan atau mengikat. Dikatakan ikatan maksudnya adalah menghimpun atau mengikatkan dua ujung tali dan kemudian mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya menyambung dan menjadi satu.[2]
Sebagaimana pengertian akad adalah perjanjian , istilah yang berhubungan dengan perjanjian di dalam Al-Qur’an setidaknya ada 2 istilah yaitu al ‘aqdu (akad) dan al ‘ahdu (janji).[3] Istilah al ‘ aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai Orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian  itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan hati. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum sesuai yang dikehendakinya” (Q.S Al-Maidah : 1)

Bahwa dalam ayat ini ada kata bil’uqud dimana terbentuk dari hurf jar ba dan kata al ‘uqud atau bentuk jamak taksir dari kata al ‘aqdu oleh team penerjemah Departemen Agama RI di artikan perjanjian (akad).[4]
Sedangkan kata al ‘ahdu terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 76 :
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertakwa, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” (Q.S Ali Imran : 76)
Bahwa dalam ayat ini ada kata bi’ahdihi dimana terbentuk dari huruf jar bi, kata al’ahdi dan hi yakni dhomir atau kata ganti dalam hal ini yang kita bahas kata al ‘ahdi oleh Team penerjamah departemen Agama RI di artikan janji.[5]
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al ‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata.[6] Sedangkan istilah al ‘ahdu bisa disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.[7]
Sedangkan dalam istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yaitu:
1.      Akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.[8]
2.      Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu: “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.[9]
3.      Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
Akad adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum Islam modern. Pada zaman pra modern terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar fuqaha memang memisahkan secara tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad meliputi juga kehendak sepihak.[10]
B.     Evolusi Akad
Ekonomi syariah sebagai bagian dari muamalah Islam tidak lepas dari prinsip-prinsip dasar syariah yang telah dikenal dalam fikih-fikih klasik. Tetapi dalam perkembangannya, penjabarannya disesuaikan pada kebutuhan masyarakat dengan pelbagai jenis transaksi yang dilakukan.
Ekonomi syariah merupakan suatu istilah yang biasa dipakai saat ini untuk setiap kegiatan ekonomi yang di dalamnya diterapkan aspek-aspek syariah, misalnya dengan sistem musyarakah, mudharabah, muzara’ah, ijarah, dan lainnya yang telah dikenal dalam muamalah Islam. Istilah tersebut saat ini berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi dengan pelbagai istilah seperti perbankan syariah, asuransi syariah, perkreditan syariah, hingga MLM syariah.
Sistem akad yang dulu dikenal lebih simpel dalam fikih klasik mengalami banyak pengembangan sesuai dengan kebutuhan transaksi ekonomi saat ini yang menuntut aturan yang lebih kompleks dengan pelbagai istilah akad. Misalnya, dalam perbankan syariah dikenal istilah akad mudharabah, musyarakah, ijarah, dan bai’ dengan pelbagai pengembangan. Juga dalam asuransi syariah dengan beberapa istilah takaful.
Sebagai perbandingan, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah akad atau kontrak saat kini, di antaranya seperti dalam tulisan oleh Afzalur Rahman dalam bukunya, Doktrin Ekonomi Syariah, yaitu: Pertama, dalam akad tersebut harus ada penawaran dan persetujuan. Kedua, memiliki maksud untuk menciptakan hubungan kerja. Ketiga, jelas tujuannya dan disertai dengan adanya pengurus/pelaksanaan. Keempat, mengetahui syarat-syarat dari pihak yang meng adakan akad. Kelima, ada perizinan yang sah; Keenam, tujuannya halal; dan ketujuh, ada jangka waktu yang berlaku.[11]
Dalam unsur-unsur yang harus ada dalam (syarat dan rukun) akad tersebut terdapat beberapa hal yang dikemukakan masih berpatokan pada prinsip-prinsip dasar akad menurut fikih klasik, meskipun lebih rinci dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan kebijakan pemerintah, seperti pada poin ketiga yang menuntut disebutkannya pihak pelaksana akad, dan poin kelima, yaitu adanya perizinan yang sah.
Hal tersebut juga dapat diperhatikan dalam ketentuan-ketentuan pokok akad mudharabah, yaitu: Pertama, modal harus dalam standar uang. Kedua, modal dipercayakan kepada dharib (pelaksana). Ketiga, keuntungan harus tidak terbatas. Keempat, keuntungan dapat ditaksir. Kelima, barang harus diketahui secara pasti.[12] Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan penjabaran dan rincian dari ketentuan-ketentuan umum sebelumnya. Penjabaran dan pengembangan akad mudharabah tersebut juga berlaku pada akad-akad lain dalam ekonomi syariah.
Pentingnya pengembangan akad dalam ekonomi syariah, khususnya di Indonesia, kemudian melahirkan banyak aturan-aturan perundangan yang memberi peluang luas bagi terlaksananya akad-akad tersebut dalam transaksitransaksi lembaga keuangan, seperti dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dengan Sistem Bagi Hasil,[13] bahkan menjadi satu kemajuan dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 mengenai Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Kasus Persengketaan Ekonomi Syariah, dan akan ditindaklanjuti dengan penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES).
Aturan perundang-undangan tersebut merupakan legitimasi terhadap keberadaan sistem ekonomi dengan sistem syariat Islam di Indonesia. Dalam hal ini, sistem ekonomi tersebut mengacu pada akad-akad yang telah diatur dalam syariat Islam, termasuk dalam hal ini akad yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih klasik sebelumnya dengan beberapa pengembangan yang disesuaikan pada suasana masyarakat Indonesia yang majemuk.
Misalnya akad yang dapat dilakukan dalam reksadana syariah dengan emiten (pemilik perusahaan) yaitu dengan akad mudharabah dan akad jual beli.[14] Juga dalam perbankan syariah dengan kegiatan penghimpun dana, penyaluran dana, dan jasa pelayanan, semuanya dapat dikelola dengan akad wadi’ah, mudharabah, murabahah, salam, ijarah, qardh al-hasan, wakalah, hawalah, dan sebagainya.
Wadi’ah adalah akad penitipan barang atau uang yang dilakukan antara pihak pemilik barang atau uang (muwaddi’) dengan pihak yang diberi kepercayaan (mustawda’) untuk menjaga keselamatan, keamanan, dan keutuhan barang yang dititipkan. Akad ini mengalami pengembangan pada dua jenis, yaitu wadi’ah yad amanah (pihak penerima tidak diperkenankan menggunakan atau memanfaatkan barang titipan), dan wadi’ah yad dhamanah (pihak penerima diperkenankan memanfaatkan barang titipan dan sepenuhnya bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan barang titipan).
Mudharabah ialah akad yang dibuat antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola (mudharib) sehingga memperoleh keuntungan atau pendapatan dari pengelolaan tersebut. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nishbah (bagian) yang telah disepakati di awal akad.
Murabahah adalah akad yang dilakukan dalam rangka pembiayaan oleh pemilik modal (shahib al-mal) berupa talangan dana kepada nasabah untuk membeli barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan antara selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual kepada nasabah.
Salam adalah akad pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk pembelian suatu barang/jasa dengan pembayaran di muka sebelum barang/jasa diantarkan atau terbentuk. Pengguna barang/jasa (nasabah) berkewajiban mengembalikan talangan dana tersebut ditambah margin keuntungan bank secara kredit dalam jangka waktu tertentu atau tunai sesuai dengan kesepakatan.
Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad pembiayaan berupa talangan dana dari pihak shahib al-mal yang dibutuhkan oleh nasabah untuk memiliki suatu barang atau jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Qard al-hasan adalah akad pembia-yaan berupa pinjaman atau bantuan kepada para kaum dhu‘afâ’ dan memiliki keterampilan atau keinginan kuat untuk mulai berusaha kecil-kecilan. Nasabah dalam hal ini hanya diwajibkan mengembalikan pinjaman pokoknya saja dalam waktu tertentu.
Wakalah adalah akad yang dilakukan dengan memberi kuasa kepada pihak yang memiliki kemampuan (shahib al-mal) untuk melakukan tindakan atau perbuatan atas nama pihak nasabah dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga. Hiwalah adalah bentuk akad lain yang di dalamnya terdapat pemberian jasa dengan pengalihkan tanggung jawab utang dari seorang yang berutang pada pihak lain.
Masih ada beberapa contoh akad lainnya yang banyak digunakan dalam transaksi ekonomi syariah saat ini dengan muatan ciri tersendiri dari akad-akad ekonomi konvensional (liberalisme atau sosial-komunisme). Karena di dalamnya, selain menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, juga tidak terlepas dari nilai-nilai ilahiah, keseimbangan (al-wustha), kerjasama (ta’awuniyyah), ukhuwah, dan kemaslahatan.[15]
Akad-akad bentukan baru pada umumnya merupakan hasil sintesa akad-akad yang sudah ada sebelumnya yang kemudian diramu sedemikian rupa hingga menjadi akad yang terpadu. Akad-akad semacam ini belakangan dikenal dengan istilah hybrid contract atau multiakad (al-‘uqud al-murakkabah). Banyak yang masih meragukan akad-akad yang “agak” berbeda dari akad klasik yang biasa ditemukan.
Oleh karenanya, disinilah diperlukan pemahaman yang mendalam baik itu dalam ilmu agama maupun ilmu mengenai gejolak aktivitas muamalah, dengan begitu, akan mudah bagi kita melihat benar tidaknya akad yang berkembang itu.
Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer. “Hukum (muamalat) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, adat dan niat”.[16]
Dalam hal ini Al-‘Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-’uqud al-mutaqabilah, al-’uqud al-mujtami’ah, al-’uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa al-mutanafiyah, al-’uqud al-mukhtalifah, al-’uqud al-mutajanisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-’uqud al-mutaqabilah, al-’uqud al-mujtami’ah, adalah multi akad yang umum dipakai.[17]
1.      Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqud al-mutaqabilah)
Al-mutaqabila menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqud al-Mutaqabilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.[18]
2.      Akad terkumpul (al-Uqud Al-Mujtami`ah)
Al-’uqud al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu”. Multi akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.[19]
3.      Akad berlawanan (al-’uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa al-mutanafiyah)
Ketiga istilah al-mutanaqidhah, al-mutadhadah, al-mutanafiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanaqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanaqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanaqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.[20]
4.      Akad berbeda (al-’uqud al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijarah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad.
Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang membangunnya.Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multi akad yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.[21]
5.      Akad sejenis (al-’uqud al-mutajanisah)
Al-’uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum yang sama atau berbeda.
6.      Akad ganda yang banyak di aplikasikan dalam ekonomi Islam.
-          Ijarah muntahiyah bi al-tamlik (akad sewah menyewah yang berakhir dengan kepemilikan/jual beli).
-          Musyarakah mutanaqishah (akad kerja sama yang berkurang berakhir dengan jual beli kredit)
-          Murabahah marakkabah (akad bagi hasil berganda berakhir dengan jual beli biasa)
-          Ta’min tauni murakkabah (asuransi berganda)
-          Akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian] / Deferred Payment Sale).
-          Ta’jir tamwili (penggabungan akad jual beli dengan sewah menyewah) walaupun ada sebagaian ulama mengatakan bahwa akad ini sebenarnya adalah al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik.
C.    Pandangan Ulama Terhadap Muli Akad (Hybrid contract)
Istilah hybrid contract mencuat belakangan ini ketika banyak diwacanakan sebagai bentuk akad baru mengiringi perkembangan perbankan syari’ah yang sangat pesat. Hybrid contract atau multiakad dalam bahasa Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Hasanuddin[22], berarti akad berganda atau lebih dari satu akad. Multi akad diterjemahkan dari istilah fiqh al-‘uqud al-murakkabah, artinya beberapa akad yang digabungkan menjadi satu nama. Hybrid contract merupakan satu akad, tapi di dalamnya dipadukan beberapa akad yang menjadi satu-kesatuan. Masing-masing akad memikiki akibat hukumnya sendiri-sendiri, tetapi dalam hybrid akibat-akibat hukum tersebut menjadi satu satu kesatuan. Pengikatan menjadi satu kesatuan ini dalam rangka memenuhi apa yang menjadi keinginan bersama kedua belah pihak yang tidak dapat dipenuhi jika memakai akad-akad yang terpisah-pisah.[23]
Dari sisi latar belakang pembentukannya, formulasi hybrid contract dipicu oleh semangat untuk mengembangkan perbankan syari’ah agar lebih kompetitif dari perbankan konvensional. Dunia perbankan konvensional sudah maju sedemikian pesat, karena sudah berusia berabad-abad. Produk-produk yang ditawarkannya pun sudah sedemikian variatif. Perbankan syari’ah yang didirikan dengan membawa misi Islam di bidang ekonomi untuk diterapkan dalam lembaga perbankan dituntut untuk dapat berpacu secara kompetitif mengejar ketertinggalan dari perbankan konvensional. Semangat kompetisi ini kadangkala dapat saja membius perbankan syari’ah sehingga lupa akan misi idealisnya.[24]
Secara ideal, Bank Syari’ah mengemban misi untuk mengoperasionalisasikan fungsi perbankan dengan bersendikan keadilan, kejujuran serta misi penyemarakan sektor riil. Akad yang menjadi basis utamanya adalah mushārakah atau muḍārabah dengan prinsip bagi hasil dalam pola kemitraan. Namun, karena tuntutan profitabilitas dan didorong semangat akselerasi memperbesar market share, pertanyaan kekhawatiran yang muncul adalah apakah perhatian utama perbankan syari’ah bisa bergeser dari semangat mewujudkan misi ideal menjadi semangat berkompetisi dalam formalitas kesyari’ahan dengan menomorduakan misi ideal? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diketahui dengan mencermati formulasi akad-akad yang tergolong hybrid contract sebagai alternatif akad musharakah dan muḍarabah. Berikut ini diuraikan analisis formulasi beberapa akad yang tergolong hybrid contract yaitu akad murabaḥah atau bay‘ bi thaman ‘ajil, ijarah muntahiyah bi ’l-tamlik dan musharakah mutanaqiṣah.[25]
Mengenai status hukum multiakad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multiakad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut, yaitu membolehkan dan melarang. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian pendapat ulama Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah, dan Hanâbilah berpendapat bahwa hukum multiakad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.[26]
Menurut Ibn Taymiyyah, hukum asal dari segala muamalah di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.[27]
Hukum asal dari syariat adalah bolehnya melakukan transaksi multiakad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.[28]
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim. Dia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.[29] Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.[30]
Al-Syathibi menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadah danmuamalah. Menurutnya, hukum asal dari ibadah adalah melaksanakan (ta‘abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalah adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifat ila ma’ani). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalah terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta ‘abbud).[31]
Adapun dasar kebolehan yang diberikan ulama terhadap praktik multi akad ini sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Surat Al-Maidah ayat 1 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai Orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian  itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan hati. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum sesuai yang dikehendakinya” (Q.S Al-Maidah : 1)

Disisi lain Kelompok pendukung Multi Akad berargumentasi dengan beberapa pendekatan, yang antara lain: pendekatan maqasid al-shariah adalah penetapan hukum yang berlandaskan pada maksud dan tujuan syariah, yaitu pertimbangan kemaslahatan, sehingga penekanannya terletak pada upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari satu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan maslahah Pendekatan ini diaplikasikan baik pada kasus yang ada nashnya dalam al-Quran dan hadis, maupun terhadap kasus yang belum ada nashnya. Sesungguhya pendekatan maqasid al-shari’ah ini pada umumnya sejalan dengan pendekatan kebahasaan, sebagai contoh kewajiban shalat dan puasa yang difahami dari sejumlah ayat al-Qur’an, namun menurut pendekatan maqasyid, shalat dimaksudkan untuk memelihara agama (hifz al-din). Pendekatan kebahasaan (lughawi), shalat menjadi kewajiban yang mesti dilaksanakan. Tetapi, terkadang pendekatan maqasid al-shari’ah dapat meninggalkan makna tekstual suatu ayat dan hadits dan dengan sendirinya mengabaikan pendekatan kebahasaan, karena dasarnya adalah pertimbangan kemaslahatan dan prinsip-prinsip umum, seperti keadilan dan kemudahan (taysir).
Ulama lain, terutama dari kalangan Zhahiriyyah mengharamkan multiakad. Menurut kalangan Zhahiriyyah hukum asal dari akad adalah dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan boleh oleh agama. Merekan beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak disebutkan dalam nas-nas agama berarti membuat ketentuan sendiri yang tidak ada dasarnya dalam agama.[32] Hal ini berdasarkan surat Al-Maidah ayat 3 :
.... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...
“.... Hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan  kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah aku ridhai Islam itu menjadi agamamu...”

Kemudian pendapat tersebut diperkuat dengan hadis Nabi :
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ»)رواه الترمذى)[33]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Hanad, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abdatu bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amar, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, dia berkata : Rasulullah melarang dua pembelian dalam satu transaksi”. (H.R Turmidzi)
Melalui pemaknaan dari segi kebahasaan dalam teks agama, atau disebut juga dengan pendekatan qaidah-qaidah kebahasaan yang meliputi, analisis kalimat, apakah kalimat itu bersifat ‘am (umum) dan khas (khusus) , mutlaq - muqayyad, nasikh-mansukh, ’amr (bentuk perintah), nahy (bentuk larangan). Pendekatan ini merupakan salah satu bagian dari pendekatan para ulama’ usul al-Fiqh dalam memahami nash, baik nash al-Qur’an atau al-Hadis sebagaimana yang dijumpai dalam literatur ushul fiqh, sebagiamana disampaikan misalnya oleh Wahbah al-Zuhaili dalam karyanya Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Dalam hadis yang dijadikan argumentasi disebut kata نَهَى,  yaitu bentuk kata kerja lampau (fi‘il madi) yang mengandung makna larangan.[34]
Dengan melihat beberapa pendapat di atas para Ulama memberikan Kebolehan multiakad yang didasarkan atas prinsip hukum asal dari akad adalah boleh dan hukum multiakad di-qiyas-kan dengan hukum akad-akad yang membangunnya, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang membatasinya. Artinya, meskipun multiakad diperbolehkan, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, karena batasan itu menjadi rambu bagi multiakad agar tidak terjerumus pada praktik muamalah yang diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya adalah garis batas bagi praktik multiakad yang tidak boleh dilewati.
D.    Beberapa Aturan Tentang Multi Akad dalam Hukum Ekonomi Syari`ah di Indonesia
1.      Ba`i `Inah
Bai‘ al-‘inah merupakan penjualan tunai yang dianjutkan dengan pembelian kembali barang tersebut secara tangguh. Prosesnya adalah nasabah melakukan penjualan asetnya ke bank dengan harga tertentu, bank melakukan pembayaran dengan harga tersebut kepada pihak nasabah. Bank lalu melakukan penjualan kembali aset tersebut kepada nasabah dengan melakukan penambahan margin keuntungan. Nasabah membayar harga aset tersebut ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati sesuai dengan kesepakatan yang ada.[35]
Akad bai` ‘al-‘inah tersebut mirip dengan konsep pinjaman tunai dengan adanya jaminan aset pada bank konvensional di mana perbedaannya terletak pada akadnya dan nasabahnya mendapatkan dana tunai. Jual beli dengan bai` al-‘inah ini banyak diijinkan oleh ulama Malaysia. Akan tetapi, sebagian besar ulama yang ada di Timur Tengah dan Indonesia banyak berpendapat bahwa transaksi dengan bai‘ al-‘inah tidak sesuai dengan Islam. Apalagi dari empat mazhab mayoritas yang banyak dipakai oleh umat Islam, hanya mazhab Syafi’i yang mengijinkan akad bai` al-‘inah. Uniknya, Indonesia sebagai negara yang juga mayoritas pemakai mazhab Syafi’i justru menganut pendapat yang hampir sama dengan mayoritas ulama di Timur Tengah, yaitu bai‘ al-‘inah dilarang dipakai.[36]
2.      Ijarah Muntahiyah bi Tamlik
Hybrid contract yang berbentuk ijarah muntahiyah bi ’l-tamlik formulasinya juga dalam rangka men”syari’ah” kan konsep sewa beli dalam lembaga keuangan konvensional. Sejarah muncunya ijarah muntahiyah bi ’l-tamlik, merujuk ke Undang-Undang Inggris dalam mewujudkan apa yang dinamakan jual beli sewa atau sewa pemindahan kepemilikan untuk mendorong para nasabah membeli secara kredit di bidang perdagangan, kemudian untuk menjadikan laku produk-produk industri dengan menjual berbagai perabotan, peralatan, mesin-mesin di mana kepemilikan barang masih tetap di tangan penjual sampai terbayar semua angsuran. Para pakar hukum Mesir menganggap, jenis ini sebagai jual beli dengan kredit. Sistem Inggris menyederhanakannya dengan menyebutnya sebagai kontrak sewa. Sedangkan di Perancis, digolongkan sebagai transaksi yang terstruktur (murakkab) dalam dua transaksi yang terpisah, yakni transaksi sewa diiringi jual beli. Praktek yang terjadi di Perancis ini yang kemudian ditetapkan oleh fikih Islam kontemporer, dengan melarang adanya dua transaksi dalam satu transaksi, atau dua jual beli dalam satu transaksi jual beli. Sewa yang disertai pemindahan kepemilikan sebagaimana ada di Barat tidak diperbolehkan, sedangkan yang diperbolehkan adalah adanya dua akad yang masing-masing berdiri sendiri. Akad yang kedua didasarkan pada janji yang ada pada akad yang pertama.[37]
Firdaus Muhammad Arwan juga mengungkap bahwa ijarah muntahiyah bi’ ltamlik merupakan konstruksi perjanjian sewa beli yang dianggap sesuai dengan syari’ah. Sewa beli merupakan salah satu bentuk perjanjian campuran antara jual-beli dan sewa menyewa dan dalam praktek sering disamakan dengan leasing. Ulama menilai perjanjian sewa beli ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah, karena dianggap mengumpulkan dua akad dalam satu akad yang dilarang oleh Rasulullah. Namun karena perjanjian ini telah marak dipraktikkan oleh masyarakat dan dipandang banyak manfaatnya, maka dicari solusi agar perjanjian tersebut ditolerir tetap dapat dilaksanakan, dengan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Upaya ini memunculkan konsep ijarah muntahiyah bi’ ltamlik atau “ijarah wa iqtinasebagai bentuk hybrid contract yang dipandang sesuai dengan syari’ah.[38]
3.      Mudharabah Musytarakah
Jika dilihat bahwa kata mudharabah musyarakah terdiri dari dua bentuk akad muamalah, yaitu akad mudharabah dan musyarakah. Yang di maksud dengan mudharabah adalah suatau akad di mana pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut dan laba dibagi  di antarakeduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati.[39] Dan yang dimaksud dengan musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian yang timbul ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/ modal masing-masing.[40]
 Sedangkan mudharabah musytarakah adalah salah satu bentuk akad mudharabah dengan pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi, diperlukan karena mengandung unsur kemudahan dalam pengelolaannya serta dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pihak.
Ketentuan akad dalam Produk Penghimpunan Dana adalah sebagai berikut:  (1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah. (2) Bank syariah sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama nasabah. (3) Bank syariah sebagai pihak yang menyertakan dananya (musytarik) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal atau yang disertakan. (4) Bagian keuntungan sesudah diambil oleh bank syariah sebagai musytarik dibagi antara bank syariah sebagai mudharib dengan nasabah dana sesuai dengan nisbah yang disepakati. (5) Apabila terjadi kerugian, bank syariah sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.
Ketentuan akad dalam Produk Penyaluran Dana adalah sebagai berikut: (1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah. (2) Nasabah sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama bank syariah. (3) Nasabah sebagai pihak yang menyertakan modal atau dananya (musytarik) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal yang disertakan. (4) Bagian keuntungan sesudah diambil oleh nasabah sebagai musytarik dibagi antara nasabah sebagai mudharib dan bank syariah sesuai dengan nisbah yang disepakati. (5) Apabila terjadi kerugian, nasabah sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.[41]
4.      Musyarakah Mutanaqishah
Hybrid contract yang berbentuk musyarakah mutanaqiṣah diilhami oleh kesadaran akan kelemahan hybrid contract sebelumnya dari sisi kesyari’ahan. Perbankan Islam memakai akad-akad fikih, utamanya hybrid contract untuk menghindari riba atau rente. Akad yang paling umum dipakai adalah bai‘ bi thaman ‘ajil atau akad murabaḥah. Belakangan, akad ini banyak diperdebatkan dari sisi kesyari’ahan. Muncul kemudian gagasan formulasi hybrid contract berupa musyarakah mutanaqiṣah yang diangap lebih menenangkan dan lebih mematuhi syari’ah. Musyarakah mutanaqiṣah adalah kombinasi tiga akad yaitu musyarakah, ijarah dan bai. Musyarakah mutanaqiṣah merupakan kontrak partnership antara kedua pihak di mana satu partner secara berangsur-angsur membeli keseluruhan bagian properti.[42]
Dari sisi historis, sebagaimana diisyaratkan oleh para pakar fikih muamalah modern, kajian awal terformulasikanya musyarakah mutanaqiṣah dilakukan oleh Sami Ḥasan Aḥmad Ḥamud dalam disertasinya yang berjudul Taṭwir al-a’mal al- Mashrafiyyah Bima Yattafiq wa ’l-Shari’ah al-Islamiyyah, dalam rangka memperoleh gelar Doktor di Universitas Kairo tanggal 30 Juni 1976. Musyarakah mutanaqiṣah ini pertama kali dipraktekkan di Mesir, kemudian dipakai pula di bank-bank Islam di negara-negara Arab dan yang lainnya.[43]
Dengan demikian, berbeda dengan bentuk-bentuk hybrid contract yang lain, musyarakah mutanaqiṣah dari sisi sumber kemunculannya relatif lebih idealis, karena berasal dari kajian akademis berupa disertasi yang tentunya telah melewati uji kelayakan yang cukup ketat. Lebih dari itu, yang melatarbelakangi formulasinya adalah rasa keprihatinan terhadap berbagai bentuk Hybrid contract yang belum dapat merepresentasikan substansi keadilan yang menjadi prinsip yang dituju daalam aturan-aturan Fikih muamalah.
Bentuk akad seperti musyarakah mutanaqiṣah lebih merepresentasikan beberapa tujuan disyariatkannya akad secara syari’ah yakni yang menyangkut keadilan dan kebersamaan meski belum memenuhi tujuan kemudahan dan kepraktisan, sebagaimana diteorisasikan oleh al-Khalifi. Dengan mengacu pada sumber-sumber syari’ah baik al-Qur’an maupun Hadis Nabi, Riyaḍ Manṣur al-Khalifi merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi tujuan disyariatkannya berbagai transaksi bisnis atau muamalah Islam menjadi lima: yaitu: Pertama, prinsip keadilan (al-‘adalah), lawan dari kezaliman (al-ẓulm). Kedua, prinsip kejujuran dan transparansi (al-ṣidq wa ’l-bayan), lawan dari kebohongan dan penyembunyian fakta (al-kidhb wa ’l-kitman). Ketiga, prinsip perputaran harta (al-tadawul) lawan dari penumpukan harta (al-kanz). Keempat, prinsip kebersamaan, persatuan dan tolong menolong (al-jama’ah wa ’l-i’tilaf wa ’l-ta’awun), lawan dari perpecahan, perselisihan dan saling bertolak belakang (al-furqah wa ’l-ikhtilaf wa ’l-tadabur). Kelima, prinsip memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan (al-taysir waraf’ al-ḥaraj).[44]
Dapat disimpulkan di sini bahwa formulasi hybrid contract dari sisi latar belakang perumusannya didorong oleh semangat mengembangkan perbankan syari’ah dengan tetap memiliki cantolan fikih. Ketika akad tunggal musyarakah atau muḍarabah kurang fleksibel untuk diterapkan dan kurang menjamin keuntungan dan perkembangan bank syari’ah, diformulasikanlah hybrid contract berupa bai‘ bi thaman ‘ajil atau murabaḥah kombinasi sebagai kompetitor pinjaman berbasis bunga. Demikian juga ijarah muntahiyah bi ’l-tamlik dimunculkan sebagai konpetitor akad sewa beli yang disyari’ahkan lewat hybrid contract. Pengembangan berikutnya dilatarbelakangi oleh berbagai kritik kesyari’ahan atas hybrid contract sebelumnya, sehingga ada keinginan untuk membuat hybrid contract yang lebih sebagai merepresentasikan nilai-nilai syari’ah.


PENUTUP
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara etimologi akad dapat diartikan dengan perjanjian, sedangkan secara terminologi ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama pada dasarnya memiliki substansi yang sama yaitu keterikan dua belah pihak atau lebih dalam menjalankan satu transaksi.
Terkait dengan perubahan atau evolusi akad, pada dasarnya hal ini dikarenakan adanya semangat para intelektualis Islam untuk berkompetisi dengan lembaga-lembaga bermuamalah yang konvensional. Sehingga hal ini memunculkan bentuk akad-akad yang baru akan tetapi masih di dasari oleh pemikiran-pemikiran klasik sebagaimana yang telah diatur dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dewasa ini akad tersebut bervolusi dengan adanya multi akad, atau dapat diebut juga dengan hybrid contract yang dalam istilah bahasa Arab disebut dengan Al-`Uqud Al-Murakkabah.
Multi akad tentu tidak sepenuhnya diterima oleh para kalangan umat islam, ada beberapa pendapat ulama  yang mengomentari mengenai multi akad tersebut. Dalam hal ini ada ulama yang membolehkan multi akad dengan melihat substansi akad tersebut untuk kemaslahatan umat. Di sisi lain ada juga ulama yang melarang karena merujuk kepada hadis nabi yang melarang dua akad dalam satu pembelian. Dengan menggunakan pendekatan lafaz tekstual.
Di Indonesia sendiri ada beberapa praktik multi akad yang dilaksanakan, di antaranya Ijarah Muntahiyah bi Tamlik, Mudharabah Musytarakah, dan Mudharabah Mutanaqisah.       


[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka Cetakan Pertama, 2001), hal. 18
[2]Ghufron A.Mas’adi, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, (Jakarta: PT Grafindo Persada Cetakan Pertama, 2002), hal. 75
[3]Gemala Dewi,Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, Edisi pertama,Cetakan Pertama,2005) hal 45
[4]Departemen Agama RI, Al qur’anul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh al-Indonesiyyah, (Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’ al Malik Fahd li thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H)
[5]Ibid, hal. 88
[6]Fathurrahman Djamil, HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hal. 75
[7]Ibid, hal. 248
[8]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 45
[9]Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia 2006), hal. 64
[10]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.
[11]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, hal. 337
[12]Ibid
[13]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. I, hal. 26
[14]Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2003), hal. 245-252
[15]M. Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia, (Jakarta: elSAS, 2007), Cet. I, hal. vii
[16]Ruysdi, Ecolusi Kontark dalam Fiqh Muamalah dan Kaitannya dengan Tantangan Modernitas serta Hubungannya dengan Perbankan Syari`ah, diakses dari https://www.ekonomiislam.net/2017/10/Evolusi-Kontrak-dalam-Fiqh-Muamalah-dan-Kaitannya-dengan-Tantangan-Modernitas-serta-Hubungannya-dengan-Perbankan-Syariah.html pada tanggal 26 Februari 2018
[17]Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Ciputat : UIN Syahid, 2009), hal. 3
[18]Najamuddin, Al-Uqud Al-Murabahah dalam Persfektif Ekonomi Syari`ah, Jurnal Syari`ah Vol II, No. II, Oktober 2013, hal. 10
[19]ibid
[20]Ibid, hal. 11
[21]Ibid, hal 12
[22]Hasanudin menjabat sebagai wakil sekretaris Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga sebagai dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
[23]Hasanudin, “Multi Akad dalam Transaksi Syari’ah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Syari’ah di Indonesia: Konsep dan Ketentuan (Ḍawābit) dalam Perspektif Fikih”, http://www.ekonomisyari’ah.org/, diakses 26 Januari 2018, hal. 2-4
[24]Ali Murtahdo, Model Aplikasi Muamalah pada Formulasi Hybrid Contract, Al-Ahkam, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol 23, No. 2, Oktober 2013, hal. 129
[25]ibid
[26]al-‘Imrani, Al-’uqûd al-Maliyah al-Murakkabah: Dirasah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tathiîqiyyah, (Riyadh : Dar Kunuz Eshbelia li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2006), hal. 69
[27]Ibn Taymiyyah, Jami’ al-Rasa’il, Jilid II, hal. 317
[28]Nazih Hammad, Al-’uqud al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islami, (Damaskus : Dar al-Qalam, 2005), hal. 8
[29]Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi‘in, Jilid I, hal. 344
[30]Ibid, hal. 383
[31]Al-Syathibi, al-Muwafaqat, Jilid I, hal. 284
[32]Abu Muhammad ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Sa'id bin Hazm, al-Muhalla, (al-Qahirah: Dar al-Turats, t.th.), Jilid V, hal. 15
[33]Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa  bin Dahak Ath-Thirmidzi Abu Isa, Sunan At-Thirmidzi Juz III, Muhaqqiq: Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi, (Mesir : Syirkah Maktabah wal Matba`ah Mustafa Al-Baqi Al-Hali, 1975), hal. 525
[34]Musawar, Pandangan Tuan Guru Lombok Terhadap Multi Akad dalam Muamalah Maliyah Kontemporer, Jurnal Wacana Hukum Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1, 2016, hal. 157
[35]Nurul, Lembaga Keuangan, hal. 137
[36]Ibid
[37]Waḥbah al-Zuhayli, al-Mu’amalah al-Maliyyah al-Mu’aṣirah Buḥuth wa Fatawa wa Ḥulul, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hal 396
[38]Firdaus Muhammad Arwan, Ijarah Muntahiyah bi ’l-Tamlik Sebagai Konstruksi Hukum Perjanjian Sewa Beli dalam Ekonomi Islam, dalam http://www.badilag.net, diakses 28 Januari, hal 1
[39]Rahmat Syafe`i, log. cit., hal 224
[40]Gita Danupranata, Buku Ajar Manajamen Pebankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2013), hal 73
[41]Ahmad Ifham, Mudharabah Musytarakah, diakses dari https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/21/mudharabah-musytarakah/ pada tanggal 26 Februari 2018
[42]Noor Mohammad Osmani dan Md. Faruk Abdullah, “Musyarakah Mutanaqisah Home Financing: A Review of Literatures and Practices of Islamic Banks In Malaysia” dalam International Review of Business Research Papers Vol. 6. Number 2. July 2010, hal. 272-273.
[43]Ismail Shindi, “al-Musyarakah al-Mutanaqiṣah fī ‘l-'amal al-Maṣrafi ‘l-Islami –Ta’ṣil wa Ḍabṭ”, paper ilmiah pada Mu’tamar al-Iqtiṣad al-Islami wa a’mal al-Bunuk (Palestina: Universitas al-Khalil, 2009).
[44]Riyaḍ Manṣur al-Khalifi, “Al-Maqaṣid al-Shar’iyyah wa Atharuha fī Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah”, dalam Majalah Jami’ah al-Malik ‘Abd al-‘Aziz, al-Iqtiṣad al-Islami, 17, 1 , 2004, hal 28

No comments:

Post a Comment