PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Formulasi akad dalam fikih muamalah modern cukup variatif, namun
masih berkutat
dalam kerangka mencari legitimasi syar’i
bagi pengembangan produk-produk perbankan
syari’ah. Hal demikian sebagai upaya memacu akselerasi industri
keuangan syari’ah untuk dapat berkompetisi dengan industri keuangan berbasis
bunga. Literatur fikih muamalah modern sarat dengan berbagai formulasi formal
akad-akad yang diperlukan untuk melegitimasi upaya memaksimalkan margin
industri keuangan syari’ah. Ini ditandai dengan bermunculannya akad-akad yang
dikategorikan ghayr musamma (akad-akad baru yang belum disebut pada masa awal
Islam) namun masih dalam kerangka formulasi klasik.
Akad musamma (yang sudah diformulasikan secara rinci dalam literatur fikih klasik).
Akad-akad bentukan baru pada umumnya merupakan hasil sintesa
akad-akad yang sudah ada sebelumnya yang kemudian diramu sedemikian rupa
hingga menjadi
akad yang terpadu. Akad-akad semacam ini belakangan dikenal dengan istilah
hybrid contract atau multiakad (al-‘uqud
al-murakkabah). Contoh akad
ini antara
lain akad bai‘ bi
thaman ‘ajil, akad ijarah muntahiyah bi ’l-tamlik dan akad musyarakah mutanaqiṣah. Akad bai‘ bi thaman ‘ajil merupakan perpaduan antara akad bai‘
al-murabaḥah (jual beli dengan margin yang diketahui) serta akad qarḍ (utang-piutang).
Akad ijarah muntahiyah bai
’l-tamlik merupakan
perpaduan antara akad ijarah (sewa) dengan akad bai‘ (jual
beli) atau akad hibah (pemberian). Akad musyarakah
mutanaqiṣah merupakan perpaduan antara akad syirkah
(kerja sama) dan akad ijarah (sewa). Contoh-contoh multiakad modern tersebut menarik untuk dikaji
lebih lanjut. Mengingat di satu sisi terjadi progresivitas pemikiran Hukum Islam
modern yang cenderung banyak mengkritik pola-pola aplikasi hukum formalis tekstualis,
serta mengarah pada pemikiran hukum substansialis bahkan liberal. Seperti halnya pemikiran-pemikiran Hukum
Islam Fazlur Rahman, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Muḥammad Shaḥrur, dan
sebagainya. Namun di sisi lain, dalam tataran aplikatif
muncul formulasi akad modern dalam fikih muamalah yang kental dengan corak
tekstualis formalistisnya.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba
mendeskripsikan bagaimana bentuk pembaharuan hukum kontrak (akad) khususnya di
Indonesia, serta juga memaparkan berbagai bentuk multi akad yang dipakai di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini ada beberapa hal yang
menjadi topik pembahasan di antaranya :
1. Defenisi akad/kontrak.
2. Evolusi akad.
3. Multi akad dalam pandangan para ulama.
4. Berbagai aturan multi akad yang berlaku di Indonesia..
PEMBAHASAN
PEMBAHARUAN HUKUM KONTRAK/AKAD
A. Pengertian Akad (Kontrak)
Pengertian Akad dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah janji,
perjanjian atau kontrak.[1] Sedangkan akad secara Bahasa adalah ikatan
atau mengikat. Dikatakan ikatan maksudnya adalah menghimpun atau mengikatkan
dua ujung tali dan kemudian mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga
keduanya menyambung dan menjadi satu.[2]
Sebagaimana pengertian akad adalah perjanjian
, istilah yang berhubungan dengan perjanjian di dalam Al-Qur’an setidaknya
ada 2 istilah yaitu al ‘aqdu (akad) dan al ‘ahdu (janji).[3]
Istilah al ‘ aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ
لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي
الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai
Orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan hati. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum sesuai
yang dikehendakinya” (Q.S Al-Maidah : 1)
Bahwa dalam ayat ini ada kata bil’uqud dimana
terbentuk dari hurf jar ba dan kata al ‘uqud atau bentuk jamak
taksir dari kata al ‘aqdu oleh team penerjemah Departemen Agama RI
di artikan perjanjian (akad).[4]
Sedangkan kata al ‘ahdu terdapat dalam Surat
Ali Imron ayat 76 :
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَّقِينَ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya)
dan bertakwa, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” (Q.S Ali Imran : 76)
Bahwa dalam ayat ini ada kata bi’ahdihi
dimana terbentuk dari huruf jar bi, kata al’ahdi dan hi yakni
dhomir atau kata ganti dalam hal ini yang kita bahas kata al ‘ahdi oleh
Team penerjamah departemen Agama RI di artikan janji.[5]
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al
‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam
KUHPerdata.[6]
Sedangkan istilah al ‘ahdu bisa disamakan dengan istilah perjanjian atau
overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.[7]
Sedangkan dalam istilah hukum Islam, ada beberapa
definisi yaitu:
1.
Akad
berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan
kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan)
dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada
sesuatu.[8]
2.
Menurut
pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai.”[9]
3.
Akad
merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak
dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum
pada objek akad.
Akad
adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum
satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah
akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan
dua pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad
sebagai tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum
Islam modern. Pada zaman pra modern terdapat perbedaan pendapat.
Sebagian besar fuqaha memang memisahkan secara tegas kehendak
sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad
meliputi juga kehendak sepihak.[10]
B. Evolusi Akad
Ekonomi syariah sebagai bagian dari muamalah Islam tidak lepas dari prinsip-prinsip
dasar syariah yang telah dikenal dalam fikih-fikih klasik. Tetapi dalam
perkembangannya, penjabarannya disesuaikan pada kebutuhan masyarakat dengan
pelbagai jenis transaksi yang dilakukan.
Ekonomi syariah merupakan suatu istilah yang
biasa dipakai saat ini untuk setiap kegiatan ekonomi yang di dalamnya
diterapkan aspek-aspek syariah, misalnya dengan sistem musyarakah, mudharabah,
muzara’ah, ijarah, dan lainnya yang telah dikenal dalam muamalah Islam. Istilah tersebut saat ini berkembang seiring dengan
perkembangan ekonomi dengan pelbagai istilah seperti perbankan syariah,
asuransi syariah, perkreditan syariah, hingga MLM syariah.
Sistem akad yang dulu dikenal lebih simpel
dalam fikih klasik mengalami banyak pengembangan sesuai dengan kebutuhan
transaksi ekonomi saat ini yang menuntut aturan yang lebih kompleks dengan
pelbagai istilah akad. Misalnya, dalam perbankan syariah dikenal istilah akad
mudharabah, musyarakah, ijarah, dan bai’ dengan pelbagai
pengembangan. Juga dalam asuransi syariah dengan beberapa istilah takaful.
Sebagai perbandingan, unsur-unsur yang harus
ada dalam sebuah akad atau kontrak saat kini, di antaranya seperti dalam
tulisan oleh Afzalur Rahman dalam bukunya, Doktrin Ekonomi Syariah,
yaitu: Pertama, dalam akad tersebut harus ada penawaran dan persetujuan. Kedua, memiliki maksud untuk menciptakan hubungan
kerja. Ketiga, jelas tujuannya dan disertai dengan adanya pengurus/pelaksanaan.
Keempat, mengetahui syarat-syarat dari pihak yang meng adakan
akad. Kelima, ada perizinan yang sah; Keenam, tujuannya halal; dan ketujuh,
ada jangka waktu yang berlaku.[11]
Dalam unsur-unsur yang harus ada dalam (syarat dan rukun) akad
tersebut terdapat
beberapa hal yang dikemukakan masih berpatokan pada prinsip-prinsip dasar
akad menurut fikih klasik, meskipun lebih rinci dan disesuaikan dengan keadaan
masyarakat dan kebijakan pemerintah, seperti pada poin ketiga yang menuntut
disebutkannya pihak pelaksana akad, dan poin kelima, yaitu adanya perizinan
yang sah.
Hal tersebut juga dapat diperhatikan dalam ketentuan-ketentuan
pokok akad
mudharabah, yaitu: Pertama, modal harus dalam standar uang. Kedua, modal
dipercayakan kepada dharib (pelaksana). Ketiga, keuntungan harus tidak terbatas.
Keempat, keuntungan dapat ditaksir. Kelima, barang harus diketahui secara
pasti.[12]
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan penjabaran dan rincian dari
ketentuan-ketentuan umum sebelumnya. Penjabaran dan pengembangan akad
mudharabah tersebut juga berlaku pada akad-akad lain dalam ekonomi syariah.
Pentingnya pengembangan akad dalam ekonomi syariah, khususnya di Indonesia,
kemudian melahirkan banyak aturan-aturan perundangan yang memberi peluang
luas bagi terlaksananya akad-akad tersebut dalam transaksitransaksi lembaga
keuangan, seperti dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya UU No.10 Tahun 1998
tentang Perbankan dengan Sistem Bagi Hasil,[13]
bahkan menjadi satu kemajuan dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen UU Peradilan Agama
No. 7 Tahun 1989 mengenai Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan
Kasus Persengketaan Ekonomi Syariah, dan akan ditindaklanjuti dengan
penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES).
Aturan perundang-undangan tersebut merupakan legitimasi terhadap keberadaan
sistem ekonomi dengan sistem syariat Islam di Indonesia. Dalam hal ini,
sistem ekonomi tersebut mengacu pada akad-akad yang telah diatur dalam syariat
Islam, termasuk dalam hal ini akad yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih klasik
sebelumnya dengan beberapa pengembangan yang disesuaikan pada suasana
masyarakat Indonesia yang majemuk.
Misalnya akad yang dapat dilakukan dalam reksadana syariah dengan emiten
(pemilik perusahaan) yaitu dengan akad mudharabah
dan akad jual beli.[14]
Juga dalam perbankan syariah dengan kegiatan penghimpun dana, penyaluran dana,
dan jasa pelayanan, semuanya dapat dikelola dengan akad wadi’ah, mudharabah,
murabahah, salam, ijarah,
qardh al-hasan, wakalah, hawalah, dan sebagainya.
Wadi’ah adalah akad penitipan barang atau uang yang dilakukan antara pihak
pemilik barang atau uang (muwaddi’) dengan pihak yang diberi kepercayaan (mustawda’)
untuk menjaga keselamatan, keamanan, dan keutuhan barang
yang dititipkan. Akad ini mengalami pengembangan pada dua jenis, yaitu wadi’ah
yad amanah (pihak penerima tidak diperkenankan menggunakan atau memanfaatkan
barang titipan), dan wadi’ah yad dhamanah (pihak penerima diperkenankan memanfaatkan
barang titipan dan sepenuhnya bertanggung jawab atas kehilangan
dan kerusakan barang titipan).
Mudharabah ialah akad yang dibuat antara pemilik modal (shahib
al-mal) dengan pengelola (mudharib) sehingga memperoleh keuntungan atau
pendapatan dari pengelolaan tersebut. Pendapatan
atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nishbah (bagian) yang telah disepakati di awal
akad.
Murabahah adalah akad yang dilakukan dalam rangka
pembiayaan oleh pemilik modal (shahib al-mal) berupa talangan dana
kepada nasabah untuk membeli barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan
talangan dana tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan antara selisih
harga beli dari pemasok dengan harga jual kepada nasabah.
Salam adalah akad
pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk
pembelian suatu barang/jasa dengan pembayaran di muka sebelum barang/jasa
diantarkan atau terbentuk. Pengguna barang/jasa (nasabah) berkewajiban
mengembalikan talangan dana tersebut ditambah margin keuntungan bank
secara kredit dalam jangka waktu tertentu atau tunai sesuai dengan kesepakatan.
Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad pembiayaan berupa talangan dana
dari pihak shahib al-mal yang dibutuhkan oleh nasabah untuk memiliki suatu
barang atau jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Qard al-hasan adalah akad pembia-yaan
berupa pinjaman atau bantuan kepada para kaum dhu‘afâ’ dan memiliki
keterampilan atau keinginan kuat untuk mulai berusaha kecil-kecilan. Nasabah
dalam hal ini hanya diwajibkan mengembalikan pinjaman pokoknya saja
dalam waktu tertentu.
Wakalah adalah akad yang dilakukan dengan memberi kuasa
kepada pihak yang memiliki kemampuan (shahib
al-mal) untuk melakukan tindakan atau perbuatan atas nama pihak nasabah dalam
melakukan transaksi dengan pihak ketiga. Hiwalah adalah bentuk akad lain yang di dalamnya terdapat
pemberian jasa dengan pengalihkan tanggung jawab utang dari
seorang yang berutang pada pihak lain.
Masih ada beberapa contoh akad lainnya yang banyak digunakan dalam transaksi
ekonomi syariah saat ini dengan muatan ciri tersendiri dari akad-akad ekonomi
konvensional (liberalisme atau sosial-komunisme). Karena di dalamnya, selain
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, juga tidak terlepas dari nilai-nilai ilahiah,
keseimbangan (al-wustha), kerjasama (ta’awuniyyah), ukhuwah, dan kemaslahatan.[15]
Akad-akad bentukan baru pada umumnya merupakan hasil sintesa akad-akad yang
sudah ada sebelumnya yang kemudian diramu sedemikian rupa hingga menjadi akad
yang terpadu. Akad-akad
semacam ini belakangan dikenal dengan istilah hybrid contract atau
multiakad (al-‘uqud al-murakkabah). Banyak yang
masih meragukan akad-akad yang “agak” berbeda dari akad klasik yang biasa
ditemukan.
Oleh karenanya, disinilah diperlukan pemahaman yang mendalam baik itu dalam
ilmu agama maupun ilmu mengenai gejolak aktivitas muamalah, dengan begitu, akan
mudah bagi kita melihat benar tidaknya akad yang berkembang itu.
Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para
ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika ekonomi
di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya
diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu
terdapat kaedah populer. “Hukum (muamalat) dapat berubah
karena perubahan zaman, tempat, keadaan, adat dan niat”.[16]
Dalam hal ini Al-‘Imrani
membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-’uqud
al-mutaqabilah, al-’uqud al-mujtami’ah, al-’uqud al-mutanaqidhah wa
al-mutadhadah wa al-mutanafiyah, al-’uqud
al-mukhtalifah, al-’uqud al-mutajanisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama;
al-’uqud al-mutaqabilah, al-’uqud al-mujtami’ah, adalah multi akad yang umum dipakai.[17]
1.
Akad
Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqud
al-mutaqabilah)
Al-mutaqabila
menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan
berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang
lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqud
al-Mutaqabilah adalah
multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama,
di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada
sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata
lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.[18]
2.
Akad terkumpul (al-Uqud Al-Mujtami`ah)
Al-’uqud
al-mujtami’ah adalah multi
akad yang terhimpun dalam satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad.
Seperti contoh “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan
rumah yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima
ratus ribu”. Multi akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya
dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua
objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap
dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum
atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang
berbeda.[19]
3.
Akad
berlawanan (al-’uqud al-mutanaqidhah
wa al-mutadhadah wa al-mutanafiyah)
Ketiga istilah al-mutanaqidhah, al-mutadhadah,
al-mutanafiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya
perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanaqidhah
mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu
lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar,
lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini
disebut mutanaqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanaqidhah
karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung,
melainkan mematahkan.[20]
4.
Akad
berbeda (al-’uqud
al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah
terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di
antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti
perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam
akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam
jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijarah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada
saat akad.
Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan
yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah terletak
pada keberadaan akad
masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum
dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam
mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut
syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung
adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang
membangunnya.Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa
multi akad yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah adalah
akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski
demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad
tersebut tidak seragam.[21]
5.
Akad
sejenis (al-’uqud al-mutajanisah)
Al-’uqud
al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang mungkin
dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di
dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat
terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad
jual beli, atau dari beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa
menyewa. Multi akad jenis ini dapat pula terbentuk dari dua
akad yang memiliki hukum yang sama atau berbeda.
6.
Akad
ganda yang banyak di aplikasikan dalam ekonomi Islam.
-
Ijarah
muntahiyah bi al-tamlik (akad sewah
menyewah yang berakhir dengan kepemilikan/jual beli).
-
Musyarakah
mutanaqishah (akad kerja sama
yang berkurang berakhir dengan jual beli kredit)
-
Murabahah
marakkabah (akad bagi
hasil berganda berakhir dengan jual beli biasa)
-
Ta’min
tauni murakkabah (asuransi berganda)
-
Akad
Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan
Pembelian] / Deferred Payment Sale).
-
Ta’jir
tamwili (penggabungan akad jual beli dengan
sewah menyewah) walaupun ada sebagaian ulama mengatakan bahwa akad
ini sebenarnya adalah al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik.
C. Pandangan Ulama Terhadap Muli Akad (Hybrid contract)
Istilah hybrid contract mencuat belakangan ini ketika banyak
diwacanakan sebagai bentuk akad baru mengiringi perkembangan perbankan syari’ah yang
sangat pesat.
Hybrid contract atau multiakad dalam bahasa Indonesia, sebagaimana dinyatakan
oleh Hasanuddin[22], berarti
akad berganda atau lebih dari satu akad. Multi akad
diterjemahkan dari istilah fiqh al-‘uqud
al-murakkabah, artinya
beberapa akad yang digabungkan menjadi satu nama. Hybrid contract merupakan
satu akad, tapi di dalamnya dipadukan beberapa akad yang menjadi satu-kesatuan.
Masing-masing akad memikiki akibat hukumnya sendiri-sendiri, tetapi dalam hybrid
akibat-akibat hukum tersebut menjadi satu satu kesatuan. Pengikatan menjadi satu
kesatuan ini dalam rangka memenuhi apa yang menjadi keinginan bersama kedua
belah pihak yang tidak dapat dipenuhi jika memakai akad-akad yang
terpisah-pisah.[23]
Dari sisi latar belakang pembentukannya, formulasi hybrid
contract dipicu oleh semangat untuk mengembangkan perbankan syari’ah agar lebih
kompetitif dari perbankan konvensional. Dunia perbankan konvensional sudah maju
sedemikian pesat, karena sudah berusia berabad-abad. Produk-produk yang
ditawarkannya pun sudah sedemikian variatif. Perbankan syari’ah yang didirikan dengan
membawa misi Islam di bidang ekonomi untuk diterapkan dalam lembaga perbankan
dituntut untuk
dapat berpacu secara kompetitif mengejar ketertinggalan dari perbankan konvensional.
Semangat kompetisi ini kadangkala dapat saja membius perbankan syari’ah
sehingga lupa akan misi idealisnya.[24]
Secara ideal, Bank Syari’ah mengemban misi untuk
mengoperasionalisasikan fungsi perbankan dengan bersendikan keadilan, kejujuran serta misi
penyemarakan sektor riil. Akad yang menjadi basis utamanya adalah mushārakah atau
muḍārabah dengan prinsip bagi hasil dalam pola
kemitraan. Namun, karena tuntutan profitabilitas
dan didorong semangat akselerasi memperbesar market share, pertanyaan
kekhawatiran yang muncul adalah apakah perhatian utama perbankan syari’ah
bisa bergeser dari semangat mewujudkan misi ideal menjadi semangat berkompetisi
dalam formalitas kesyari’ahan dengan menomorduakan misi ideal? Jawaban
atas pertanyaan ini bisa diketahui dengan mencermati formulasi akad-akad yang
tergolong hybrid contract sebagai alternatif akad musharakah
dan muḍarabah. Berikut ini
diuraikan analisis formulasi beberapa akad yang tergolong hybrid
contract yaitu akad murabaḥah
atau bay‘ bi thaman ‘ajil, ijarah muntahiyah bi
’l-tamlik dan musharakah
mutanaqiṣah.[25]
Mengenai status hukum multiakad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan
dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multiakad sah
dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini
ulama berada dalam dua pendapat tersebut, yaitu membolehkan dan melarang. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian pendapat
ulama Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah, dan Hanâbilah berpendapat bahwa hukum
multiakad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan
beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.[26]
Menurut Ibn Taymiyyah, hukum asal dari segala
muamalah di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya,
tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali
yang disyariatkan.[27]
Hukum asal dari syariat adalah bolehnya
melakukan transaksi multiakad, selama setiap akad yang membangunnya ketika
dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka
dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada
kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai
pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan
akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.[28]
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim. Dia berpendapat bahwa hukum
asal dari
akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.[29]
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum
dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah
telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan
haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah
dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang
telah diharamkan oleh-Nya.[30]
Al-Syathibi menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadah danmuamalah.
Menurutnya, hukum asal dari ibadah adalah melaksanakan (ta‘abbud) apa
yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum
asal dari muamalah adalah mendasarkan substansinya bukan terletak
pada praktiknya (iltifat ila ma’ani).
Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau
perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang
muamalah terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan
yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan
melaksanakan (ta ‘abbud).[31]
Adapun dasar kebolehan yang diberikan ulama
terhadap praktik multi akad ini sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah
Surat Al-Maidah ayat 1 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ
لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي
الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai
Orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan hati. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum sesuai
yang dikehendakinya” (Q.S Al-Maidah : 1)
Disisi lain Kelompok pendukung Multi Akad
berargumentasi dengan beberapa pendekatan, yang antara lain: pendekatan maqasid
al-shariah adalah penetapan hukum yang berlandaskan pada maksud dan tujuan
syariah, yaitu pertimbangan kemaslahatan, sehingga penekanannya terletak pada
upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari satu kasus yang dihadapi melalui
pertimbangan maslahah Pendekatan ini diaplikasikan baik pada kasus yang ada
nashnya dalam al-Quran dan hadis, maupun terhadap kasus yang belum ada nashnya.
Sesungguhya pendekatan maqasid al-shari’ah ini pada umumnya sejalan
dengan pendekatan kebahasaan, sebagai contoh kewajiban shalat dan puasa yang
difahami dari sejumlah ayat al-Qur’an, namun menurut pendekatan maqasyid,
shalat dimaksudkan untuk memelihara agama (hifz al-din). Pendekatan
kebahasaan (lughawi), shalat menjadi kewajiban yang mesti dilaksanakan. Tetapi,
terkadang pendekatan maqasid al-shari’ah dapat meninggalkan makna
tekstual suatu ayat dan hadits dan dengan sendirinya mengabaikan pendekatan
kebahasaan, karena dasarnya adalah pertimbangan kemaslahatan dan
prinsip-prinsip umum, seperti keadilan dan kemudahan (taysir).
Ulama lain, terutama dari kalangan Zhahiriyyah
mengharamkan multiakad. Menurut kalangan Zhahiriyyah hukum asal dari akad adalah dilarang dan
batal kecuali yang ditunjukkan boleh oleh agama. Merekan beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia.
Setiap perbuatan
yang tidak disebutkan dalam nas-nas agama berarti membuat ketentuan sendiri
yang tidak ada dasarnya dalam agama.[32] Hal ini berdasarkan surat Al-Maidah ayat 3 :
.... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...
“....
Hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah aku
ridhai Islam itu menjadi agamamu...”
Kemudian pendapat tersebut diperkuat dengan
hadis Nabi :
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا
عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ»)رواه الترمذى)[33]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Hanad, dia
berkata : telah menceritakan kepada kami Abdatu bin Sulaiman, dari Muhammad bin
Amar, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, dia berkata : Rasulullah melarang
dua pembelian dalam satu transaksi”. (H.R Turmidzi)
Melalui pemaknaan dari segi kebahasaan dalam teks agama, atau disebut juga
dengan pendekatan qaidah-qaidah kebahasaan yang meliputi, analisis kalimat,
apakah kalimat itu bersifat ‘am (umum) dan khas (khusus) , mutlaq
- muqayyad, nasikh-mansukh, ’amr (bentuk perintah), nahy (bentuk
larangan). Pendekatan ini merupakan salah satu bagian dari pendekatan para
ulama’ usul al-Fiqh dalam memahami nash, baik nash al-Qur’an atau
al-Hadis sebagaimana yang dijumpai dalam literatur ushul fiqh,
sebagiamana disampaikan misalnya oleh Wahbah al-Zuhaili dalam karyanya Ushul
al-Fiqh al-Islamiy. Dalam hadis yang dijadikan argumentasi disebut kata نَهَى, yaitu bentuk kata kerja lampau (fi‘il madi)
yang mengandung makna larangan.[34]
Dengan melihat beberapa pendapat di atas para
Ulama memberikan Kebolehan multiakad yang didasarkan atas prinsip hukum asal
dari akad adalah boleh dan hukum multiakad di-qiyas-kan dengan hukum
akad-akad yang membangunnya, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang
membatasinya. Artinya, meskipun multiakad diperbolehkan, ada batasan-batasan
yang tidak boleh dilanggar, karena batasan itu menjadi rambu bagi multiakad
agar tidak terjerumus pada praktik muamalah yang diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya adalah garis batas
bagi praktik
multiakad yang tidak boleh dilewati.
D. Beberapa Aturan Tentang Multi Akad dalam Hukum Ekonomi Syari`ah di
Indonesia
1. Ba`i `Inah
Bai‘ al-‘inah merupakan penjualan tunai yang dianjutkan dengan pembelian kembali barang tersebut
secara tangguh.
Prosesnya adalah nasabah melakukan penjualan asetnya ke bank dengan harga
tertentu, bank melakukan pembayaran dengan harga tersebut kepada pihak nasabah.
Bank lalu melakukan penjualan kembali aset tersebut kepada nasabah dengan
melakukan penambahan margin keuntungan. Nasabah membayar harga aset
tersebut ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati sesuai dengan
kesepakatan yang ada.[35]
Akad bai` ‘al-‘inah
tersebut mirip dengan konsep pinjaman tunai dengan adanya jaminan
aset pada bank konvensional di mana perbedaannya terletak pada akadnya
dan nasabahnya mendapatkan dana tunai. Jual beli dengan bai`
al-‘inah ini banyak diijinkan oleh ulama
Malaysia. Akan tetapi, sebagian besar ulama yang ada di Timur
Tengah dan Indonesia banyak berpendapat bahwa transaksi dengan bai‘
al-‘inah tidak sesuai dengan Islam. Apalagi
dari empat mazhab mayoritas yang banyak dipakai
oleh umat Islam, hanya mazhab Syafi’i yang mengijinkan akad bai` al-‘inah. Uniknya, Indonesia sebagai negara yang juga mayoritas pemakai
mazhab Syafi’i
justru menganut pendapat yang hampir sama dengan mayoritas ulama di Timur
Tengah, yaitu bai‘ al-‘inah dilarang dipakai.[36]
2. Ijarah Muntahiyah bi Tamlik
Hybrid contract yang berbentuk ijarah muntahiyah bi
’l-tamlik formulasinya juga dalam rangka men”syari’ah” kan konsep sewa beli
dalam lembaga keuangan konvensional.
Sejarah muncunya ijarah muntahiyah
bi ’l-tamlik,
merujuk ke Undang-Undang Inggris dalam mewujudkan apa yang dinamakan jual beli
sewa atau
sewa pemindahan kepemilikan untuk mendorong para nasabah membeli secara
kredit di bidang perdagangan, kemudian untuk menjadikan laku produk-produk industri
dengan menjual berbagai perabotan, peralatan, mesin-mesin di mana
kepemilikan barang masih tetap di tangan penjual sampai terbayar semua angsuran.
Para pakar hukum Mesir menganggap, jenis ini sebagai jual beli dengan kredit.
Sistem Inggris menyederhanakannya dengan menyebutnya sebagai kontrak sewa.
Sedangkan di Perancis, digolongkan sebagai transaksi yang terstruktur (murakkab)
dalam dua transaksi yang terpisah, yakni transaksi sewa diiringi jual beli.
Praktek yang terjadi di Perancis ini yang kemudian ditetapkan oleh fikih Islam kontemporer,
dengan melarang adanya dua transaksi dalam satu transaksi, atau dua
jual beli dalam satu transaksi jual beli. Sewa yang disertai pemindahan
kepemilikan sebagaimana ada di Barat tidak diperbolehkan, sedangkan yang diperbolehkan
adalah adanya dua akad yang masing-masing berdiri sendiri. Akad yang
kedua didasarkan pada janji yang ada pada akad yang pertama.[37]
Firdaus Muhammad Arwan juga mengungkap bahwa ijarah
muntahiyah bi’ ltamlik merupakan
konstruksi perjanjian sewa beli yang dianggap sesuai dengan syari’ah.
Sewa beli merupakan salah satu bentuk perjanjian campuran antara jual-beli dan
sewa menyewa dan dalam praktek sering disamakan dengan leasing. Ulama
menilai perjanjian sewa beli ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah,
karena dianggap mengumpulkan dua akad dalam satu akad yang dilarang oleh
Rasulullah. Namun karena perjanjian ini telah marak dipraktikkan oleh masyarakat
dan dipandang banyak manfaatnya, maka dicari solusi agar perjanjian tersebut
ditolerir tetap dapat dilaksanakan, dengan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’ah. Upaya ini memunculkan konsep ijarah
muntahiyah bi’ ltamlik atau
“ijarah wa iqtina” sebagai bentuk hybrid contract yang dipandang sesuai
dengan syari’ah.[38]
3. Mudharabah Musytarakah
Jika
dilihat bahwa kata mudharabah musyarakah terdiri dari dua bentuk akad muamalah,
yaitu akad mudharabah dan musyarakah. Yang di maksud dengan mudharabah adalah
suatau akad di mana pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha
untuk berdagang dengan modal tersebut dan laba dibagi di antarakeduanya berdasarkan persyaratan
yang disepakati.[39] Dan
yang dimaksud dengan musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana/modal
mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan
nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian yang timbul ditanggung semua pemilik
dana/modal berdasarkan bagian dana/ modal masing-masing.[40]
Sedangkan mudharabah musytarakah adalah salah satu bentuk akad mudharabah
dengan pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modal
atau dananya dalam kerja sama investasi, diperlukan karena mengandung unsur
kemudahan dalam pengelolaannya serta dapat memberikan manfaat yang lebih besar
bagi para pihak.
Ketentuan akad dalam Produk Penghimpunan Dana
adalah sebagai berikut: (1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah
musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah.
(2) Bank syariah sebagai mudharib menyertakan modal atau
dananya dalam investasi bersama nasabah. (3) Bank syariah sebagai pihak yang
menyertakan dananya (musytarik) memperoleh bagian
keuntungan berdasarkan porsi modal atau yang disertakan. (4) Bagian keuntungan
sesudah diambil oleh bank syariah sebagai musytarik dibagi antara bank
syariah sebagai mudharib dengan nasabah dana sesuai
dengan nisbah yang disepakati. (5) Apabila terjadi kerugian, bank syariah
sebagai musytarik
menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang
disertakan.
Ketentuan akad dalam Produk Penyaluran Dana adalah sebagai berikut:
(1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu
perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah.
(2) Nasabah sebagai mudharib menyertakan modal atau
dananya dalam investasi bersama bank syariah. (3) Nasabah sebagai pihak yang
menyertakan modal atau dananya (musytarik) memperoleh bagian
keuntungan berdasarkan porsi modal yang disertakan. (4) Bagian keuntungan
sesudah diambil oleh nasabah sebagai musytarik dibagi antara nasabah
sebagai mudharib
dan bank syariah sesuai dengan nisbah yang disepakati. (5) Apabila
terjadi kerugian, nasabah sebagai musytarik menanggung kerugian
sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.[41]
4. Musyarakah Mutanaqishah
Hybrid contract yang berbentuk musyarakah
mutanaqiṣah diilhami oleh kesadaran akan kelemahan hybrid contract sebelumnya
dari sisi kesyari’ahan. Perbankan Islam memakai akad-akad fikih, utamanya hybrid contract untuk
menghindari riba atau rente. Akad yang paling umum dipakai adalah bai‘ bi thaman ‘ajil atau akad murabaḥah. Belakangan, akad ini banyak diperdebatkan dari sisi
kesyari’ahan. Muncul kemudian gagasan formulasi hybrid contract berupa
musyarakah
mutanaqiṣah yang diangap lebih menenangkan dan lebih mematuhi
syari’ah. Musyarakah mutanaqiṣah adalah
kombinasi tiga akad yaitu musyarakah, ijarah dan bai‘. Musyarakah mutanaqiṣah merupakan
kontrak partnership antara kedua pihak di mana satu partner secara berangsur-angsur membeli keseluruhan bagian
properti.[42]
Dari sisi historis, sebagaimana diisyaratkan oleh para
pakar fikih muamalah modern,
kajian awal terformulasikanya musyarakah mutanaqiṣah dilakukan oleh Sami Ḥasan Aḥmad Ḥamud dalam disertasinya yang berjudul Taṭwir al-a’mal al- Mashrafiyyah
Bima
Yattafiq wa ’l-Shari’ah al-Islamiyyah,
dalam rangka memperoleh gelar
Doktor di Universitas Kairo tanggal 30 Juni 1976. Musyarakah mutanaqiṣah ini pertama
kali dipraktekkan di Mesir, kemudian dipakai pula di bank-bank Islam di negara-negara Arab dan yang lainnya.[43]
Dengan demikian, berbeda dengan bentuk-bentuk hybrid
contract yang lain, musyarakah mutanaqiṣah dari sisi sumber kemunculannya relatif lebih idealis, karena
berasal dari kajian akademis berupa disertasi yang tentunya telah melewati uji
kelayakan yang cukup ketat. Lebih dari itu, yang melatarbelakangi formulasinya adalah
rasa keprihatinan terhadap berbagai bentuk Hybrid contract yang belum dapat
merepresentasikan substansi keadilan yang menjadi prinsip yang dituju daalam
aturan-aturan Fikih muamalah.
Bentuk akad seperti musyarakah mutanaqiṣah lebih
merepresentasikan beberapa tujuan disyariatkannya akad secara syari’ah yakni
yang menyangkut keadilan dan kebersamaan meski belum memenuhi tujuan kemudahan
dan kepraktisan, sebagaimana diteorisasikan oleh al-Khalifi. Dengan mengacu
pada sumber-sumber syari’ah baik al-Qur’an maupun Hadis Nabi, Riyaḍ Manṣur al-Khalifi
merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi tujuan disyariatkannya berbagai
transaksi bisnis atau muamalah Islam menjadi lima: yaitu: Pertama,
prinsip keadilan (al-‘adalah), lawan dari kezaliman (al-ẓulm). Kedua, prinsip
kejujuran dan transparansi (al-ṣidq wa ’l-bayan), lawan dari kebohongan dan penyembunyian fakta
(al-kidhb wa ’l-kitman). Ketiga, prinsip perputaran harta (al-tadawul) lawan dari penumpukan harta (al-kanz). Keempat, prinsip
kebersamaan, persatuan dan tolong menolong (al-jama’ah
wa ’l-i’tilaf wa ’l-ta’awun), lawan dari perpecahan, perselisihan
dan saling bertolak belakang (al-furqah wa ’l-ikhtilaf wa
’l-tadabur). Kelima, prinsip
memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan (al-taysir
waraf’ al-ḥaraj).[44]
Dapat disimpulkan di sini bahwa formulasi hybrid contract dari
sisi latar belakang perumusannya didorong oleh semangat mengembangkan
perbankan syari’ah dengan tetap memiliki cantolan fikih. Ketika akad tunggal musyarakah atau
muḍarabah kurang fleksibel untuk diterapkan dan kurang menjamin keuntungan
dan perkembangan bank syari’ah, diformulasikanlah hybrid contract berupa
bai‘ bi thaman ‘ajil atau murabaḥah kombinasi sebagai kompetitor pinjaman berbasis bunga.
Demikian juga ijarah muntahiyah
bi ’l-tamlik dimunculkan sebagai
konpetitor akad sewa beli yang disyari’ahkan lewat hybrid contract. Pengembangan berikutnya
dilatarbelakangi oleh berbagai kritik kesyari’ahan atas hybrid contract sebelumnya,
sehingga ada keinginan untuk membuat hybrid contract yang lebih sebagai
merepresentasikan nilai-nilai syari’ah.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa secara etimologi akad dapat diartikan dengan perjanjian,
sedangkan secara terminologi ada beberapa definisi yang diberikan oleh para
ulama pada dasarnya memiliki substansi yang sama yaitu keterikan dua belah
pihak atau lebih dalam menjalankan satu transaksi.
Terkait dengan perubahan atau
evolusi akad, pada dasarnya hal ini dikarenakan adanya semangat para
intelektualis Islam untuk berkompetisi dengan lembaga-lembaga bermuamalah yang
konvensional. Sehingga hal ini memunculkan bentuk akad-akad yang baru akan
tetapi masih di dasari oleh pemikiran-pemikiran klasik sebagaimana yang telah
diatur dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dewasa ini akad tersebut bervolusi dengan
adanya multi akad, atau dapat diebut juga dengan hybrid contract yang
dalam istilah bahasa Arab disebut dengan Al-`Uqud Al-Murakkabah.
Multi akad tentu tidak sepenuhnya
diterima oleh para kalangan umat islam, ada beberapa pendapat ulama yang mengomentari mengenai multi akad
tersebut. Dalam hal ini ada ulama yang membolehkan multi akad dengan melihat
substansi akad tersebut untuk kemaslahatan umat. Di sisi lain ada juga ulama
yang melarang karena merujuk kepada hadis nabi yang melarang dua akad dalam
satu pembelian. Dengan menggunakan pendekatan lafaz tekstual.
Di Indonesia sendiri ada beberapa
praktik multi akad yang dilaksanakan, di antaranya Ijarah Muntahiyah bi
Tamlik, Mudharabah Musytarakah, dan Mudharabah Mutanaqisah.
[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka Cetakan Pertama, 2001), hal. 18
[2]Ghufron A.Mas’adi, Fiqih Mu’amalah
Kontekstual, (Jakarta: PT Grafindo Persada Cetakan Pertama, 2002), hal. 75
[3]Gemala Dewi,Wirdyaningsih, Yeni Salma
Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, Edisi pertama,Cetakan
Pertama,2005) hal 45
[4]Departemen Agama RI, Al qur’anul Karim wa
tarjamah maaniyah ilal lughoh al-Indonesiyyah, (Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’ al Malik Fahd li
thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H)
[6]Fathurrahman
Djamil, HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh Mariam
Darus Badrulzaman, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001),
hal. 75
[11]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, hal.
337
[13]Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001),
Cet. I, hal. 26
[14]Departemen
Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Bagian
Proyek Sarana dan Prasarana
Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2003), hal. 245-252
[15]M.
Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia, (Jakarta: elSAS,
2007), Cet. I, hal. vii
[16]Ruysdi, Ecolusi Kontark dalam
Fiqh Muamalah dan Kaitannya dengan Tantangan Modernitas serta Hubungannya
dengan Perbankan Syari`ah, diakses dari https://www.ekonomiislam.net/2017/10/Evolusi-Kontrak-dalam-Fiqh-Muamalah-dan-Kaitannya-dengan-Tantangan-Modernitas-serta-Hubungannya-dengan-Perbankan-Syariah.html pada tanggal 26 Februari 2018
[17]Hasanudin, Multi
Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Ciputat : UIN Syahid, 2009), hal. 3
[18]Najamuddin, Al-Uqud Al-Murabahah dalam Persfektif Ekonomi Syari`ah, Jurnal
Syari`ah Vol II, No. II, Oktober 2013, hal. 10
[22]Hasanudin
menjabat sebagai wakil sekretaris Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI), juga sebagai dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
[23]Hasanudin,
“Multi Akad dalam Transaksi Syari’ah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Syari’ah
di Indonesia: Konsep dan Ketentuan (Ḍawābit) dalam Perspektif Fikih”, http://www.ekonomisyari’ah.org/,
diakses 26 Januari 2018, hal. 2-4
[24]Ali Murtahdo, Model Aplikasi
Muamalah pada Formulasi Hybrid Contract, Al-Ahkam, Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Vol 23, No. 2, Oktober 2013, hal. 129
[26]al-‘Imrani, Al-’uqûd
al-Maliyah al-Murakkabah: Dirasah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tathiîqiyyah, (Riyadh
: Dar Kunuz Eshbelia li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2006), hal. 69
[28]Nazih Hammad, Al-’uqud al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islami, (Damaskus : Dar al-Qalam, 2005), hal. 8
[32]Abu Muhammad ‘Ali
Ibn Ahmad Ibn Sa'id bin Hazm, al-Muhalla, (al-Qahirah: Dar al-Turats,
t.th.), Jilid V, hal. 15
[33]Muhammad bin Isa bin Saurah bin
Musa bin Dahak Ath-Thirmidzi Abu Isa, Sunan
At-Thirmidzi Juz III, Muhaqqiq: Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi, (Mesir :
Syirkah Maktabah wal Matba`ah Mustafa Al-Baqi Al-Hali, 1975), hal. 525
[34]Musawar, Pandangan Tuan Guru Lombok Terhadap Multi Akad dalam Muamalah
Maliyah Kontemporer, Jurnal Wacana Hukum Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1,
2016, hal. 157
[35]Nurul, Lembaga Keuangan, hal.
137
[37]Waḥbah
al-Zuhayli, al-Mu’amalah al-Maliyyah al-Mu’aṣirah Buḥuth wa Fatawa wa Ḥulul,
(Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hal 396
[38]Firdaus
Muhammad Arwan, Ijarah Muntahiyah bi ’l-Tamlik Sebagai Konstruksi Hukum
Perjanjian Sewa Beli dalam Ekonomi Islam, dalam http://www.badilag.net, diakses
28 Januari, hal 1
[41]Ahmad Ifham, Mudharabah
Musytarakah, diakses dari https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/21/mudharabah-musytarakah/ pada tanggal 26 Februari 2018
[42]Noor Mohammad Osmani dan Md. Faruk Abdullah,
“Musyarakah Mutanaqisah Home Financing: A Review of Literatures and
Practices of Islamic Banks In Malaysia” dalam International Review of Business Research Papers Vol. 6. Number 2. July 2010, hal. 272-273.
[43]Isma’il Shindi, “al-Musyarakah al-Mutanaqiṣah fī ‘l-'amal al-Maṣrafi ‘l-Islami –Ta’ṣil wa Ḍabṭ”, paper ilmiah pada Mu’tamar al-Iqtiṣad al-Islami wa a’mal al-Bunuk (Palestina: Universitas al-Khalil, 2009).
[44]Riyaḍ Manṣur al-Khalifi, “Al-Maqaṣid al-Shar’iyyah wa Atharuha fī Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah”, dalam Majalah Jami’ah al-Malik ‘Abd al-‘Aziz, al-Iqtiṣad al-Islami, 17, 1 , 2004, hal 28
No comments:
Post a Comment