Wednesday, January 16, 2019

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI TURKI



PENDAHULUAN
Secara historis, upaya pembaruan Hukum Keluarga di belahan dunia Islam mulai terealisasi pada penghujung abad 19M. Kesadaran masyarakat muslim akan tertinggalnya konsep-konsep fikh yang selama ini dijadikan rujukan, menumbuhkan semangat pembaruan dari rumusan Undang-undang lama yang telah terformat menuju Undang-undang yang lebih mampu mengakomodasi tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan Islam itu sendiri.
Realitas pembaharuan hukum Islam yang dilakukan di negara-negara Islam khususnya di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Tenggara melahirkan perubahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya pada satu abad terakhir. Perubahan tersebut terjadi baik dalam sistem peradilan maupun dalam sistem yang diterapkan. Perubahan hukum keluarga pertama kali dilakukan oleh Turki ketika menerbitkan Ottoman Law of Family Rights (Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyyah) pada tahun 1917 kemudian disusul oleh Lebanon pada tahun 1919, Yordania tahun 1951 dan Syiria pada tahun 1953.
Dalam hal ini ada beberapa pembaharuan materi hukum keluarga yang telah dilakukan oleh beberapa negara muslim seperti pembatasan usia pernikahan, masalah poligami, perceraian, warisan, nafkah, wasiat wajibah, serta beberapa materi hukum lainnya yang berkaitan dengan hukum keluarga.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan bagaimana pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga yang telah dilakukan oleh Turki semenjak tahun 1917 dengan terbitnya Ottoman Law of Family Rights. Serta dengan melihat aspek hukum keluarga apa saja yang menjadi objek pembaharuan di negara Turki. Dan nantinya penulis juga akan mencoba melihat metode apa yang telah digunakan oleh negara Turki dalam melakukan pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga.

A.    Profil Negara Turki
Secara geografis Turki terletak di Anatolia dan Balkan, berbatasan dengan Laut Hitam, antara Bulgaria dan Georgia, berbatasan dengan Laut Aegean dan Laut Mediterania, antara Yunani dan Suriah. Koordinat geografis terletak di: 39°00′LU 35°00′BT, sedangkan luas negara Turki adalah 783.562 km2. Turki membentang lebih dari 1.600 km (994 mi) dari barat ke timur tetapi umumnya kurang dari 800 km (497 mi) dari utara ke selatan. Total luas daratan sekitar 783.562 km2, dengan rincian 756.816 km2 berada di Asia Barat (Anatolia) dan 23.764 km2  berada di Eropa Tenggara. Anatolia adalah semenanjung besar dan menyerupai persegi panjang yang terletak sebagaimana jempatan antara Eropa dan Asia. Wilayah Anatolia Turki merupakan 97% dari total wilayah negara itu. Wilayah itu juga dapat disebut asia kecil, Asiatic Turkey atau Dataran Anatolia.[1]
Turki, merupakan negara yang berdiri di atas reruntuhan Imperium Turki Usmani yang berkuasa hampir enam abad lamanya (1342–1924 Masehi). Imperium Turki Usmani mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni. Wilayahnya meliputi Asia kecil, Syiria, Iraq, Mesir, Afrika Utara, wilayah pesisir Arabia, Azarbaijan, Balkan, Hungaria, dan wilayah-wilayah kecil di Volga dan wilayah diperbatasan selatan Rusia. Selain kemajuan dalam bidang militer, juga kemajuan dalam bidang administrasi, institusi sosial, arsitektur dan pekerjaan umum. Istanbul, ibu kota Turki Usmani, menjadi satu diantara kota-kota terbesar di dunia.[2]
Namun kejayaan itu perlahan-lahan mulai memudar pada tahun 1571. Akibat serangan demi serangan dari Portugis maupun Rusia, Turki Usmani kehilangan satu demi satu wilayahnya. Sampai di penghujung awal abad 19 Masehi, Turki Usmani masih mengalami kehancuran total. Munculnya gerakan tanzimat, yakni gerakan pembaruan Turki yang mendorong semangat berkobarnya Nasionalisme, yang pada akhirnya, melepaskan identitas sebagai bangsa Muslim. Puncaknya, terbentuknya Negara Turki Sekuler di bawah kepemimpinan Mustafa Kamal Ath-Thaturk. Kesultanan Usmani secara resmi dihapus pada tahun 1922, ditandai dengan terbentuknya Negara Republik Turki, sedang kekhilafahan Turki dihapuskan pada tahun 1924.[3]
Gerakan Nasionalisme Turki bermula sebagai reaksi terhadap kehancuran imperium usmaniyah. Pada permulaannya, nasionalisme itu merupakan gerakan agama dengan kecenderungan progresif dan modernis. Setelah kemenangan kekuatan nasionalis dalam Perang Kemerdekaan Turki, nasionalisme itu menjadi sekuler Selain itu, faktor-faktor politik, terutama pemberontakan negeri-negeri Arab dan tekanan-tekanan negara Eropa, juga merupakan sebab bagi politik pembaratan ini.[4]
Pada akhir Perang Kemerdekaan, Turki disibukkan dengan tugas pembangunan negara yang sangat berat. Perhatian para pemimpinnya terpusat pada pembaratan dan nasionalisasi. Kegagalan reformasi agama pada tahun 1928 membawa kepada pengabaian pendidikan agama untuk beberapa tahun lamanya. Setelah kemenangan Partai Demokrat dalam pemilihan Umum 1950, pemerintah Turki menerapkan pendidikan agama wajib di sekolah-sekolah dan memberikan kebebasan lebih luas dalam kehidupan agama kepada rakyat. Termasuk menjalin hubungan lebih rapat lagi dengan dunia Muslim, serta menciptakan kembali kondisi yang mendukung kebangkitan Islam dan membawa Turki aktif kembali dalam menangani masalah-masalah dunia Muslim.[5]
Kesan umum bahwa pertumbuhan nasionalisme di Turki telah membuat rakyat Turki antipati terhadap dunia Muslim lainnya, terutama setelah adanya reformasi Kemalis yang membuat rakyat Turki Modern masa bodoh terhadap Islam, adalah keliru. Menurut Mukti Ali, kesan tersebut seakan-akan memang dimunculkan oleh penulis-penulis Barat yang pendekatannya terhadap konsep perkembangan sekularisme di Turki adalah satu arah.[6] Dalam perkembangannya, masyarakat Turki menyadari bahwa Islam tidak bisa diabaikan untuk jangka waktu yang tidak dipastikan. Reformasi-reformasi sekuler dari tahun 1920-1930an hanya mempunyai pengaruh yang kecil di kehidupan desa. Kehidupan di kota-kota besar dan kecil justru menunjukkan adanya peningkatan kembali ketaatan orang kepada Islam, terutama setelah perubahan pemerintahan pada tahun 1950.[7]
Dilihat dari aspek kebudayaan, Turki mempunyai beberapa persamaan dengan kebudayaan Barat. Hal ini disebabkan karena faktor sejarah dan geografis. Orang-orang Turki dari Anatolia telah menjadi penguasa dan pelindung ujung barat dari dunia muslim berabad-abad lamanya. Mereka memerintah wilayah yang luas dari Eropa Timur dalam jangka waktu yang lama. Bergaulnya orang Turki dengan orang-orang Eropa telah menciptakan pola-pola kebudayaan tertentu yang membedakan mereka dengan orang-orang Eropa dan Asia. Selain itu, individualisme mereka adalah satu ciri yang membedakan mereka dari rakyat Timur Tengah, dan membawa mereka dekat dengan bangsa-bangsa Eropa.[8]
Dalam konteks keagamaan, Turki Usmani mempertahankan ajaran Islam Ortodoks dan sekaligus mencerminkan corak keislaman masyarakat Turki, yang mana utamanya mereka bertindak sebagai muslim, kemudian baru atas nama bangsa Turki.[9] Bagi Muslim Turki, Hanafi adalah mazhab yang dijadikan rujukan secara formal sampai tahun 1926[10] Walaupun 96% dari seluruh jumlah penduduknya beragama Islam, banyak di antara mereka yang secara sadar tidak menjalankan ajaran Islam, sebagai akibat dari kebijakan sekularisasi yang diterapkan pada abad 20.[11] Sisanya terdiri dari berbagai kelompok, seperti Yahudi, Katolik Roma, dan pengikut beberapa kelompok Ortodoks Timur.[12]
Terkait dengan bahasa yang ada di Turki, hal ini dapat dilihat secara historis bahwa bahasa Turki pada mulanya berasal dari Asia Tengah dimana mereka yang disebut kelompok Oguz berpindah hingga ke jazirah Anatolia, Asia Kecil. Bahasa cabang Oguz ini lambat laun berubah. Kelompok Oguz ini menyebar mulai Anatolia hingga Selat Bosporus. Kelompok yang membawa bahasa ini adalah kelompok Seljuk pada abad ke-10. Semenjak Islam mulai dianut masyarakat Turki, bahasa Turki di wilayah Anatolia mulai menyerap berbagai kosakata dari bahasa Arab dan bahasa Persia. Bahasa Turki kemudian pada abad 15 mencapai puncak kejayaannya di masa Kalifah Usmaniyah. Di masa Usmaniyah ini, bahasa Turki ditulis dengan sejenis Huruf Arab. Akan tetapi, semenjak tahun 1928, Mustafa Kemal Atatürk, yang dikenal sebagai bapak Turki Sekuler berusaha membaratkan Turki dan mengganti semua ejaan bahasa Turki ke dalam abjad Latin.
Bahasa Turki merupakan anggota cabang dari bahasa-bahasa Turki , yang meliputi bahasa Turki Gagauz dan bahasa Turki Khorasani. Tergolong subkelompok Turki Selatan, yang tergolong dalam kelompok bahasa Altai. Bahasa Turki dituturkan di Anatolia, Siprus, Balkan, Kaukasus, Eropa Tengah, Eropa Barat dengan penutur diperkirakan 70-100 juta. Bahasa Turki telah menjadi bahasa resmi Negara Turki, Siprus, Siprus Utara, Makedonia, Kosovo. Selain itu, juga diajarkan di sekolah-sekolah komunitas Turki di Bulgaria, Yunani, Makedonia dan Rumania.  Bahasa Turki juga disebut sebagai Osmanli.
Bahasa Turki terbagi atas beberapa dialek, seperti dialek Danubia yang dituturkan di wilayah Balkan, Gaziantep, Sanliurfa, Edirne, Razgrad, Dinler, Rumelia, Karamanli dan Eskisehir. Dimasa Kalifah Usmaniyah, bahasa Turki ditulis dengan sejenis Huruf Arab, namun sejak tahun 1928, bahasa Turki ditulis dalam Huruf Latin yang dimodifikasi.
Dahulu, di zaman kekhalifahan Turki Utsmani, bahasa Turki kaya dengan kosakata bahasa Arab yang jumlahnya 80%. Ketika berkuasa, Mustafa Kemal Atatürk mendirikan Lembaga Bahasa yang tugasnya ialah mengembangkan kosa kata Turki atau Altai bahasa Turki sebagai revitalisasi bahasa ini. Kini kosakata Arab tinggal 30% saja.[13]
B.     Sejarah Perundang-Undangan Hukum Keluarga dan Kodifikasi Hukum di Turki
Sejak tahun 1876 Turki Usmani telah menetapkan Undang-undang Sipil Islam (Majallat al-Ahkam al-Adliya) yang diadopsi dari hukum-hukum pada berbagai mazhab dan sebagian diambil dari materi hukum Barat. Namun Undang-undang itu kurang lengkap karena tidak mencantumkan hukum keluarga dan hukum waris. Seluruh materi hukum yang ada pada Majallat al-Ahkam al-Adliya ini belum sempat direformasi dan belum diundangkan sampai abad ke-20.[14]
Untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur secara resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab Hanafi. Dirasa adanya penjajahanterhadap hak-hak perempuan, terutama dalam masalah perceraian, maka pada tahun 1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya reformasi hukum keluarga. Setidaknya ada 2 kasus yang menjadi alasan mendasar diadakannya perubahan, yaitu: pertama, kasus dimana seorang suami mengkhianati isterinya sehingga isteri tidak mendapat nafkah sebagai haknya, dan kedua, kasus dimana sang suami menderita penyakit tertentu yang bisa mengganggu kelangsungan perkawinannya[15] Sebelumnya, isteri tidak punya hak sama sekali untuk mengajukan perceraian, wewenang penuh ada pada suami.
Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-Undang Hukum Keluarga yang diambil dari berbagai mazhab dengan menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice). Undang-undang tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Usmaniyyah[16] Undang-undang Ottoman ini terdiri dari 156 pasal minus pasal mengenai waris. Meski tidak mengkodifikasi masalah waris, namun ini adalah terobosan awal bagi perkembangan hukum keluarga di dunia Islam.
Pergolakan politik yang terjadi di Turki pada saat itu, sangat mempengaruhi stabilitas perundang-undangan. Terutama ketika isu Turki Modern mulai mengemuka, UU ini sempat dibekukan pada tahun 1919, dengan harapan akan dapat diganti dengan UU yang lebih komprehensif. Pada tahun 1923 pemerintah membentuk panitia untuk membuat draft Undang-undang baru. Akan tetapi, para ahli hukum yang diserahi tugas tidak berhasil mencapai yang dimaksud. Akhirnya Turki mengadopsi The Swiss Civil Code Tahun 1912, yang dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926), dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki. Adopsi tersebut dilakukan karena perbedaan internal dari para ahli hukum agama yang gagal mengusahakan UU yang didasarkan pada syariah. Perbedaan tersebut meruncing ketika gagasan untuk menyatukan pengkodifikasian dari The Ottoman Family Rights 1917, UU Hanafi 1876 (The Majallah) dan hukum waris tradisional yang belum pernah terkodifikasi. Bagaimanapun juga, para ahli hukum Turki sudah mempunyai potensi yang melekat untuk menjadikan hukum Islam sebagai pertimbangan awal sebelum menetapkan Undang-Undang yang baru. [17]
UU Sipil Turki 1926 ini juga tidak mengadopsi sepenuhnya dari UU Sipil Swiss 1912. Bagaimanapun, tetap disesuaikan dengan tradisi dan kondisi Islam di Turki. Beberapa ketetapan yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tradisional, beberapa mazhab mempertimbangkannya untuk dilakukan amandemen. Keseriusan ini terlihat ketika UU Sipil 1926 ini diamandemen sebanyak enam kali dari tahun 1933-1956 agar dicapai satu kesepakatan dan kesesuaian antara UU Sipil dengan konsep-konsep Islam.[18]
Hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta yang kuat.
Pada tahun 1988-1992 terjadi amandemen guna memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah isteri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan pasca, perceraian dan adopsi.[19]
C.    Materi Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki
1.      Pertunangan
Hukum Keluarga Turki tidak menganjurkan untuk diadakannya pesta seremonial tertentu pra pernikahan.[20] Karena khitbah/pertunangan ini bertujuan untuk saling menjajaki antara pasangan calon pengantin, jadi ada kemungkinan setelah pertunangan ini akan semakin kuat ikatan batin antara keduanya atau akan menggagalkan rencana pernikahan karena ada ketidakcocokan dari masing-masing pihak.
Jika pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata perjanjian pernikahan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban membayar ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan.[21]
2.      Usia Pernikahan 
Berdasarkan kepada mazhab yang dianut oleh negara Turki yaitu mazhab Hanafi, maka pembatasan usia perkawinan pun menganut madzhab Hanafi. Mazhab Hanafi menetapkan usia baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun. Sedangkan anak perempuan 17 tahun.  Pendapat Hanafi dalam hal usia baligh adalah batas maksimal, sedangkan batas minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki, dan sembilan tahun untuk anak perempuan. Alasannya, usia tersebut bagi anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (diluar mimpi), sedang pada anak perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil atau haidh.[22]
Batas usia perkawinan di Turki tertulis dalam The Turkis Civil Code 1954, sebuah pembaruan hukum dari ketentuan sebelumnya, yakni Otoman Law of Family Right 1917, pasal 4, dan dalam The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 pasal 6 diatur tentang usia pernikahan. Bagi laki-laki, batas usia perkawinan minimal 18 tahun, dan bagi perempuan 17 tahun. Sedangkan dalam pasal 5 dan 6 dijelaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan dalam keadaan sangat memaksa, pengadilan memberikan ijin perkawinan kepada laki-laki 15 tahun dan perempuan berusia 14 tahun.[23] Pemberian ijin perkawinan ini setelah mendengar penjelasan dari orang tua kedua mempelai. Saat ini, usia yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah adalah 17 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi perempuan. Bahkan dalam beberapa kasus, pengadilan telah mendengar penjelasan dari orang tua (pengasuh/wali), memberikan ijin perkawinan pada laki-laki yang berusia 15 tahun dan 14 tahun bagi perempuan.[24]
3.      Larangan Melakukan Pernikahan
UU Turki menetapkan beberapa katagori larangan larangan dalam penyatuan melalui ikatan pernikahan. Yaitu dimana calon mempelai masih mempunyai hubungan darah dalam garis langsung, saudara laki-laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, saudara seayah, dan juga melalui perkawinan. Pengadilan Turki juga mengenalkan adopsi secara khusus.
Dalam pengadilan, adopsi disebut sebagai salah satu penghalang pernikahan, walaupun secara legal dalam yurisprodensi Islam tidak disebutkan. Pasal 121 UU Turki menegaskan bahwa adopsi dapat dihentikan oleh fakta pernikahan atau sebuah pernyataan bahwa pernikahan pernah terjadi. [25]
4.      Poligami
UU Turki melarang adanya perkawinan diatas perkawinan yang masih berlaku. Jadi sebelum adanya pernyataan tentang bubarnya perkawinan yang pertama.  Melalui UU hukum keluarga turki code civil 1926, sepertinya negara Turki mempelihatkan keseriusannya dalam melarang praktik poligami. Dengan memberikan regulasi tidak diperbolehkannya poligami dalam suatu pernikahan, kecuali pernikahan pertama telah bubar maka setelah itu diperbolehkan menikah kembali dengan pasangan yang lain.[26]
Dalam rangka melalukan pembaharuan hukum keluarga, masalah poligami termasuk dalam salah satu materi hukum yang diperbaharui oleh Turki, karena dalam undang-undang sebelumnya Turki memperbolehkan poligama, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam The Ottoman Law of Family Rights tahun 1917, pasal 74 menjelaskan bahwa suami boleh poligami dengan syarat harus berlaku adil kepada para isterinya. Tetapi isteri berhak membuat taklik talak pada waktu akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikah lagi. Kalau suami melanggar, maka isteri berhak minta cerai.
Alasan pelarangan poligami ini dilakukan kearena muncul keinginan yang kuat meningkatkan perlindungan terhadap kaum wanita dan hak-hak mereka dalam ikatan keluarga yang kokoh maupun dalam mengekspresikan dirinya dan perannya dalam kehidupan sosial dan ekonomi melalui sistem legislasi hukum Islam. Di samping itu dirasakan pada konsep fikih kalsik hukum keluarga yang selama ini menjadi acuan pelaksanaan hukum tradisional dirasakan tidak lagi mencukupi kebutuhan sosial, apalagi selama berabad-abad cendrung mempertontonkan superioritas kaum laki-laki atas kaum wanita. Terkadang kondisi ini dimanfaatkan oleh sebahagian orang untuk menuruti hawa nafsunya tanpa memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan keluarga yang dibangun.[27]
5.      Resepsi Pernikahan
Disebutkan dalam UU Sipil Turki, bahwa resepsi pernikahan boleh dirayakan sesuai dengan agama yang dianut, hanya saja, sebaiknya syarat-syarat formalitas seperti pendaftaran atau pencatatan perkawinan dipenuhi dulu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
6.      Pembatalan Pernikahan
Pembatalan pernikahan dapat diajukan dalam aturan hukum keluarga Turki, hal ini sesuai dengan alasan yang telah dimuat dalam undang-undang sipil Turki sebagi berikut:
a)      Salah satu pihak telah berumah tangga saat  menikah.
b)      Salah satu pihak pada saat menikah menderita dakit jiwa atau penyakit permanen lain.
c)      Pernikahan termasuk yang dilarang.[28]
7.      Pernikahan yang Tidak Sah
Undang-undang Turki memberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan sesuai alasan alasan yang telah  ditetapkan, yaitu:
a)      Bahwa pada saat nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami isteri yang merasa dirugikan yang dipengaruhi oleh suatu alasan yang biasa   melekat pada kasus yang bersifat sementara
b)      Bahwa salah satu pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan atau menikahi pasangannya.
c)      Bahwa salah satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang siinginkan sehingga membuat kehidupan perkawinan tidak dapat si tolelit untuk teurs dilembagakan.
d)     Bahwa salah satu pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter dan moral.
e)      Bahwa salah satu pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia anak anak.
f)       Bahwa salah satu pihak dipaksa menikah dengan ancaman yang membahayakan kehidupan, kesehatan, financial atau membahayakan kerabat dekat.[29]
8.      Pernikahan Beda Agama
Mengenai aturan tentang pernikahan beda agama dapat ditelusuri melalui UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, dengan menjelaskan bahwa diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita Muslim dengan pria non-Muslim.[30]
9.      Perceraian
Undang-undang Turki membolehkan suami istri mengajukan permohonan untuk bercerai melalui pengadilan. Talak adalah suami, tetapi menurut Hanafi; talak dapat jatuh dari pihak selain suami denan izinnya. Dengan cara mewakilkan atau tertulis melalui surat.[31] Agama Islam membolehkan perceraian bila tidak mendapatkan solusi yang baik dalam perselisihan perkawinan.
Ada 6 hal yang membolehkan suami istri menuntut pengasilan mengeluarkan dekrit perceraian  yaitu ;
a)      Salah satu pihak telah memutuskan
b)      Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain
c)      Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
d)     Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang jelas selama sekurang kurangnya 3 bulan.
e)      Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bida ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang kurangnya 3 Tahun.
f)       Hubungan suami istri sedekian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir.
Dalam undang-undang Turki ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus dibanyar salah satu dari suami istri untuk pasangan yang disakiti. Ganti rugi yang dimaksud, jika sang istri dirugikan karena tidak dapat dilanyani oleh suami, sang istri tetap mendapatkan nafkah.[32]
10.  Hukum Waris
Tentang Kewarisan dalam UU Sipil Turki diatur dalam buku ketiga. Buku ini memuat tentang aturan kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU Sipil Swiss. Undang-undang ini sekaligus menggantikan UU Hanafi yang berlaku sebelumnya hingga tahun 1926.
Dalam UU kewarisan ini, prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan warisan, berbeda dengan apa yang ada dalam hukum Islam, dimana laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama. Sedang dalam Alquran, laki-laki mendapat bagian dua kali dari yang diterima perempuan.[33]
D.    Metode Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki
Undang-undang di beberapa negara sekali lagi masih mendasarkan secara normatif terhadap teks-teks al-Qur'an walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang, kedua mendasarkan pada siyasah shar'iyyah berupa adanya sanksi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif ijin poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya dan anutan madzhab masyarakat yang terus diikuti sebagai kasus wali nikah.
Adapun metode pembaharuan hukum di beberapa negara modern dengan cara 1) tahksis al-qada/siyasah shar'iyyah seperti persyaratan dalam poligami dengan izin dari istri sebelumnya 2) reinterpretasi teks dengan jalan qiyas seperti kasus poligami dan asas hukumnya dan 3) takhayyur dan talfiq.[34]
Tahir Mahmood, menawarkan beberapa metode yaitu: 1). Extra Doctrinal Reform yaitu penggabungan beberapa mazhab atau mengambil mazhab lain diluar mazhab utama, 2). Intra Doctrinal Reform yaitu pembaruan hukum dengan interpretasi yang sama sekali baru terhadap nash yang ada, 3). Regulatory Reform yaitu positifikasi hukum-hukum yang bersifat administratif, 4). Codification yaitu positifikasi hukum-hukum Islam klasik yang sudah ada[35]
Menilik dari beberapa metode diatas, sepertinya Turki menggunakan prinsip tahayyur dalam aturan taklik talak yang terdapat dalam UU tahun 1917 dimana isteri berhak mencantumkan dalam taklik talak dalam masalah poligami. Adapun pelarangan poligami yang terdapat dalam UU Sipil Turki 1926, menggunakan prinsip ijtihad dengan reinterpretasi teks, yaitu penafsiran ulang terhadap Surat an-Nisa’(4): 3, bahwa keadilan yang dibutuhkan untuk bolehnya poligami bukan hanya dalam hal nafkah, tapi juga termasuk rasa cinta. Karena itu, menurut Pearl sebagaimana yang dikutip Khoiruddin Nasution dari Muslim Family Law, adanya perpindahan dari esensi hukum Islam. Apa yang dimaksudkan Pearl ini adalah adanya usaha penafsiran ulang terhadap teks nash untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Dalam penafsiran ulang ini tergantung dari pemahaman kontekstual masing-masing mujtahid, ada yang menghubungkan dengan latar belakang turunnya ayat, dan menghubungkan dengan an-Nisa : 129. Ada juga yang mengkaitkan dengan ayat sebelumnya an-Nisa: 1-2, yang bisa disimpulkan bahwa an-Nisa: 3 berkaitan dengan urusan harta anak yatim.[36]
Sedangkan pada hukum waris sepertinya Turki lebih menggunakan metode intra doctrinal reform karena dalam hal ini Turki yang telah mengadopsi hukum Swiss. Hal yang sangat jelas adalah sebagaimana dalam Al-Qur`an telah menetapkan bahwa bagian dari laki-laki adalah 2 kali bagian perempuan. Sedangkan dalam undang-undang hukum keluarga Turki bagian laki-laki dan perempuan disamakan. Dengan demikian jelas sekali bahwa adanya reinterpretasi baru terhadap nash yang sudah ada.
Menurut penulis dalam beberapa aturan lain terkait dengan aturan hukum keluarga di Turki tidak hanya terpaku pada satu metode saja, akan tetapi ada beberapa metode yang digunakan dalam rangka melakukan pembaharuan hukum keluarga di Turki. Dan hal ini wajar dalam rangka untuk memenuhi dan menyesuaikan dengan kondisi zaman atau yang biasa disebut dengan kontekstualisasi hukum Islam khususnya hukum keluarga.



PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Sejak tahun 1876 Turki Usmani telah menetapkan Undang-undang Sipil Islam (Majallat al-Ahkam al-Adliya). Sedangkan  untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur secara resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab Hanafi. Dirasa adanya “penjajahan” terhadap hak-hak perempuan, terutama dalam masalah perceraian, maka pada tahun 1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya reformasi hukum keluarga. Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-Undang Hukum Keluarga yang diambil dari berbagai mazhab dengan menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice). Undang-undang tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Usmaniyyah. Sebelumnya Turki pernah mengadopsi The Swiss Civil Code Tahun 1912, yang kemudian dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926). Pada tahun 1988-1992 terjadi amandemen guna memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah isteri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan pasca, perceraian dan adopsi.
Pembaharuan materi hukum keluarga yang telah dilakukan oleh Turki di antaranya: pertunangan, usia pernikahan, larangan melakukan pernikahan, poligami, resepsi pernikahan, pembatalan pernikahan, pernikahan yang tidak sah, pernikahan beda agama, perceraian, hukum waris
Adapun metode dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga di Turki tidak hanya terfokus pada satu metode saja, akan tetapi Turki menggunakan beberapa metode dalam mengkontekstualisasikan hukum keluarga yang sesuai dengan kondisi dan zaman.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari banyaknya kekurangan, baik itu kekurangan secara materi maupun referensi. Untuk itu penulis memohon kepada pembaca untuk memberi masukan berupa kritikan dan saran yang konstruktif, agar makalah ini dapat disempurnakan sebagaimana mestin


[1]Geografi Turki, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Turki pada tanggal 7 April 2018
[2]Ciryll Glasse, Ensiklopedi Islam, Alih Bahasa : Ghufron A. Mas`adi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 311
[3]Ibid, hal. 312
[4]H. A. Mukhti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta : Djambatan, 1994), hal. 152
[5]Ibid, hal. 163
[6]Ibid, hal. 153
[7]Ibid, hal. 164
[8]Ibid, hal. 155
[9]Ciryll Glasee, Op. Cit, hal. 311
[10]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (New Delhi : The Indian Law Institut, 1972), hal. 15
[11]Ciryll Glasee, Op. Cit, hal. 416
[12] The World Book Encylopedi, Vol. 19, USA : World Book, Inc, 1987, hal. 413
[13]Singgih Kuswardono dkk, Masyarakat Turki, diakses dari https://kajiantimurtengah.wordpress.com/2010/12/08/masyarakat-turki/ pada tanggal 28 April 2018
[14]Tahir Mahmood, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), (New Delhi : Academy of Law and Religion, 1995), hal. 82
[15]JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa : Machnun Husein, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994), hal. 272
[16]Tahir Mahmood, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Log. Cit
[17]Khairodin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : INIS, 2002), hal. 93
[18]Tahir Mahmood, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Op, Cit, hal. 83
[20]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 19
[21]Muhammad Nasir, Perkembangan Hukum Islam di Turki, diakses dari blog http://makalahhukumislamlengap.blogspot.co.id/2013/12/perkembangan-hukum-keluarga-islam-di.html pada tanggal 23 April 2018
[22]M. Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, Alih Bahasa : Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 2004), hal. 312 
[23]Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam dengan Pendekatan Integratif Interkonektif, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hal. 103-104
[24]Dedi Spriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan, Op. Cit, hal. 41
[25]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 20
[26]Ahmad Qarib, “Peningkatan Hak dan Status Kaum Waminta dalam Hukum Keluarga Studi Perbandingan Beberapa Negara Muslim”, dalam Jurnal Analitica Islamica, Vol. 1, No. 1, 1999, hal. 97
[27]Nispul Khoiri, Poligami dalam HukuM Kekeluargaan Islam (Indonesia, Turki, Tunisia, Afghanistan), dalam Jurnal An-Nadwah, Vol. XVIII, No. 1, 2013, hal. 128
[29]Atho Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), hal.47
[30]Abd. Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama, (Jakarta : (BPHN) Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2011), hal. 34
[31]Atho Muzdhar, Op. Cit, hal.49
[33]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 24
[34]Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Op. Cit, hal. 278
[35]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 267-270
[36]Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Op. Cit, hal. 282-283


No comments:

Post a Comment