PENDAHULUAN
Secara historis, upaya pembaruan Hukum Keluarga di
belahan dunia Islam mulai terealisasi pada penghujung abad 19M. Kesadaran
masyarakat muslim akan tertinggalnya konsep-konsep fikh yang selama ini
dijadikan rujukan, menumbuhkan semangat pembaruan dari rumusan Undang-undang
lama yang telah terformat menuju Undang-undang yang lebih mampu mengakomodasi
tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan Islam itu sendiri.
Realitas pembaharuan hukum Islam
yang dilakukan di negara-negara Islam khususnya di Afrika
Utara, Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Tenggara melahirkan perubahan
besar yang belum pernah terjadi sebelumnya pada satu abad terakhir.
Perubahan tersebut terjadi baik dalam sistem peradilan maupun dalam
sistem yang diterapkan. Perubahan hukum keluarga pertama kali dilakukan
oleh Turki ketika menerbitkan Ottoman Law of Family Rights (Qanun
Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyyah) pada tahun 1917 kemudian
disusul oleh Lebanon pada tahun 1919, Yordania tahun 1951 dan Syiria
pada tahun 1953.
Dalam hal ini ada beberapa pembaharuan materi
hukum keluarga yang telah dilakukan oleh beberapa negara muslim seperti
pembatasan usia pernikahan, masalah poligami, perceraian, warisan, nafkah,
wasiat wajibah, serta beberapa materi hukum lainnya yang berkaitan dengan hukum
keluarga.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk
menjelaskan bagaimana pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga yang telah
dilakukan oleh Turki semenjak tahun 1917 dengan terbitnya Ottoman Law of Family Rights. Serta dengan melihat aspek hukum keluarga apa saja yang
menjadi objek pembaharuan di negara Turki. Dan nantinya penulis juga akan
mencoba melihat metode apa yang telah digunakan oleh negara Turki dalam
melakukan pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga.
A. Profil Negara Turki
Secara geografis Turki terletak di Anatolia dan Balkan, berbatasan dengan Laut Hitam, antara Bulgaria dan Georgia, berbatasan dengan Laut Aegean dan Laut Mediterania, antara Yunani dan Suriah. Koordinat geografis terletak di:
39°00′LU 35°00′BT, sedangkan luas negara Turki adalah 783.562 km2. Turki membentang lebih dari
1.600 km (994 mi) dari barat ke timur tetapi umumnya kurang dari
800 km (497 mi) dari utara ke selatan. Total luas daratan sekitar
783.562 km2, dengan rincian 756.816 km2 berada
di Asia Barat (Anatolia) dan 23.764 km2 berada di Eropa Tenggara. Anatolia adalah semenanjung besar
dan menyerupai persegi panjang yang terletak sebagaimana jempatan antara Eropa
dan Asia. Wilayah Anatolia Turki merupakan 97% dari total wilayah negara itu.
Wilayah itu juga dapat disebut asia kecil, Asiatic Turkey atau Dataran Anatolia.[1]
Turki, merupakan negara yang berdiri di atas reruntuhan Imperium
Turki Usmani yang berkuasa hampir enam abad lamanya (1342–1924 Masehi).
Imperium Turki Usmani mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sulaiman
al-Qanuni. Wilayahnya meliputi Asia kecil, Syiria, Iraq, Mesir, Afrika Utara,
wilayah pesisir Arabia, Azarbaijan, Balkan, Hungaria, dan wilayah-wilayah kecil
di Volga dan wilayah diperbatasan selatan Rusia. Selain kemajuan dalam bidang
militer, juga kemajuan dalam bidang administrasi, institusi sosial, arsitektur
dan pekerjaan umum. Istanbul, ibu kota Turki Usmani, menjadi satu diantara
kota-kota terbesar di dunia.[2]
Namun kejayaan itu perlahan-lahan mulai memudar pada tahun 1571.
Akibat serangan demi serangan dari Portugis maupun Rusia, Turki Usmani
kehilangan satu demi satu wilayahnya. Sampai di penghujung awal abad 19 Masehi,
Turki Usmani masih mengalami kehancuran total. Munculnya gerakan tanzimat, yakni
gerakan pembaruan Turki yang mendorong semangat berkobarnya Nasionalisme, yang
pada akhirnya, melepaskan identitas sebagai bangsa Muslim. Puncaknya,
terbentuknya Negara Turki Sekuler di bawah kepemimpinan Mustafa Kamal
Ath-Thaturk. Kesultanan Usmani secara resmi dihapus pada tahun 1922, ditandai
dengan terbentuknya Negara Republik Turki, sedang kekhilafahan Turki dihapuskan
pada tahun 1924.[3]
Gerakan Nasionalisme Turki bermula sebagai reaksi terhadap
kehancuran imperium usmaniyah. Pada permulaannya, nasionalisme itu merupakan gerakan
agama dengan kecenderungan progresif dan modernis. Setelah kemenangan kekuatan
nasionalis dalam Perang Kemerdekaan Turki, nasionalisme itu menjadi sekuler Selain
itu, faktor-faktor politik, terutama pemberontakan negeri-negeri Arab dan
tekanan-tekanan negara Eropa, juga merupakan sebab bagi politik pembaratan ini.[4]
Pada akhir Perang Kemerdekaan, Turki disibukkan dengan tugas
pembangunan negara yang sangat berat. Perhatian para pemimpinnya terpusat pada
pembaratan dan nasionalisasi. Kegagalan reformasi agama pada tahun 1928 membawa
kepada pengabaian pendidikan agama untuk beberapa tahun lamanya. Setelah kemenangan Partai Demokrat dalam
pemilihan Umum 1950, pemerintah Turki menerapkan pendidikan agama wajib di
sekolah-sekolah dan memberikan kebebasan lebih luas dalam kehidupan agama
kepada rakyat. Termasuk menjalin hubungan lebih rapat lagi dengan dunia Muslim,
serta menciptakan kembali kondisi yang mendukung kebangkitan Islam dan membawa
Turki aktif kembali dalam menangani masalah-masalah dunia Muslim.[5]
Kesan umum bahwa pertumbuhan nasionalisme di Turki telah membuat rakyat
Turki antipati terhadap dunia Muslim lainnya, terutama setelah adanya reformasi
Kemalis yang membuat rakyat Turki Modern masa bodoh terhadap Islam, adalah
keliru. Menurut Mukti Ali, kesan tersebut seakan-akan memang dimunculkan oleh
penulis-penulis Barat yang pendekatannya terhadap konsep perkembangan sekularisme
di Turki adalah satu arah.[6]
Dalam perkembangannya, masyarakat Turki menyadari bahwa Islam tidak bisa
diabaikan untuk jangka waktu yang tidak dipastikan. Reformasi-reformasi sekuler
dari tahun 1920-1930an hanya mempunyai pengaruh yang kecil di kehidupan desa.
Kehidupan di kota-kota besar dan kecil justru menunjukkan adanya peningkatan
kembali ketaatan orang kepada Islam, terutama setelah perubahan pemerintahan
pada tahun 1950.[7]
Dilihat dari aspek kebudayaan, Turki mempunyai beberapa persamaan dengan kebudayaan Barat. Hal ini
disebabkan karena faktor sejarah dan geografis. Orang-orang Turki dari Anatolia
telah menjadi penguasa dan pelindung ujung barat dari dunia muslim berabad-abad
lamanya. Mereka memerintah wilayah yang luas dari Eropa Timur dalam jangka
waktu yang lama. Bergaulnya orang Turki dengan orang-orang Eropa telah
menciptakan pola-pola kebudayaan tertentu yang membedakan mereka dengan orang-orang
Eropa dan Asia. Selain itu, individualisme mereka adalah satu ciri yang
membedakan mereka dari rakyat Timur Tengah, dan membawa mereka dekat dengan
bangsa-bangsa Eropa.[8]
Dalam konteks keagamaan, Turki Usmani
mempertahankan ajaran Islam Ortodoks dan sekaligus mencerminkan corak keislaman
masyarakat Turki, yang mana utamanya mereka bertindak sebagai muslim, kemudian
baru atas nama bangsa Turki.[9]
Bagi Muslim Turki, Hanafi adalah mazhab yang dijadikan rujukan secara formal
sampai tahun 1926[10] Walaupun 96% dari seluruh jumlah penduduknya
beragama Islam, banyak di antara mereka yang secara sadar tidak menjalankan
ajaran Islam, sebagai akibat dari kebijakan sekularisasi yang diterapkan pada
abad 20.[11]
Sisanya terdiri dari berbagai kelompok, seperti Yahudi, Katolik Roma, dan
pengikut beberapa kelompok Ortodoks Timur.[12]
Terkait dengan bahasa yang ada di Turki, hal
ini dapat dilihat secara historis bahwa bahasa Turki pada mulanya berasal dari Asia Tengah dimana mereka yang disebut kelompok Oguz
berpindah hingga ke jazirah Anatolia, Asia Kecil. Bahasa
cabang Oguz ini lambat laun berubah. Kelompok Oguz ini menyebar mulai Anatolia
hingga Selat Bosporus. Kelompok yang membawa bahasa ini adalah kelompok Seljuk pada abad ke-10. Semenjak Islam mulai dianut masyarakat Turki,
bahasa Turki di wilayah Anatolia mulai menyerap berbagai kosakata dari bahasa Arab dan bahasa Persia. Bahasa Turki
kemudian pada abad 15 mencapai puncak kejayaannya di masa Kalifah Usmaniyah. Di
masa Usmaniyah ini, bahasa Turki ditulis dengan sejenis Huruf Arab. Akan tetapi,
semenjak tahun 1928, Mustafa Kemal
Atatürk, yang dikenal sebagai bapak Turki
Sekuler berusaha membaratkan Turki dan mengganti semua ejaan bahasa Turki ke
dalam abjad Latin.
Bahasa Turki merupakan anggota cabang dari bahasa-bahasa
Turki , yang meliputi bahasa
Turki Gagauz dan bahasa
Turki Khorasani. Tergolong
subkelompok Turki
Selatan, yang tergolong dalam kelompok bahasa Altai. Bahasa Turki
dituturkan di Anatolia, Siprus, Balkan, Kaukasus, Eropa Tengah, Eropa Barat dengan penutur
diperkirakan 70-100 juta. Bahasa Turki telah menjadi bahasa resmi Negara Turki, Siprus, Siprus Utara, Makedonia, Kosovo. Selain itu,
juga diajarkan di sekolah-sekolah komunitas Turki di Bulgaria, Yunani, Makedonia dan Rumania. Bahasa
Turki juga disebut sebagai Osmanli.
Bahasa Turki terbagi atas beberapa dialek, seperti dialek Danubia
yang dituturkan di wilayah Balkan, Gaziantep,
Sanliurfa,
Edirne,
Razgrad,
Dinler,
Rumelia,
Karamanli
dan Eskisehir.
Dimasa Kalifah
Usmaniyah, bahasa Turki ditulis dengan
sejenis Huruf Arab, namun sejak tahun 1928, bahasa Turki ditulis dalam Huruf Latin yang
dimodifikasi.
Dahulu, di zaman kekhalifahan Turki Utsmani, bahasa Turki kaya
dengan kosakata bahasa Arab yang jumlahnya 80%. Ketika berkuasa, Mustafa Kemal
Atatürk mendirikan Lembaga Bahasa yang
tugasnya ialah mengembangkan kosa kata Turki atau Altai bahasa Turki sebagai
revitalisasi bahasa ini. Kini kosakata Arab tinggal 30% saja.[13]
B. Sejarah Perundang-Undangan Hukum Keluarga dan Kodifikasi Hukum di Turki
Sejak tahun 1876 Turki Usmani telah menetapkan Undang-undang Sipil
Islam (Majallat al-Ahkam al-Adliya) yang diadopsi dari hukum-hukum pada
berbagai mazhab dan sebagian diambil dari materi hukum Barat. Namun
Undang-undang itu kurang lengkap karena tidak mencantumkan hukum keluarga dan
hukum waris. Seluruh materi hukum yang ada pada Majallat al-Ahkam al-Adliya ini
belum sempat direformasi dan belum diundangkan sampai abad ke-20.[14]
Untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum
waris, diatur secara resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab
Hanafi. Dirasa adanya “penjajahan” terhadap hak-hak perempuan, terutama dalam masalah
perceraian, maka pada tahun 1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya
reformasi hukum keluarga. Setidaknya ada 2 kasus yang menjadi alasan mendasar
diadakannya perubahan, yaitu: pertama, kasus dimana seorang suami
mengkhianati isterinya sehingga isteri tidak mendapat nafkah sebagai haknya,
dan kedua, kasus dimana sang suami menderita penyakit tertentu yang bisa
mengganggu kelangsungan perkawinannya[15] Sebelumnya,
isteri tidak punya hak sama sekali untuk mengajukan perceraian, wewenang penuh
ada pada suami.
Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-Undang Hukum Keluarga
yang diambil dari berbagai mazhab dengan menggunakan prinsip tahayyur (eclectic
choice). Undang-undang tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family
Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Usmaniyyah[16] Undang-undang
Ottoman ini terdiri dari 156 pasal minus pasal mengenai waris. Meski tidak
mengkodifikasi masalah waris, namun ini adalah terobosan awal bagi perkembangan
hukum keluarga di dunia Islam.
Pergolakan politik yang terjadi di Turki pada saat itu, sangat
mempengaruhi stabilitas perundang-undangan. Terutama ketika
isu Turki Modern mulai mengemuka, UU ini sempat dibekukan pada tahun 1919,
dengan harapan akan dapat diganti dengan UU yang lebih komprehensif. Pada tahun
1923 pemerintah membentuk panitia untuk membuat draft Undang-undang baru. Akan
tetapi, para ahli hukum yang diserahi tugas tidak berhasil mencapai yang
dimaksud. Akhirnya Turki mengadopsi The Swiss Civil Code Tahun 1912,
yang dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926), dengan
sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki. Adopsi
tersebut dilakukan karena perbedaan internal dari para ahli hukum agama yang
gagal mengusahakan UU yang didasarkan pada syariah. Perbedaan tersebut
meruncing ketika gagasan untuk menyatukan pengkodifikasian dari The Ottoman
Family Rights 1917, UU Hanafi 1876 (The Majallah) dan hukum waris
tradisional yang belum pernah terkodifikasi. Bagaimanapun juga, para ahli hukum
Turki sudah mempunyai potensi yang melekat untuk menjadikan hukum Islam sebagai
pertimbangan awal sebelum menetapkan Undang-Undang yang baru. [17]
UU Sipil Turki 1926 ini juga tidak mengadopsi sepenuhnya dari UU
Sipil Swiss 1912. Bagaimanapun, tetap disesuaikan dengan tradisi dan kondisi
Islam di Turki. Beberapa ketetapan yang dianggap bertentangan dengan konsep
Islam tradisional, beberapa mazhab mempertimbangkannya untuk dilakukan
amandemen. Keseriusan ini terlihat ketika UU Sipil 1926 ini diamandemen
sebanyak enam kali dari tahun 1933-1956 agar dicapai satu kesepakatan dan
kesesuaian antara UU Sipil dengan konsep-konsep Islam.[18]
Hasil amandemen ini antara lain berkaitan
dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi
kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan
segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di
pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132).
Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat
perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta yang kuat.
Pada tahun 1988-1992 terjadi amandemen guna
memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual
consents), nafkah isteri dan penetapan sementara selama proses perceraian
berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan pasca,
perceraian dan adopsi.[19]
C. Materi Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki
1.
Pertunangan
Hukum Keluarga Turki tidak menganjurkan untuk diadakannya pesta seremonial
tertentu pra pernikahan.[20]
Karena khitbah/pertunangan ini bertujuan untuk saling menjajaki antara pasangan
calon pengantin, jadi ada kemungkinan setelah pertunangan ini akan semakin kuat
ikatan batin antara keduanya atau akan menggagalkan rencana pernikahan karena
ada ketidakcocokan dari masing-masing pihak.
Jika pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata
perjanjian pernikahan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan
pembatalan dibebani kewajiban membayar ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang
telah dikeluarkan.[21]
2.
Usia Pernikahan
Berdasarkan kepada mazhab yang dianut oleh negara Turki yaitu
mazhab Hanafi, maka pembatasan usia perkawinan pun menganut madzhab Hanafi.
Mazhab Hanafi menetapkan usia baligh
bagi laki-laki adalah 18 tahun. Sedangkan anak perempuan 17
tahun. Pendapat
Hanafi dalam hal usia baligh adalah batas maksimal, sedangkan batas minimalnya adalah dua belas
tahun untuk anak laki-laki, dan sembilan tahun untuk anak perempuan. Alasannya,
usia tersebut bagi anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili
atau mengeluarkan mani (diluar mimpi), sedang pada anak perempuan dapat mimpi
keluar sperma, hamil atau haidh.[22]
Batas usia perkawinan di Turki tertulis dalam The Turkis Civil
Code 1954, sebuah pembaruan hukum dari ketentuan sebelumnya, yakni Otoman
Law of Family Right 1917, pasal 4, dan dalam The Turkish Family Law of
Cyprus tahun 1951 pasal 6 diatur tentang usia pernikahan. Bagi laki-laki,
batas usia perkawinan minimal 18 tahun, dan bagi perempuan 17 tahun. Sedangkan
dalam pasal 5 dan 6 dijelaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan dalam
keadaan sangat memaksa, pengadilan memberikan ijin perkawinan kepada laki-laki
15 tahun dan perempuan berusia 14 tahun.[23] Pemberian ijin perkawinan ini setelah mendengar penjelasan dari
orang tua kedua mempelai. Saat ini, usia yang berlaku bagi laki-laki dan
perempuan untuk menikah adalah 17 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi
perempuan. Bahkan dalam beberapa kasus, pengadilan telah mendengar penjelasan
dari orang tua (pengasuh/wali), memberikan ijin perkawinan pada laki-laki yang
berusia 15 tahun dan 14 tahun bagi perempuan.[24]
3.
Larangan Melakukan Pernikahan
UU Turki menetapkan beberapa katagori larangan larangan dalam penyatuan
melalui ikatan pernikahan. Yaitu dimana calon mempelai masih mempunyai hubungan
darah dalam garis langsung, saudara laki-laki, perempuan, bibi, paman,
keponakan, saudara seibu, saudara seayah, dan juga melalui perkawinan. Pengadilan Turki juga mengenalkan adopsi
secara khusus.
Dalam pengadilan, adopsi disebut sebagai salah satu penghalang
pernikahan, walaupun secara legal dalam yurisprodensi Islam tidak disebutkan.
Pasal 121 UU Turki menegaskan bahwa adopsi dapat dihentikan oleh fakta
pernikahan atau sebuah pernyataan bahwa pernikahan pernah terjadi. [25]
4.
Poligami
UU Turki melarang adanya perkawinan diatas perkawinan yang masih
berlaku. Jadi sebelum adanya pernyataan tentang bubarnya perkawinan yang
pertama. Melalui UU hukum keluarga turki code
civil 1926, sepertinya negara Turki mempelihatkan keseriusannya dalam
melarang praktik poligami. Dengan memberikan regulasi tidak diperbolehkannya
poligami dalam suatu pernikahan, kecuali pernikahan pertama telah bubar maka
setelah itu diperbolehkan menikah kembali dengan pasangan yang lain.[26]
Dalam rangka melalukan pembaharuan hukum
keluarga, masalah poligami termasuk dalam salah satu materi hukum yang
diperbaharui oleh Turki, karena dalam undang-undang sebelumnya Turki
memperbolehkan poligama, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam The Ottoman Law of Family Rights tahun
1917, pasal 74 menjelaskan bahwa suami boleh poligami dengan syarat harus
berlaku adil kepada para isterinya. Tetapi isteri berhak membuat taklik talak
pada waktu akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikah lagi. Kalau suami
melanggar, maka isteri berhak minta cerai.
Alasan pelarangan poligami ini dilakukan
kearena muncul keinginan yang kuat meningkatkan perlindungan terhadap kaum
wanita dan hak-hak mereka dalam ikatan keluarga yang kokoh maupun dalam
mengekspresikan dirinya dan perannya dalam kehidupan sosial dan ekonomi melalui
sistem legislasi hukum Islam. Di samping itu dirasakan pada konsep fikih kalsik
hukum keluarga yang selama ini menjadi acuan pelaksanaan hukum tradisional dirasakan
tidak lagi mencukupi kebutuhan sosial, apalagi selama berabad-abad cendrung
mempertontonkan superioritas kaum laki-laki atas kaum wanita. Terkadang kondisi
ini dimanfaatkan oleh sebahagian orang untuk menuruti hawa nafsunya tanpa
memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan keluarga yang dibangun.[27]
5.
Resepsi Pernikahan
Disebutkan dalam UU Sipil Turki, bahwa resepsi
pernikahan boleh dirayakan sesuai dengan agama yang dianut, hanya saja,
sebaiknya syarat-syarat formalitas seperti pendaftaran atau pencatatan
perkawinan dipenuhi dulu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
6.
Pembatalan Pernikahan
Pembatalan pernikahan dapat diajukan
dalam aturan hukum keluarga Turki, hal ini sesuai dengan alasan yang telah
dimuat dalam undang-undang sipil Turki sebagi berikut:
a) Salah satu pihak telah berumah
tangga saat menikah.
b) Salah satu pihak pada saat menikah
menderita dakit jiwa atau penyakit permanen lain.
c) Pernikahan termasuk yang dilarang.[28]
7.
Pernikahan yang Tidak Sah
Undang-undang
Turki memberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan
sesuai alasan alasan yang telah ditetapkan, yaitu:
a)
Bahwa pada saat
nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami isteri yang merasa dirugikan
yang dipengaruhi oleh suatu alasan yang biasa melekat pada kasus
yang bersifat sementara
b)
Bahwa salah
satu pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan
atau menikahi pasangannya.
c)
Bahwa salah
satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa
pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang siinginkan sehingga membuat
kehidupan perkawinan tidak dapat si tolelit untuk teurs dilembagakan.
d)
Bahwa salah
satu pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter
dan moral.
e)
Bahwa salah
satu pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia
anak anak.
f)
Bahwa salah
satu pihak dipaksa menikah dengan ancaman yang membahayakan kehidupan,
kesehatan, financial atau membahayakan kerabat dekat.[29]
8.
Pernikahan Beda Agama
Mengenai aturan tentang pernikahan beda agama
dapat ditelusuri melalui UU Pekawinan
dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang
Turki, dengan menjelaskan bahwa diantara
perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita Muslim dengan pria non-Muslim.[30]
9.
Perceraian
Undang-undang Turki membolehkan suami istri
mengajukan permohonan untuk bercerai melalui pengadilan. Talak adalah suami,
tetapi menurut Hanafi; talak dapat jatuh dari pihak selain suami denan izinnya.
Dengan cara mewakilkan atau tertulis melalui surat.[31]
Agama Islam membolehkan perceraian bila tidak mendapatkan solusi yang baik
dalam perselisihan perkawinan.
Ada 6 hal yang membolehkan suami
istri menuntut pengasilan mengeluarkan dekrit perceraian yaitu ;
a) Salah satu pihak telah memutuskan
b) Salah satu pihak menyebabkan luka
bagi pihak lain
c) Salah satu pihak telah melakukan
tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir untuk
dilanjutkan.
d) Salah satu pihak telah pindah rumah
dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang jelas selama sekurang kurangnya
3 bulan.
e) Salah satu pihak menderita penyakit
mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bida ditolelir, yang dinyatakan
dengan keterangan dokter dalam periode sekurang kurangnya 3 Tahun.
f) Hubungan suami istri sedekian tegang
sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir.
Dalam undang-undang Turki ditetapkan bahwa
pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus dibanyar salah satu dari
suami istri untuk pasangan yang disakiti. Ganti rugi yang dimaksud, jika sang
istri dirugikan karena tidak dapat dilanyani oleh suami, sang istri tetap
mendapatkan nafkah.[32]
10.
Hukum Waris
Tentang Kewarisan dalam UU Sipil Turki diatur dalam buku ketiga.
Buku ini memuat tentang aturan kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU
Sipil Swiss. Undang-undang ini sekaligus menggantikan UU Hanafi yang berlaku
sebelumnya hingga tahun 1926.
Dalam UU kewarisan ini, prinsip kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang berkaitan dengan warisan, berbeda dengan apa yang ada dalam
hukum Islam, dimana laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama.
Sedang dalam Alquran, laki-laki mendapat bagian dua kali dari yang diterima
perempuan.[33]
D. Metode Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki
Undang-undang di beberapa negara sekali lagi
masih mendasarkan secara normatif terhadap teks-teks al-Qur'an walaupun dengan
penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang, kedua mendasarkan
pada siyasah shar'iyyah berupa adanya sanksi denda dan pidana bagi mereka yang
melanggar atau persyaratan administratif ijin poligami dengan persetujuan
isteri sebelumnya dan anutan madzhab masyarakat yang terus diikuti sebagai
kasus wali nikah.
Adapun metode pembaharuan hukum di beberapa
negara modern dengan cara 1) tahksis al-qada/siyasah shar'iyyah seperti
persyaratan dalam poligami dengan izin dari istri sebelumnya 2) reinterpretasi
teks dengan jalan qiyas seperti kasus poligami dan asas hukumnya dan 3) takhayyur
dan talfiq.[34]
Tahir Mahmood, menawarkan beberapa metode yaitu: 1). Extra
Doctrinal Reform yaitu penggabungan beberapa mazhab atau mengambil mazhab
lain diluar mazhab utama, 2). Intra Doctrinal Reform yaitu pembaruan
hukum dengan interpretasi yang sama sekali baru terhadap nash yang ada, 3). Regulatory
Reform yaitu positifikasi hukum-hukum yang bersifat administratif, 4). Codification
yaitu positifikasi hukum-hukum Islam klasik yang sudah ada[35]
Menilik dari beberapa metode diatas,
sepertinya Turki menggunakan prinsip tahayyur dalam aturan taklik talak
yang terdapat dalam UU tahun 1917 dimana isteri berhak mencantumkan dalam
taklik talak dalam masalah poligami. Adapun pelarangan poligami yang terdapat
dalam UU Sipil Turki 1926, menggunakan prinsip ijtihad dengan reinterpretasi
teks, yaitu penafsiran ulang terhadap Surat an-Nisa’(4): 3, bahwa keadilan
yang dibutuhkan untuk bolehnya poligami bukan hanya dalam hal nafkah, tapi juga
termasuk rasa cinta. Karena itu,
menurut Pearl sebagaimana yang dikutip
Khoiruddin Nasution dari Muslim Family Law, adanya perpindahan
dari esensi hukum Islam. Apa yang dimaksudkan Pearl ini adalah adanya usaha
penafsiran ulang terhadap teks nash untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
zaman. Dalam
penafsiran ulang ini tergantung dari pemahaman kontekstual masing-masing
mujtahid, ada yang menghubungkan dengan latar belakang turunnya ayat, dan
menghubungkan dengan an-Nisa : 129. Ada juga yang mengkaitkan dengan ayat
sebelumnya an-Nisa: 1-2, yang bisa disimpulkan bahwa an-Nisa: 3 berkaitan
dengan urusan harta anak yatim.[36]
Sedangkan pada hukum waris sepertinya Turki
lebih menggunakan metode intra doctrinal reform karena dalam hal ini
Turki yang telah mengadopsi hukum Swiss. Hal yang sangat jelas adalah
sebagaimana dalam Al-Qur`an telah menetapkan bahwa bagian dari laki-laki adalah
2 kali bagian perempuan. Sedangkan dalam undang-undang hukum keluarga Turki
bagian laki-laki dan perempuan disamakan. Dengan demikian jelas sekali bahwa
adanya reinterpretasi baru terhadap nash yang sudah ada.
Menurut penulis dalam beberapa aturan lain
terkait dengan aturan hukum keluarga di Turki tidak hanya terpaku pada satu
metode saja, akan tetapi ada beberapa metode yang digunakan dalam rangka
melakukan pembaharuan hukum keluarga di Turki. Dan hal ini wajar dalam rangka
untuk memenuhi dan menyesuaikan dengan kondisi zaman atau yang biasa disebut
dengan kontekstualisasi hukum Islam khususnya hukum keluarga.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Sejak tahun 1876 Turki Usmani telah menetapkan Undang-undang Sipil Islam (Majallat
al-Ahkam al-Adliya). Sedangkan untuk
kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur
secara resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab Hanafi. Dirasa
adanya “penjajahan” terhadap hak-hak perempuan, terutama dalam masalah perceraian,
maka pada tahun 1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya reformasi hukum
keluarga. Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan
Undang-Undang Hukum Keluarga yang diambil dari berbagai mazhab dengan
menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice). Undang-undang
tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family Rights atau Qanun
Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Usmaniyyah. Sebelumnya Turki pernah
mengadopsi The Swiss Civil Code Tahun 1912, yang kemudian
dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926). Pada tahun 1988-1992 terjadi amandemen guna
memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual
consents), nafkah isteri dan penetapan sementara selama proses perceraian
berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan pasca,
perceraian dan adopsi.
Pembaharuan materi hukum keluarga yang telah
dilakukan oleh Turki di antaranya: pertunangan, usia pernikahan, larangan
melakukan pernikahan, poligami, resepsi pernikahan, pembatalan pernikahan, pernikahan
yang tidak sah, pernikahan beda agama, perceraian, hukum waris
Adapun metode dalam melakukan pembaharuan
hukum keluarga di Turki tidak hanya terfokus pada satu metode saja, akan tetapi
Turki menggunakan beberapa metode dalam mengkontekstualisasikan hukum keluarga
yang sesuai dengan kondisi dan zaman.
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari banyaknya kekurangan, baik itu
kekurangan secara materi maupun referensi. Untuk itu penulis memohon kepada
pembaca untuk memberi masukan berupa kritikan dan saran yang konstruktif, agar
makalah ini dapat disempurnakan sebagaimana mestin
[1]Geografi Turki, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Turki pada tanggal 7 April 2018
[2]Ciryll Glasse, Ensiklopedi Islam, Alih Bahasa : Ghufron A. Mas`adi,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 311
[4]H. A. Mukhti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta :
Djambatan, 1994), hal. 152
[10]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (New Delhi :
The Indian Law Institut, 1972), hal. 15
[11]Ciryll Glasee, Op. Cit, hal. 416
[13]Singgih Kuswardono dkk, Masyarakat Turki, diakses dari https://kajiantimurtengah.wordpress.com/2010/12/08/masyarakat-turki/ pada tanggal 28 April 2018
[14]Tahir Mahmood, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs
and Comparative Analysis), (New Delhi : Academy of Law and Religion, 1995),
hal. 82
[15]JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa : Machnun Husein, (Yogyakarta
: Tiara Wacana, 1994), hal. 272
[16]Tahir Mahmood, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs
and Comparative Analysis), Log. Cit
[17]Khairodin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta
: INIS, 2002), hal. 93
[18]Tahir Mahmood, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs
and Comparative Analysis), Op, Cit, hal. 83
[19]https://dokupdf.com/download/hukum-islam-_5a99f3a0d64ab2c0c7a32b2d_pdf diakses pada tanggal 25 April 2018
[20]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 19
[21]Muhammad Nasir, Perkembangan Hukum Islam di Turki, diakses dari blog
http://makalahhukumislamlengap.blogspot.co.id/2013/12/perkembangan-hukum-keluarga-islam-di.html
pada tanggal 23 April 2018
[22]M.
Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, Alih Bahasa : Afif Muhammad, (Jakarta:
Lentera, 2004), hal. 312
[23]Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam dengan Pendekatan Integratif
Interkonektif, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013),
hal. 103-104
[25]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 20
[26]Ahmad Qarib, “Peningkatan Hak dan Status Kaum Waminta dalam Hukum
Keluarga Studi Perbandingan Beberapa Negara Muslim”, dalam Jurnal Analitica
Islamica, Vol. 1, No. 1, 1999, hal. 97
[27]Nispul Khoiri, Poligami dalam HukuM Kekeluargaan Islam (Indonesia,
Turki, Tunisia, Afghanistan), dalam Jurnal An-Nadwah, Vol. XVIII, No. 1,
2013, hal. 128
[28]http://berbagilmublog.blogspot.co.id/2014/01/hukum-keluarga-di-negara-muslim.html diakses pada tanggal 27 April 2018
[30]Abd. Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama, (Jakarta
: (BPHN) Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2011), hal. 34
[32]http://berbagilmublog.blogspot.co.id/2014/01/hukum-keluarga-di-negara-muslim.html diakses pada tanggal 27 April 2018
[33]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal. 24
[35]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World Op.Cit, hal.
267-270
No comments:
Post a Comment