BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur`an adalah kitab suci kaum muslim yang
menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan
aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan
di akhirat. Karena itu tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslim tidak
hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menjaga autentisitasnya.[1]
Dalam memahami Al-Qur`an baik itu menafsirkan,
maupun menggali hukum diperlukannya kemampuan dan pemahaman terhadap ilmu yang
berkaitan dengan Al-Qur`an itu sendiri atau biasa disebut dengan ilmu Al-Qur`an
(studi Al-Qur`an).
Menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur`an adalah
penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia.
Kemampuan ini bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh
seorang penafsir dari Al-Qur`an bertingkat-tingkat pula. Kecendrungan manusia
juga berbeda-beda sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan ilahi dapat
berbeda antara satu dengan yang lain.[2]
Dalam menggali hukum di dalam Al-Qur`an,
seorang mufassir perlu untuk menguasai kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab)
karena Al-Qur`an diturunkan berbahasa Arab. Banyak bentuk lafaz yang terkandung
di dalam Al-Qur`an menjadikan ilmu kebahasaan sebagai suatu kemestian yang
dimiliki oleh para mufassir.
Banyak kaidah-kaidah kebahasaan yang telah
dirumuskan oleh para intelektual Islam seperti lafaz mutlaq dan muqayad. Tidak
sedikit ayat Al-Qur`an yang mengandung bentuk lafaz mutlaq dan muqayad ini.
Sebagian hukum terkadang muncul dengan bentuk mutlaq yang menunjukkan suatu
wujud yang umum dalam jenisnya., tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat
tertentu. Terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat, namun hakikat
individu itu tetap bagian dari jenisnya.[3]
Dalam makalah ini penulis akan mencoba
memaparkan beberapa hal yang terkait dengan konsep mutlaq dan muqayyad.
Sehingga dapat dipahami secara seksama mengenai bentuk-bentuk serta hal penting
terkait dengan lafaz mutlaq dan muqayyad,
B. Rumusan Masalah
Dalam rangka memudahkan penulis untuk menyusun
makalah ini, ada beberapa masalah yang penulis bahas. Berangkat dari definisi
mutlaq dan muqayad, kemudian macam-macam lafaz mutlaq dan muqayad, setelah itu
dilanjutkan dengan status hukum lafaz mutlaq dan muqayad, dan terakhir penulis
mencoba menganalisa persentuhan mutlaq dan muqayad dalam pembentukan hukum
Islam.
BAB II
KONSEP MUTLAQ DAN MUQAYAD
A. Definisi Lafaz Mutlaq dan Muqayad
1. Mutlaq
Kata mutlaq terambil dari akar
kata أطلق-يطلق-إطلاقا. Mutlaq secara etimologi berarti التحرر من القيد (bebas dari
batasan).[4]
Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dalam kitabnya
Mabahits fi `Ulumil Qur`an, Mutlaq adalah lafaz yang mununjukkan satu
hakikat (dalam satu kelompok) tanpa sesuatu qayid (pembatas). Jadi ia
hanya menunjuk pada satu zat tanpa ditentukan (yang mana) dari kelompok
tersebut. Lafaz mutlaq ini pada umumnya berbentuk lafaz nakirah.[5]
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Subki yang
mengemukakan definisi mutlaq sebagai berikut :
اللفظ الدال على الماهية بلا قيد من وحدة أو غيرها[6]
“Suatu lafaz yang menunjukkan terhadap makna
substansi (hakikat) tanpa adanya batasan baik terhadap salah satu atau yang
lainnya”
Di samping itu Dr. Muhammad Ali Hasan juga
mengemukakan definisi :
ما دل على فرد شائع غير مقيد لفظا[7]
“Segala sesuatu yang menunjukkan terhadap
sesuatu yang bersifat luas tanpa dikaitkan secara lafaz”
Salah satu contoh dari lafaz mutlaq ini
sebagaimana firman Allah :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَتَمَاسَّا
“Dan orang-orang yang menzihar istrinya
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka katakan, maka
merdekakanlah budak sebelum bercampur”
Kata رَقَبَةٍ dalam ayat tersebut merupakan bentuk lafaz mutlaq, hal ini
dikarenakan dalam ayat di atas Allah hanya memerintahkan untuk memerdekakan
“budak”. Kata “budak” di sana tidak dibatasi dengan sifat tertntu, sehingga
yang dipahami bisa saja memerdekakan budak apa pun baik dia muslim atau kafir
misalnya. Karena kata رَقَبَةٍ menunkukkan individu, akan tetapi individu tersebut masil luas
cakupannya dikarenakan tidak dibatasi oleh sesuatu.
Beberapa definisi di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan mutlaq adalah suatu lafaz yang bermakna hakikat atau sesuatu yang
bersifat luas dikarenakan tidak adanya penghubung dalam lafaz tersebut. Yang
dapat dipahami adalah apabila satu lafaz ini menunjukkan sesuatu namun masih
luas cakupannya dengan artian tidak ada pembatas dalam lafaz tersebut, maka
dapat dikatakan lafaz tersebut merupakan bentuk kata yang mutlaq.
Jika kita pahami secara sekilas, mungkin memang sulit
untuk membedakan antara lafaz `amm dengan lafaz mutlaq ini. Dalam hal ini Abdul
Wahab Khallaf mengemukakan perbedaan yang mendasar dalam kedua lafaz ini yaitu;
bahwa lafaz yang umum menunjukkan atas peliputan tiap-tiap individu dari
individu-individunya. Sedangkan lafaz mutlaq menunjukkan atas individu yang
menyebar, atau beberapa individu yang menyebar, namun tidak meliputi seluruh
individu-individunya.[8]
2.
Muqayad
Selain bentuk lafaz mutlaq, juga dikenal bentuk
lafaz yang muqayad. Dalam materi bentuk ini, peletakan mutlaq dan muqayad
selalu beriringan. Dengan demikian akan penulis jelaskan mengenai definisi muqayad.
Ada beberapa definisi muqayad yang dikemukakan
dalam beberapa buku Studi Al-Qur`an di antaranya :
ما كان من الألفاظ الدالة على مدلول معين[9]
“Segala sesuatu yang ada dari lafaz-lafaz yang menunjukkan terhadap maksud
yang jelas”
ما
كان من الألفاظ دالًّا على وصفٍ, مدلوله المطلق بصفة زائدة عليه[10]
“Segala sesuatu yang ada dari lafaz-lafaz
dalam keadaan menunjukkan terhadap sifat, yang ditunjukinya adalah lafaz mutlaq
dengan sifat tambahan terhadap lafaz mutlaq tersebut”
Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dan yang dimaksud dengan muqayad
adalah :
هو ما دل على الحقيقة بقيد[11]
“Sesuatu
yang menunjukkan hakikat dengan qayid (batasan)”
Senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh
Muhammad Ahmad Muhammad :
المطلق ما دل على الحقيقة
بلا قيد؛ فهو يتناول واحدا ما بدون تعيين[12]
“Mutlaq adalah segala sesuatu yang menunjukkan
hakikat tanpa batasan; yaitu mengambil satuan tanpa adanya kejelasan”
Mengenai lafaz muqayad ini, tidak hanya
dikenal dalam studi Al-Qur`an, akan tetapi juga menjadi kajian penting dalam
ilmu ushul fiqh, sehingga ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ahli
ushul. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Khudari biek bahwa muqayad adalah
perkataan yang menunjukkan satu objek atau beberapa objek tersebut dengan
ikatan menurut lafaz.[13]
Sebagai contoh sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-An`am 145 :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah
“tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi.....”
Dalam ayat di atas terdapat lafaz muqayad, yaitu
kata-kata دَمًا
مَسْفُوحًا. Sehingga kata دَمًا مَسْفُوحًا mempunyai
makna “darah yang mengalir”. Kata ini disebut dengan lafaz yang muqayad karena
menunjukkan sifat darah yang dalam keadaan mengalir. Namun jika disebut dengan
kata دَمًا
saja. Maka kata tersebut disebut dengan lafaz yang mutlaq.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan muqayad adalah suatu lafaz yang menunjukkan hakikat dengan
batasan, dan terkadang batasan tersebut berbentuk sifat ataupun dengan jenis
dan yang disifati itu ketika sebelum memiliki sifat atau jenis (batasan)
merupakan kata yang berbentuk mutlaq.
B. Macam-macam Lafaz Mutlaq dan Muqayad
1. Shighat Mutlaq
Dengan
demikian, shighat
mutlaq adalah isim nakirah
yang hakiki dalam konteks kalimat positif (itsbat), bukan negatif (nafy). Sementara isim nakirah yang hakiki tersebut bisa berada
dalam struktur kalimat:
a.
Perintah yang menggunakan mashdar
(kata jadian)
Kalimat
perintah mempunyai banyak uslub
(gaya bahasa), di antaranya menggunakan mashdar kata kerja transitif. Jika isim
nakirah berada dalam struktur kalimat seperti ini, maka statusnya adalah mutlaq.
Misalnya, firman Allah:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
“Maka, hendaknya memerdekakan budak...” (QS. an-Nisa : 92).
Lafazh: tahrir (hendaknya memerdekakan) adalah bentuk mashdar dari: Harrara-yuharriru-tahriran.
Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah isim nakirah yang berada dalam struktur
kalimat perintah dengan menggunakan mashdar.
b.
Perintah yang menggunakan kata kerja
Jika
isim
nakirah
berada dalam struktur kalimat
perintah yang menggunakan kata kerja transitif, maka statusnya
adalah mutlaq. Misalnya:
حَرِّر رَقَبَةً
“Memerdekakanlah budak perempuan.”
Lafazh: harrir
(memerdekakanlah) adalah bentuk kata kerja perintah (fi`il al-amr). Sedangkan: raqabah (budak
perempuan) adalah isim nakirah yang berada dalam struktur kalimat perintah
dengan menggunakan kata kerja perintah. Maka, lafazh tersebut juga merupakan
bentuk lafazh mutlaq.
c. Berita dalam konteks kekinian dan futuristik (al-Mudhari`)
Jika isim nakirah berada dalam struktur
kalimat berita yang menggunakan kata kerja transitif berbentuk al-Mudhari`,
maka statusnya adalah mutlaq. Misalnya:
أُحَرِّرُ رَقَبَةً
“Saya akan
memerdekakan budak perempuan.”
Lafazh: uharriru (saya akan
memerdekakan) adalah bentuk kata kerja kekinian dan futuristik (fi`il al-Mudhari`). Sedangkan: raqabah (budak
perempuan) adalah isim nakirah yang berada dalam struktur kalimat berita
dengan menggunakan kata kerja al-Mudhari`. Maka, lafazh raqabah tersebut bisa disebut lafazh mutlaq. Mengapa
bukan fi`il
al-Madhi? Sebab, kata kerja tersebut
mempunyai konotasi masa lalu, atau aktivitas yang sudah lewat. Konsekuensinya,
beritanya atau raqabah (budak perempuan) yang dibebaskan pasti tertentu
untuk budak yang sudah dibebaskan, bukan yang lain.[14]
2. Shigat Muqayad
Sementara muqayad –lafazh yang telah
dihilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli maupun juz`i bentuknya sebagai berikut:
a.
Isim Al-`Alam
Nama (isim al-`alam) bisa menjadi
taqyid -yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara kulli
(menyeluruh). Misalnya:
سَأَزُوْرُ
رَجُلاً اِسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
Saya akan
mengunjungi seorang laki-laki, namanya Muhammad bin `Abdullah.
Cakupan jenis “orang
laki-laki” telah hilang dan telah ditentukan hanya Muhammad bin Abdullah, bukan
Muhammad bin `Ali atau yang lain.
b.
Isyarah
Isyarat (al-isyarah) bisa menjadi
taqyid yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara kulli
(menyeluruh). Misalnya:
أكْرِمُ
مُسْلِمًا هُوَ هَذَا
Saya akan memuliakan seorang muslim; inilah
dia (orangnya).
Cakupan jenis “orang muslim” telah hilang dan
telah ditentukan hanya orang ini, bukan itu, atau yang lain.
c.
Sifat
Sifat (al-washf), atau lain-lain yang
sejenis seperti syarat dan ghayah bisa menjadi taqyid yang
menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara juz`i (parsial).
Misalnya:
أكْرِمُ
مُسْلِمًا عِرَاقِيًّا
Saya menghormati muslim Irak.
Cakupan jenis “orang muslim” telah hilang dan
telah ditentukan hanya muslim Irak, bukan yang lain, sementara jenis muslim
yang lain tetap mutlaq. Mutlaq
seperti ini disebut mutlaq dua arah : di satu sisi mutlaq, di sisi lain muqayad.[15]
Dalam kaitannya mengenai macam-macam lafaz
mutlaq dan muqayad dapat dilihat dalam beberapa bentuk, di antaranya :
1. Suatu lafal dipakai dengan mutlaq
pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayad.
2.
Lafal mutak dan muqayad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3.
Lafal mutlaq dan muqayad yang berlaku pada nash itu berbeda,
baik dalam .hukumnya
ataupun sebab hukumnya.
4.
Mutlaq dan muqayad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab
hukumnya sama.
C. Status Hukum Lafaz Mutlaq dan Muqayad
Dalam sub bab ini, akan dijelaskan bagaimana
status hukum ketika dalam satu redaksi ayat terdapat lafaz mutlaq, dan pada
redaksi ayat lain terdapat lafaz muqayad. Bagaimana keududukan lafaz mutlaq
pada redaksi ayat pertama, dan bagaimana pula status hukum lafaz mutlaq pada
ayat kedua.
Dalam pembahasan ini, tidak hanya dikaji dalam
Studi Ilmu Al-Qur`an, akan tetapi juga dikaji dalam Ilmu Ushul Fiqh. Sehingga
sedikit banyaknya, dalam pembahasan ini juga akan terdapat pendapat ahli ushul
fiqh.
Dalam status hukum dari lafaz mutlaq dan muqayad
ini dapat dikategorikan dalam empat bentuk di antaranya :[17]
1. Mutlaq dan muqayad adakalanya sama dalam sebab dan hukum
Adakalanya ketika menelaah lafaz mutlaq dan muqayad
yang terkandung dalam satu ayat dan dalam ayat lain sama dalam hukum dan sebab.
Maka dalam hal ini status lafaz mutlaq dibawakan kepada lafaz yang muqayad.[18]
Hal ini dapat dilihat dalam contoh surat
Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ
اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Diharamkan atasmu bangkai, dan darah, dan daging babi, (daging hwan) yang
disembelih selain atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan diharamkan bagimu juga mengundi nasib dengan anak panah,
mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah
kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini, telah
Kusempernakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Kuridhai agama Islam itu menjadi agamamu. Maka barang siapa terpaksa
karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
Lagi Maha Penyayang”
Dan sebagaimana dalam surat Al-An`am ayat 145
:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah “tiadalah
aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor, atau
binatang yang disembelih selain nama Allah. Barang siapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Apabila kita melihat potongan ayat pertama, di
sana terdapat kata الدَّمُ yang merupakan bentuk lafaz mutlaq, karena kata
tersebut tidak ada batasan tertentu. Dan pada potongan ayat kedua terdapat kata
دَمًا
مَسْفُوحًا yang mana kata tersebut merupakan bentuk lafaz yang muqayad
karena adanya sifat darah yang ditunjukkan yaitu “darah yang mengalir”.
Kemudian jika kita telaah lagi
bahwa hukum dalam ayat tersebut adalah satu yaitu mengenai “pengharaman” darah.
Dan dengan satu sebab. Maka dengan demikian dapat dipahami antara lafaz mutlaq
dan muqayad yang terdapat dalam dua ayat di atas sama antara hukum dan
sebabnya.
Oleh karena itu maka dibawakan
lafaz yang mutlaq kepada yang muqayad. Hal ini dikarenakan beramal dengan lafaz
muqayad berarti beramal dengan kedua ayat tersebut, sedangkan jika beramal
dengan lafaz mutlaq berarti hanya beramal dengan satu ayat saja. Maka beramal
dengan kedua ayat tersebut lebih utama daripada beramal hanya beramal dengan
satu ayat yang mutlaq saja.[19]
Dengan demikian jika ditemukan
dalam satu ayat terdapat lafaz mutlaq dan di ayat lain terdapat lafaz muqayad,
namun sama dalam hukum dan sabab. Maka dalam hal ini lafaz yang mutlaq tersebut
dibawakan kepada lafaz yang muqayad.
2. Mutlaq dan muqayad adakalanya berbeda dalam sebab dan hukum
Adakalanya antara lafaz mutlaq dan muqayad
berbeda dalam hukum dan berbeda juga dalam sebab. Untuk lebih jelasnya akan
dikemukakan contoh sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan mereka sebagai
pembalasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 6 juga
dikemukakan mengenai kata-kata “tangan” :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak
mendirikan salat maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai siku....”
Dalam hal ini, apabila berbeda antara sebab dan hukum
dalam lafaz mutlaq dan muqayad, maka tidak dibawakan lafaz yang mutlaq tersebut
kepada lafaz yang muqayad.
Dari contoh kedua ayat di atas
dapat kita pahami, bahwa pada pada potongan surat Al-Maidah ayat 38 kata أَيْدِيَ yang mana kata tersebut merupakan bentuk lafaz mutlaq, hal ini
dikarenakan kata أَيْدِيَ tidak memiliki batasan tertentu. Sedangkan pada potongan surat
Al-Maidah ayat 6 juga terdapat kata أَيْدِيَ namun berbeda pada surat Al-maidah ayat 38 dikarenakan pada
surat Al-Maidah ayat 6 dikaitkan dengan kepada kata الْمَرَافِقِ. Dengan demikian tidak diperkenankan dalam hal ini membawakan
yang mutlaq kepada yang muqayad. Hal ini dikarenakan berbedanya antara hukum
“pencurian dalam mutlaq” dan “wudhu dalam muqayad”, selain itu juga berbeda
hukum, yaitu antara “potong tangan pada yang mutlaq” dan “membasuh pada yang muqayad”.[20]
Menurut Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan,
jika terdapat dalil bahwa mutlaq telah dibatasi, maka yang mutlaq dibawa
kepada yang muqayad. Namun jika tidak terdapat dalil, maka mutlaq tidak boleh
dibawa kepada yang muqayad. Ia tetap dalam kemutlaqannya. Sebab Allah
berkomunikasi kepada kita dengan bahasa Arab. Apabila Allah tetap menetapkan
seuatu hukum dengan sifat ata syarat, kemudian terdapat pula ketetapn lain yang
bersifat mutlaq, maka mengenai yang mutlaq itu harus dipertimbangkan. Jika ia
tidak mempunyai hukum pokok, yang kepadanya ia dikembalikan, selain dari hukum
yang muqayad, maka ia wajib ditaqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum
pokok yang lain selain muqayad, maka mengembalikannya kepada salah satu dari
keduanya tidak lebih daripada mengembalikan kepada yang lain.[21]
3.
Mutlaq dan muqayad adakalanya berbeda dalam
sebab sama dalam hukum
Dalam hal ini ada dua bentuk :[22]
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya
dalam pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan
harus budak “beriman” dalam kafarah
pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman dalam surat An-nisa` ayat 92:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain) kecuali akrena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman....”
Sedangkan dalam kafarah zihar ia diungkapkan
secara mutlaq, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Mujadilah ayat
3 :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا
قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Dan orang-orang yang menzihar istrinya
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka katakan, maka
merdekakanlah budak sebelum bercampur...”
Dalam memahami ayat di atas, jika dilihat sebab dari
kedua ayat di atas, dapat ditemukan sebab yang berbeda. Pada potongan ayat
surat Al-Mujadilah ayat 3 memerdekakan budak dikarenakan menzihar istri, dan
pada potongan surat An-Nisa` ayat 92 disebabkan karena pembunuhan tersalah
terhadap orang mukmin. Dan jika melihat kepada hukum dari kedua ayat di atas
dapat ditemukan hukum yang sama yaitu memerdekakan budak. Akan tetapi dalam
ayat zihar diungkapkan dengan kata رَقَبَةٍ (mutlaq), dan pada ayat pembunuhan tersalah terhadap orang
mukmin diungkapkan dengan رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (muqayad).[23]
Dalam hal ini segolongan ulama, di antaranya Ulama
Malikiyah dan sebagian besar ulama Syafi`iyah, berpendapat, lafaz yang mutlaq
harus dibawa kepada yang muqayad tanpa memerlukan dalil lain. oleh karena itu
tidak sah memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar
sumpah. Sementara itu golongan lain, yaitu ulama mazhab Hanafi, berpendapat,
lafaz yang mutlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayad kecuali berdasarkan
dalil. Maka dipandang telah cukup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah
zihar dan melanggar sumpah.[24]
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dibawakan lafaz mutlaq
kepada lazaf yang muqayad, sehingga kedudukan lafaz yang mutlaq tetap dengan
kemutlaqannya.[25]
Argumentasi pendukung pendapat pertama (Syafi`iyah) ialah
bahwa kalamullah itu satu zatnya, tidak berbilang. Mereka juag mengatakan bahwa
mutlaq dan muqayad pada dasarnya seperti lafaz `amm dan khas, mujmal dan
mubayan. Maka apabila ada lafaz mutlaq dan muqayad, hal ini berarti bahwa lafaz
muqayad menjelaskan lafaz yang mutlaq.[26]
Dengan demikian jika telah ditentukan
syarat iman dalam kafarah pembunuhan, berarti ketentuan itu pun juga berlaku
bagi kafarah zihar.[27]
Kedua, taqyid (pembatasnya) berbeda. Misalnya :
“puasa kafarah” ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan,
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا
“Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah si pembunuh itu
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S An-Nisa` : 92)
Demikian juga dengan kafarah zihar :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا....
“Dan
barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur” (Q.S Al-Mujadilah : 3)
Berkaitan dengan puasa kafarah bagi
orang-orang yang mengerjakan haji tamattu` ditaqyidkan dengan “terpisah-pisah”
(maksudnya puasa itu tidak boleh dilakukan secara berturut-turut). Sebagaimana
firman Allah :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ
فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ
رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا
رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ
حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
terhalang oleh musuh atau karena sakit,
maka sembelihlah qurban, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban
sampai di temapt penyembelihannya jika ada di antaramu yang sakit atau gangguan
di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajib atasnya fidhah yaitu berpuasa, bersedekah, atau berqurban. Apabila kamu
telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji
(di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah di dapat. Tetapi
jika ia tidak mendapatkan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang kembali.
Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah)
bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar masjidil haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaannya” (Q.S Al-Baqarah : 196)
Kemudian ada lagi ketentuan puasa secara
mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan “berturut-turut” atau “terpisah pisah” dalam
mengqadha` puasa ramadahan :
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(Yaitu),
dalam beberapa hari yang ditentukan. Maka barang siapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. dan wajib bagi
orang yang menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah : 184)
Dari beberapa ayat di atas, pada ayat kafarah
puasa karena sebab pembunuhan, zihar, maupun melakukan haji tamattu` diqayidkan
dengan kata berturut-turut dan tidak berturut-turut. Sedangkan dalam mengqadha`
puasa yang ditinggalkan di bulan ramadhan tidak ada batasan (qayid). Sehingga
dalam hala ini lafaz yang mutlaq (mengqadha puasa ramadhan) tidak boleh
dibawakan kepada yang muqayad (puasa berturut-turut atau terpisah-pisah). Hal
ini dikarenakan meskipun pada sebab berbeda dan hukumnya sama adalah berpuasa,
namun pembatas yang terdapat dalam beberapa ayat berbeda-beda. Dan menurut
Manna` Khalil Al-Qattan membawa yang mutlaq kepada salah satu dua muqayad itu
merupakan tarjih atau menguatkan sesuatu tanpa ada penguat.[28]
4. Mutlaq dan muqayad adakalanya sama dalam sebab berbeda dalam hukum
Dalam hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai
kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkanmu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya supaya kamu bersyukur”
Dalam ayat di atas dapat dianalisa bahwa terdapatnya
lafaz mutlaq dan muqayad. Ketika Allah berbicara mengenai persoalan wudhu` فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِق, Allah menqayidkan tangan kepada siku dan ketiaka Allah
berbicara persoalan tayamum فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ Allah
menggunakan lafaz mutlaq, yaitu hanya kata “tangan” saja. Dapat dikatakan bahwa
sebab pada lafaz mutlaq dan muqayad ini sama yaitu karena adanya najis.
Sedangkan dalam hukum berbeda yaitu kata فَامْسَحُوا untuk lafaz mutlaq tangan dan kata فَاغْسِلُوا untuk lafaz muqayad yang dikaitkan dengan sampai siku. [29]
Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa
lafaz yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayad karena berlainan hukumnya.
Namun, Al-Ghazali, menukil dari mayoritas ulama Syafi`iyah bahwa mutlaq di sini
bisa dibawa kepada muqayad karena sebabnya sama sekalipun hukumnya berbeda.[30]
D. Persentuhan Kajian Lafaz Mutlaq dan Muqayad dalam Pembentukan Hukum Islam
Salah satu hal yang menarik dalam Al-Qur`an,
bahwa ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur`an memiliki keunikan bahasa dan gaya bahasa yang sangat indah. Sehingga
dalam memahami keunikan bahasa tersebut tidak dapat dipahami tanpa mempunyai
ilmu yang mapan. Hal ini dikarenakan, jika hanya memahami kata-kata yang
terdapat dalam Al-Qur`an tanpa memiliki keilmuan terkait dengan kebahasaan akan
menyimpang dari apa yang sebenarnya dimaksud oleh Allah.
Lafaz mutlaq dan muqayad merupakan hal yang
sangat penting dalam memahami ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur`an.
Ayat-ayat tersebut terkadang disusun dengan bentuk kata yang mutlaq dan
adakalanya juga disusun dengan bentuk kata yang muqayad. Sehingga untuk
menafsirkan lafaz-lafaz yang mutlaq maupun yang muqayad di dalam Al-Qur`an
diperlukan ilmu mengenai keidah-kaidah lafaz, khususnya mengenai lafaz mutlaq
dan muqayad.
Ketika berbicara mengenai bagaimana
persentuhan lafaz mutlaq dan muqayad dalam pembentukan hukum?. Hal ini jelas
bahwa kajian lafaz mutlaq dan muqayad sangat memberikan pengaruh yang
signifikan dalam pembentukan hukum, khususnya hukum Islam. Karena jika ada ada
seorang mujtahid yang tidak mampu atau tidak memiliki kemampuan dalam memahami
lafaz mutlaq dan muqayad, maka dapat dikatakan hasil ijtihadnya masih
diragukan. Karena tidak memiliki kemampuan dalam memahami bahasa baik bentuk
lafaz maupun kaidah-kaidah yang terkait dengan lafaz tersebut.
Di dalam Al-Qur`an yang juga terdiri dari
ayat-ayat hukum. Di antara ayat-ayat hukum tersebut memiliki bentuk kata yang
mutlaq dan muqayad. Ketika seseorang hendak menggali hukum atau melakukan
ijtihad terhadap ayat tersebut untuk mengeluarkan hukum, maka disinilah fungsi
pemahaman terhadap lafaz mutlaq dan muqayad ini. Karena jika tanpa adanya ilmu
terkait dengan ini maka akan menyulitkan dan membingungkan si mujtahid dalam
menetapkan hukum. Dan bisa saja hukum tersebut berbenturan dengan hukum yang
lain.
Sebagai contoh adanya persentuhan antara lafaz
mutlaq dan muqayad dalam pembentukan hukum Islam adalah ketika seseorang hendak
menggali hukum dalam rangka pembentukan hukum Islam. sebagaimana firman Allah
dalam Surat Al-maidah ayat 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan atasmu bangkai, dan darah, dan daging
babi....”
Dan sebagaimana dalam surat Al-An`am ayat 145
:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah
“tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi.....”
Dari dua potongan ayat di atas, terdapat lafaz
mutlaq dan muqayad. sehingga Bahkan dalam menetapkan atau membentuk hukum dari
dua potongan ayat di atas, diperlukan kemampuan untuk mengalisa lafaz mutlaq
dan muqayad dari ayat di atas.
Banyak contoh yang telah penulis kemukakan di
atas terkait lafaz mutlaq dan muqayad ini. Hal ini membuktikan bahwa memang
sangat diperlukannya pemhaman terhadap materi ini. Sehingga ketika melakukan
pembentukan hukum khususnya dalam menjawab persoalan kontemporer. Dapat dijawab
secara komprehensif, baik itu dengan memahami lafaz ayat tersebut, ataupun
memahami ayat dengan cara yang lain.
Ringkasnya, ilmu kebahasaan secara umum sangat
memberikan pengaruh besar terhadap penerapannya dalam pembentukan hukum. Dan
pemahaman terhadap mutlaq muqayad ini merupakan bagian dari ilmu kebahasaan tersebut,
sehingga kajian lafaz mutlaq dan muqayad ini sangat memberikan pengaruh besar
dalam penetapan ataupun pembentukan hukum khususnya hukum Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan yang telah penulis jelasnkan di
atas mengenai lafaz mutlaq dan muqayad, maka dapat disimpulkan :
Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan sesuatu
hakikat tanpa adanya batasan. Sedangkan muqayad adalah bentuk lafaz yang
menunjukkan hakikat dengan adanya batasan baik itu sifat tambahan terhadap
lafaz mutlaq tersebut atau yang lainnya.
Dalam macam-macam lafaz mutlaq dan muqayad
dapat kita lihat dari : pertama, shigat mutlaq yang terdiri perintah
yang menggunakan mashdar, perintah yang menggunakan kata kerja, dan
berita dalam konteks kekinian. Kedua, shigat muqayad di antaranya; Isim
Al-`Alam, Isyarah, dan sifat.
Ketika berbicara mengenai status hukum mutlaq
dan muqayad dapat dikategorikan dalam empat bentuk untuk mengetahui bagaimana
kedudukan hukum lafaz mutlaq dan muqayad tersebut ; (1) Lafaz mutlaq dan muqayad
sama dalam sebab dan hukum (2) Lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam sebab dan
hukum. (3) Lafaz mutlaq dan muqayad sama dalam sebab dan berbeda dalam hukum. (4)
Lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam sebab dan sama dalam hukum.
Adapun bentuk persentuhan lafaz mutlaq dan muqayad
terhadap pembentukan hukum. dalam menggali hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an
yang dilakukan adalah menganalisa susunan kata. Sehingga ilmu kebahasaan
merupakan unsur yang sangat penting dalam melakukan pembentukan hukum.
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi konten maupun referensi. Untuk
itu penulis berharap kepada pembaca untuk dapat memberikan kritikan atau pun
saran agar makalah ini dapat disempurnakan sebagaimana mestinya.
[1]H.A Athaillah, Sejarah Alqur`an; Verifikasi tentang Otensitas Al-Qur`an,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 1
[3]Manna` Khalil Al-Qathan, Mabahits fi Ulumil Qur`an, (t.tp :
Haramain, t.th), hal. 245
[4]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Mausu`ah
Al-Qur`aniyah Al-Mukhtashah, (Mesir : Al-Majlis Al-A`la Lisyu`uni
Al-Islamiyah, 2002), hal. 164
[5]Manna` Khalil Al-Qathan, loc. cit.
[8]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Al-Azhar : Maktabah
Al-Dakwah, t.th), hal 182
[9]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op.Cit., hal.
257
[10]Muhammad Bakar Ismail, Dirasat Fi Ulumil Qur`an (t.tp: Dar
Al-Mannar, 1999), hal. 228
[11]Manna` Khalil Al-Qathan, Op.Cit., hal. 246
[12]Muhammad Ahmad Muhammad Mu`bad, Nafahat min Ulum Al-Qur`an, (Kairo :
Dar Al-Islam, 2005), hal. 85
[13]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Al-Fiqh, Terj Faiz El-Muttaqin, Ushul
Fiqih, (Jakarta : Pustaka Amani,
2007), hal.422
[14]Artikel Hendra, Lafaz Mutlaq dan Muqayad dalam Al-Qur`an dan Hadis, Dikutip
dari https://www.tongkronganislami.net/mutlaq-dan-muqayad-dalam-al-quran-dan-hadis/ diakses pada tanggal 20 November 2017
[15]Ibid.
[17]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit., hal.
165
[18]Manna` Khalil Al-Qathan, Op. Cit., hal. 246
[19]Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur`an, (Huquq
At-Thab`a Mahfudzah Lilmuallif, 2003), hal 442
[20]Ibid.
[21]Baharuddin Az-Zarkasy, Al-Burhan fi Ulumil Qur`an Juz II, Muhaqqiq :
Muhammad Abu Fadhl Ibrahim, (Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah Isa Al-Babi Al-Hali
wa Syirkaihi, 1957), hal. 15
[23]Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-rumi, loc. cit.
[24]Manna` Khalil Al-Qathan, loc. cit.
[25]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit., hal.
166
[27]Manna` Khalil Al-Qathan, loc. cit.
[29]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit., hal.
166
[30]Manna` Khalil Al-Qathan, Op. Cit., hal. 246
syukron, jazakallah
ReplyDelete