Wednesday, January 16, 2019

STUDI ILMU AL-QUR`AN (MUTLAQ DAN MUQAYYAD)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur`an adalah kitab suci kaum muslim yang menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslim tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga autentisitasnya.[1]
Dalam memahami Al-Qur`an baik itu menafsirkan, maupun menggali hukum diperlukannya kemampuan dan pemahaman terhadap ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur`an itu sendiri atau biasa disebut dengan ilmu Al-Qur`an (studi Al-Qur`an).
Menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur`an adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan ini bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al-Qur`an bertingkat-tingkat pula. Kecendrungan manusia juga berbeda-beda sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan ilahi dapat berbeda antara satu dengan yang lain.[2]
Dalam menggali hukum di dalam Al-Qur`an, seorang mufassir perlu untuk menguasai kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab) karena Al-Qur`an diturunkan berbahasa Arab. Banyak bentuk lafaz yang terkandung di dalam Al-Qur`an menjadikan ilmu kebahasaan sebagai suatu kemestian yang dimiliki oleh para mufassir.
Banyak kaidah-kaidah kebahasaan yang telah dirumuskan oleh para intelektual Islam seperti lafaz mutlaq dan muqayad. Tidak sedikit ayat Al-Qur`an yang mengandung bentuk lafaz mutlaq dan muqayad ini. Sebagian hukum terkadang muncul dengan bentuk mutlaq yang menunjukkan suatu wujud yang umum dalam jenisnya., tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat tertentu. Terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat, namun hakikat individu itu tetap bagian dari jenisnya.[3]
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa hal yang terkait dengan konsep mutlaq dan muqayyad. Sehingga dapat dipahami secara seksama mengenai bentuk-bentuk serta hal penting terkait dengan lafaz mutlaq dan muqayyad,
B.     Rumusan Masalah
Dalam rangka memudahkan penulis untuk menyusun makalah ini, ada beberapa masalah yang penulis bahas. Berangkat dari definisi mutlaq dan muqayad, kemudian macam-macam lafaz mutlaq dan muqayad, setelah itu dilanjutkan dengan status hukum lafaz mutlaq dan muqayad, dan terakhir penulis mencoba menganalisa persentuhan mutlaq dan muqayad dalam pembentukan hukum Islam.


BAB II
KONSEP MUTLAQ DAN MUQAYAD
A.    Definisi Lafaz Mutlaq dan Muqayad
1.      Mutlaq
Kata mutlaq terambil dari akar kata أطلق-يطلق-إطلاقا.  Mutlaq secara etimologi berarti التحرر من القيد (bebas dari batasan).[4]
Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dalam kitabnya Mabahits fi `Ulumil Qur`an, Mutlaq adalah lafaz yang mununjukkan satu hakikat (dalam satu kelompok) tanpa sesuatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk pada satu zat tanpa ditentukan (yang mana) dari kelompok tersebut. Lafaz mutlaq ini pada umumnya berbentuk lafaz nakirah.[5] Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Subki yang mengemukakan definisi mutlaq sebagai berikut :
اللفظ الدال على الماهية بلا قيد من وحدة أو غيرها[6]
“Suatu lafaz yang menunjukkan terhadap makna substansi (hakikat) tanpa adanya batasan baik terhadap salah satu atau yang lainnya”
Di samping itu Dr. Muhammad Ali Hasan juga mengemukakan definisi :
ما دل على فرد شائع غير مقيد لفظا[7]
“Segala sesuatu yang menunjukkan terhadap sesuatu yang bersifat luas tanpa dikaitkan secara lafaz”
Salah satu contoh dari lafaz mutlaq ini sebagaimana firman Allah :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Dan orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka katakan, maka merdekakanlah budak sebelum bercampur”
Kata رَقَبَةٍ dalam ayat tersebut merupakan bentuk lafaz mutlaq, hal ini dikarenakan dalam ayat di atas Allah hanya memerintahkan untuk memerdekakan “budak”. Kata “budak” di sana tidak dibatasi dengan sifat tertntu, sehingga yang dipahami bisa saja memerdekakan budak apa pun baik dia muslim atau kafir misalnya. Karena kata رَقَبَةٍ menunkukkan individu, akan tetapi individu tersebut masil luas cakupannya dikarenakan tidak dibatasi oleh sesuatu.
Beberapa definisi di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan mutlaq adalah suatu lafaz yang bermakna hakikat atau sesuatu yang bersifat luas dikarenakan tidak adanya penghubung dalam lafaz tersebut. Yang dapat dipahami adalah apabila satu lafaz ini menunjukkan sesuatu namun masih luas cakupannya dengan artian tidak ada pembatas dalam lafaz tersebut, maka dapat dikatakan lafaz tersebut merupakan bentuk kata yang mutlaq.
Jika kita pahami secara sekilas, mungkin memang sulit untuk membedakan antara lafaz `amm dengan lafaz mutlaq ini. Dalam hal ini Abdul Wahab Khallaf mengemukakan perbedaan yang mendasar dalam kedua lafaz ini yaitu; bahwa lafaz yang umum menunjukkan atas peliputan tiap-tiap individu dari individu-individunya. Sedangkan lafaz mutlaq menunjukkan atas individu yang menyebar, atau beberapa individu yang menyebar, namun tidak meliputi seluruh individu-individunya.[8]
2.      Muqayad
Selain bentuk lafaz mutlaq, juga dikenal bentuk lafaz yang muqayad. Dalam materi bentuk ini, peletakan mutlaq dan muqayad selalu beriringan. Dengan demikian akan penulis jelaskan mengenai definisi muqayad.
Ada beberapa definisi muqayad yang dikemukakan dalam beberapa buku Studi Al-Qur`an di antaranya :
ما كان من الألفاظ الدالة على مدلول معين[9]
“Segala sesuatu yang ada dari lafaz-lafaz yang menunjukkan terhadap maksud yang jelas”
ما كان من الألفاظ دالًّا على وصفٍ, مدلوله المطلق بصفة زائدة عليه[10]
“Segala sesuatu yang ada dari lafaz-lafaz dalam keadaan menunjukkan terhadap sifat, yang ditunjukinya adalah lafaz mutlaq dengan sifat tambahan terhadap lafaz mutlaq tersebut”
Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dan yang dimaksud dengan muqayad adalah :
هو ما دل على الحقيقة بقيد[11]
“Sesuatu yang menunjukkan hakikat dengan qayid (batasan)”
Senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad Ahmad Muhammad :
المطلق ما دل على الحقيقة بلا قيد؛ فهو يتناول واحدا ما بدون تعيين[12]
“Mutlaq adalah segala sesuatu yang menunjukkan hakikat tanpa batasan; yaitu mengambil satuan tanpa adanya kejelasan”
Mengenai lafaz muqayad ini, tidak hanya dikenal dalam studi Al-Qur`an, akan tetapi juga menjadi kajian penting dalam ilmu ushul fiqh, sehingga ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Khudari biek bahwa muqayad adalah perkataan yang menunjukkan satu objek atau beberapa objek tersebut dengan ikatan menurut lafaz.[13]
Sebagai contoh sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An`am 145 :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah “tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi.....”
Dalam ayat di atas terdapat lafaz muqayad, yaitu kata-kata دَمًا مَسْفُوحًا. Sehingga kata دَمًا مَسْفُوحًا mempunyai makna “darah yang mengalir”. Kata ini disebut dengan lafaz yang muqayad karena menunjukkan sifat darah yang dalam keadaan mengalir. Namun jika disebut dengan kata دَمًا saja. Maka kata tersebut disebut dengan lafaz yang mutlaq.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan muqayad adalah suatu lafaz yang menunjukkan hakikat dengan batasan, dan terkadang batasan tersebut berbentuk sifat ataupun dengan jenis dan yang disifati itu ketika sebelum memiliki sifat atau jenis (batasan) merupakan kata yang berbentuk mutlaq.
B.     Macam-macam Lafaz Mutlaq dan Muqayad
1.      Shighat Mutlaq
Dengan demikian, shighat mutlaq adalah isim nakirah yang hakiki dalam konteks kalimat positif (itsbat), bukan negatif (nafy). Sementara isim nakirah yang hakiki tersebut bisa berada dalam struktur kalimat:
a.       Perintah yang menggunakan mashdar (kata jadian)
Kalimat perintah mempunyai banyak uslub (gaya bahasa), di antaranya menggunakan mashdar kata kerja transitif. Jika isim nakirah berada dalam struktur kalimat seperti ini, maka statusnya adalah mutlaq. Misalnya, firman Allah:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Maka, hendaknya memerdekakan budak...” (QS. an-Nisa : 92).
Lafazh: tahrir (hendaknya memerdekakan) adalah bentuk mashdar dari: Harrara-yuharriru-tahriran. Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah isim nakirah yang berada dalam struktur kalimat perintah dengan menggunakan mashdar.
b.      Perintah yang menggunakan kata kerja
Jika isim nakirah berada dalam struktur kalimat perintah yang menggunakan kata kerja transitif, maka statusnya adalah mutlaq. Misalnya:

حَرِّر رَقَبَةً
Memerdekakanlah budak perempuan.
Lafazh: harrir (memerdekakanlah) adalah bentuk kata kerja perintah (fi`il al-amr). Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah isim nakirah yang berada dalam struktur kalimat perintah dengan menggunakan kata kerja perintah. Maka, lafazh tersebut juga merupakan bentuk lafazh mutlaq.
c.       Berita dalam konteks kekinian dan futuristik (al-Mudhari`)
Jika isim nakirah berada dalam struktur kalimat berita yang menggunakan kata kerja transitif berbentuk al-Mudhari`, maka statusnya adalah mutlaq. Misalnya:
أُحَرِّرُ رَقَبَةً
“Saya akan memerdekakan budak perempuan.”
Lafazh: uharriru (saya akan memerdekakan) adalah bentuk kata kerja kekinian dan futuristik (fi`il al-Mudhari`). Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah isim nakirah yang berada dalam struktur kalimat berita dengan menggunakan kata kerja al-Mudhari`. Maka, lafazh raqabah  tersebut bisa disebut lafazh mutlaq. Mengapa bukan fi`il al-Madhi? Sebab, kata kerja tersebut mempunyai konotasi masa lalu, atau aktivitas yang sudah lewat. Konsekuensinya, beritanya atau raqabah (budak perempuan) yang dibebaskan pasti tertentu untuk budak yang sudah dibebaskan, bukan yang lain.[14]
2.      Shigat Muqayad
Sementara muqayad –lafazh yang telah dihilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli maupun juz`i bentuknya sebagai berikut:
a.       Isim Al-`Alam
Nama (isim al-`alam) bisa menjadi taqyid -yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara kulli (menyeluruh). Misalnya:
 سَأَزُوْرُ رَجُلاً اِسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
Saya akan mengunjungi seorang laki-laki, namanya Muhammad bin `Abdullah.

Cakupan jenis orang laki-laki” telah hilang dan telah ditentukan hanya Muhammad bin Abdullah, bukan Muhammad bin `Ali atau yang lain.
b.      Isyarah
Isyarat (al-isyarah) bisa menjadi taqyid yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara kulli (menyeluruh). Misalnya:
 أكْرِمُ مُسْلِمًا هُوَ هَذَا
Saya akan memuliakan seorang muslim; inilah dia (orangnya).
Cakupan jenis “orang muslim” telah hilang dan telah ditentukan hanya orang ini, bukan itu, atau yang lain.
c.       Sifat
Sifat (al-washf), atau lain-lain yang sejenis seperti syarat dan ghayah bisa menjadi taqyid yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara juz`i (parsial). Misalnya:
 أكْرِمُ مُسْلِمًا عِرَاقِيًّا
Saya menghormati muslim Irak.

Cakupan jenis “orang muslim” telah hilang dan telah ditentukan hanya muslim Irak, bukan yang lain, sementara jenis muslim yang lain tetap mutlaq. Mutlaq seperti ini disebut mutlaq dua arah : di satu sisi mutlaq, di sisi lain muqayad.[15]
Dalam kaitannya mengenai macam-macam lafaz mutlaq dan muqayad dapat dilihat dalam beberapa bentuk, di antaranya :
1.      Suatu lafal dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayad.
2.      Lafal mutak dan muqayad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3.      Lafal mutlaq dan muqayad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam .hukumnya ataupun sebab hukumnya.
4.      Mutlaq dan muqayad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
5.      Mutlaq dan muqayad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.[16]
C.    Status Hukum Lafaz Mutlaq dan Muqayad
Dalam sub bab ini, akan dijelaskan bagaimana status hukum ketika dalam satu redaksi ayat terdapat lafaz mutlaq, dan pada redaksi ayat lain terdapat lafaz muqayad. Bagaimana keududukan lafaz mutlaq pada redaksi ayat pertama, dan bagaimana pula status hukum lafaz mutlaq pada ayat kedua.
Dalam pembahasan ini, tidak hanya dikaji dalam Studi Ilmu Al-Qur`an, akan tetapi juga dikaji dalam Ilmu Ushul Fiqh. Sehingga sedikit banyaknya, dalam pembahasan ini juga akan terdapat pendapat ahli ushul fiqh.
Dalam status hukum dari lafaz mutlaq dan muqayad ini dapat dikategorikan dalam empat bentuk di antaranya :[17]
1.      Mutlaq dan muqayad adakalanya sama dalam sebab dan hukum
Adakalanya ketika menelaah lafaz mutlaq dan muqayad yang terkandung dalam satu ayat dan dalam ayat lain sama dalam hukum dan sebab. Maka dalam hal ini status lafaz mutlaq dibawakan kepada lafaz yang muqayad.[18]
Hal ini dapat dilihat dalam contoh surat Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Diharamkan atasmu bangkai, dan darah, dan daging babi, (daging hwan) yang disembelih selain atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini, telah Kusempernakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai agama Islam itu menjadi agamamu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”

Dan sebagaimana dalam surat Al-An`am ayat 145 :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
 “Katakanlah “tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih selain nama Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Apabila kita melihat potongan ayat pertama, di sana terdapat kata الدَّمُ yang merupakan bentuk lafaz mutlaq, karena kata tersebut tidak ada batasan tertentu. Dan pada potongan ayat kedua terdapat kata دَمًا مَسْفُوحًا yang mana kata tersebut merupakan bentuk lafaz yang muqayad karena adanya sifat darah yang ditunjukkan yaitu “darah yang mengalir”.
Kemudian jika kita telaah lagi bahwa hukum dalam ayat tersebut adalah satu yaitu mengenai “pengharaman” darah. Dan dengan satu sebab. Maka dengan demikian dapat dipahami antara lafaz mutlaq dan muqayad yang terdapat dalam dua ayat di atas sama antara hukum dan sebabnya.
Oleh karena itu maka dibawakan lafaz yang mutlaq kepada yang muqayad. Hal ini dikarenakan beramal dengan lafaz muqayad berarti beramal dengan kedua ayat tersebut, sedangkan jika beramal dengan lafaz mutlaq berarti hanya beramal dengan satu ayat saja. Maka beramal dengan kedua ayat tersebut lebih utama daripada beramal hanya beramal dengan satu ayat yang mutlaq saja.[19]
Dengan demikian jika ditemukan dalam satu ayat terdapat lafaz mutlaq dan di ayat lain terdapat lafaz muqayad, namun sama dalam hukum dan sabab. Maka dalam hal ini lafaz yang mutlaq tersebut dibawakan kepada lafaz yang muqayad.
2.      Mutlaq dan muqayad adakalanya berbeda dalam sebab dan hukum
Adakalanya antara lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam hukum dan berbeda juga dalam sebab. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan contoh sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan mereka sebagai pembalasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 6 juga dikemukakan mengenai kata-kata “tangan” :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mendirikan salat maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai siku....”
Dalam hal ini, apabila berbeda antara sebab dan hukum dalam lafaz mutlaq dan muqayad, maka tidak dibawakan lafaz yang mutlaq tersebut kepada lafaz yang muqayad.
Dari contoh kedua ayat di atas dapat kita pahami, bahwa pada pada potongan surat Al-Maidah ayat 38 kata أَيْدِيَ yang mana kata tersebut merupakan bentuk lafaz mutlaq, hal ini dikarenakan kata أَيْدِيَ tidak memiliki batasan tertentu. Sedangkan pada potongan surat Al-Maidah ayat 6 juga terdapat kata أَيْدِيَ namun berbeda pada surat Al-maidah ayat 38 dikarenakan pada surat Al-Maidah ayat 6 dikaitkan dengan kepada kata الْمَرَافِقِ. Dengan demikian tidak diperkenankan dalam hal ini membawakan yang mutlaq kepada yang muqayad. Hal ini dikarenakan berbedanya antara hukum “pencurian dalam mutlaq” dan “wudhu dalam muqayad”, selain itu juga berbeda hukum, yaitu antara “potong tangan pada yang mutlaq” dan “membasuh pada yang muqayad”.[20]
Menurut Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan, jika terdapat dalil bahwa mutlaq telah dibatasi, maka yang mutlaq dibawa kepada yang muqayad. Namun jika tidak terdapat dalil, maka mutlaq tidak boleh dibawa kepada yang muqayad. Ia tetap dalam kemutlaqannya. Sebab Allah berkomunikasi kepada kita dengan bahasa Arab. Apabila Allah tetap menetapkan seuatu hukum dengan sifat ata syarat, kemudian terdapat pula ketetapn lain yang bersifat mutlaq, maka mengenai yang mutlaq itu harus dipertimbangkan. Jika ia tidak mempunyai hukum pokok, yang kepadanya ia dikembalikan, selain dari hukum yang muqayad, maka ia wajib ditaqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum pokok yang lain selain muqayad, maka mengembalikannya kepada salah satu dari keduanya tidak lebih daripada mengembalikan kepada yang lain.[21]
3.      Mutlaq dan muqayad adakalanya berbeda dalam sebab sama dalam hukum
Dalam hal ini ada dua bentuk :[22]
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya dalam pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman”  dalam kafarah pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman dalam surat An-nisa` ayat 92:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali akrena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman....”
Sedangkan dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Mujadilah ayat 3 :
 وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Dan orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka katakan, maka merdekakanlah budak sebelum bercampur...”
Dalam memahami ayat di atas, jika dilihat sebab dari kedua ayat di atas, dapat ditemukan sebab yang berbeda. Pada potongan ayat surat Al-Mujadilah ayat 3 memerdekakan budak dikarenakan menzihar istri, dan pada potongan surat An-Nisa` ayat 92 disebabkan karena pembunuhan tersalah terhadap orang mukmin. Dan jika melihat kepada hukum dari kedua ayat di atas dapat ditemukan hukum yang sama yaitu memerdekakan budak. Akan tetapi dalam ayat zihar diungkapkan dengan kata رَقَبَةٍ (mutlaq), dan pada ayat pembunuhan tersalah terhadap orang mukmin diungkapkan dengan رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (muqayad).[23]
Dalam hal ini segolongan ulama, di antaranya Ulama Malikiyah dan sebagian besar ulama Syafi`iyah, berpendapat, lafaz yang mutlaq harus dibawa kepada yang muqayad tanpa memerlukan dalil lain. oleh karena itu tidak sah memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah. Sementara itu golongan lain, yaitu ulama mazhab Hanafi, berpendapat, lafaz yang mutlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayad kecuali berdasarkan dalil. Maka dipandang telah cukup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah.[24] Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dibawakan lafaz mutlaq kepada lazaf yang muqayad, sehingga kedudukan lafaz yang mutlaq tetap dengan kemutlaqannya.[25]
Argumentasi pendukung pendapat pertama (Syafi`iyah) ialah bahwa kalamullah itu satu zatnya, tidak berbilang. Mereka juag mengatakan bahwa mutlaq dan muqayad pada dasarnya seperti lafaz `amm dan khas, mujmal dan mubayan. Maka apabila ada lafaz mutlaq dan muqayad, hal ini berarti bahwa lafaz muqayad menjelaskan lafaz yang mutlaq.[26] Dengan demikian  jika telah ditentukan syarat iman dalam kafarah pembunuhan, berarti ketentuan itu pun juga berlaku bagi kafarah zihar.[27]
Kedua, taqyid (pembatasnya) berbeda. Misalnya : “puasa kafarah” ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan,
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah si pembunuh itu berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S An-Nisa` : 92)

Demikian juga dengan kafarah zihar :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا....
“Dan barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur” (Q.S Al-Mujadilah : 3)

Berkaitan dengan puasa kafarah bagi orang-orang yang mengerjakan haji tamattu` ditaqyidkan dengan “terpisah-pisah” (maksudnya puasa itu tidak boleh dilakukan secara berturut-turut). Sebagaimana firman Allah :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung terhalang oleh musuh  atau karena sakit, maka sembelihlah qurban, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban sampai di temapt penyembelihannya jika ada di antaramu yang sakit atau gangguan di kepalanya  (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya fidhah yaitu berpuasa, bersedekah, atau berqurban. Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaannya” (Q.S Al-Baqarah : 196)

Kemudian ada lagi ketentuan puasa secara mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan “berturut-turut” atau “terpisah pisah” dalam mengqadha` puasa ramadahan :
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(Yaitu), dalam beberapa hari yang ditentukan. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. dan wajib bagi orang yang menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah : 184)

Dari beberapa ayat di atas, pada ayat kafarah puasa karena sebab pembunuhan, zihar, maupun melakukan haji tamattu` diqayidkan dengan kata berturut-turut dan tidak berturut-turut. Sedangkan dalam mengqadha` puasa yang ditinggalkan di bulan ramadhan tidak ada batasan (qayid). Sehingga dalam hala ini lafaz yang mutlaq (mengqadha puasa ramadhan) tidak boleh dibawakan kepada yang muqayad (puasa berturut-turut atau terpisah-pisah). Hal ini dikarenakan meskipun pada sebab berbeda dan hukumnya sama adalah berpuasa, namun pembatas yang terdapat dalam beberapa ayat berbeda-beda. Dan menurut Manna` Khalil Al-Qattan membawa yang mutlaq kepada salah satu dua muqayad itu merupakan tarjih atau menguatkan sesuatu tanpa ada penguat.[28]
4.      Mutlaq dan muqayad adakalanya sama dalam sebab berbeda dalam hukum
Dalam hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya supaya kamu bersyukur”
Dalam ayat di atas dapat dianalisa bahwa terdapatnya lafaz mutlaq dan muqayad. Ketika Allah berbicara mengenai persoalan wudhu`  فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِق, Allah menqayidkan tangan kepada siku dan ketiaka Allah berbicara persoalan tayamum فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ Allah menggunakan lafaz mutlaq, yaitu hanya kata “tangan” saja. Dapat dikatakan bahwa sebab pada lafaz mutlaq dan muqayad ini sama yaitu karena adanya najis. Sedangkan dalam hukum berbeda yaitu kata فَامْسَحُوا untuk lafaz mutlaq tangan dan kata فَاغْسِلُوا untuk lafaz muqayad yang dikaitkan dengan sampai siku. [29]
Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa lafaz yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayad karena berlainan hukumnya. Namun, Al-Ghazali, menukil dari mayoritas ulama Syafi`iyah bahwa mutlaq di sini bisa dibawa kepada muqayad karena sebabnya sama sekalipun hukumnya berbeda.[30]
D.    Persentuhan Kajian Lafaz Mutlaq dan Muqayad dalam Pembentukan Hukum Islam
Salah satu hal yang menarik dalam Al-Qur`an, bahwa ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur`an memiliki keunikan bahasa  dan gaya bahasa yang sangat indah. Sehingga dalam memahami keunikan bahasa tersebut tidak dapat dipahami tanpa mempunyai ilmu yang mapan. Hal ini dikarenakan, jika hanya memahami kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur`an tanpa memiliki keilmuan terkait dengan kebahasaan akan menyimpang dari apa yang sebenarnya dimaksud oleh Allah.
Lafaz mutlaq dan muqayad merupakan hal yang sangat penting dalam memahami ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur`an. Ayat-ayat tersebut terkadang disusun dengan bentuk kata yang mutlaq dan adakalanya juga disusun dengan bentuk kata yang muqayad. Sehingga untuk menafsirkan lafaz-lafaz yang mutlaq maupun yang muqayad di dalam Al-Qur`an diperlukan ilmu mengenai keidah-kaidah lafaz, khususnya mengenai lafaz mutlaq dan muqayad.
Ketika berbicara mengenai bagaimana persentuhan lafaz mutlaq dan muqayad dalam pembentukan hukum?. Hal ini jelas bahwa kajian lafaz mutlaq dan muqayad sangat memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembentukan hukum, khususnya hukum Islam. Karena jika ada ada seorang mujtahid yang tidak mampu atau tidak memiliki kemampuan dalam memahami lafaz mutlaq dan muqayad, maka dapat dikatakan hasil ijtihadnya masih diragukan. Karena tidak memiliki kemampuan dalam memahami bahasa baik bentuk lafaz maupun kaidah-kaidah yang terkait dengan lafaz tersebut.
Di dalam Al-Qur`an yang juga terdiri dari ayat-ayat hukum. Di antara ayat-ayat hukum tersebut memiliki bentuk kata yang mutlaq dan muqayad. Ketika seseorang hendak menggali hukum atau melakukan ijtihad terhadap ayat tersebut untuk mengeluarkan hukum, maka disinilah fungsi pemahaman terhadap lafaz mutlaq dan muqayad ini. Karena jika tanpa adanya ilmu terkait dengan ini maka akan menyulitkan dan membingungkan si mujtahid dalam menetapkan hukum. Dan bisa saja hukum tersebut berbenturan dengan hukum yang lain.
Sebagai contoh adanya persentuhan antara lafaz mutlaq dan muqayad dalam pembentukan hukum Islam adalah ketika seseorang hendak menggali hukum dalam rangka pembentukan hukum Islam. sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-maidah ayat 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan atasmu bangkai, dan darah, dan daging babi....”
Dan sebagaimana dalam surat Al-An`am ayat 145 :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah “tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi.....”

Dari dua potongan ayat di atas, terdapat lafaz mutlaq dan muqayad. sehingga Bahkan dalam menetapkan atau membentuk hukum dari dua potongan ayat di atas, diperlukan kemampuan untuk mengalisa lafaz mutlaq dan muqayad dari ayat di atas.
Banyak contoh yang telah penulis kemukakan di atas terkait lafaz mutlaq dan muqayad ini. Hal ini membuktikan bahwa memang sangat diperlukannya pemhaman terhadap materi ini. Sehingga ketika melakukan pembentukan hukum khususnya dalam menjawab persoalan kontemporer. Dapat dijawab secara komprehensif, baik itu dengan memahami lafaz ayat tersebut, ataupun memahami ayat dengan cara yang lain.
Ringkasnya, ilmu kebahasaan secara umum sangat memberikan pengaruh besar terhadap penerapannya dalam pembentukan hukum. Dan pemahaman terhadap mutlaq muqayad ini merupakan bagian dari ilmu kebahasaan tersebut, sehingga kajian lafaz mutlaq dan muqayad ini sangat memberikan pengaruh besar dalam penetapan ataupun pembentukan hukum khususnya hukum Islam.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari paparan yang telah penulis jelasnkan di atas mengenai lafaz mutlaq dan muqayad, maka dapat disimpulkan :
Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan sesuatu hakikat tanpa adanya batasan. Sedangkan muqayad adalah bentuk lafaz yang menunjukkan hakikat dengan adanya batasan baik itu sifat tambahan terhadap lafaz mutlaq tersebut atau yang lainnya.
Dalam macam-macam lafaz mutlaq dan muqayad dapat kita lihat dari : pertama, shigat mutlaq yang terdiri perintah yang menggunakan mashdar, perintah yang menggunakan kata kerja, dan berita dalam konteks kekinian. Kedua, shigat muqayad di antaranya; Isim Al-`Alam, Isyarah, dan sifat.
Ketika berbicara mengenai status hukum mutlaq dan muqayad dapat dikategorikan dalam empat bentuk untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum lafaz mutlaq dan muqayad tersebut ; (1) Lafaz mutlaq dan muqayad sama dalam sebab dan hukum (2) Lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam sebab dan hukum. (3) Lafaz mutlaq dan muqayad sama dalam sebab dan berbeda dalam hukum. (4) Lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam sebab dan sama dalam hukum.
Adapun bentuk persentuhan lafaz mutlaq dan muqayad terhadap pembentukan hukum. dalam menggali hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an yang dilakukan adalah menganalisa susunan kata. Sehingga ilmu kebahasaan merupakan unsur yang sangat penting dalam melakukan pembentukan hukum.
B.     Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi konten maupun referensi. Untuk itu penulis berharap kepada pembaca untuk dapat memberikan kritikan atau pun saran agar makalah ini dapat disempurnakan sebagaimana mestinya.


[1]H.A Athaillah, Sejarah Alqur`an; Verifikasi tentang Otensitas Al-Qur`an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 1
[2]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. ix
[3]Manna` Khalil Al-Qathan, Mabahits fi Ulumil Qur`an, (t.tp : Haramain, t.th), hal. 245
[4]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Mausu`ah Al-Qur`aniyah Al-Mukhtashah, (Mesir : Al-Majlis Al-A`la Lisyu`uni Al-Islamiyah, 2002), hal. 164
[5]Manna` Khalil Al-Qathan, loc. cit.
[6]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit, hal. 165
[7]Muhammad Ali Hasan, Al-Manar fi Ulumil Qur`an, (Beirut : Muasasah Ar-Risalah, 2000), hal 178
[8]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Al-Azhar : Maktabah Al-Dakwah, t.th), hal 182
[9]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op.Cit., hal. 257
[10]Muhammad Bakar Ismail, Dirasat Fi Ulumil Qur`an (t.tp: Dar Al-Mannar, 1999), hal. 228
[11]Manna` Khalil Al-Qathan, Op.Cit., hal. 246
[12]Muhammad Ahmad Muhammad Mu`bad, Nafahat min Ulum Al-Qur`an, (Kairo : Dar Al-Islam, 2005), hal. 85
[13]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Al-Fiqh, Terj Faiz El-Muttaqin, Ushul Fiqih, (Jakarta :  Pustaka Amani, 2007), hal.422
[14]Artikel Hendra, Lafaz Mutlaq dan Muqayad dalam Al-Qur`an dan Hadis, Dikutip dari https://www.tongkronganislami.net/mutlaq-dan-muqayad-dalam-al-quran-dan-hadis/ diakses pada tanggal 20 November 2017
[15]Ibid.
[16]Rahmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal. 212-213
[17]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit., hal. 165
[18]Manna` Khalil Al-Qathan, Op. Cit., hal. 246
[19]Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur`an, (Huquq At-Thab`a Mahfudzah Lilmuallif, 2003), hal 442
[20]Ibid.
[21]Baharuddin Az-Zarkasy, Al-Burhan fi Ulumil Qur`an Juz II, Muhaqqiq : Muhammad Abu Fadhl Ibrahim, (Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah Isa Al-Babi Al-Hali wa Syirkaihi, 1957), hal. 15
[22]Manna` Khalil Al-Qathan, Op. Cit., hal. 246-248
[23]Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-rumi, loc. cit.
[24]Manna` Khalil Al-Qathan, loc. cit.
[25]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit., hal. 166
[26]Muhammad Bakar Ismail, Op. Cit., hal. 229
[27]Manna` Khalil Al-Qathan, loc. cit.
[28]Ibid, hal. 248
[29]Majmu`ah min Asatidzah wa Al-Ulama` Al-Mukhassisin, Op. Cit., hal. 166
[30]Manna` Khalil Al-Qathan, Op. Cit., hal. 246

1 comment: