Wednesday, January 16, 2019

BOM BUNUH DIRI DALAM ISLAM



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perang dalam Islam bukan jihad secara bebas, tetapi jihad itu terikat dengan syarat bahwa dilakukan pada jalan Allah (fi sabilillah). Allah mewajibkan jihad atas muslimin, bukan sebagai alat untuk permusuhan, juga bukan suatu sarana untuk ambisi seseorang, tetapi jihad sebagai perlindungan dakwah, jaminan perdamaian, dan penunaian tugas yang besar yang beban beratnya harus dipikul oleh muslimin, serta tugas untuk menunjukkan manusia pada kebenaran dan keadilan. Dan sesungguhnya, agama Islam, sebagaimana mewajibkan perang, juga mengajak kepada kedamaian.[1]
Islam menegaskan bahwa menghunus pedang dan berjuang dalam sejarahnya yang panjang tidak unutk menguasai tanah, atau menghinakan suatu bangsa, atau mencari kekayaan, atau memaksa manusia masuk ke dalamnya, namun untuk merealisir banyak sekali tujuan yang menghendaki adanya jihad tersebut. Islam berjihad untuk mengusir gangguan dan fitnah, untuk memberikan keamanan kepada mereka ke dalam jiwa mereka, harta mereka, dan akidah mereka, agar tidak ada lagi fitnah.[2]
Islam tidak mengangkat pedang untuk memaksa manusia memeluk akidahnya, dan Islam tidak tersebar dengan pedang seperti dituduhkan musuh-musuhnya. Islam hanya berjihad untuk menegakkan sistem yang aman dimana dalam naungannya, semua pemeluk akidah mendapatkan keamanan, mereka hidup tunduk dibawah naungannya kendati mereka tidak memeluk akidahnya, kendati mereka tidak beriman kepada kitabnya dan kendati mereka tidak membenarkan Rasulullah SAW.[3]
Pemahaman radikal yang berkembang saat ini bahwa salah satu alternatif untuk melakukan jihad adalah dengan melakukan bom bunuh diri. Yang mana hal tersebut dianggap sebagai interpretasi perintah jihad dalam Al-Qur`an maupun hadis. Karena banyaknya pemahaman seperti ini yang berkembang di tengah marak-maraknya term jihad saat ini menjadikan bom bunuh diri suatu bentuk manifestasi dari jihad yang diperintahkan Allah dan Nabi. Sehingga hal ini memunculkan stigma negatif dari negara-negara Barat terhadap orang-orang muslim.
Ada beberapa pendapat mengenai status hukum bom bunuh diri ini di kalangan ulama. Bahkan ada yang membolehkan serta melarangnya. Untuk itu penulis akan mencoba membahas mengenai bom bunuh diri tersebut dengan melihat kepada ayat-ayat, hadis Nabi serta pendapat para ulama.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa masalah yang akan penulis bahas di antaranya :
1.      Penafsiran ayat-ayat terkait dengan bom bunuh diri.
2.      Penjelasan hadis-hadis terkait dengan bom bunuh diri.
3.      Tinjauan fiqh dan ushul fiqh dengan melihat pendapat para ulama.


PEMBAHASAN BOM BUNUH DIRI
A.    Ayat-ayat Terkait Bom Bunuh Diri
Surat Al-Baqarah ayat 195 :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S Al-Baqarah : 195)

Adapun sebab turun ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Hudzaifah dia berkata : “Ayat ini turun pada masalah sedekah”.
Abu Daud, At-Tirmidzi (dan dia mensahihkannya), Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari, dia berkata, “Ayat ini turun pada kami, orang-orang Ansahr, ketika Allah membuat kami jaya dan penolongnya berjumlah banyak. Ketika itu secara diam-diam sebagian dari kami ada yang berkata kepada sebagian yang lain, “Sungguh sudah banyak harta kita yang hilang, dan kini telah membuat Islam jaya, bagaimana kalau kita merawat harta agar kita dapat mengembalikan jumlah yang telah hilang itu ?”. maka Allah menurunkan ayat yang membahas apa yang kami katakan tadi, yaitu firman-Nya :[4]
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ....
Maka, kebinasaan adalah menjaga dan merawat harta dengan meninggalkan perang melawan musuh Islam.
Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Jabirah ibn Ad-Dahak, dia berkata “ Dulu orang-orang Anshar menginfakkan harta mereka dengan jumlah yang banyak. Lalu pada suatu ketika paceklik menimpa mereka, seingga mereka tidak berinfak lagi, maka turunlah ayat :
...وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ...
Ath-Thabari juga meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Nu`man bin Basyir dia berkata : “Dulu ada orang yang melakukan suatu perbuatan dosa, lalu karena putus asa dia berkata, Allah tidak akan mengampuniku”. Maka Allah menurunkan firmannya :[5]
...وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ...
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menyuruh agar berinfak di jalan Allah dalam berbagai segi amal kedekatan dan ketaatan, terutama menggunakan harta untuk memerangi musuh dan menyerahkannya pada sektor yang dapat memperkuat kaum muslim dalam melawan musuh dan meninggalkannya merupakan kebinasaan dan kehancuran.[6]
Al-Maraghi juga menjelaskan bahwa belanjakanlah harta kalian untuk membeli sarana pertahanan demi membela agama. Belikanlah segala macam senjata dan peralatan untuk membela diri sejenis dengan yang dimiliki oleh musuh-musuh kalian, jika tidak ada yang lebih baik. Sehingga dengan sarana tersebut diperkirakan kalian akan memperoleh kemenangan. Kalian akan merusak diri apabila tidak mau membelanjakan harta benda baik berupa uang maupun peralatan perang untuk fi sabilillah dan membela agama.[7]
Ismail Haqqi Al-Buruswi berpendapat bahwa makna ayat belanjakan harta kalian di jalan Allah dan jangan kalian menahannya. Menolak berperang dan berinfak bagi kepentingan perang termasuk kebinasaan. Penolakan tersebut sebagai perkara yang dapat memperkuat musuh dan melemahkan kaum muslim.[8] hal senada juga diungkapkan oleh Sayyid Qutuhb dan beliau menambahkan bahwa jihad membutuhkan manusia (pelaku) maka ia juga membutuhkan harta. Maka dari itu, dalam al-Qur’an banyak seruan berjihad selalu disertai seruan untuk berinfak.[9]
Menurut Al-Jasash kata وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ yang mengutip pendapat Muhammad ibn Hasan, mengatakan bahwa seseorang dibolehkan menyerang seribu pasukan musuh sendirian jika ia berharap akan selamat atau ingin mengalahkan musuh. jika ia tidak berharap hidup maka hal itu tidak boleh dilakukan karena ia telah menyerahkan nyawanya kepada kematian yang tidak bermanfaat bagi orang-orang muslim.[10]
Surat Al-Anfal ayat 60 :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi kekuatan mereka apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuh-musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang yang kamu nafkahkan pada jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Q.S Al-Anfal : 60)

Terkait dengan ayat di atas menurut Ibnu Katsir bahwa demi menegakkan agama Allah yang merupakan tujuan dari sabilillah, Allah memerintahkan untuk mempersiapkan peralatan senjata untuk berperang melawan orang-orang musyrik sesuai dengan kemampuan, fasilitas, dan kesanggupan yang ada.[11]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi berpendapat ada dua perkara dalam mempersiapkan perang fi sabilillah :
Pertama, mempersiapkan persiapan sebisa mungkin. Persiapan seperti ini akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Kewajiban Muslim pada saat ini ialah membuat senjata, pesawat tempur, bom, tank baja, membuat kapal-kapal perang dan kapal selam, dan lain sebagainya. Lafaz ayat mencakup semua itu, meski belum dikenal pada masa Rasulullah Saw.
Kedua, menempatkan pasukan berkuda di pelabuhan dan perbatasan, karena ia merupakan pintu masuk musuh dan tempat penyerangan terhadap Negara. Hikmahnya, supaya umat mempunyai tentara yang selalu siap melindunginya apabila tiba-tiba datang serangan dari musuh. Hal ini akan terpenuhi oleh pasukan kuda karena bergerak secara cepat. Di zaman sekarang ini disesuaikan dengan keahlian kemiliteran yang dimiliki.[12]
Sedangkan menurut Buya Hamka ayat ini mengisyaratkan supaya kita selalu bersikap terus, dan terus mengikuti perkembangan persenjataan. Di zaman Rasulullah SAW. sangat penting artinya kuda untuk perang fi sabilillah, Dalam perkembangan zaman sekarang telah muncul kendaraankendaraan bermotor untuk perang seperti truk, tank, kendaraan lapis baja, ditambah lagi sekarang dengan kepentingan Angkatan Udara.
Ahli-ahli perjuangan selalu berkata “The man behind the gun”. Manusia yang berdiri di belakang senjata. Artinya, bukan senjata yang menentukan dan memutuskan, melainkan yang berdiri di belakang senjata itu. Jadi, kalau cara sekarang hendaklah pemegang senjata itu orang yang ber-ideologi, yang sadar benar untuk apa senjata itu digunakan.[13]
Sedangkan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya berkomentar bahwa kekuatan yang dipersiapkan itu bukan untuk menindas atau menjajah, tetapi untuk menghalangi pihak lain yang bermaksud melakukan agresi. Kata ترھبون dari kata رھب yang berarti takut/gentar, ini bukan berarti teror dan teroris.[14]
Segala apa pun yang dibelanjakan atau dinafkahkan untuk kepentingan persiapan perang fi sabilillah baik sedikit atau banyak, maka pengorbanan itu tidak akan disia-siakan Allah SWT. dan tidaklah akan teraniaya melainkan untuk keselamatan masyarakat karena apabila selalu siap-sedia maka kita terhindar dari khianat dan kebinasaan oleh musuh. Kata orang sekarang, “kita tidak akan mati konyol”.
Surat Al-Hajj ayat 78 :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.

Ath-Thabari di dalam tafsirnya berkomentar mengenai masalah jihad yang terdapat di dalam ayat di atas, menurut beliau terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ta`wil menganai ta`wil dari ayat (وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ), sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dari potongan ayat di atas adalah  seruan untuk berjihad melawan orang-orang musrik pada jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.[15] Berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Katsir memberikan penjelasan mengenai ayat yang berbunyi وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ memiliki arti berjihad menggunakan harta, lidah, dan diri kamu. Bunyi ayat ini identik dengan bunyi ayat اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (Q.S. Ali Imran [3]: 102).[16]
Imam Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa ayat tersebut tidak hanya sekedar menjelaskan perintah perang saja. Perintah jihad dalam ayat ini berarti memadukan antara ibadah ritual dan ibadah sosial, dan ini adalah sebuah dimensi terpenting dalam kehidupan ini. Imam Zamakhsyari melanjutkan, ayat ini merupakan revolusi terbesar dalam jihad melalui perintah dari Allah SWT. Maksud beliau adalah hendaknya dalam berjihad jangan hanya bertumpu pada jihad dalam arti perang, melainkan pada upaya membersihkan jiwa dari nafsu. Perintah jihad hakiki (haqqa jihadihi) yang dimaksud dalam ayat ini adalah bukan semata-mata jihad untuk tujuan duniawi, melainkan jihad degan tujuan melaksanakan perintah-Nya dan mencari ridha-Nya.[17]
Ungkapan وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ menurut Sayyid Qutb adalah umum, sehingga yang dimaksud berjihad di dalam ayat ini adalah menghadapi musuh-musuh yang mengancam keamanan dalam beragama, baik musuh yang datangnya dari luar (setan, orang kafir, orang munafik, dan orang fasik) diri dan yang datang dari diri sendiri (hawa nafsu, kebodohan, kemalasan). Karena sesungguhnya Allah telah menetapkan pilihan-Nya terhadap umat yang istiqimah untuk menangung tanggung jawab besar.[18]
Al-Maraghi dalam menjelaskan ayat di atas berkomentar bahwa berjihad di jalan Allah merupakan ibadah yang utama, dengan catatan niat tulus dan ikhlas demi mendapatkan keridhaan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang besar karena dibutuhkan kesabaran yang tinggi terhadap celaan orang-orang yang mencela dalam menjalankan jihad. Menurut Al-Maraghi, dengan mengutip pendapat Al-Raghib, beliau mendefenisikan jihad sebagai aktivitas yang menuntut pengerahan segala kemampuan dalam mengantisipasi musuh. Selanjutnya Al-Maraghi membagi jihad kepada tiga macam, yaitu:
1.      Jihad melawan musuh yang tampak, seperti orang-orang kafir (mereka yang memberikan ancaman).
2.      Jihad melawan setan.
3.      Jihad melawan hawa nafsu, adapun macam jihad yang terkhir inilah menurut beliau yang paling berat.[19]
Kemudian surat At-Taubah ayat 111 :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : “Sesungghnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh, (itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakan yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Q.S At-Taubah : 111)
Adapun sebab turunya surat At-Taubah ayat 111 ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Suyuthi bahwa Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muhammad bin Ka`ab Al-Qurazhi bahwa Abdullah bin Rawanah berkata kepada Rasulullah, “Tetapkan syarat sesukamu untuk Tuhanmu dan untuk dirimu”. Beliau bersabda : “Aku syaratkan untuk Tuhanku kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, dan aku syaratkan untuk diriku kalian melindungi diriku seperti kalian melindungi harta kalian sendiri”, mereka menjawab, “Kalau kami lakukan itu, apa balasan untuk kami ?”, beliau menjawab, “surga”, mereka berkata, “Transasksi yang menguntungkan!, kami tidak akan membatalkannya”. Maka turunlah surat At-Taubah ayat 111.[20]
Menurut Al-Qurtubi ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt akan menggantikan pengorbanan yang dilakukan oleh hamba-Nya, baik pengorbanan harta benda maupun pengorbanan nyawa dengan balasan surga. Hanya saja pengorbanan itu harus berdasarkan niat untuk menggapai ridha Allah swt.[21]
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ  menurut Al-Qurthubi lafaz ayat ini bersifat umum untuk seluruh muahid dari golongan umat Nabi Muhammad sampai hari kiamat.[22]  Menurut Al-Maraghi bahwa lafaz tersebut merupakan bentuk motivasi dalam melakukan jihad. Bahwa Allah menggambarkan keindahan bagi yang melakukan jihad di jalannya dengan memberikan balasa surga.[23]
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ  dalam memahami lafaz ini Al-Maraghi berpendapat bahwa ketika seorang dalam berjihad dia membunuh, maka hal tersebut merupakan bentuk membunuh yang benar, karena dia mengorbankan jiwa dan hartanya dan Allah meridhoi hal yang seperti ini. Begitu juga ketika dia terbunuh dia tetap berada di jalan yang Allah ridhoi. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang melakukan bunuh diri karena putus asa dalam menghadapi dunia, hal tersebut bukanlah sesuatu yang disukai atau diridhai oleh Allah.[24]

B.     Hadis-hadis Terkait Bom Bunuh Diri
Sebagimana yang kita ketahui, bahwa bom bunuh diri merupakan istilah yang digunakan oleh fundamentalis radikal sebagai alternatif jihad pada saat ini. Meskipun secara eksplisit hadis Nabi tidak ada yang berbicara mengenai bom bunuh diri, akan tetapi kita akan mencoba menelusuri hadis-hadis yang mengindikasikan adanya wacana bunuh diri dalam melaksanakan jihad fi sabilillah.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ نُمَيْرٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، قَالَ إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرُونَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ شَقِيقٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ» (رواه مسلم)[25]
“Telah menceritakan Abu Bakr bin Syaibah, dan Ibn Numair dan Ishaq bin Ibrahim, dan Muhammad bin Al-`Ala`, Ishaq berkata : Telah mengkabarkan kepada kami, dan yang lain berkata : telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyyah, dari `Amasy, dari Syaqiq, dari Abi Musa, dia berkata : ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah kemudian dia bertanya :  seseorsng berperang karena keberanian, seseorang berperang karena semangat, dan seseorang berperang karena riya, yang mana dari ketiga bentuk perang tersebut yang berjihad di jalan Allah?maka Rasulullah menjawab : “Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia berperang di jalan Allah”. (H.R Muslim)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ، وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ، أَنَّ رَجُلًا أَعْرَابِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُذْكَرَ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ» (رواه مسلم)[26]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna, dan Ibn Basyar, dan lafaz oelh Ibn Al-Mutsani, mereka berdua berkata : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja`far, telah menceritakan kepada kami Syu`bah, dari Amr bin Murrah, dia berkata : aku mendengar Abi Waa`il, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abu Musa Al-As`ary : sesungguhnya seorang laki-laki`Arabi mendatangi Nabi, kemudian dia berkata :  wahai Rasulullah seorang berperang untuk mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), seseorang berperang agar dikenang, dan seseorang berperang agar dipandang kedudukannya, manakah yang ada di jalan Allah ? kemudian Rasulullah menjawab : “Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia berperang di jalan Allah”. (H.R Muslim)
Kedua hadis ini adalah dalil yang menyebutkan bahwa berhak mendapatkan pahal dari Allah yaitu siapa yang berperang menjunjung kalimat Allah, dan mafhumnya siapa yang berperang dengan niat selain karena ridha Allah, maka ia tidak berperang di jalan Allah. Namun selanjutnya yang menjadi pembahasan adalah apabila yang berperang mempunyai 2 niat., misalnya niat pertama menjunjung kalimat Allah dan yang kedua demi mendapatkan harta rampasan perang, apakah ia masih disebut berjihad di jalan Allah ?
Ath-Thabari berkata : “Jika niat awalnya memang untuk berjuang demi menjungjung kalimat Allah, maka harta rampasan perang yang ia peroleh tidak merubah niat awalnya, inilah pendapat jumhur ulama, dan hadis tersebut memungkinkan memang dia keluar berjuang di jalan Allah dengan diiringi niat lainnya ; karena dia berperang demi meninggikan kalimat Allah.[27] Hal ini diperkuat dengan firman Allah :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ....
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhan-mu....” (Q.S Al-Baqarah : 198)

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa hal itu tidak menafikan keutamaan haji, demikian juga pada hal-hal lainnya. Dengan demikian, yang menjadi standar penilaian perbuatan itu terletak pada motivasi utama atau niat awal melaksanakannya, jika ia berniat meninggikan kalimat Allah , tidak akan merusak amalannya jika kemudian dia mendapatkan sesuatu tambahan selain tujuan utamanya. tetapi kemudian yang akan dibahas adalah, jika 2 niat tersebut sama-sama menjadi motivasi utamanya, berdasarkan zahir hadis dan ayat tersebut, bahwa hal itu juga tidak merusak pahala amalan yang dia lakukan.[28]
Menurut Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, apabila antara niat mengharapkan pahala dan agar dikenang sama-sama menjadi motivasi utama, maka batallahpahala jihad di jalan Allah. Karena dia mengkhususkan niatnya agar dapat dikenang. Dengan demikian niatnya berubah menjadi riya`, riya` menghapus pahala amalan ibadah yang dilakukannya. Berbeda bila ia berniat juga mendapatkan harta rampasan perang, karena tidak menafikan pahala jihadnya, bahkan jika ia bermaksud dari harta rampasan perang tersebut untuk dimanfaatkan dan menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah, dan agar kaum musyrik murka, maka ia mendapat pahala jihad di sisi Allah.[29]
وحَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، وَثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُفْرِدَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي سَبْعَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ، فَلَمَّا رَهِقُوهُ، قَالَ: «مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ؟» - أَوْ «هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ» -، فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ، ثُمَّ رَهِقُوهُ أَيْضًا، فَقَالَ: «مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ؟ -» أَوْ «هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ» -، فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ، فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قُتِلَ السَّبْعَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبَيْهِ: «مَا أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا» (رواه مسلم)[30]
“Telah menceritakan kepada kami Hadab bin Khalid Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid, dan Tsabit Al-Bunani dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah saw pernah pada perang Uhud hanya bersama tujuh orang dari kaum Anshar dan dua dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati beliau, beliau bersabda : “Barang siapa yang bisa menyengkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia akan bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari kaum Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Muuh mendekat lagi dan Raulullah bersabda lagi : “Barang siapa yang bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau bersamaku di surga”. Kemudian satu orang dari kaum Anshar maju dan betempur sampai gugur.” (H.R Muslim)
حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ، أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، حَدَّثَهُ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ»، قَالُوا: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ، وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ» (رواه البخارى)[31]
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata telah bercerita kepadaku ‘Atha’ bin Yazid Al Laitsiy bahwa Abu Sa’id Al Khudriy bercerita kepadanya, katanya: “Ditanyakan kepada Rasulullah, siapakh manusia yang paling utama?” Maka Rasulullah bersabda: “Seorang mu’min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya”. Mereka bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Seorang mu’min yang tinggal diantara bukit dari suatu pegunungan dengan bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan manusia dari keburukannya.” (H.R Bukhari)
Dalam Fath Barri, Ibnu Hajar mengomentari syarah hadis yang disebutkan oleh Bukhari dalam “Bab Wujub Al-Nafir wa Ma Yajib min Al-Jihad wa Al-Nihayah”. Kewajiban untuk memerangi orang-orang kafir serta kewajiban jihad dan niat. Ibnu Hajar menyebutkan :
Maksud bab ini adalah pergi untuk memerangi orang-orang kafir. Makna asal nafir adalah pergi dari suatu tempat ke tempat lain karena ada alasan yang menggerakkannya.
Adapun kewajiban jihad dan niat bermakna penjelasan tentang jumlah jihad yang diwajibkan serta keharusan niat di dalamnya. Terkait masalah jihad manusia memiliki dua kondisi : pada zaman Nabi dan setelah zaman Nabi.
Pada kondisi pertama, sebagaimana disepakati, jihad pertama kali disyaratkan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Akan tetapi, setelah jihad disyaratkan, apakah hukumnya fardhu `ain atau fardhu kifayah ?. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama, yang kedua-duanya terdapat di dalam mazhab Syafi`i.[32]
Al-Mawardi berpendapat bahwa jihad fardhu `ain berlaku untuk kaum muhajirin saja. Pendapat ini didukung bahwa setiap orang yang masuk Islam sebelum futuh Makkah, wajib hijrah untuk menolong agama Islam.
Adapun Al-Suhaili berpendapat bahwa jihad fardhu `ain berlaku untuk orang Anshar sajaa. Pendapat ini didukung bahwa pada malam `Aqabah, orang-orang Anshar berbai`at kepada Rasulullah untuk melindungi dan mendukung beliau.[33]
Dari kedua pendapat tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa hukum jihad adalah fardhu `ain untuk orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar. Dan fardhu kifayah untuk selain mereka. Dengan demikian, orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak boleh digeneralisasi. Akan tetapi, menjadi hak kaum Anshar saja jika ada yang menyerang. Dan hak kaum Muhajirin saja jika ingin menyerang orang kafir, untuk memulainya. Ini didukung dengan peristiwa yang terjadi dalam perang Badar, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Ishaq yang menjadi penjelas dari hal tersebut.
Ada juga yang berpendapat bahwa hukum jihad adalah fardhu `ain dalam peperangan yang diikuti oleh Nabi SAW saja, tidak dalam peperangan lainnya. Akan tetapi, yang tepat adalah, jihad menjadi fardhu `ain bagi orang yang ditentukan oleh Rasulullah meski pun beliau sendiri tidak ikut berperang.[34]
Adapun pada kondisi kedua, sesuai dengan pendapat yang masyhur, hukumnya adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada alasan yang bisa mengubah hukum fardhu kifayah ini menjadi fardhu `ain. Misalnya, musuh tiba-tiba menyerang atau seseorang ditentukan oleh pemimpin untuk berperang. Menurut mayoritas ulama, hukum fardhu kifayah dalam jihad harus dipenuhi dengan melakukan jihad satu kali dalam setahun. Alasan mereka adalah jizyah wajib dilakukan sebagai pengganti jihad, sedangkan jizyah tidak boleh dilakukan lebih dari satu kali. Dengan demikian, yang menggantikan jizyah pun harus seperti itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa jihad wajib dilakukan setiap kali ada kemungkinan untuk melakukannya. Pendapat ini lebih kuat. Sebab, jihad tetap dilakukan sama dengan pada zaman Nabi hingga pembebasan negeri-negeri dilakukan dan Islam pun tersebar di setiap penjuru bumi.
Yang seharusnya diperhatikan adalah, jihad terhadap orang-orang kafir harus dilakukan oleh setiap Muslim, baik dengan tangan, lisan, harta, atau hatinya.[35]
C.    Kajian Fiqh dan Ushul Fiqh tentang Bom Bunuh Diri
Terkait dengan pembahasan bom bunuh diri ini, tidak semua ulama yang melarang. Bahkan ada yang membolehkan dengan melihat kondisi tertentu. Maka dalam sub bab ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan pendapat para ulama yang membolehkan dan melarang bom bunuh diri.
1.    Ulama yang membolehkan
Pendapat mayoritas ulama kontemporer yang membolehkan aksi bom bunuh diri dan mengkategorikan aksi ini sebagai jihad yang pelakunya dikategorikan mati syahid yang akan mendapat pahala di sisi Allah SWT.[36] Namun hal ini tidak diberlakukan dalam setiap kondisi. Untuk lebih jelas akan penulis jelaskan pada bahasan di bawah ini.
Sebagian ulama berpendapat tentang serangan bunuh diri dengan melihat pada kasus-kasus tertentu, tidak membuat generalisasi terhadap semua kasus. Dalam arti bahwa serangan bom bunuh diri, dalam sebagian hal, dapat diharamkan, namun dalam kasus-kasus tertentu, ia dapat dibenarkan dan dibolehkan, bahkan malah diwajibkan. Sebagai contoh, serangan bunuh diri terhadap gedung WTC pada 11 September 2001 dianggap tidak sejalan dengan jihad defensif. Fakta bahwa serangan tersebut dilakukan di wilayah nonmuslim bertentangan dengan konsep dasar jihad defensif. Mufti Agung Kerajaan Saudi, ‘Abd al-‘Aziz al-Shaykh, mengeluarkan pernyataan yang mengecam serangan tersebut, lantaran aksi ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena dilakukan terhadap warga sipil yang tidak berperang, yang dalam aturan hukum jihad, tidak boleh diperangi.[37]
Ada enam belas ulama dari Timur Tengah yang mendukung serangan bunuh diri dalam satu cara atau lainnya. Di antara ulama yang berpengaruh tersebut adalah Yusuf al-Qardawi (Qatar), Faysal Mawlawi (Syiria), Hamid al-‘Ali (Kuwait), Sa’id Ramadan al-Buti (Syria), Sulayman ibn Nasir ‘Ulwan (Saudi), Salman ibn Fahd al-‘Awdah (Saudi), Nasir ibn Hamd al-Fahd (Saudi), dan ‘Ajil al-Nashami. Al-Qardawi, misalnya, mengatakan bahwa perjuangan militer Palestina adalah logis dan absah, dan merupakan jihad defensif lantaran mereka melindungi dan membela keluarga, harta dan tanah air mereka. Bahkan, menurut al-Qardawi, aksi-aksi ini tidak hanya dibolehkan, bahkan diwajibkan lantaran aksi-aksi tersebut merupakan satu-satunya media militer yang paling efektif bagi perjuangan Palestina.
Al-Qardawi juga menambahkan bahwa menyebut misi ini sebagai operasi bunuh diri adalah sebuah kekeliruan yang besar, karena seorang yang mati sahid (shahid) mengorbankan dirinya untuk satu tujuan mulia demi membela agama dan komunitasnya, sedangkan bunuh diri didasari pada keputusasaan dan demi tujuan-tujuan yang egois. Menurut al-Qardawi: 
“Anak-anak muda yang membela tanah airnya yang merupakan wilayah muslim bukan melakukan tindakan bunuh diri. Lebih tepatnya, mereka adalah para sahid yang mengorbankan dirinya di jalan Allah, selama terkandung niat yang tulus dan tidak ada pilihan lain untuk menghalangi musuh-musuh mereka.”

Lebih lanjut Yusuf al-Qaradawi menjelaskan perbedaan antara al-intihar dengan al-mujahid (amaliyah al-istisyhad). Ia mengatakan: “Seseorang yang melakukan al-intihar hanya untuk kepentingan dirinya sendiri yang mendahulukan berkorban untuk kepentingannya daripada kepentingan agama dan umat Islam, di samping itu orang yang melakukan al-intihar adalah orang yang putus asa terhadap dirinya dan pertolongan Allah. Sedangkan al-mujahid (amaliyah al-istisyhad) adalah orang yang dengan sepenuh hati mengharapkan pertolongan dan kasih sayang Allah. Tindakan al-intihar adalah tindakan yang dilakukan untuk lari dari kenyataan yang menimpanya dengan cara membunuh dirinya, sedangkan al-mujahid (amaliyah al-istisyhad) adalah orang-orang yang berperang dalam rangka memerangi musuh Allah dengan menggunakan persenjataan/teori terbaru (bom bunuh diri). Cara seperti itu ditakdirkan untuk digunakan oleh orang-orang yang lemah untuk menghadapi musuh yang kuat” [38]
Tidak hanya itu, al-Qaradawi juga memberikan justifikasi meskipun target serangan tersebut adalah orang-orang sipil, dengan alasan bahwa masyarakat Israel pada dasarnya bersifat militeristik karena baik kaum laki-laki maupun wanitanya mempunyai peran dalam peperangan dan dapat dipanggil setiap saat untuk wajib militer. Di sisi lain, menurutnya, jika anak kecil atau orang tua terbunuh, itu pun bukan karena kesengajaan, namun kesalahan, dan sebagai konsekuensi dari darurat militer. Kondisi darurat dapat menjustifikasi hal-hal yang dilarang Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa “jika setiap orang yang membela tanah airnya, dan meninggal karena membela simbol-simbol sucinya dianggap sebagai teroris, maka saya berharap menjadi yang terdepan di antara teroris tersebut.” [39]
Dalam kondisi darurat, bom bunuh diri merupakan salah satu metode jihad karena dapat menciptakan kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat Islam. Para pelaku bom bunuh diri melakukan aksi tersebut karena terpaksa, sebab tidak ada senjata lain. Menurut Wahbah Zuhailiy, apabila kaum muslimin tidak mampu melakukan perlawanan terhadap musuh maka kaum muslimin yang berada di wilayah sekitar wajib membantu mereka melakukan jihad sebagai perlawanan.[40]
Terkait dengan hal ini Ibn Taimiyah juga pernah berkata :
فإنه فعل أمر الله به فأفضي ذلك إلي قتل نفسه فهذا محسن في ذالك كالذي يحمل علي الصف وحده حملا فيه منفعة للمسلمين وقد اعتقد أنه يقتل فهذا حسن و في مثل قول الله تعالى : وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ[41]
“Jika ia melakukan apa yang diperintahkan Allah, lalu hal itu menyebabkan dirinya terbunuh, maka orang ini telah melakukan kebaikan. Keadaannya seperti seorang yang menyerang satu barisan musuh sendirian yang kemudian mendatangkan kemanfaatan bagi kaum muslim, sedangkan ia tahu dengan pasti bahwa ia akan terbunuh. Maka, hal ini dianggap sebagai sebuah kebaikan. Mengenai perumpamaan orang ini, Allah menurunkan firman-Nya: “Di antara sebagian manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari keridaan Allah. Allah Maha Pengasih terhadap segenap hamba-Nya (QS. al-Baqarah: 207).”
                                              
Menanggapi hal di atas Al-Albani menjelaskan bahwa taktik meledakkan diri di kalangan musuh yang mempunyai kekuatan besar tak tertandingi dan menindas kaum muslim, tidak dapat dianggap sebagai bunuh diri (intihar, suicide), namun sebaliknya, ia merupakan jihad di jalan Allah (jihad fi sabilillah), yang pelakunya, jika meninggal, akan mencapai derajat sahid. Bunuh diri (suicide) lebih didasari pada keputusasaan dalam hidup dan tidak rida dengan ketetapan Allah, sementara seorang yang mengorbankan dirinya di jalan Allah untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang menghancurkan umat Islam pada dasarnya dimotivasi oleh hasrat untuk mencari keridaan Allah dalam membela dan menjaga Islam dan melindungi kaum muslimin. Menurut al-Albani, praktik seperti ini telah dilakukan oleh seorang sahabat Nabi ketika ia menyerang dan menghunuskan padang kepada sekelompok orang kafir hingga kematian menjemputnya, sedangkan ia tahu bahwa pasti ia akan mati dengan aksi tersebut dan ia yakin bahwa tempat kembalinya adalah surga.[42]
Tindakan ‘amaliyah al-istishhad merupakan sarana jihad yang diwajibkan bahkan harus dicita-citakan oleh setiap muslim. Seorang muslim harus melibatkan diri dalam kegiatan perang membela agama dengan memperhatikan sekurang-kurangnya tiga syarat :
Pertama, mengetahui bahwa perang yang diikutinya adalah perang yang disyariatkan dalam agama (mashru’iyah). Oleh karena itu setiap pasukan harus mengerti dengan aturan-aturan perang karena hal itu merupakan ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim yang terlibat dalam perang tersebut. Menurut Muhammad Syatha Dimyati, memerangi orang kafir bukan merupakan tujuan jihad, tetapi jihad ditujukan untuk membela dan meninggikan agama Allah, serta menyampaikan hidayah kepada orang kafir. Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa berperang agar kalimat Allah itu tinggi maka ia berperang di jalan Allah”. Jika ada cara lain yang dapat dilakukan tanpa peperangan, maka cara itu lebih utama dilakukan. Dengan demikian, kewajiban jihad itu hanya sebatas wasilah saja untuk menyampaikan hidayah Allah kepada mereka.[43]
Kedua, jihad dilakukan dengan perintah pemimpin (imam). Menurut ibn Muhammad al-Sughdi, orang Islam boleh melakukan jihad apabila dipimpin langsung oleh pemimpin kaum muslimin (imam), atau di bawah kepemimpinan panglima perang yang ditunjuk oleh imam, atau di bawah kepemimpinan seseorang yang diangkat secara bersama-sama oleh kaum muslimin. Jihad ini baru boleh dilakukan apabila kaum muslimin memiliki kekuatan militer (amr al-askar) dan bersedia mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh pimpinannya.[44]
Ketiga, mempertimbangkan setiap tindakan agar bisa selamat (tidak tewas). Hal ini dapat dilakukan dengan menguatkan penjagaan, menggunakan strategi-strategi perang, mengambil tindakan-tindakan yang berkaitan dengan keselamatan pribadi, misalnya dengan memakai baju besi, topi baja, atau seperti menggali parit sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dalam perang Khandaq. Oleh karena itu tidak ada kata menyerah atau tunduk untuk dibunuh secara mudah oleh orang kafir. Sebab, bila tidak berprinsip demikian tentu seseorang akan menyerahkan diri kepada musuh yang kafir atau melakukan tindakan brutal seperti bom bunuh diri.[45]
Dengan meihat beberapa pendapat ulama dapat dipahami bahwa kebolehan melakukan bom bunuh diri bukanlah menjadi cara satu-satunya. Maksudnya di sini bahwa melakukan bom bunuh diri tersebut diperbolehkan hanya pada kasus tertentu dan tidak berlaku untuk semua kasus itulah yang perlu digaris bawahi dalam memahami pendapat ulama di atas. Kebolehan tersebut dilakukan karena tidak ada cara lain untuk melawan musuh sehingga adanya alternatif untuk kebolehan melakukan bom bunuh diri.
2.      Ulama yang tidak membolehkan
Pendapat sebagian ulama fikih kontemporer yang menyatakan bahwa aksi bom bunuh diri, sama saja dengan membinasakan diri dengan mendekati hal yang berbahaya. Apabila hal ini dilakukan maka hukumnya haram, karena sama saja telah menjatuhkan diri kedalam kerusakan yang akan berakibat fatal.[46] mengemukakan argumen sebagai berikut :
Pertama, Bom bunuh diri secara otomatis dan pasti akan mengakibatkan kematian bagi pelakunya, dan hal ini dilarang Allah dengan firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
...وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ....
Tidak boleh bagi seorang muslim untuk melakukan bunuh diri karena ingin lepas dari tekanan penguasa kejam, dari sebuah penyakit yang dia derita hingga penyakitnya menjadi penyakit menahun dan yang sejenisnya, maka bunuh diri untuk melepaskan diri dari hal seperti ini, tanpa diragukan, adalah haram. Bom bunuh diri tidak bisa diqiyaskan atau dianalogkan dengan tindakan seseorang yang menerobos pasukan musuh. Karena orang yang menerobos pasukan musuh tidak membunuh dirinya. Pelaku bom bunuh diri sudah tahu pasti bahwa dirinya akan mati, sedangkan dengan aksi demikian tidak mungkin baginya untuk mengalahkan musuh.
Kedua, Bom bunuh diri lebih dari demikian, sebab dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Muhammad bin  Shalih Al-Utsaimin mengatakan :
“Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (aksi bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk aksi bunuh diri. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadis dari Nabi saw. Sebab, bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam.[47]

Ketiga, Pada masa Nabi saw. di sebagian peperangan ada seorang pemberani berperang di jalan Allah, maka orang-orang memujinya. Mereka berkata; Tidak ada di antara kita yang seberani si Fulan. Rasulullah saw bersabda : Dia di neraka. Itu dikatakan Nabi sebelum pria itu mati. Ucapan Nabi ini menjadi musykil bagi sahabat ketika itu, bagaimana bisa orang ini -yang tidak membiarkan seorangpun orang kafir melainkan dikejarnya lalu dibunuhnya- masuk neraka?! Maka sahabat ini mengikuti orang itu dan mengintainya setelah orang itu terluka. Akhirnya sahabat itu melihat orang itu menancapkan pedangnya ditanah ujungnya menghadap ke atas kemudian dia tekan tubuhnya hingga dia terbunuh, maka kata sahabat itu; “Benar apa yang dikatakan Rasulullah”, karena Rasulullah tidak berbicara atas hawa nafsu.[48]
Kenapa dia masuk neraka, padahal dia berperang dengan demikian hebatnya?! Karena dia membunuh dirinya dan tidak bersabar. Maka tidak boleh bagi setiap orang untuk membunuh dirinya dan membahayakan kehidupan kaum muslimin. Nabi di Makkah selama 13 tahun, di sana beliau dan para sahabatnya disakiti dengan gangguan yang hebat, tetapi beliau tidak ada menyuruh seorangpun sahabatnya untuk melakukan tindakan penculikan orang kafir yang menyakiti mereka dan juga tidak ada menyuruh untuk menghancurkan fasilitas mereka. Karena tindakan itu akan menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin yang bahaya itu lebih parah dari yang dialami kaum kafir.[49]
Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri menyatakan bahwa tindakan itu tidak membuat orang kafir takut bahkan semakin membuat mereka semangat hingga mereka mengeluarkan kekuatan yang mereka sembunyikan dari kaum muslimin.[50]
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait dengan bom bunuh diri ini tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur`an maupun hadis Nabi. Namun bisa dilihat beberapa ayat serta hadis yang mengindikasikan dalam pelaksaan jihad dengan bentuk bom bunuh diri tersebut. Sehingga para ulama yang membolehkan dengan argumen menggunakan hadis serta ayat tersebut.
Di antara ulama yang membolehkan bom bunuh diri ini adalah Yusuf Al-Qardawi. Akan tetapi bom bunuh diri dalam konsep Yusuf Al-Qardawi yang dibolehkan tidak dalam semua kasus, hanya berlaku dalam kasus-kasus tertentu. Salah satu contoh adalah seperti keadaan di Palestina. Dalam keadaan tersebut boleh menurut Yusuf Al-Qardawi untuk melakukan bom bunuh untuk mengusir musuh dari wilayah mereka. Yusuf Al-Qardawi menganggap berbeda antara bunuh diri yang dilarang Allah dengan bom bunuh diri dalam kondisi seperti di atas. Karena dalam kondisi di atas merupakan suatu tuntutan untuk melindungi wilayah Islam dan untuk kepentingan masyarakat umum.
Sedangkan ulama yang melarang bom bunuh diri menganggap bahwa bunuh diri merupakan ha yang dilarang dalam Islam. sehingga bentuk bom bunuh diri ini merupakan pelanggaran dalam ajaran Islam.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua ulama yang membolehkan bom bunuh diri. Bahkan bisa dianggap ulama yang membolehkan bom bunuh diri, kebolehan tersebut hanya pada kasus-kasus tertentu. Sehingga jika tidak dalam kondisi tertentu tersebut bom bunuh diri tetap terlarang dalam Islam.
B.     Saran
Memahami Islam tidak cukup hanya dengan mempelajari kulit-kulitnya. Karena yang diwajibkan adalah memahami Islam secara sempurna. Karena jika tidak demikian niscaya hal ini menyebabkan salah persfektif dalam memahami ajaran Islam.
Terkait dengan bom bunuh diri, hal ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas nama jihad. Melainkan ada hal-hal yang mesti diperhatikan ketika hendak melakukannya. Hal ini bisa dilihat dengan memahami ayat-ayat Al-Qur`an, hadis Nabi serta pendapat para ulama. Karena Islam tidak mengehandaki kekerasan dalam agama. Apalagi melakukan aksi bom bunuh diri yang dilakukan tidak pada situasi dan kondisi yang diperlukan. Maka hal ini akan menimbulkan mudharat dan bahaya terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan hal ini dilarang dalam Islam.
Terakhir penulis menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan, baik referensi maupun materi. Untuk itu penulis juga berharap kepada pembaca untuk memberikan kritis ataupun saran sehingga makalah ini adapat disempurnakan dikemudian hari.



[1]Imam Abu ‘Ala Al-Maududi, et. al., Jihad Bukan Konfrontasi, Terj. Oleh Syatiri Matrais, (Jakarta : Cendekia Sentra Muslim, 2001), hal. 106
[2]Jam’ah Amin, Jihad Bukan Terorisme, Terj. Olah Fadli Bakhri, (Jakarta : Darul Falah, 2001), hal. 71
[3]Ibid, hal 75
[4]Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul, (Beirut : Muasasah Al-Kutub Ats-Tsaqafiyah, 2002), hal. 36
[5]Ibid, hal. 37
[6]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir Qur`an Al-Adzhim Juz I, Muhaqqiq : Syami bin Muhammad Salamah, (Dar At-Tayibah Linaasyir Salamah, 1999), hal. 528
[7]Ahmad Mustofa Al-Marghi, Tafsir Al-Marghi Jilid 2, (Berut : Darul Fikr, 2006), hal.  93
[8]Ismail Haqqi Al-Buruswi, Terjemahan Tafsir Ruhul Bayan, juz II, (Bandung: CV Diponegoro, 1995), hal. 268-267
[9]Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur`an  Jilid 2, terj. As`ad Yasin, et.al., (Jakarta: GEMA INSANI, 2004), cet. 1, hal. 38
[10]Ahmad Ibn Ali Abu Bakr Ar-Razi Al-Jashash, Ahkam Al-Qur`an Juz I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1994), hal 318
[11]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Op. Cit., Juz IV, hal. 81
[12]Ahmad Mustofa Al-Marghi, Op. Cit., Jilid 10, hal  36-37
[13]Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 4, (Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD, 2007), hal. 2795  
[14]Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 486
[15]Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami`ul Bayan fi Ta`wili Al-Qur`an Juz 18, Muhaqqiq : Ahmad Muhammad Syakir, (t.tp : Muasasah Risalah, 2000), hal. 688
[16]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Juz V,  Op. Cit., hal. 398
[17]Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf Juz III, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.th), hal. 168
[18]Sayyid Qutb, Op. Cit., Jilid 8, hal. 151
[19]Ahmad Mustofa Al-Marghi, Op. Cit., Jilid 17, hal. 147
[20]Jalaluddin As-Suyuthi, Op. Cit., hal.144
`               [21]Syamsuddin Al-Qurthubi, Jami`ul Ahkam Al-Qur`an Juz VIII, ( Kairo : Dar Al-Kutub Al-Misriyah, 1964), hal. 267
[22]Ibid, hal.  266
[23]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Op. Cit., Jilid 11, hal 30
[24]Ibid, hal. 32
[25]Muslim, Shahih Muslim Juz III, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi, t.th), hal. 1513
[26]Ibid, hal. 1512
[27]Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam Juz IV, (Indonesia : Pustaka Dahlan, t.th), hal. 44
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Muslim, Op. Cit., hal 1415
[31]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz IV¸ Muhaqqiq : Muhammad bin Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H), hal. 15
[32]Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadhl Al-Aswalani Asy-Syafi`i, Fath Barri Juz VI, (Beirut : Dar Ma`rifat, 1379 H), hal. 37
[33]Ibid.
[34]Ibid.
[35]Ibid, hal. 37
[36]Haitam Abdul Salam Muhammad, Mafhum al-Irhab fi al- Syari'ah al-Islamiyah, (Beirut: Darul Kutub Al-'Ilmiyah, 2005), hal. 209
[37]Dikutip dalam al-Atawneh, “Shahada versus Terror,” hal. 26.
[38]Yusuf Al-Qardawi, Fatawa Mu‘asirah, (Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 2001), hal. 503-508
[39]Ibid, hal. 510
[40]Wahbah Al-Zuhali, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu Juz VIII, (Suriyah : Dar Al-Fikr, 2005), hal.5849.
[41]Taqi Al-Din Ahmad ibn Taymiyah, Majmu‘ah Fatawa Jilid 25, (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 2005), Cet. ke-3, 149-150
[42]Rusli, Suciede Terorism : Menelusuri Justifikasi Fikih, Al-Tahrir Vo. 13 No. 2 November 2013, hal 355
[43]Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha Al-Dimyati, I`anah At-Thalibin `ala Hall Al-Alfazh Fath Al-Mu`in Juz IV, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1997), hal. 205
[44]Abu Al-Husain Ali Ibn Al-Husain Ibn Musawwah Al-Sughdi, Al-Natf fi Al-Fatwa Juz II, (Beirut : Muasasah Risalah, 1984), hal. 704
[45]Busyro, Bom Bunuh Diri dalam Fatwa Kontemporer Yusuf Al-Qardhawi dan Relevansinya dengan Maqasid Syari`ah, Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 16 No. 1 Tahun 2016, hal 95
[46]Haitam Abdul Salam Muhammad, Op. Cit., hal 212
[47]Muhammad bin Utsaimin, Silsilatul Liqa`at Al-Bab Al-Maftuh, (Digital Library, Maktabah Syamilah Al-Isdar Al-Sani, 2005), hal. 8
[48]Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Al-Fatawa Al-Muhimmah, diakses dari http://www.nos7.com/vb/showthread.php?t=3975 pada 2 Januari 2018
[49]Ibid.
[50]Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri, “Fatwa Aksi Bom Bunuh Diri” diakses dari http://answering.wordpress.com/2009/07/18/ pada 2 Januari 2018

1 comment:

  1. PokerVita Situs Judi Online Terpercaya Memberikan Kemudahan Dalam Bertransaksi Dengan Mudah 24 Jam. Kini Pokervita Juga Menyediakan Deposit Via OVO loh .. .

    Minimal Deposit 10.000
    Minimal Withdraw 25.000

    Bonus Terbaru Menjelang Puasa

    Info Lebih Lanjut Hubungi :

    WA: 0812-2222-996

    ReplyDelete