PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perang dalam Islam bukan jihad secara
bebas, tetapi jihad itu terikat dengan
syarat bahwa dilakukan pada jalan Allah (fi sabilillah). Allah mewajibkan jihad atas muslimin, bukan
sebagai alat untuk permusuhan, juga bukan
suatu sarana untuk ambisi seseorang, tetapi jihad sebagai perlindungan dakwah, jaminan perdamaian, dan penunaian
tugas yang besar yang beban beratnya
harus dipikul oleh muslimin, serta tugas untuk menunjukkan manusia pada kebenaran dan keadilan. Dan
sesungguhnya, agama Islam, sebagaimana mewajibkan
perang, juga mengajak kepada kedamaian.[1]
Islam menegaskan bahwa
menghunus pedang dan berjuang dalam sejarahnya yang panjang tidak unutk
menguasai tanah, atau menghinakan suatu bangsa, atau mencari kekayaan, atau
memaksa manusia masuk ke dalamnya, namun untuk merealisir banyak sekali tujuan
yang menghendaki adanya jihad tersebut. Islam
berjihad untuk mengusir gangguan dan fitnah, untuk memberikan
keamanan kepada mereka ke dalam jiwa mereka, harta mereka, dan
akidah mereka, agar tidak ada lagi fitnah.[2]
Islam tidak mengangkat pedang untuk memaksa manusia memeluk akidahnya, dan
Islam tidak tersebar dengan pedang seperti dituduhkan musuh-musuhnya. Islam hanya berjihad untuk menegakkan sistem
yang aman dimana dalam naungannya, semua pemeluk akidah mendapatkan keamanan,
mereka hidup tunduk dibawah naungannya kendati mereka tidak memeluk akidahnya,
kendati mereka tidak beriman kepada kitabnya dan kendati mereka tidak
membenarkan Rasulullah SAW.[3]
Pemahaman radikal yang berkembang saat ini
bahwa salah satu alternatif untuk melakukan jihad adalah dengan melakukan bom
bunuh diri. Yang mana hal tersebut dianggap sebagai interpretasi perintah jihad
dalam Al-Qur`an maupun hadis. Karena banyaknya pemahaman seperti ini yang
berkembang di tengah marak-maraknya term jihad saat ini menjadikan bom bunuh
diri suatu bentuk manifestasi dari jihad yang diperintahkan Allah dan Nabi.
Sehingga hal ini memunculkan stigma negatif dari negara-negara Barat terhadap
orang-orang muslim.
Ada beberapa pendapat mengenai status hukum
bom bunuh diri ini di kalangan ulama. Bahkan ada yang membolehkan serta
melarangnya. Untuk itu penulis akan mencoba membahas mengenai bom bunuh diri
tersebut dengan melihat kepada ayat-ayat, hadis Nabi serta pendapat para ulama.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa
masalah yang akan penulis bahas di antaranya :
1. Penafsiran ayat-ayat terkait dengan bom bunuh diri.
2. Penjelasan hadis-hadis terkait dengan bom bunuh diri.
3. Tinjauan fiqh dan ushul fiqh dengan melihat pendapat para ulama.
PEMBAHASAN BOM BUNUH DIRI
A. Ayat-ayat Terkait Bom Bunuh Diri
Surat Al-Baqarah ayat 195 :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ
إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya : ““Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S Al-Baqarah : 195)
Adapun sebab turun
ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Hudzaifah dia berkata : “Ayat ini
turun pada masalah sedekah”.
Abu Daud,
At-Tirmidzi (dan dia mensahihkannya), Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan yang lainnya
meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari, dia berkata, “Ayat ini turun pada kami,
orang-orang Ansahr, ketika Allah membuat kami jaya dan penolongnya berjumlah
banyak. Ketika itu secara diam-diam sebagian dari kami ada yang berkata kepada
sebagian yang lain, “Sungguh sudah banyak harta kita yang hilang, dan kini
telah membuat Islam jaya, bagaimana kalau kita merawat harta agar kita dapat
mengembalikan jumlah yang telah hilang itu ?”. maka Allah menurunkan ayat yang
membahas apa yang kami katakan tadi, yaitu firman-Nya :[4]
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ....
Maka, kebinasaan
adalah menjaga dan merawat harta dengan meninggalkan perang melawan musuh
Islam.
Ath-Thabari
meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Jabirah ibn Ad-Dahak, dia
berkata “ Dulu orang-orang Anshar menginfakkan harta mereka dengan jumlah yang
banyak. Lalu pada suatu ketika paceklik menimpa mereka, seingga mereka tidak
berinfak lagi, maka turunlah ayat :
...وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ...
Ath-Thabari juga
meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Nu`man bin Basyir dia berkata : “Dulu
ada orang yang melakukan suatu perbuatan dosa, lalu karena putus asa dia
berkata, Allah tidak akan mengampuniku”. Maka Allah menurunkan firmannya :[5]
...وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ...
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa Allah menyuruh agar berinfak di jalan Allah dalam berbagai
segi amal kedekatan dan ketaatan, terutama menggunakan harta untuk memerangi
musuh dan menyerahkannya pada sektor yang dapat memperkuat kaum muslim dalam
melawan musuh dan meninggalkannya merupakan kebinasaan dan kehancuran.[6]
Al-Maraghi juga menjelaskan bahwa belanjakanlah
harta kalian untuk membeli
sarana pertahanan demi membela agama. Belikanlah segala macam senjata dan peralatan untuk membela diri
sejenis dengan yang dimiliki oleh musuh-musuh
kalian, jika tidak ada yang lebih baik. Sehingga dengan sarana tersebut diperkirakan kalian akan
memperoleh kemenangan. Kalian akan merusak
diri apabila tidak mau membelanjakan harta benda baik berupa uang maupun peralatan perang untuk fi
sabilillah dan membela agama.[7]
Ismail Haqqi Al-Buruswi berpendapat bahwa makna ayat
belanjakan harta kalian di
jalan Allah dan jangan kalian menahannya. Menolak berperang dan berinfak bagi kepentingan perang
termasuk kebinasaan. Penolakan tersebut
sebagai perkara yang dapat memperkuat musuh dan melemahkan kaum muslim.[8]
hal
senada juga diungkapkan oleh Sayyid Qutuhb dan beliau menambahkan bahwa jihad membutuhkan
manusia (pelaku) maka ia juga membutuhkan
harta. Maka dari itu, dalam al-Qur’an banyak seruan berjihad selalu disertai seruan untuk berinfak.[9]
Menurut Al-Jasash
kata وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ yang
mengutip pendapat Muhammad ibn Hasan, mengatakan
bahwa seseorang dibolehkan menyerang seribu pasukan musuh sendirian jika ia
berharap akan selamat atau ingin mengalahkan musuh. jika
ia tidak berharap hidup maka hal itu tidak boleh dilakukan karena ia telah menyerahkan
nyawanya kepada kematian yang tidak bermanfaat bagi orang-orang muslim.[10]
Surat Al-Anfal ayat 60 :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ
لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi kekuatan
mereka apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah,
musuh-musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya,
sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang yang kamu nafkahkan pada jalan Allah,
niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)”. (Q.S Al-Anfal : 60)
Terkait dengan ayat di atas menurut Ibnu Katsir bahwa demi menegakkan agama Allah
yang merupakan tujuan dari sabilillah, Allah memerintahkan untuk
mempersiapkan peralatan senjata untuk berperang melawan orang-orang musyrik
sesuai dengan kemampuan, fasilitas, dan kesanggupan yang ada.[11]
Ahmad
Mustafa Al-Maraghi berpendapat ada dua perkara dalam mempersiapkan perang fi sabilillah :
Pertama,
mempersiapkan
persiapan sebisa mungkin. Persiapan seperti ini
akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Kewajiban Muslim pada saat ini ialah membuat
senjata, pesawat tempur, bom, tank baja, membuat
kapal-kapal perang dan kapal selam, dan lain sebagainya. Lafaz ayat mencakup semua itu, meski belum dikenal
pada masa Rasulullah Saw.
Kedua,
menempatkan
pasukan berkuda di pelabuhan dan perbatasan, karena
ia merupakan pintu masuk musuh dan tempat penyerangan terhadap Negara. Hikmahnya, supaya umat mempunyai
tentara yang selalu siap melindunginya
apabila tiba-tiba datang serangan dari musuh. Hal ini akan terpenuhi oleh pasukan kuda karena
bergerak secara cepat. Di zaman sekarang ini
disesuaikan dengan keahlian kemiliteran yang dimiliki.[12]
Sedangkan
menurut Buya Hamka ayat ini mengisyaratkan supaya kita selalu bersikap terus, dan terus
mengikuti perkembangan persenjataan. Di zaman
Rasulullah SAW. sangat penting artinya kuda untuk perang fi sabilillah,
Dalam perkembangan zaman sekarang telah muncul kendaraankendaraan bermotor untuk perang seperti truk,
tank, kendaraan lapis baja, ditambah
lagi sekarang dengan kepentingan Angkatan Udara.
Ahli-ahli
perjuangan selalu berkata “The man behind the gun”. Manusia yang berdiri di belakang senjata.
Artinya, bukan senjata yang menentukan dan memutuskan,
melainkan yang berdiri di belakang senjata itu. Jadi,
kalau cara sekarang
hendaklah pemegang senjata itu orang yang ber-ideologi, yang sadar benar untuk apa senjata itu digunakan.[13]
Sedangkan
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya berkomentar bahwa kekuatan yang dipersiapkan itu bukan
untuk menindas atau menjajah, tetapi untuk
menghalangi pihak lain yang bermaksud melakukan agresi. Kata ترھبون dari
kata رھب yang berarti
takut/gentar, ini bukan berarti teror dan teroris.[14]
Segala
apa pun yang dibelanjakan atau dinafkahkan untuk kepentingan persiapan perang fi sabilillah baik
sedikit atau banyak, maka pengorbanan itu tidak
akan disia-siakan Allah SWT. dan tidaklah akan teraniaya melainkan untuk keselamatan masyarakat karena
apabila selalu siap-sedia maka kita terhindar
dari khianat dan kebinasaan oleh musuh. Kata orang sekarang, “kita tidak akan mati konyol”.
Surat Al-Hajj ayat 78 :
وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ
الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ
وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ
النَّصِيرُ
“Dan berjihadlah
kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih
kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al
Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka
dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.”
Ath-Thabari di dalam tafsirnya berkomentar
mengenai masalah jihad yang terdapat di dalam ayat di atas, menurut beliau
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ta`wil menganai ta`wil dari ayat (وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ),
sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dari potongan ayat di atas
adalah seruan untuk berjihad melawan
orang-orang musrik pada jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.[15]
Berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Katsir memberikan penjelasan mengenai
ayat yang berbunyi وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
memiliki arti berjihad menggunakan harta, lidah, dan diri kamu. Bunyi ayat ini identik dengan bunyi ayat اتَّقُوا
اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (Q.S. Ali Imran
[3]: 102).[16]
Imam
Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat di atas
mengatakan bahwa ayat tersebut tidak hanya sekedar menjelaskan perintah perang
saja. Perintah jihad dalam ayat ini berarti memadukan antara ibadah ritual dan
ibadah sosial, dan ini adalah sebuah dimensi terpenting dalam kehidupan ini.
Imam Zamakhsyari melanjutkan, ayat ini merupakan revolusi terbesar dalam jihad
melalui perintah dari Allah SWT. Maksud beliau adalah hendaknya dalam berjihad jangan hanya bertumpu pada
jihad dalam arti perang, melainkan pada upaya membersihkan jiwa dari nafsu.
Perintah jihad hakiki (haqqa jihadihi) yang dimaksud dalam ayat ini
adalah bukan semata-mata jihad untuk tujuan duniawi, melainkan jihad degan
tujuan melaksanakan perintah-Nya dan mencari ridha-Nya.[17]
Ungkapan
وَجَاهِدُوا فِي
اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ menurut Sayyid Qutb adalah umum, sehingga
yang dimaksud berjihad di dalam ayat ini adalah menghadapi musuh-musuh yang
mengancam keamanan dalam beragama, baik musuh yang datangnya dari luar (setan,
orang kafir, orang munafik, dan orang fasik) diri dan yang datang dari diri
sendiri (hawa nafsu, kebodohan, kemalasan). Karena sesungguhnya Allah telah
menetapkan pilihan-Nya terhadap umat yang istiqimah untuk menangung tanggung
jawab besar.[18]
Al-Maraghi
dalam menjelaskan ayat di atas berkomentar bahwa berjihad di jalan Allah
merupakan ibadah yang utama, dengan catatan niat tulus dan ikhlas demi
mendapatkan keridhaan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang besar karena
dibutuhkan kesabaran yang tinggi terhadap celaan orang-orang yang mencela dalam
menjalankan jihad. Menurut Al-Maraghi, dengan mengutip pendapat Al-Raghib,
beliau mendefenisikan jihad sebagai aktivitas yang menuntut pengerahan segala
kemampuan dalam mengantisipasi musuh. Selanjutnya Al-Maraghi membagi jihad
kepada tiga macam, yaitu:
1. Jihad
melawan musuh yang tampak, seperti orang-orang kafir (mereka yang memberikan
ancaman).
2. Jihad
melawan setan.
3. Jihad
melawan hawa nafsu, adapun macam jihad yang terkhir inilah menurut beliau yang
paling berat.[19]
Kemudian surat At-Taubah ayat 111 :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ
وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ
وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا
بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : “Sesungghnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh, (itu
telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan
Al-Qur`an. Dan siapakan yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar” (Q.S At-Taubah : 111)
Adapun sebab turunya surat At-Taubah ayat 111 ini,
sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Suyuthi bahwa Ibnu Jarir meriwayatkan dari
Muhammad bin Ka`ab Al-Qurazhi bahwa Abdullah bin Rawanah berkata kepada
Rasulullah, “Tetapkan syarat sesukamu untuk Tuhanmu dan untuk dirimu”. Beliau
bersabda : “Aku syaratkan untuk Tuhanku kalian menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apa pun, dan aku syaratkan untuk diriku kalian
melindungi diriku seperti kalian melindungi harta kalian sendiri”, mereka
menjawab, “Kalau kami lakukan itu, apa balasan untuk kami ?”, beliau
menjawab, “surga”, mereka berkata, “Transasksi yang menguntungkan!,
kami tidak akan membatalkannya”. Maka turunlah surat At-Taubah ayat 111.[20]
Menurut Al-Qurtubi ayat di atas
menjelaskan bahwa Allah swt akan menggantikan pengorbanan yang dilakukan
oleh hamba-Nya, baik pengorbanan harta benda maupun pengorbanan nyawa dengan balasan
surga. Hanya saja pengorbanan itu harus berdasarkan niat untuk menggapai ridha Allah swt.[21]
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ
وَأَمْوَالَهُمْ menurut Al-Qurthubi lafaz
ayat ini bersifat umum untuk seluruh muahid dari golongan umat Nabi Muhammad
sampai hari kiamat.[22] Menurut Al-Maraghi bahwa
lafaz tersebut merupakan bentuk motivasi dalam melakukan jihad. Bahwa Allah
menggambarkan keindahan bagi yang melakukan jihad di jalannya dengan memberikan
balasa surga.[23]
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ dalam memahami lafaz ini Al-Maraghi
berpendapat bahwa ketika seorang dalam berjihad dia membunuh, maka hal tersebut
merupakan bentuk membunuh yang benar, karena dia mengorbankan jiwa dan hartanya
dan Allah meridhoi hal yang seperti ini. Begitu juga ketika dia terbunuh dia
tetap berada di jalan yang Allah ridhoi. Hal ini berbeda dengan orang-orang
yang melakukan bunuh diri karena putus asa dalam menghadapi dunia, hal tersebut
bukanlah sesuatu yang disukai atau diridhai oleh Allah.[24]
B. Hadis-hadis Terkait Bom Bunuh Diri
Sebagimana yang kita ketahui, bahwa bom bunuh
diri merupakan istilah yang digunakan oleh fundamentalis radikal sebagai
alternatif jihad pada saat ini. Meskipun secara eksplisit hadis Nabi tidak ada
yang berbicara mengenai bom bunuh diri, akan tetapi kita akan mencoba
menelusuri hadis-hadis yang mengindikasikan adanya wacana bunuh diri dalam
melaksanakan jihad fi sabilillah.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، وَابْنُ نُمَيْرٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ، قَالَ إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرُونَ: حَدَّثَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ شَقِيقٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: سُئِلَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ
شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ
اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ
لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ» (رواه مسلم)[25]
“Telah
menceritakan Abu Bakr bin Syaibah, dan Ibn Numair dan Ishaq bin Ibrahim, dan
Muhammad bin Al-`Ala`, Ishaq berkata : Telah mengkabarkan kepada kami, dan yang
lain berkata : telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyyah, dari `Amasy, dari
Syaqiq, dari Abi Musa, dia berkata : ada seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah kemudian dia bertanya : seseorsng berperang karena keberanian,
seseorang berperang karena semangat, dan seseorang berperang karena riya, yang
mana dari ketiga bentuk perang tersebut yang berjihad di jalan Allah?maka
Rasulullah menjawab : “Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat
Allah, maka ia berperang di jalan Allah”. (H.R Muslim)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ، وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى، قَالَا:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ
مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى
الْأَشْعَرِيُّ، أَنَّ رَجُلًا أَعْرَابِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، الرَّجُلُ يُقَاتِلُ
لِلْمَغْنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُذْكَرَ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى
مَكَانُهُ، فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى، فَهُوَ فِي
سَبِيلِ اللهِ» (رواه مسلم)[26]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Al-Mutsanna, dan Ibn Basyar, dan lafaz oelh Ibn Al-Mutsani, mereka berdua
berkata : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja`far, telah
menceritakan kepada kami Syu`bah, dari Amr bin Murrah, dia berkata : aku
mendengar Abi Waa`il, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abu Musa
Al-As`ary : sesungguhnya seorang laki-laki`Arabi mendatangi Nabi, kemudian dia
berkata : wahai Rasulullah seorang
berperang untuk mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), seseorang
berperang agar dikenang, dan seseorang berperang agar dipandang kedudukannya,
manakah yang ada di jalan Allah ? kemudian Rasulullah menjawab : “Barang siapa
yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia berperang di jalan
Allah”. (H.R Muslim)
Kedua hadis ini adalah dalil yang menyebutkan bahwa
berhak mendapatkan pahal dari Allah yaitu siapa yang berperang menjunjung
kalimat Allah, dan mafhumnya siapa yang berperang dengan niat selain
karena ridha Allah, maka ia tidak berperang di jalan Allah. Namun selanjutnya
yang menjadi pembahasan adalah apabila yang berperang mempunyai 2 niat.,
misalnya niat pertama menjunjung kalimat Allah dan yang kedua demi mendapatkan
harta rampasan perang, apakah ia masih disebut berjihad di jalan Allah ?
Ath-Thabari berkata : “Jika niat awalnya memang untuk
berjuang demi menjungjung kalimat Allah, maka harta rampasan perang yang ia
peroleh tidak merubah niat awalnya, inilah pendapat jumhur ulama, dan hadis
tersebut memungkinkan memang dia keluar berjuang di jalan Allah dengan diiringi
niat lainnya ; karena dia berperang demi meninggikan kalimat Allah.[27]
Hal ini diperkuat dengan firman Allah :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ....
“Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhan-mu....” (Q.S Al-Baqarah
: 198)
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa hal itu tidak
menafikan keutamaan haji, demikian juga pada hal-hal lainnya. Dengan demikian,
yang menjadi standar penilaian perbuatan itu terletak pada motivasi utama atau
niat awal melaksanakannya, jika ia berniat meninggikan kalimat Allah , tidak
akan merusak amalannya jika kemudian dia mendapatkan sesuatu tambahan selain
tujuan utamanya. tetapi kemudian yang akan dibahas adalah, jika 2 niat tersebut
sama-sama menjadi motivasi utamanya, berdasarkan zahir hadis dan ayat tersebut,
bahwa hal itu juga tidak merusak pahala amalan yang dia lakukan.[28]
Menurut Muhammad bin Ismail Al-Kahlani,
apabila antara niat mengharapkan pahala dan agar dikenang sama-sama menjadi
motivasi utama, maka batallahpahala jihad di jalan Allah. Karena dia
mengkhususkan niatnya agar dapat dikenang. Dengan demikian niatnya berubah
menjadi riya`, riya` menghapus pahala amalan ibadah yang dilakukannya. Berbeda
bila ia berniat juga mendapatkan harta rampasan perang, karena tidak menafikan
pahala jihadnya, bahkan jika ia bermaksud dari harta rampasan perang tersebut
untuk dimanfaatkan dan menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah, dan agar kaum
musyrik murka, maka ia mendapat pahala jihad di sisi Allah.[29]
وحَدَّثَنَا
هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، وَثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُفْرِدَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي
سَبْعَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ، فَلَمَّا رَهِقُوهُ،
قَالَ: «مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ؟» - أَوْ «هُوَ رَفِيقِي فِي
الْجَنَّةِ» -، فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ،
ثُمَّ رَهِقُوهُ أَيْضًا، فَقَالَ: «مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ؟
-» أَوْ «هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ» -، فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ،
فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ، فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قُتِلَ السَّبْعَةُ،
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبَيْهِ: «مَا
أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا» (رواه مسلم)[30]
“Telah
menceritakan kepada kami Hadab bin Khalid Al-Azdi, telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid, dan Tsabit Al-Bunani dari Anas bin
Malik, sesungguhnya Rasulullah saw pernah pada perang Uhud hanya bersama tujuh
orang dari kaum Anshar dan dua dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati
beliau, beliau bersabda : “Barang siapa yang bisa menyengkirkan mereka dari
kita, ia akan masuk surga, atau ia akan bersamaku di surga.” Kemudian satu
orang dari kaum Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Muuh mendekat lagi dan
Raulullah bersabda lagi : “Barang siapa yang bisa menyingkirkan mereka dari
kita, ia akan masuk surga, atau bersamaku di surga”. Kemudian satu orang dari
kaum Anshar maju dan betempur sampai gugur.” (H.R Muslim)
حَدَّثَنَا
أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي
عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ، أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، حَدَّثَهُ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ»، قَالُوا: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ:
«مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ، وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ
شَرِّهِ» (رواه البخارى)[31]
“Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman
telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata telah bercerita
kepadaku ‘Atha’ bin Yazid Al Laitsiy bahwa Abu Sa’id Al Khudriy bercerita kepadanya, katanya: “Ditanyakan
kepada Rasulullah, siapakh manusia yang paling utama?” Maka Rasulullah
bersabda: “Seorang mu’min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan
hartanya”. Mereka bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab:
“Seorang mu’min yang tinggal diantara bukit dari suatu pegunungan dengan
bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan manusia dari keburukannya.” (H.R
Bukhari)
Dalam Fath Barri, Ibnu
Hajar mengomentari syarah hadis yang disebutkan oleh Bukhari dalam “Bab
Wujub Al-Nafir wa Ma Yajib min Al-Jihad wa Al-Nihayah”. Kewajiban untuk
memerangi orang-orang kafir serta kewajiban jihad dan niat. Ibnu Hajar
menyebutkan :
Maksud bab ini adalah
pergi untuk memerangi orang-orang kafir. Makna asal nafir adalah pergi dari
suatu tempat ke tempat lain karena ada alasan yang menggerakkannya.
Adapun kewajiban jihad
dan niat bermakna penjelasan tentang jumlah jihad yang diwajibkan serta
keharusan niat di dalamnya. Terkait masalah jihad manusia memiliki dua kondisi
: pada zaman Nabi dan setelah zaman Nabi.
Pada kondisi pertama,
sebagaimana disepakati, jihad pertama kali disyaratkan setelah Nabi SAW hijrah
ke Madinah. Akan tetapi, setelah jihad disyaratkan, apakah hukumnya fardhu
`ain atau fardhu kifayah ?. Ada dua pendapat yang masyhur di
kalangan ulama, yang kedua-duanya terdapat di dalam mazhab Syafi`i.[32]
Al-Mawardi berpendapat
bahwa jihad fardhu `ain berlaku untuk kaum muhajirin saja. Pendapat ini
didukung bahwa setiap orang yang masuk Islam sebelum futuh Makkah, wajib
hijrah untuk menolong agama Islam.
Adapun Al-Suhaili
berpendapat bahwa jihad fardhu `ain berlaku untuk orang Anshar sajaa.
Pendapat ini didukung bahwa pada malam `Aqabah, orang-orang Anshar berbai`at
kepada Rasulullah untuk melindungi dan mendukung beliau.[33]
Dari kedua pendapat
tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa hukum jihad adalah fardhu `ain untuk
orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar. Dan fardhu kifayah untuk
selain mereka. Dengan demikian, orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak boleh
digeneralisasi. Akan tetapi, menjadi hak kaum Anshar saja jika ada yang
menyerang. Dan hak kaum Muhajirin saja jika ingin menyerang orang kafir, untuk
memulainya. Ini didukung dengan peristiwa yang terjadi dalam perang Badar,
sebagaimana dituturkan oleh Ibn Ishaq yang menjadi penjelas dari hal tersebut.
Ada juga yang
berpendapat bahwa hukum jihad adalah fardhu `ain dalam peperangan yang
diikuti oleh Nabi SAW saja, tidak dalam peperangan lainnya. Akan tetapi, yang
tepat adalah, jihad menjadi fardhu `ain bagi orang yang ditentukan oleh
Rasulullah meski pun beliau sendiri tidak ikut berperang.[34]
Adapun pada kondisi
kedua, sesuai dengan pendapat yang masyhur, hukumnya adalah fardhu kifayah, kecuali
jika ada alasan yang bisa mengubah hukum fardhu kifayah ini menjadi fardhu
`ain. Misalnya, musuh tiba-tiba menyerang atau seseorang ditentukan oleh
pemimpin untuk berperang. Menurut mayoritas ulama, hukum fardhu kifayah dalam
jihad harus dipenuhi dengan melakukan jihad satu kali dalam setahun. Alasan
mereka adalah jizyah wajib dilakukan sebagai pengganti jihad, sedangkan jizyah
tidak boleh dilakukan lebih dari satu kali. Dengan demikian, yang
menggantikan jizyah pun harus seperti itu.
Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad wajib dilakukan setiap kali ada kemungkinan untuk
melakukannya. Pendapat ini lebih kuat. Sebab, jihad tetap dilakukan sama dengan
pada zaman Nabi hingga pembebasan negeri-negeri dilakukan dan Islam pun
tersebar di setiap penjuru bumi.
Yang seharusnya
diperhatikan adalah, jihad terhadap orang-orang kafir harus dilakukan oleh
setiap Muslim, baik dengan tangan, lisan, harta, atau hatinya.[35]
C. Kajian Fiqh dan Ushul Fiqh tentang Bom Bunuh Diri
Terkait dengan pembahasan bom bunuh diri ini,
tidak semua ulama yang melarang. Bahkan ada yang membolehkan dengan melihat
kondisi tertentu. Maka dalam sub bab ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan
pendapat para ulama yang membolehkan dan melarang bom bunuh diri.
1. Ulama yang membolehkan
Pendapat mayoritas ulama kontemporer yang
membolehkan aksi bom bunuh diri dan mengkategorikan aksi ini sebagai jihad yang
pelakunya dikategorikan mati syahid yang akan mendapat pahala di sisi Allah
SWT.[36]
Namun hal ini tidak diberlakukan dalam setiap kondisi. Untuk lebih jelas akan
penulis jelaskan pada bahasan di bawah ini.
Sebagian ulama berpendapat tentang serangan bunuh diri dengan melihat
pada kasus-kasus tertentu, tidak membuat generalisasi terhadap
semua kasus. Dalam arti bahwa serangan bom bunuh diri, dalam
sebagian hal, dapat diharamkan, namun dalam kasus-kasus tertentu, ia
dapat dibenarkan dan dibolehkan, bahkan malah diwajibkan. Sebagai
contoh, serangan bunuh diri terhadap gedung WTC pada 11
September 2001 dianggap tidak sejalan dengan jihad defensif.
Fakta bahwa serangan tersebut dilakukan di wilayah nonmuslim bertentangan
dengan konsep dasar jihad defensif. Mufti Agung Kerajaan
Saudi, ‘Abd al-‘Aziz al-Shaykh, mengeluarkan pernyataan yang
mengecam serangan tersebut, lantaran aksi ini bertentangan dengan
ajaran Islam, karena dilakukan terhadap warga sipil yang
tidak berperang, yang dalam aturan hukum jihad, tidak boleh
diperangi.[37]
Ada enam belas ulama dari Timur Tengah yang mendukung serangan bunuh diri dalam
satu cara atau lainnya. Di antara ulama yang berpengaruh tersebut
adalah Yusuf al-Qardawi (Qatar), Faysal Mawlawi (Syiria), Hamid
al-‘Ali (Kuwait), Sa’id Ramadan al-Buti (Syria), Sulayman ibn
Nasir ‘Ulwan (Saudi), Salman ibn Fahd al-‘Awdah (Saudi), Nasir ibn Hamd al-Fahd
(Saudi), dan ‘Ajil al-Nashami. Al-Qardawi, misalnya, mengatakan
bahwa perjuangan militer Palestina adalah logis dan
absah, dan merupakan jihad defensif lantaran mereka melindungi dan
membela keluarga, harta dan tanah air mereka. Bahkan, menurut
al-Qardawi, aksi-aksi ini tidak hanya dibolehkan, bahkan diwajibkan
lantaran aksi-aksi tersebut merupakan satu-satunya media
militer yang paling efektif bagi perjuangan Palestina.
Al-Qardawi juga menambahkan bahwa menyebut misi ini sebagai operasi
bunuh diri adalah sebuah kekeliruan yang besar, karena seorang yang
mati sahid (shahid) mengorbankan dirinya untuk satu tujuan
mulia demi membela agama dan komunitasnya, sedangkan bunuh
diri didasari pada keputusasaan dan demi tujuan-tujuan yang egois.
Menurut al-Qardawi:
“Anak-anak muda
yang membela tanah airnya yang merupakan wilayah muslim bukan melakukan tindakan bunuh diri. Lebih tepatnya, mereka adalah para sahid yang
mengorbankan dirinya di jalan
Allah, selama terkandung niat yang tulus dan tidak ada pilihan lain untuk menghalangi musuh-musuh
mereka.”
Lebih lanjut Yusuf al-Qaradawi menjelaskan perbedaan antara al-intihar
dengan al-mujahid (amaliyah al-istisyhad). Ia
mengatakan: “Seseorang yang melakukan al-intihar hanya untuk kepentingan
dirinya sendiri yang mendahulukan berkorban untuk kepentingannya daripada kepentingan
agama dan umat Islam, di samping itu orang yang melakukan al-intihar adalah
orang yang putus asa terhadap dirinya dan pertolongan Allah. Sedangkan al-mujahid (amaliyah
al-istisyhad) adalah orang yang dengan sepenuh
hati mengharapkan pertolongan dan kasih sayang Allah. Tindakan al-intihar adalah
tindakan yang dilakukan untuk lari dari kenyataan yang menimpanya dengan cara membunuh
dirinya, sedangkan al-mujahid (amaliyah al-istisyhad) adalah
orang-orang yang berperang dalam rangka memerangi musuh Allah dengan menggunakan
persenjataan/teori terbaru (bom bunuh diri). Cara seperti itu ditakdirkan untuk
digunakan oleh orang-orang yang lemah untuk menghadapi musuh yang kuat” [38]
Tidak hanya itu, al-Qaradawi juga memberikan justifikasi meskipun target
serangan tersebut adalah orang-orang sipil, dengan alasan
bahwa masyarakat Israel pada dasarnya bersifat militeristik karena
baik kaum laki-laki maupun wanitanya mempunyai peran dalam
peperangan dan dapat dipanggil setiap saat untuk wajib militer.
Di sisi lain, menurutnya, jika anak kecil atau orang tua terbunuh, itu
pun bukan karena kesengajaan, namun kesalahan, dan sebagai
konsekuensi dari darurat militer. Kondisi darurat dapat menjustifikasi hal-hal
yang dilarang Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa “jika
setiap orang yang membela tanah airnya, dan meninggal karena
membela simbol-simbol sucinya dianggap sebagai teroris, maka
saya berharap menjadi yang terdepan di antara teroris tersebut.” [39]
Dalam kondisi darurat, bom bunuh diri merupakan salah satu metode jihad karena dapat menciptakan kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat Islam. Para pelaku bom bunuh diri melakukan aksi tersebut karena terpaksa, sebab tidak ada senjata lain. Menurut Wahbah Zuhailiy, apabila kaum muslimin
tidak mampu melakukan perlawanan terhadap musuh maka kaum muslimin yang berada di wilayah sekitar wajib membantu mereka melakukan jihad sebagai perlawanan.[40]
Terkait dengan hal ini Ibn Taimiyah juga pernah
berkata :
فإنه فعل أمر الله به فأفضي ذلك إلي قتل نفسه فهذا محسن في
ذالك كالذي يحمل علي الصف وحده حملا فيه منفعة للمسلمين وقد اعتقد أنه يقتل فهذا
حسن و في مثل قول الله تعالى : وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ[41]
“Jika
ia melakukan apa yang diperintahkan Allah, lalu hal itu menyebabkan dirinya terbunuh, maka orang ini
telah melakukan kebaikan. Keadaannya seperti seorang yang menyerang satu barisan musuh sendirian
yang kemudian mendatangkan kemanfaatan bagi kaum muslim, sedangkan ia tahu
dengan pasti bahwa ia akan terbunuh. Maka, hal ini
dianggap sebagai sebuah kebaikan. Mengenai perumpamaan orang ini, Allah menurunkan
firman-Nya: “Di antara sebagian manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari keridaan Allah. Allah Maha Pengasih terhadap
segenap hamba-Nya (QS. al-Baqarah: 207).”
Menanggapi hal di atas Al-Albani menjelaskan
bahwa taktik meledakkan diri di kalangan musuh yang
mempunyai kekuatan besar tak tertandingi dan menindas kaum
muslim, tidak dapat dianggap sebagai bunuh diri (intihar,
suicide), namun sebaliknya, ia merupakan jihad di jalan Allah
(jihad fi sabilillah), yang pelakunya, jika meninggal, akan mencapai
derajat sahid. Bunuh diri (suicide) lebih didasari pada keputusasaan dalam
hidup dan tidak rida dengan ketetapan Allah, sementara
seorang yang mengorbankan dirinya di jalan Allah untuk melakukan
perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang menghancurkan umat
Islam pada dasarnya dimotivasi oleh hasrat untuk mencari
keridaan Allah dalam membela dan menjaga Islam dan melindungi kaum
muslimin. Menurut al-Albani, praktik seperti ini telah dilakukan
oleh seorang sahabat Nabi ketika ia menyerang dan menghunuskan
padang kepada sekelompok orang kafir hingga kematian menjemputnya,
sedangkan ia tahu bahwa pasti ia akan mati dengan aksi
tersebut dan ia yakin bahwa tempat kembalinya adalah surga.[42]
Tindakan ‘amaliyah al-istishhad merupakan
sarana jihad yang diwajibkan bahkan harus dicita-citakan
oleh setiap muslim. Seorang muslim harus
melibatkan diri dalam kegiatan perang membela agama dengan memperhatikan sekurang-kurangnya tiga
syarat :
Pertama, mengetahui
bahwa perang yang diikutinya adalah perang yang disyariatkan dalam
agama (mashru’iyah). Oleh karena itu setiap pasukan harus mengerti
dengan aturan-aturan perang karena hal itu merupakan ilmu yang wajib diketahui oleh
setiap muslim yang terlibat dalam perang tersebut. Menurut Muhammad Syatha Dimyati, memerangi
orang kafir bukan merupakan tujuan jihad, tetapi jihad ditujukan untuk membela dan
meninggikan agama Allah, serta menyampaikan hidayah kepada orang kafir. Nabi
Saw. bersabda,
“Barang siapa berperang agar kalimat Allah
itu tinggi maka ia berperang di jalan Allah”. Jika
ada cara lain yang dapat dilakukan tanpa peperangan, maka cara itu lebih utama
dilakukan. Dengan demikian, kewajiban jihad itu hanya sebatas wasilah saja
untuk menyampaikan hidayah Allah kepada mereka.[43]
Kedua, jihad dilakukan dengan perintah pemimpin (imam). Menurut ibn
Muhammad al-Sughdi,
orang Islam boleh melakukan jihad apabila dipimpin langsung oleh pemimpin kaum
muslimin (imam), atau di bawah kepemimpinan panglima perang yang ditunjuk oleh imam,
atau di bawah kepemimpinan seseorang yang diangkat secara bersama-sama oleh kaum
muslimin. Jihad ini baru boleh dilakukan apabila kaum muslimin memiliki
kekuatan militer
(amr al-askar) dan bersedia mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh
pimpinannya.[44]
Ketiga, mempertimbangkan setiap tindakan agar bisa selamat (tidak tewas).
Hal ini dapat dilakukan dengan menguatkan penjagaan, menggunakan
strategi-strategi perang, mengambil tindakan-tindakan
yang berkaitan dengan keselamatan pribadi, misalnya dengan memakai baju
besi, topi baja, atau seperti menggali parit sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Nabi SAW dalam perang Khandaq. Oleh karena itu tidak ada kata menyerah atau
tunduk untuk dibunuh secara mudah oleh orang kafir. Sebab, bila tidak berprinsip
demikian tentu seseorang akan menyerahkan diri kepada musuh yang kafir atau melakukan
tindakan brutal seperti bom bunuh diri.[45]
Dengan meihat beberapa pendapat ulama dapat dipahami bahwa kebolehan
melakukan bom bunuh diri bukanlah menjadi cara satu-satunya. Maksudnya di sini
bahwa melakukan bom bunuh diri tersebut diperbolehkan hanya pada kasus tertentu
dan tidak berlaku untuk semua kasus itulah yang perlu digaris bawahi dalam
memahami pendapat ulama di atas. Kebolehan tersebut dilakukan karena tidak ada
cara lain untuk melawan musuh sehingga adanya alternatif untuk kebolehan
melakukan bom bunuh diri.
2. Ulama yang tidak membolehkan
Pendapat
sebagian ulama fikih kontemporer yang menyatakan bahwa aksi bom
bunuh diri, sama saja dengan membinasakan diri dengan mendekati hal
yang berbahaya. Apabila hal ini dilakukan maka hukumnya haram, karena
sama saja telah menjatuhkan diri kedalam
kerusakan yang akan berakibat fatal.[46]
mengemukakan argumen sebagai berikut :
Pertama, Bom
bunuh diri secara otomatis dan pasti akan mengakibatkan kematian bagi pelakunya,
dan hal ini dilarang Allah dengan
firmannya dalam surat Al-Baqarah
ayat 195:
...وَلَا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ....
Tidak boleh bagi seorang muslim untuk melakukan bunuh diri karena ingin
lepas dari tekanan penguasa kejam, dari sebuah penyakit yang dia derita hingga
penyakitnya menjadi penyakit menahun dan yang sejenisnya, maka bunuh diri untuk
melepaskan diri dari hal seperti ini, tanpa diragukan, adalah haram. Bom bunuh diri tidak bisa diqiyaskan
atau dianalogkan dengan tindakan seseorang yang menerobos
pasukan musuh. Karena orang yang menerobos pasukan musuh tidak membunuh
dirinya. Pelaku bom bunuh diri sudah tahu pasti bahwa dirinya akan mati, sedangkan
dengan aksi demikian tidak mungkin baginya untuk mengalahkan musuh.
Kedua, Bom
bunuh diri lebih dari demikian, sebab dia tidak menempuh cara untuk mati
syahid. Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin mengatakan :
“Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa
intihar (aksi bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan
orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka,
sesungguhnya ini termasuk aksi bunuh diri. Barangsiapa
yang membunuh
dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat
dalam hadis dari Nabi
saw. Sebab, bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus
(orang kafir),
tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam.”[47]
Ketiga, Pada masa Nabi
saw. di sebagian peperangan ada seorang pemberani berperang di jalan
Allah, maka orang-orang memujinya. Mereka berkata; Tidak
ada di antara kita yang seberani si Fulan. Rasulullah saw bersabda : Dia
di neraka. Itu dikatakan Nabi sebelum pria itu mati. Ucapan
Nabi ini menjadi musykil bagi sahabat ketika itu, bagaimana bisa
orang ini -yang tidak membiarkan seorangpun orang kafir melainkan
dikejarnya lalu dibunuhnya- masuk neraka?! Maka sahabat ini
mengikuti orang itu dan mengintainya setelah orang itu terluka.
Akhirnya sahabat itu melihat orang itu menancapkan pedangnya ditanah
ujungnya menghadap ke atas kemudian dia tekan tubuhnya hingga dia terbunuh,
maka kata sahabat itu; “Benar apa yang dikatakan Rasulullah”,
karena Rasulullah tidak berbicara atas hawa nafsu.[48]
Kenapa dia masuk neraka, padahal
dia berperang dengan demikian hebatnya?! Karena dia membunuh
dirinya dan tidak bersabar. Maka tidak boleh bagi setiap orang
untuk membunuh dirinya dan membahayakan kehidupan kaum
muslimin. Nabi di Makkah selama 13 tahun, di sana beliau dan para
sahabatnya disakiti dengan gangguan yang hebat, tetapi beliau tidak
ada menyuruh seorangpun sahabatnya untuk melakukan
tindakan penculikan orang kafir yang menyakiti mereka dan juga tidak
ada menyuruh untuk menghancurkan fasilitas mereka. Karena tindakan itu akan menimbulkan bahaya
bagi kaum muslimin yang bahaya itu lebih parah dari yang dialami kaum kafir.[49]
Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri menyatakan bahwa tindakan itu tidak membuat orang kafir takut bahkan semakin membuat mereka semangat hingga mereka mengeluarkan kekuatan yang mereka sembunyikan dari kaum muslimin.[50]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa terkait dengan bom bunuh diri ini tidak diatur secara eksplisit dalam
Al-Qur`an maupun hadis Nabi. Namun bisa dilihat beberapa ayat serta hadis yang
mengindikasikan dalam pelaksaan jihad dengan bentuk bom bunuh diri tersebut.
Sehingga para ulama yang membolehkan dengan argumen menggunakan hadis serta
ayat tersebut.
Di antara ulama yang membolehkan bom bunuh
diri ini adalah Yusuf Al-Qardawi. Akan tetapi bom bunuh diri dalam konsep Yusuf
Al-Qardawi yang dibolehkan tidak dalam semua kasus, hanya berlaku dalam
kasus-kasus tertentu. Salah satu contoh adalah seperti keadaan di Palestina.
Dalam keadaan tersebut boleh menurut Yusuf Al-Qardawi untuk melakukan bom bunuh
untuk mengusir musuh dari wilayah mereka. Yusuf Al-Qardawi menganggap berbeda
antara bunuh diri yang dilarang Allah dengan bom bunuh diri dalam kondisi
seperti di atas. Karena dalam kondisi di atas merupakan suatu tuntutan untuk
melindungi wilayah Islam dan untuk kepentingan masyarakat umum.
Sedangkan ulama yang melarang bom bunuh diri
menganggap bahwa bunuh diri merupakan ha yang dilarang dalam Islam. sehingga
bentuk bom bunuh diri ini merupakan pelanggaran dalam ajaran Islam.
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa tidak semua ulama yang membolehkan bom bunuh diri. Bahkan
bisa dianggap ulama yang membolehkan bom bunuh diri, kebolehan tersebut hanya
pada kasus-kasus tertentu. Sehingga jika tidak dalam kondisi tertentu tersebut
bom bunuh diri tetap terlarang dalam Islam.
B.
Saran
Memahami Islam
tidak cukup hanya dengan mempelajari kulit-kulitnya. Karena yang diwajibkan
adalah memahami Islam secara sempurna. Karena jika tidak demikian niscaya hal
ini menyebabkan salah persfektif dalam memahami ajaran Islam.
Terkait dengan bom
bunuh diri, hal ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas nama jihad. Melainkan
ada hal-hal yang mesti diperhatikan ketika hendak melakukannya. Hal ini bisa
dilihat dengan memahami ayat-ayat Al-Qur`an, hadis Nabi serta pendapat para
ulama. Karena Islam tidak mengehandaki kekerasan dalam agama. Apalagi melakukan
aksi bom bunuh diri yang dilakukan tidak pada situasi dan kondisi yang
diperlukan. Maka hal ini akan menimbulkan mudharat dan bahaya terhadap
orang-orang yang tidak bersalah dan hal ini dilarang dalam Islam.
Terakhir penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan, baik referensi maupun
materi. Untuk itu penulis juga berharap kepada pembaca untuk memberikan kritis
ataupun saran sehingga makalah ini adapat disempurnakan dikemudian hari.
[1]Imam
Abu ‘Ala Al-Maududi, et. al.,
Jihad Bukan Konfrontasi, Terj. Oleh Syatiri Matrais, (Jakarta :
Cendekia Sentra Muslim, 2001), hal. 106
[2]Jam’ah
Amin, Jihad Bukan Terorisme, Terj. Olah Fadli Bakhri, (Jakarta : Darul
Falah, 2001), hal. 71
[4]Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul, (Beirut :
Muasasah Al-Kutub Ats-Tsaqafiyah, 2002), hal. 36
[6]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
Qur`an Al-Adzhim Juz I, Muhaqqiq : Syami bin Muhammad Salamah, (Dar
At-Tayibah Linaasyir Salamah, 1999), hal. 528
[8]Ismail
Haqqi Al-Buruswi, Terjemahan Tafsir Ruhul Bayan, juz II, (Bandung: CV Diponegoro,
1995), hal. 268-267
[9]Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 2, terj. As`ad Yasin, et.al., (Jakarta: GEMA INSANI, 2004), cet. 1, hal. 38
[10]Ahmad Ibn Ali Abu Bakr Ar-Razi Al-Jashash, Ahkam Al-Qur`an Juz I, (Beirut
: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1994), hal 318
[15]Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami`ul Bayan fi Ta`wili Al-Qur`an Juz 18, Muhaqqiq
: Ahmad Muhammad Syakir, (t.tp : Muasasah Risalah, 2000), hal. 688
[16]Abu Fada` bin Umar Ibnu Katsir,
Juz V, Op. Cit., hal. 398
[17]Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad Al-Zamakhsyari, Tafsir
Al-Kasysyaf Juz III, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.th), hal. 168
[25]Muslim, Shahih Muslim Juz III, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul
Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi, t.th), hal. 1513
[27]Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam Juz IV, (Indonesia :
Pustaka Dahlan, t.th), hal. 44
[31]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz
IV¸ Muhaqqiq : Muhammad bin Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H),
hal. 15
[32]Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadhl Al-Aswalani Asy-Syafi`i, Fath Barri
Juz VI, (Beirut : Dar Ma`rifat, 1379 H), hal. 37
[36]Haitam Abdul Salam Muhammad, Mafhum
al-Irhab fi al- Syari'ah al-Islamiyah, (Beirut: Darul Kutub
Al-'Ilmiyah, 2005), hal. 209
[38]Yusuf
Al-Qardawi, Fatawa Mu‘asirah, (Kuwait:
Dar al-Qalam li al-Nashr wa al-Tawzi‘,
2001), hal. 503-508
[40]Wahbah
Al-Zuhali, Al-Fiqh
Al-Islamiy wa Adillatuhu Juz VIII, (Suriyah : Dar Al-Fikr, 2005), hal.5849.
[41]Taqi
Al-Din Ahmad ibn Taymiyah, Majmu‘ah Fatawa Jilid 25,
(Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 2005), Cet. ke-3, 149-150
[42]Rusli, Suciede Terorism : Menelusuri Justifikasi Fikih, Al-Tahrir
Vo. 13 No. 2 November 2013, hal 355
[43]Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha Al-Dimyati, I`anah At-Thalibin `ala Hall
Al-Alfazh Fath Al-Mu`in Juz IV, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1997), hal. 205
[44]Abu Al-Husain Ali Ibn Al-Husain Ibn Musawwah Al-Sughdi, Al-Natf fi
Al-Fatwa Juz II, (Beirut : Muasasah Risalah, 1984), hal. 704
[45]Busyro, Bom Bunuh Diri dalam Fatwa Kontemporer Yusuf Al-Qardhawi dan
Relevansinya dengan Maqasid Syari`ah, Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam
dan Kemanusiaan, Vol. 16 No. 1 Tahun 2016, hal 95
[46]Haitam Abdul Salam Muhammad, Op. Cit.,
hal 212
[47]Muhammad bin Utsaimin, Silsilatul Liqa`at Al-Bab Al-Maftuh, (Digital
Library, Maktabah Syamilah Al-Isdar Al-Sani, 2005), hal. 8
[48]Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Al-Fatawa Al-Muhimmah, diakses dari http://www.nos7.com/vb/showthread.php?t=3975 pada 2 Januari 2018
[50]Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri, “Fatwa Aksi Bom Bunuh Diri” diakses
dari http://answering.wordpress.com/2009/07/18/ pada 2 Januari 2018
PokerVita Situs Judi Online Terpercaya Memberikan Kemudahan Dalam Bertransaksi Dengan Mudah 24 Jam. Kini Pokervita Juga Menyediakan Deposit Via OVO loh .. .
ReplyDeleteMinimal Deposit 10.000
Minimal Withdraw 25.000
Bonus Terbaru Menjelang Puasa
Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812-2222-996