Wednesday, January 16, 2019

USHUL FIQH (DALALAH LAFAZ NAHI)



PENDAHULAN
Ilmu ushul fiqh merupakan ilmu yang digunakan sebagai metodologi dalam menggali hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an dan sunnah begitu juga dengan penetapan hukum yang secara eksplisit tidak diatur dalam Al-Qur`an dan sunnah tersebut.
Dalam menggali hukum perlunya keterampilan yang dimiliki oleh mujtahid baik itu keterampilan secara kebahasaan maupun keterampilan dalam menggali hukum sedalam-dalamnya. Salah satu hal yang harus dikuasai dalam menetapkan hukum Islam adalah dengan memahami secara mendalam susunan bahasa yang terdapat dalam teks-teks keagamaan tersebut.
Dalam ilmu ushul fiqh terdapat materi khusus yang berbicara mengenai dalalah lafaz tersebut. Salah satu materi yang penting untuk dipahami adalah lafaz yang berkaitan dengan larangan (nahi). Karena banyaknya bentuk kata berupa larangan di dalam teks-teks keagamaan tersebut. Maka terdapatlah materi khusus yang membahas segala hal yang berkaitan dengan bentuk nahi ini. Sehingga nantinya ketika menggali hukum Islam pemahaman terhadap petunjuk nahi ini sangat memberikan dampak yang signifikan terhadap penetapan hukum Islam tersbut.
Melalui tulisan ini penulis akan mencoba beberapa hal yang berkaitan dengan bentuk kata nahi. Sehingga nantinya kita dapat memahami secara seksama apa saja materi ushul fiqh ini yang berkaitan dengan nahi dan juga dapat memberikan kita kemampuan dalam memahami kata yang berbentuk larangan yang terdapat dalam Al-Qur`an maupun sunnah.

A.    Dalalah Nahi
Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan cara penguasaan dan bentuknya : “jangan lakukan!” dan sebagainya.[1] Pengertian yang senada diekemukakan oleh Abu Zahrah bahwa nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Sebagaimana amar, nahi juga merupakan suatu tuntutan (meninggalkan) yang harus.[2]
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[3] Sehingga apabila lafaz yang khas dalam nash syar`i datang dalam bentuk larangan, atau dengan bentuk khabar yang bermakna larangan, maka ia menunjukkan pengharaman, artinya menghendaki meninggalkan terhadap yang dilarang itu secara tetap dan pasti.[4]
Sebagai contoh yang dapat dikemukakan adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum merek beriman....” 
Firman tersebut menunjukkan pengharaman terhadap menikahi wanita musyrik, sebab menurut pendapat yang rajih bentuk larangan ditetapkan menurut bahasa untuk menunjukkan pengharaman. Maka pengharaman itulah yang diambil dari bentuk larangan dalam keadaan mutlak tersebut.
Selanjutnya apabila ada qarinah yang menunjukkan pemalingan dari makna yang hakiki kepada makna majazi, maka apa yang ditunjuki oleh indikator tersebutlah yang dipahami. Sebagaimana pengertian doa pada firman Allah : [5]
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
Artinya “Mereka berdoa : Ya tuhan Kami, janganlah engkau jadikan kami condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami....” 
Dengan demikian bentuk larangan tersebut bukanlah sesuatu yang mesti ditinggalkan. Karena doa tersebut merupakan permintaan hamba kepada tuhannya.
Dalam konteks kajian ushul fiqh, larangan (nahi)  bersumber dari Syari` kepada manusia sebagao hamba-Nya. Dalam hal ini Allah adalah pihak yang tinggi dan yang menuntut agar larangan tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak yang rendah dan meninggalkan perbuatan yang dilarang.
Nahi dapat digunakan dalam berbagai bentuk lafaz, di antaranya :
1.    Dengan menggunakan lafaz nahi itu sendiri.
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusushan”
2.    Dengan menggunakan shigat la taf`al, yaitu fi`il mudhari` yang diawali dengan laa nahiyah. 
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan sebururk-buruk jalan”
3.    Dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan tidak halal, melalui penggunaan lafaz laa yaillu (tidak halal).
لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Tidak halal bagimu mewarisi para wanita dengan cara paksa”
4.    Dengan menjelaskan bahwa perbuatan adalah haram.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan atas kamu bangkai, dan darah dan daging babi”
5.    Dengan memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang. 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
6.    Dengan menjelaskan ancaman bagi pelaku perbuatan yang dilarang. 
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan menyilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediaman)
7.    Dengan menjelaskan perbuatan yang dilarang adalah bentuk buruk.[6]
 
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni para ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (Akan) berada di neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.
Dalam Al-Qur`an, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud :
1.      Untuk hukum haram
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra` ayat 33 :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
Artinya : “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)”
2.      Untuk makruh
Sebagaimana sabda Nabi dalam hadis :
Artinya : “di antara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air kecil” 
3.      Untuk mendidik
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101 :
لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya : “janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
4.      Untuk doa
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 8 :
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
Artinya : “ya.... Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah engkau memberi petunjuk kepada kami. 
5.      Untuk merendahkan
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hijr ayat 88 :
لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِه
Artinya :”Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir).
 
6.      Untuk penjelasan akibat
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 42 :
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
Artinya : “janganlah sekali-sekali kamu Muhammad mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim”.
7.      Untuk keputusan
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Tahrim ayat 7 :
لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : “hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini”.[7]
B.     Perbedaan Ulama Hanafiyah dan Syafi`iyah Terhadap Petunjuk Lafaz Nahi
Memang dalam Al-Qur`an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian bahasa? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama. Pembicaraan dan pendapat yang berkembang dalam hal ini sama dengan pendapat yang berkembang dalam membicarakan hakikat amar :[8]
1.      Jumhur ulama yang berpendapat bahwa amar itu menurut hakikat asalnya adalah untuk wujud, berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah haram, yang demikian ini jika tidak ada indikator yang menunjukkan pada hukum yang lain[9] dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil yang menunjukkannya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Asy-Syafi`i bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang dilarang adalah diharamkan sampai datangnya petunjuk untuk menunjukkan selain dari haram tersebut.[10] Dalam hal ini jumhur mengemukakan sebuah kaidah :
الاصل في النهي للتحريم[11]
2.      Ulama Mu`tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk sunah, berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum makruh. Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri, tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjukk
3.      Ulama yang berpendapat bahwa lafaz amar itu pengertiannya musytarak, berpendapat bahwa nahi itu adalah musytarak (pengertian ganda) antara beberapa maksud tersebut di atas.
Terkait dengan nahi wa Al-Fasad, sebagai kebalikan dari kata shahihah, ialah suatu pekerjaan yang tidak membawa manfaat dan hasil. Dalam pengertian ini fasad berarti rusak (tidak sah). Menurut syari`at, suatu pekerjaan atau suatu yang dikerjakan. Berkaitan dengan pembahasan nahi ada perbedaan dalam ha apakah sesuatu ditunjuk nahi itu fasad atau tidak. Jumhur ulama mneyatakan bahwa nahi itu menunjuk pada fasad. Namun demikian, ulama berbeda pendapat dalam hal apakah fasad tersebut dari sisi lughah, syara` atau makna illat. Berikut beberapa pendapat ulama berkaitan dengan hal tersebut :
1.      Nahi menunjukkan fasad dari segi bahasanya baik dalam ibadahn ataupun muamalah. Dengan beralasan bahwa nahi itu digunakan karena mengandung fasad.
2.      Nahi menunjukkan fasad dari segi syara` baik dalam bidang ibadah maupun muamalah, karena jikalau ditinjau dari segi lughah menunjukkan pada larangan terhadap mengerjakan sesuatu yang mengandung fasad yang hal ini hanya diketahui syara`.
3.      Nahi menunjukkan fasad dari segi makna, baik dari segi ibadah maupun muamalah, karena suatu yang dilarang mengerjakannya dikarenakan mempunyai kandungan fasad sehingga illatnya lah yang menunjukkan kefasadanya.
4.      Nahi menunjukkan fasad dalam bidang ibadah karena berkaitan dengan masalah ukhrawi, yang hal ini kemudian tampak pada perolehan pahala bagi yang meninggalkan dan mendapatkan siksa bagi yang mengerjakannya, tapi tidak menunjukkan fasad dalam masalah muamalah, karena hal ini hanya mengatur masalah duniawi yang tidak mengandung pahala dan dosa dalam hal pelaksanaan atau tidaknya.
5.      Nahi menunjukkan fasad dalam bidang ibadah secara mutlak, sedang dalam masalah muamalah yang berhubungan dengan keharaman misalnya barang yang dijual, misalnya menjual darah, tapi apabila tidak berhubungan dengan hal yang diharamkan menjualnya.[12]
C.    Perbedaan Ulama Hanafiyah dan Syafi`iyah Terkait Kaidah-Kaidah yang Terkait dengan Lafaz Nahi
Dalam hal ini penulis akan mengemukakan beberapa perbedaan ulama terkait dengan kaidah-kaidah nahi. Diantaranya :
1.      Tuntutan lafaz nahi untuk selamanya
Perbedaan pendapat ulama tentang masa berlakunya tunjukan makna nahi berkaitan erat dengan ketentuan masa berlaku tuntutan amar. Mereka yang berpendapat tuntutan mengerjakan amar secara berulang-ulang maka berpendapat tuntutan meninggalkan nahi juga berulang-ulang. Demikian juga sebaliknya. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat, tuntutan nahi untuk selamanya, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu dirumuskan kaidah yang berbunyi :
الاصل في النهي للتأبيد مالم يدل دليل علي خلافه[13]
Lebih jelas Amir Syarifuddin di dalam bukunya menyebutkan :
(1)   Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa larangan juga tidak menunjukkan berlakunya larangan itu untuk sepanjang masa. Tuntutan berlakunya sepanjang masa tidak muncul dari lafaz itu sendiri, tetapi dari dalil lain yang menyertainya.
(2)   Ulama yang berpendapat bahwa amar menuntut perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa nahi juga menuntut larangan sepanjang masa, namun dapat menerima pembatasan waktu jika ada dalilnya.[14] Menurut Abu Zahrah sebagaimana ulama berpendapat, nahi menunjukkan berlakunya larangan tersebut selama-lamanya, meskipun dapat dibatasi oleh waktu. Karena nahi adalah menunjukkan larangan sejak mulai diungkapkannya. Oleh karena itu. Jika sewaktu-waktu larangan tersebut dilanggar, maka berarti menentang shigat nahi.. selama sighat nahi bersifat mutlak, dan tidak ada nash, maka sighat nahi tersebut berlaku sepanjang masa.[15]
2.      Tuntutan lafaz nahi atas kesegeraan berbuat
Pembicaraan di kalangan ulama yang berhubungan dnegan tuntutan amar atas kesegeraan berbuat berlaku pada nahi, apakah nahi itu menghendaki kesegeraan meninggalkan larangan atau boleh ditangguhkan.
(1)   Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan kesegeraan untuk dilakukan, berpendapat bahwa nahi juga tidak menghendaki kesegeraan untuk ditinggalkan. Adanya kesegeraan tidak datang dari lafaz itu sendiri tetapi dari dalil lain yang menjelaskannya.
(2)   Ulama yang berpendapat bahwa amar itu menuntut kesegeraan untuk dilakukan, berpendapat bahwa nahi juga menuntut kesegeraan untuk meninggalkan apa yang dilaranag.
(3)   Ulama yang bersikap tawaqquf dalam amar, demikian juga pendapatnya tentang nahi. Menurutnya, antara amar dan nahiterdapat kesamaan, yaitu sama-sama berupa tuntutan.[16]
3.      Nahi atas beberapa pilihan larangan
Bila amar kadang ditujukan atas suatu dari beberapa pilihan, nahi pun kadang ditujukan terhadap sesuatu dari beberapa pilihan. Apakah nahi itu hanya ditujukan untuk salah satu dari beberapa pilihan (alternatif) itu atau berlaku untuk semuanya? Dalam, hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Umpamanya seseorang berkata. “jangan kau dekati si Amat atau si Amit.” Yang tidak boleh di dekati dalam contoh di atas, apakah keduanya atau hanya salah seorang di antara si Amat atau si Amit.
(1)   Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan hanya berlaku untuk salah satu dari beberapa larangan pilihan.
Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut :
Firman Allah dalam surat Al-Insan ayat 24 :
وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا
“janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka”
Meskipun larangan dalam ayat tersebut dinyatakan secara pilihan dengan menggunakan kata penghubung “atau”, namun ayat itu berarti tidak boleh mematuhi mereka yang berdosa dan juga tidak boleh yang kufur.
Dalam menjauhi kedua hal yang dilarang itu terdapat tindakan yang kebih hati-hati sehingga sama sekali terhindar dari dosa.[17]
(2)   Golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa nahi tersebut menghendaki meninggalkan keseluruhan yang dilarang. Pendapat ini diikuti juga oleh Al-Jurjani.[18]
4.      Hubungan timbal balik antara amar dan nahi
Perbuatan yang diperintahkan senantiasa memiliki lawan yang keberadaannya saling bertentangan, sehingga tidak mungkin untuk dikompromikan bersama salah satu dari keduanya. Begitu pula perbuatan yang dilarang, ia memiliki lawan yang mana meninggalkannya tidak dapat terbukti tanpa melakukan salah satu di antara lawan-lawan tersebut.
Apabila seseorang berkata kepada yang lain : Berdirilah !, berarti ia menuntut orang tersebut untuk berdiri. Sedangkan berdiri itu memiliki lawan kata seperti duduk dan tidur. Jika ia berkata : Jangan makan!, di sini makan, sebagai tuntutan yang harus ditinggalkan memiliki lawan seperti tidur dan lain-lain.
Sudah jelas pada waktu menunaikan sesuatu tuntutan harus meninggalkan semua lawan-lawannya, jika tidak maka dikatakan ada sudah menunaikan dan. Dan meninggalkan sesuatu yang dilarang harus melakukan salah satu dari lawan-lawan itu. Perkiraan ini adalah jelas yang tidak membutuhkan alasan.[19]
(1)   Segolongan ulama, di antaranya ulama Hanbali, berpendapat bahwa bila ia datang larangan mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan kata, berarti disuruh melakukan lawan kata itu dari segi artinya. Umpamanya, dilarang untuk bergerak berarti disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya. Umpamanya, dilarang berdiri berarti disuruh duduk atau perbuatan lain yang berlawanan dengan berdiri.
Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang melakukan suatu perbuatan berarti wajib meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan salah satu di antara lawan-lawan kata tersebut. Dengan demikian, larangan berbuat sesuatu mengandung arti untuk meninggalkan salah satu di antara lawannya. Hal itu berarti kewajiban melakukan lawan kata yang tersebut.
(2)   Kebanyakan ulama, di antaranya Imam Haramain, Al-Ghazali, An-Nawawi, Al-Jujaini dan lainnya berpendapat bahwa amar-nafsi (tentang suatu yang tertentu), baik hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan itu menghasilkan hukum haram atau karahah; baik lawan kata itu satu atau lebih dari satu. Alasan ulama ini adalah sebagai berikut :
a.       Pada waktu menghadapi tuntutan meninggalkan sesuatu tidak terlintas dalam pikiran untuk melakukan lawan-lawan kata sesuatu tersebut. Begitu pula sebaliknya bila disuruh mengerjakan sesuatu tidak terlintas dalam pikiran untuk meninggalkan lawan-lawan kata sesuatu tersebut.
b.      Seandainya disuruh melakukan sesuatu berarti dilarang mengerjakan lawan sesuatu itu, tentu tidak akan mungkin dikerjakan tanpa mengetahui lawan dari sesuatu tersebut dan meninggalkannya, karena lawan dari sesuatu itulah yang menjadi tuntutan nahi. Hal yang demikian tidak benar karena sudah pasti bahwa tuntutan itu tetap harus terpenuhi meskipun kita tidak mengetahui lawan katanya. Dengan demikian, tidak lah benar pandangan bahwa amar tentang sesuatu adalah nahi terhadap lawannya. Demikian pula sebaliknya.[20]
5.      Hubungan nahi dengan pelanggaran perbuatan yang dilarang
Para ulama berbeda pendapat mengenai larangan syara` terhadap suatu perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun muamalah, apakah larangan tersebut menunjukkan atas batalnya suatu pebuatan atau tidak. Misalnya larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idhul Adha, apakah larangan tersebut menunjukkan atas batalnya ibadah puasa bila dikerjakan pada hari itu atau tidak. Contoh lain, adanya hadis yang melarang seseorang membeli barang yang akan dibeli orang lain, apakah jika barang tersebut dibeli menyebabkan batalnya transaksi atau tidak. Dalam hal ini, ada tiga pendapat sebagai berikut :
(1)   Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya suatu perbuatan, apalagi tidak memenuhi rukun dan syaratnya dengan sempurna. Misalnya, orang yang berpuasa pada hari syak yang diragukan apakah sudah memasuki bulan Ramadhan atau masih berada di bulan Sya`ban, ibadah puasanya sah, akan tetapi hukumnya makruh. Orang yang berpuasa pada hari raya Idhul Fitri, puasanya sah akan tetapi hukumnya haram. Orang yang mengadakan transaksi jual beli pada barang yang tidak dapat diserahkan, hukumnya adalah sah. Larangan meminang wanita yang telah dipinang orang lain tidaklah menyebabkan batalnya akad pernikahan. Demikian juga larangan jual beli pada waktu azan salat jumat, tidaklah menyebabkan batalnya transaksi jual beli tersebut. Semua akad di atas adalah sah, akan tetapi hukumnya makruh.
(2)   Larangan menyebabkan batalnya suatu perbuatan, baik berupa ibadah maupun muamalah. Karena sahnya aqad dan ibadah adalah bersumber dari hukum syara`, sedang larangan tidak mungkin dapat dipadukan  dengan sahnya akad dan ibadah. Sebab bila terjadi demikian, niscaya akan menyebabkan kontradiksi dalam hukum syara`, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah. Karena sahnya suatu hukum adalah bersumber dari perintah dan larangan syara`.
(3)   Jika larangan tersebut berkenaan dengan ibadah, maka menyebabkan batalnya ibadah yang dikerjakan. Seperti larangan berpuasa pada hari raya dan hari tasyri` menyebabkan batalnya iabadah puasa yang dikerjakan. Akan tetapi, jika larangan tersebut berkenaan dengan muamalah, maka tidak menyebabkan batalnya akad. Seperti larangan jual beli pada waktu azan salat jumat, membeli barang dagangan orang desa sebelum sampai di pasar dan sebagainya.
Adapaun dalil yang menunjukkan bahwa larangan dalam ibadah menyebabkan batalnya ibadah tersebut ialah, bahwa menjalankan ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri (mengabdi) kepada Allah. Sedang Allah tidak mungkin dapat didekati dengan perbuatan yang dilarang-Nya. Di samping itu, ibadah merupakan perintah agama yang tergantung pada perintah Allah. Jika Allah melarang suatu perbuatan, itu berarti Allah tidak memerintahkan perbuatan tersebut. Kalau tidak demikian logikanya, niscaya akan terjadi kontradiksi antara perintah dan larangan dalam satu kasus. Dan kontardiksi tersebut tidak dapat dihindarkan, kecuali jika perbuatan yang dilarang tersebut tidak diperintahkan untuk dikerjakan. Bila larangan tersebut dikerjakan, berarti mengerjakan suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam kategori ibadah menurut pandangan syara`.[21]



PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang penulis paparkan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai dilalah nahi ini merupakan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Setidaknya demikian lah pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli ushul fiqh mengenai pengertian nahi ini.
Di samping itu ada beberapa sighat yang menunjukkan terhadap lafaz nahi ini sehingga dapat diketahui dengan sighat tersebut bahwa ketika ada salah satu shigat tersebut, bahwa hal yang dibicarakan merupakan shigat dalam bentuk nahi. Selanjutnya juga ada beberapa dilalah nahi sehingga yang dimaksud nahi tidak hanya haram saja terkadang karahah, dan lain sebagainya.
Banyaknya perbedaan pendapat ulama terkait dengan kaidah-kaidah yang terkait dengan nahi. Adapun ayang mendasari perbedaan tersebut adalah berbeda dalam mehamai nahi tersebut baik dari segi hakikat nahi, nahi dilakukan secara berulang, nahi menghendaki bersegera, serta hubungan timbal balik antara amar dan nahi.
Dengan demikian dapat dipahami dengan mengetahui dilalah nahi ini setidaknya kita yang bergelut di bidang hukum Islam secara aplikatif dapat menerapkan pemahaan kita  ketika hendak memahami hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah. Karena begitu banyak bentuk lafaz yang terdapat dalam al-Qur`an maupun sunnah, dan salah satunya adalah dilalah lafaz nahi ini.
Semoga makalah ini membantu pembaca dan khsususnya pemakalah dalam proses memahami dilalah lafaz nahi.



                                                


[1]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul Fiqh), (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hal. 442
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih), (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2016), cet-9, hal. 293
[3]Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh, (JawaTimur : Darul Hikmah, 2008), hal. 64 
[4]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, (Ilmu Ushul Fiqh), Semarang : Dina Utama, 1994), hal. 308
[5]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,..., hal. 308-309
[6]Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Hamzah, 2014), hal. 255-256
[7]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta : Kencana, 2011), hal. 208-210
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 210
[9]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2008), hal. 180-181
[10]Abu Bakar Ahmad bin Ali, Al-Fiqhiyah wa Al-Muatafaqah Juz I, Muhaqqiq : Abu Abdirrahman Adil bin Yusuf Al-Farazi, (Su`udiyah : Dar Ibnu Jauzi, 1421 H), hal 222
[11]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta : Pustaka Sa`adiyah putra, tth), hal. 30
[12]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2008), hal. 181-182
[13]Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,..., hal. 258
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 211
[15]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),..., hal. 294
[16]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 211
[17]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 212
[18]Qadhi Abu Ya`li, Al-`Adah fi Ushul Al-Fiqh Juz II, (tt, 1990 ), hal. 428
[19]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul Fiqh),..., hal. 448
[20]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 213-214
[21]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),..., hal. 295-296

No comments:

Post a Comment