Wednesday, January 16, 2019

MAQASHID SYARI`AH



MAQASHID SYARI`AH
A.    Filosofis Hukum Islam
Kata filosofis hukum Islam terdiri dari kata filosofis dan hukum Islam. Untuk mengerti apa itu filosofis hukum Islam penulis akan menjelaskan apa itu filosofis dan apa itu hukum Islam.
Kata filosofis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan bentuk kata adjektif yang berarti berdasarkan filsafat. Kata filsafat berasal dari perkataan Yunani Philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan (philen = cinta, dan Sophia = hikmah, kebijaksanaan). Ada yang mengatakan bahwa filsafat itu berasal dari kata phila (mengutamakan, lebih suka) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan). Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau keinginan kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut Failasuf.[1]
Filsafat diartikan sebagai hal ihwal sesuatu sebagai ilmu pengetahuan tentang baecceitas, esensi,dan sebab-sebab segala hal sampai batas kemampuan manusia.[2] Sedangkan Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa filsafat berarti alam berfikir, dan berfilsafat adalah berfikir. Tetapi tidak semua kegiatan berfikir bisa disebut berfilsafat. Berfikir yang disebut berfilsafat adalah berpikiran dengan insaf, yaitu berfikir dengan teliti dan menurut suatu aturan yang pasti. Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat tradisi, dogma dari agama) dan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[3]
Dapat dipahami dari beberapa penjelasan mengenai filsafat di atas bahwa filsafat merupakan kegiatan berfikir yang mendalam sehingga hasil dari berfilsafat untuk mengetahui hikmah-hikmah, kebijaksanaan, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan yang menjadi objek dari berfilsafat tersebut.
Mengenai pengertian hukum Islam yang terdiri dari kata “hukum” dan “Islam” secara tegas tidak terdapat dalam al-Qur`an. Kata “hukum” baik dalam bentuk ma`rifah atau nakirah, disebutkan di 24 ayat dalam al-Quran, namun tidak satupun dari ayat-ayat tersebut yang mengungkapkan rangkaian kata “hukum Islam”. Yang biasa digunakan adalah syari`at Islam atau hukum syar`i. Para ulama pun memiliki perbedaan dalam memberikan definisi hukum syar`i ini di antaranya:
Hukum dapat diartikan pengetahuan tentang pemikiran mendalam, sistematis, logis, dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam kehidupan manusia, baik aturan bermasyarakat maupun aturan bernegara. Dalam Islam dikatakan bahwa hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu (itsbatu syai`in ala syai`in). Secara ringkas, ia berarti ketetapan. Hans Kelsen mendefnisikan hukum sebagai suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah seperti yang terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan yang dipahami melalui sebuah sistem.[4]
Hukum Islam biasa disebut dengan syari`at. Menurut arti kata, adalah jalan yang biasa dilewati atau kolam yang didatangi oleh peminum. Secara luas artinya adalah jalan atau petunjuk yang harus dilalui untuk memenuhi kebutuhan. Menurut istilah populer, terdapat beberapa perumusan di kalangan ahli hukum Islam, yang dicermati dilihat akan berarti semua hukum yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan Islam, baik yang berhubungan dengan aqidah akhlak maupun yang berhubungan dengan `amaliyah. Di antaranya seperti ungkapan Muhammad Abu Syuhbah :
“Adapun syari`at menurut istilah syara` dipakaikan kepada hukum-hukum yang disyari`atkan Allah untuk hamba-hamba Nya yang terdiri dari `aqidah, hukum-hukum dan adab-adab (akhlak) untuk mendapatkan kebahagian dunia akhirat”.[5]

Sedangkan Hasbi Ash Siddieqi menyebutkan bahwa hukum Islam yang tidak lain adalah fiqh Islam atau syari`at Islam, yaitu : “Hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari`at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai padanan dari fiqh Islam, atau syariat Islam, yang bersumber kepada al-Qur`an, sunnah, dan ijma` para sahabat dan tabi`in.[6]
Dengan pemahaman terhadap penjelasan mengenai apa itu yang disebut dengan filsafat dan apa itu yang disebut dengan hukum Islam dapat dipahami bahwa filsafat hukum Islam dapat diartikan dengan pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan filsafat hukum Islam adalah setiap kaidah, asas, atau mabda`, aturan-aturan pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah tersebut dapat berupa ayat al-Qur`an hadis, pendapat sahabat dan tabi`in, ijma` ulama, fatwa lembaga keagamaan. Filsafat hukum Islam diartikan pula dengan istilah hikmah tasyri`.
Dalam sejarah pembinaan hukum Islam dapat ditemukan bahwa para ahli ushul telah mewujudkan falsafah at-tasyri`sehingga hukum terus terbina dengan baik. Oleh karena itu, filsafat hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1.      Falsafah Asy-Syar`iyah, yang mengungkapkan masalah ibadah, mu`amalah, jinayah, dan `uqubah dari materi hukum Islam, filsafat syari`at mencakup asrar al-ahkam, dan tawabi` al-ahkam.
2.      Falsafah Tasyri`, yaitu filsafat yang memancarkan hukum Islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah Tasyri` meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam, dan qawaid al-ahkam.
3.      Hikmah at-Tasyri` wa falsafatuhu, yaitu kajian mendalam dan radikal tentang perilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.[7]
Dapat dipahami bahwa filsafat hukum Islam merupakan suatu ilmu yang digunakan oleh para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum. Sehingga dengan mengetahui unsur filosofis apa yang terkandung dalam sebuah hukum yang dilahirkan oleh mujtahid agar dapat tercapainya kemashlahatan yang menjadi tujuan utama syari`at.
Mustafa Abd al-Raziq, ahli fikih kontemporer Mesir, misalnya, mengemukakan bahwa filsafat hukum Islam itu terdiri atas sumber hukum, kaidah dan tujuannya. Dengan melihat kepada penerapan hukum Islam tersebut ada ulama yang menamakan filsafat hukum Islam itu  maqashid al-tasyri` atau maqashid al-syari`ah. Yaitu tujuan atau rahasia yang sesungguhnya dari pengundangan atau penetapan hukum Islam oleh Allah SWT.[8]
Di sisi lain, filsafat hukum Islam dapat pula diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, rahasia,dan tujuan esensi dari hukum Islam, sehingga seorang mujtahid dituntut untuk mewujudkan esensi tersebut di mana esensi hukum Islam terletak pada kemaslahatan yang terkandung dalam hukum Islam itu sendiri. Menurut Amir Syarifuddin mengatakan :
“Bahwa proses terbentuknya hukum Islam juga merupakan sebuah langkah berfikir filosofis dalam hukum Islam”.[9]

Secara garis besar ruang lingkup dalam filsafat hukum Islam dari segi permasalahan yang dapat dibahas dapat disimpulkan dalam tiga bagian :
1.      Pembagian tentang wujud (universal) termasuk di dalamnya diri manusia sendiri dari mana asalnya, bagaimana proses kejadiannya dan bagaimana akhirnya serta apa tujuannya. Pembahasan dalam bidang ini dikenal dengan nama onthology. Dalam kajian filsafat gukum Islam juga harus beranjak dari pembahasan tentang onthology hukum Islam, yaitu pengetahuan tentang hukum itu sendiri, yang mencakup materi hukum Islam itu sendiri , bagaimana proses lahirnya hukum Islam dan tujuan apa yang hendak dicapai dengan hukum itu.
2.      Pembahasan yang menyangkut tentang pengetahuan manusia darimana sumbernya, sejauh mana kemampuannya serta alat apa yang digunakannya untuk mengetahui sesuatu. Pembagian dibidang ini dikenal dengan nama epistimology. Dalam kajian filsafat hukum Islam, epistimologynya lebih mengarah kepada penemuan sesuatu, atau alat yang digunakan untuk menetapkan hukum Islam. Dalam hal ini metode-metode istinbath hukum seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, al-`urf, sad al-dzari`ah, al-istishab, dan lain sebagainya.
3.      Pembahasan tentang norma-norma yang dipakai untuk mengukur benar atau salahnya fikiran manusia, baik atau buruknya tingkah laku seseorang serta baik buruknya. Pembahasan di bidang ini dikenal dengan nama axiology. Dalam kajian filsafat hukum Islam juga harus memenuhi sisi axiologi. Yaitu kajian tentang norma-norma yang harus dipatuhi bagi seseorang yang berkecimpung dalam hukum Islam. Etika dan estetika mujtahid perlu diperhatikan agar hukum yang diistinbathkannya mempunyai wibawa hukum dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah dan umat Islam. Oleh karena itu dalam ketentuan yang ada hubungannya  dengan axiologi, para ulama sudah berusaha membuat persyaratan-persayaratan bagi seorang yang akan menyibukkan dirinya dengan istinbath hukum Islam, seperti pengetahuan luas tentang al-Qur`an, al-Sunnah dan sebagainya, yang lazim disebut dengan integritas ilmiah. Di samping itu harus mempunyai sifat `adalah, yang dapat dibahasakan dengan integritas moral.[10]
Dalam menetapkan sebuah hukum atau hasil ijtihad para ulama juga harus berpegang kepada prinsip dan tujuan hukum Islam itu sendiri yang hal ini juga termasuk dalam lingkup kajian filosofis Hukum Islam, namun apa yang menjadi prinsip hukum Islam. Menurut Juhaya S. Pradja yaitu :
1.      Prinsip tauhidullah, bahwa semua paradigma berfikir yang digunakan untuk menggali kandungan ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur`an dan hadis, dalam konteks ritual maupun sosial, harus bertitik tolak dengan nilai-nilai ketauhidan, yakni tentang segala yang ada yang mungkin ada, bahkan yang mustahil ada adalah diciptakan oleh Allah.
2.      Prinsip Insaniyah, prinsp kemanusian, bahwa produk akal manusia yang dijadikan rujukan dalam perilaku sosial maupun sistem budaya harus bertitik tolak dengan nilai-nilai kemanusian, memuliakan manusia dan memberi manfaat serta menghilangkan kemudharatan bagi manusia.
3.      Prinsip Tasammuh, prinsip toleransi, sebagai titik tolak pengamalan hukum Islam. Karena cara berfikir manusia yang berbeda-beda, satu sama lain harus saling mneghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat relatif.
4.      Prinsip Ta`awun, tolong-menolong, sebagai titik tolak kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
5.      Prinsip Silahturahmi baina an-nas, sebagai titik interaksi, karena manusia adalah human relation yang secara fitrahnya menajadikan silaturahmi sebagai embrio terciptanya masyarakat.
6.      Prinsip Keadilan, kesemimbangan antara hak dan kewajiban. Sebagai titik tolak kesadaran manusia terhadap hak-hak orang lain dan kewajiban dirinya, jika ia berkewajiban sesuatu maka ia berhak menerima sesuatu. Keduanya harus berjalan secara seimbang dan dirasakan adil untuk dirinya dan orang lain.
7.      Prinsip Kemaslahatan, yaitu bertitik tolak dari kaidah penyusun argumentasi dan berperilaku, bahwa meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mangambil manfaatnya. Operasionalisasi kaidah ini berhubungan dengan  kaidah yang menyatakan, bahwa kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan khusus. Kaidah umum yang dijadikan titik tolak kemaslahatan dalam situasi dan kondisi tertentu dapat berubah sebagaimana dalam situasi dan kondisi emergensi atau darurat. Kaidah kemudharatan berpijak kepada kaidah umum yakni bahwa kemudharatan membolehkan berbuat sesuatu yang hukum asalnya dilarang.[11]
Dengan demikian, dalam penetapan hukum Islam mujtahid harus berpegang kepada prinsip-prinsip hukum Islam yang menjadi dasar dalam penetapan hukum Islam. sehingga ketika adanya perundangan hukum Islam yang dilakukan dengan melalui metode istinbath hukum harus sesuai dengan prinsip tersebut. Hal ini dikarenakan prinsip pada dasarnya merupakan pijakan yang membentuk hukum Islam dapat diaplikasikan dan mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Selain memperhatikan prinsip, ada juga hal lain yang menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum Islam yaitu tujuan hukum Islam itu sendiri atau disebut dengan maqhasid syari`ah. Maqashid Syari`ah menjadi tolak ukur dalam menentukan apa tujuan dibentuknya hukum Islam itu sendiri. Maka dalam hal ini penulis akan menjelaskan mengenai maqashid syari`ah pada sub bab berikutnya.
B.     Maqashid Syari`ah
Dari segi bahasa maqashid syari`ah berarti maksud atau tujuan disyari`atkan hukum Islam. Untuk memahami tujuan hukum Islam ini atau lebih dikenal dengan maqashid syari`ah ini maka akan penulis jelaskan apa yang dimaksud dengan maqashid syari`ah.
Istilah maqashid syari`ah adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab “maqashid” yang artinya “al-Ghayah” yang menunjuk kepada tujuan, sasaran, hal yang diminati, dan tujuan akhir.[12] Istilah ini dapat disamakan dengan istilah “ends” dalam bahasa Inggris, “telos” dalam bahasa Yunani, “finalite” dalam bahasa Prancis, atau “Zweck” dalam bahasa Jerman.[13]
Dengan demikian secara bahasa maqashid syari`ah yaitu tujuan syari`at. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah masalah hikmat dan illat ditetapkannya suatu hukum. Kajian tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum Islam merupakan pembahasan yang menarik dalam bidang ushul fiqh. Istilah yang disebut terakhir melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkan suatu hukum.
Para ahli hukum Islam pada masa awal dan pertengahan Islam telah melakukan kajian terhadap filsafat hukum Islam. Fokus pembahasan mereka adalah memahami ada tidaknya tujuan Allah dalam penetapan hukum Islam. Upaya mereka memahami tujuan hukum tersebut berawal dari teks (nash)  al-Qur`an maupun sunnah, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pendekatan teks secara langsung adalah adalah menggali illat (alasan penetapan hukum) dibalik setiap perintah dan larangan, kaidah yang terkenal adalah[14]
الحكم يدور مع العلة[15]
“Hukum beredar mengikuti illahnya”.
 Dengan demikian dapat dipahami bahwa ada atau tidak adanya suatu hukum tergantung kepada illatnya. Karena eksistensi suatu hukum melihat kepada illat yang dikandungnya.
Sedangkan kajian maqashid syari`ah melalui pendekatan teks secara tidak langsung adalah melakukan dengan cara istiqara` ma`nawi(metode induksi) terhadap keseluruhan teks al-Qur`an maupun sunnah untuk menemukan tujuan Allah dalam penetapan hukum Islam. Berdasarkan metode induksi ini disimpulkan bahwa tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan. Kaidah yang populer adalah[16]
حيثما وجدت المصلحة فثم شرع الله[17]
“Dimana saja terdapat kemaslahatan di sana terdapat hukum Allah”.
Tokoh yang melakukan kajian model ini adalah Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H/1388 M).
Dapat dipahami bahwa dalam melakukan kajian filsafat hukum Islam seorang mujtahid dapat melakukan kajian dengan dua pendekatan. Pendekatan kebahasaan (harfiyah) dan pendekatan maqashid syari`ah. Perbandingan antara pendekatan kebahasaan (harfiyah) dan pendekatan Maqashid syari`ah dalam rangka pengembangan hukum Islam. pendekataan kebahasaan (harfiyah) lebih memperhatikan teks sehingga pengembangan hukum Islam lebih kaku dan terpaku dengan teks-teks keagamaan yang pada akhirnya hukum Islam akan kehilangan jiwa fleksibelitasnya dan kehilangan konteks. Sedangkan salah satu bentuk kelebihan dengan menggunakan pendekatan maqashid syari`ah, seorang mujtahid dapat menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual dan memiliki fleksibelitas yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan umat.
Al-Ghazali dengan teori ushul fiqhnya sudah mulai mengupayakan bagaimana agar hukum Islam selalu dapat tampil secara kontekstual.[18] Menurut Jasser Audah sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya Maqashid untuk Pemula, bahwa Al-Ghazali mengajak agar mengambil pelajaran dari sejarah Islam yang berusia 14 abad, sehingga beliau memasukkan “keadilan dan kebebasan” ke dalam maqashid pada tingkat keniscayaan. Sumbangan al-Ghazali dalam pengetahuan maqashid adalah kritiknya terhadap kecendrungan harfiah yang dimiliki oleh besar ulama kini. Al-Ghazali memiliki sejumlah pendapat yang reformis dalam ranah hak asasi manusia dan hak perempuan, dimana pendapat-pendapat itu, jika dikaji dengan seksama, akan tampak berdasarkan persfektif al-maqashid, yang meliputi maksud utama dan kesetaraan dan keadilan.[19]
Dalam pemikiran ahli ushul fiqh maqashid syari`ah berguna dalam rangka menjawab tantangan perubahan sosial. Hal ini dapat diaplikasikan dengan pendekatan dan penekanan terhadap nilai-nilai kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diperintahkan Allah. Dengan melakukan pendekatan maqashid syari`ah seorang mujtahid dapat menggali nilai-nilai kemaslahatan yang terkandung dalam setiap taklif yang Allah perintahkan kepada umatnya. Kajian maqashid syari`ah ini kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi. Yang mana kajian maqashid syari`ah secara substansial mengandung kemaslahatan bagi manusia.
 Menurut Syatibi, dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, maqashid al-syar`i (tujuan tuhan), kedua, maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan tuhan, maqashid syari`ah mengandung empat aspek:
1.      Tujuan dari syari’ menetapkan syari`at
2.      Penetapan syari`at yang harus dipahami
3.      Penetapan syari`at sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan
4.      Penetapan syari`at untuk membawa manusia kebawah lindungan hukum[20]
Dengan dimikian, tujuan tuhan menetapkan suatu syari`at bagi manusia adalah untuk kemaslahatan manusia. Untuk itu, tuhan menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan syari`at sesuai dengan kemampuannya. Dengan memahami dan melaksanakan syari`at, manusia akan terlindungi di dalam hidupnya dari kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Adapun tujuan syari`at ditinjau dari sudut mukallaf ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syari`at yang digariskan oleh syara` di atas sehingga tercapai tujuan mulia syari`at, yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.[21]
Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syari`at adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaum muslim baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang baik karena tuhan berbuat demi kebaikan hamba-Nya. Syatibi mendefinisikan maslahah sebagai apa-apa yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan kehidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dalam pandangan Muhammad Khalid Masud, maslahah dalam pengertian Syatibi, identik dengan “perlindungan kepentingan” entah dengan cara positif. Misalnya, ketika demi memlihara eksistensi mashalih, syari`ah mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih tersebut, atau dengan cara preventif; untuk mencegah hilangnya mashalih, syari`at mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan unsur apapun secara aktual atau potensial merusak mashalih.[22]
Tujuan Syari` dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (daruriyat), dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyat) serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyat). Dengan demikian setiap hukum syara` tidak ada tujuan kecuali salah satu di antara tiga unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. Tahsiniyah tidak mungkin dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi hajiyah. Dan hajiyah, juga tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi dharuriyah.[23]
Hal ini menerangkan tujuan umum syari` dalam mensyariatkan hukum-hukum syari`ah. Baik hukum taklifi maupun hukum wadh`i. Hal ini juga menjelaskan tingkatan-tingkatan hukum berdasrkan tujuannya. Sedangkan pengetahuan tentang tujuan umum syari` dalam pembentukan hukum termasuk sesuatu yang terpenting yang dipergunakan untuk memahami nash dengan sepenuh pemahaman dan menerapkannya pada berbagai kejadian dan mengistinbathkan hukum dalam permasalahan yang tidak ada nashnya.[24]
Dengan demikian yang menjadi tujuan dalam mengetahui maqashid syari`ah ini adalah untuk mencapai kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Imam Al-Ghazali mendefinisikan bahwa maslahah adalah:
أَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ، وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ، فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ، لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ
 وَمَقْصُودُ الشَّرْعِ مِنْ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ: وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.
Adapun maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik manfaat dan menolak mudarat, tetapi bukan itu yang kami maksud; sebab menarik manfaat dan menolak mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu akan terwujud dengan meraih tujuan-tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat ialah memelihara tujuan syara” /hukum Islam.
Dan tujuan syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan keturunan dan kehormatan), dan harta mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setiap yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.”[25]

Dengan dimikian dapat kita pahami bahwa maqashid syari`ah merupakan suatu bentuk cara untuk mengetahui tujuan hukum Islam, di samping itu guna mengetahui tujuan hukum Islam tersebut adalah untuk mencari atau mencapai kemaslahatan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Karena tanpa adanya maslahah, hukum Islam akan memberatkan dengan merusak kepada kehidupan manusia di dunia manupun di akhirat.
C.    Tingkatan Maqashid Syari`ah
Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas tadi bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan manusia dalam hal ini maslahat jika dilihat dari segi kekuatan substansinya :
1.      Al-Daruriyat (keniscayaan)
Merupakan segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kemaslahatan manusia, baik agamanya maupun dunianya. Apabila Al-Daruriyat ini tidak ada dan tidak terpelihara dengan baik, maka rusaklah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain Al-Daruriyat adalah tujuan esensial dalam kehidupan manusia demi untuk menjaga kemaslahatan mereka.[26]
Dapat dipahami bahwa yang menjadi tingkatan pertama dalam kajian maqashid syari`ah adalah tingkat dharuriyat yang mana hal ini sangat berpengaruh kepada kehidupan manusia. Untuk itu dalam penetapan hukum maupun dalam menggali nilai-nilai kemaslahatan dalam taklif yang diperintahkan Allah, para pemikir hukum Islam haruslah memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dharuriyat  dalam penetapan hukum tersebut.
Tujuan hukum Islam dalam bentuk dharuriyat ini mengharuskan pemeliharaan terhadap lima kebutuhan yang sangat esensial bagi manusia yang dikenal dengan dharuriyat al-khams, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[27]  Imam Al-Ghazaly menjelaskan bahwa tujuan syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan keturunan dan kehormatan), dan harta mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setiap yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.”[28]
Adapun lima kebutuhan (Al-Maqashidu Al-Khams)  yang sangat esensial bagi manusia tersebut adalah :
a)    Memelihara Kemaslahatan Agama
Agama merupakan seperangkat akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang, yang telah disyariatkan Allah SWT, untuk mengatur hubungan manusia denga tuhannya, dan hubungan dengan sesamanya, serta hubungan mereka dengan alam sekitarnya.
Agama merupakan sesuatu yang mesti dimiliki oleh manusia agar kedudukannya lebih terangkat tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Agama Islam merupakan nikmat Allah SWT yang amat tinggi dan sempurna. Oleh karena itu agama harus dipelihara dari segala sesuatu yang dapat menganggunya, baik dalam intern agama itu sendiri maupun dari eksternnya. Dalam bentuk eksternya, agama mesti dipelihara dari segala sesuatu yang ingin menghancurkan dan melenyapkannya. Oleh karena itu kepada umat Islam dihalalkan melakukan ijthad (bahkan diperintahkan) guna membela agama dari gangguan-gangguan luar, dan sebagaimana diketahui dalam jihad (perang) pertaruhan nyawa merupakan suatu keniscayaan yang wajib dihadapi. Tetapi demi pemeliharaan agama, mengorbankan nyawa atau melenyapkan nyawa orang lain sudah merupakan suatu perintah agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan tingkat yang paling tinggidari keseluruhan kebutuhan pokok yang mesti ada pada manusia.[29]
b)   Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa adalah memelihara kehidupan yang terhormat, dan melindunginya dari segala macam gangguan dan ancaman atas keselamatannya.[30] Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qisas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka si pelakunya akan cedera pula. Mengenai hal ini dapat kita jumpai antara lain dalam firman Allah : [31]
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٧٨ وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩[32]
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu Qisas (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari tuhanmu. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka untuknya siksaan yang sangat pedih. (178). Dalam Qisas itu terdapat kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang mempunyai akal. (178).” (Q.S Al-Baqarah, 178-179)

c)    Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah SWT. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. petama, Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang. Hal ini telah dijelaskan Allah sendiri dalam al-Qur`an surat At-Tin ayat 4 yang berbunyi :[33]
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤[34]
Artinya : “Sungguh kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya” (Q.S. At-Tin : 4)

Yang kedua, adalah akal. Akal adalah ciri khas yang dimiliki oleh manusia yang membedakannya dengan binatang. Manusia hidup dengan akalnya, berfikir dengan akalnya, mencari jalan keluar dengan akalnya, dan berbagai fungsi akal lainnya yang membawa manusia kepada jalan yang lebih terarah. Namun, ketika akal terganggu maka akan mempengaruhi segala aspek yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
Salah satu contoh dalam pemeliharaan agama Islam tehadap akal, salah satunya adalah Islam mengharamkan umat muslim untuk mengkonsumsi khamar atau sejenis minuman lain yang memabukkan. Karena ketika seseorang mengkonsumsi khamar atau minuman lain yang berpotensi memabukkan dapat menghilangkan daya akal fikiran yang jernih sehingga membuat kerja akal yang tidak terkontrol. Untuk memperkuat larangan ini maka Islam memberikan hukuman bagi siapa saja yang mengkonsumsi minuman khamar atau yang sejenisnya yang memabukkan.
d)   Memelihara Keturunan
Dalam pemeliharaan keturunan, Allah SWT melarang para umatnya untuk melakukan hubungan-hubungan yang tidak dihalalkan. Dalam rangka memelihara keturunan ini Allah mensyari`atkan kepada umatnya untuk melaksanakan perkawinan. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memelihara keturunan di samping tujuan-tujuan lainnya. Oleh sebab itulah diatur hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan dalam bentuk perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar mereka memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis keturunan mereka. Dengan lembaga perkawinan, Allah SWT mengakui garis keturunan tersebur, begitu juga dengan masyarakat. [35]
Dalam rangka agar pemeliharaan keturunan ini tercapai maka bagi siapa saja yang melanggar dengan melakukan hubungan-hubungan yang tidak dihalalkan seperti melakukan perbuatan zina maka akan dijatuhkan hukuman berat bagi pelakunya.
e)    Memelihara Harta Benda dan Kehormatan
Harta benda adalah pokok kehidupan manusia dan alat perjuangan untuk membela agama Allah. Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu milik Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, makanya Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan satu sama lain.untuk ini Islam mensyari`atkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dan sebagainya.[36]
Sedangkan memelihara kehormatan merupakan penjagaan dan perlindungan keturunan yang berarti, pemeliharaan dan perlindangan terhadap jenis manusia, dengan adanya peraturan untuk membangun dan membina rumah tangga, yaitu pernikahan. Islam telah menetapkan sutau hukum untuk memelihara dan melindungi kehormatan setiap orang, dan mengancam dengan hukuman berat bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan orang lain, sebagaimana hukuman terhadap orang-orang yang melakukan zina dan orang-orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa adanya saksi.[37]
Dalam hal pemeliharaan sendi utama di atas mestilah berdasarkan skala prioritas. Maksudnya di sini adalah bahwa pemeliharaan terhadap agama lebih utama daripada pemeliharaan terhadap jiwa begitu seterusnya. Hal ini dikarenakan tingkat pemeliharaan dalam mewujudkan maqashid syari`ah harus berdasarkan urutan pemeliharaan sendi tersebut.
2.      Al-Hajiyat (kebutuhan)
Menurut Syatibi yang dimaksud dengan Hajiyat ini adalah

 Kebutuhan terhadapnya dari segi mengangkat kesempitan, dan adapun tahsiniyat artinya mengambil sesuatu untuk memperindah kebiasaan”.[38]

Hajiyat merupakan suatu kebutuhan yang juga harus dimiliki oleh manusia, dan keberadaan kebutuhan hajiyat ini sangat berguna untuk menghindari manusia dari kesusahan dan menghilangkan kesulitan.
Maslahat yang berada pada posisi hajat, seperti pemberian kekuasaan kepada wali untuk mengawinkan anaknya yang masih kecil. Hal ini tidak sampai pada batas darurat (sangat mendesak), tetapi diperlukan untuk memperoleh kemaslahatan, untuk mencari kesetaraan (kafa’ah) agar dapat dikendalikan, karena khawatir kalau-kalau kesempatan tersebut terlewatkan, dan untuk mendapatkan kebaikan yang diharapkan pada masa datang.[39]
Sesungguhnya hajiyat ini adalah sesuatu yang dapat menyampaikan seseorang untuk memelihara kebutuhan daruriyah. Dalam hal ini Amir Syarifuddin mengelompokkan tujuan hajiyat ini dilihat dari segi penetapan hukumnya kepada tiga kelompok, yaitu : pertama, hal-hal yang disuruh syara` melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara` secara baik. Kedua, hal-hal yang dilarang syara` melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Ketiga, segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukhsah yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah pun tidak akan menghilangkan salah satu unsur yang dharuri, tetapi manusia akan berada dalam kesempitan.[40]
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hajiyat merupakan kebutuhan sekunder bagi mukallaf, apabila kebutuhan sekunder ini terpenuhi maka akan mempermudah kehidupan mukallaf dan menghilangkan kesempitan-kesempitan bagi mukallaf dalam melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba. Hal ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya dengan memberikan kemudahan bagi hambanya seperti mengqashar salat dalam perjalanan, yang merupakan ‘salah satu contoh kebutuhan hajiyat bagi mukallaf dalam menghilangkan kesempitan dalam perkara-perkara terntentu untuk mencapai daruriyat  yang terkadang dirasa sulit bagi diri mukallaf.
3.      Tahsiniyat (kemewahan)
Menurut Amir Syarifuddin tahsiniyat adalah :

“Kebutuhan manusia yang tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat hajiy, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia”.[41]

Kebutuhan tahsiniyat digunakan untuk mengendalikan kehidupan umat manusia agar tercapainya keharmonisan antar sesama manusia, serta keserasian antara satu sama lain dan penuh dengan nilai-nilai estetika sehingga dapat mewujudkan manusia dengan perilaku dan akhlaknya yang terpuji.
Menurut al-Ghazali :
“Posisi tahsin (mempercantik), tazyin (memperindah), dan taisir (mempermudah) untuk mendapatkan beberapa keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara sebaik­-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari dan muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status ketidaklayakan hamba sahaya sebagai saksi, padahal fatwa dan periwayatannya bisa diterima”.[42]

 Contoh lainnya seperti minyak wangi, pakaian yang menarik, rumah yang asri dan sebagainya. Islam mendukung hal-hal tersebut dan menganggapnya sebagai tanda kemurahan rahmat Allah terhadap manusia dan rahmat Nya yang tak terbatas. Akan tetapi Islam tidak, menghendaki agar manusia memberikan perhatian terhadap kategori yang terakhir ini akan tetapi lebih memberi perhatian kepada kedua kategori sebelumnya.[43]
Berbedanya tingkat maslahah yang hendak dipelihara karena berbedanya maslahah yang hendak diwujudkan pada setiap diri mukallaf sebagai objek hukum. Dalam hal ini kebutuhan dan kondisi setiap mukallaf berbeda satu sama lainnya. Intelektual hukum Islam sangat menyadari akan relatifitas maslahah. Seusatu yang dipandang maslahah oleh sebagian orang belum tentu dipandang maslahah juga oleh yang lain. untuk mengeliminasikan relatifitas tersebut diperlukan beberapa kriteria dalam erifikasinya, salah satunya disebutkan bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan maqashid syari`ah. dalam melakukan ijtihad dengan menggunakan metode maslahah haruslah dipastikan bahwa kemaslahatan tersebut secara hakiki betul-betul sejalan atau tidak bertentangan dengan maqashid syari`ah.[44]
Prinsip serta tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum Islam secara umum. Tujuan hukum itu harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu kesatuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang maqashid syari`ah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. [45]
Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis tingkatan kebutuhan manusia di atas adalah jalan untuk mencapai kemaslahatan yang diinginkan syari`, dalam hal ini ketiga kebutuhan di atas tidaklah dapat dipisahkan satu sama lain. hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan mempunyai hubungan dalam penyempurnaannya, sebagaimana dharuriyat membutuhkan hajiyat untuk menyempurnakannya, begitu juga dengan hajiyat membutuhkan tahsiniyat untuk menyempurnakannya. Namun dalam hal ini yang menjadi dasar dari segala kemaslahatan manusia adalah aspek dharuriyat.
Sekalipun dikatakan dharuriyat merupakan dasar untuk adanya hajiyat dan tahsiniyat, itu tidak berarti bahwa tidak terpenuhinya dua kebutuhan yang disebut terakhir akan membawa kepada hilangnya eksistensi dharuriyat. Atau, ketiadaan dua aspek itu tidaklah mengganggu esksistensi dharuriyat secara keseluruhan. Namun, untuk kesempurnaan tercapainya tujuan syari` dalam mensyari`atkan hukum Islam, ketiga jenis kebutuhan tersebut harus terpenuhi. Dan inilah yang dimaksud bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan satau kesatuan yang sulit dipisahkan.[46]
Pada intinya teori filsafat hukum Islam berpusat kepada penerapan maqashid syari`ah yang berpuncak pada prinsip menjaga kepentingan agama, jiwa, akal keturunan dan harta yang dikonversikan kepada salah satu tingkatan dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah.
D.    Metode Memahami Maqashid Syari`ah
Sebelum mengemukakan metode untuk memahami maqashid syari`ah, dalam hal ini akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa golongan yang menurut pandangan mereka bagaimana memahami maqashid syari`ah tersebut yang terbagi ke dalam 3 kelompok :[47]
1.      Golongan yang hanya mempertimbangkan makna zahir lafazh
Maksud makna zahir di sini adalah makna yang dipahami dari apa yang tersurat dalam lafazh-lafazh nash keagamaan yang menjadi landasan utama dalam mengetahui maqashid syari`ah. kecendrungan untuk menggunakan metode ini bermula dari suatu asumsi bahwa maqashid syari`ah adalah suatu yang abstrak dan tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk tuhan dalam bentuk zahir lafazh yang jelas. Petunjuk tuhan itu tidak memerlukan penelitian yang ada gilirannya bertentangan dengan kehendak bahasa. Dengan kata lain, pengertian hakiki suatu nash tidak boleh dipalingkan (ditakwilkan) kepada makna majazi, kecuali bila ada petunjuk jelas dari pembuat syari`at, bahwa yang dimaksudkan adalah makna tersirat.[48]
Metode ini dikembangkan oleh Dawud al-Zahiri, seorang pendiri pelopor aliran Zahiriyah. Dia mengajukan suatu perinsip bahwa setiap kesimpulan hukum harus di dasarkan atas maknanya yang hakiki, makna zahir teks-teks keagamaan. Menurutnya pemalingan makna zahir teks-teks syari`at kepada makna majazi (alegoris) merupakan suatu penyimpangan yang harus diluruskan.[49]
Dengan demikian secara prinsipil dapat kita pahami bahwa apa yang dikemukakan oleh kalangan Zahiriyah ini, untuk memahami maksud syari` seseorang hanya diperbolehkan berpegang kepada makna zahir lafazh atau makna hakiki lafazh tersebut tanpa adanya pemalingan karena mereka menganggap pemalingan makna tersebut merupakan suatu penyimpangan yang tidak semestinya dilakukan.
2.      Golongan yang menentang kelompok yang hanya mempertimbangkan makna lafazh
Kelompok kedua ini merupakan kelompok yang menentang terhadap pemahaman yang menyatakan untuk mengetahui maksud syari` seorang yang melakukan kajian tersebut harus berpegang kepada makna hakiki lafazh. Dalam kelompok ini terdapat dua golongan kecil :[50]
a.    Golongan Batiniyah
Maksud makna batin di sini adalah makna yang tersirat dari suatu teks ajaran Islam. Makna batin menjadi dasar pertimbangan dalam mengetahui maqashid syari`ah adalah berpijak dari suatu asumsi,[51] bahwa maqashid syari`ah bukan dalam bentuk zahir  dan bukan pula dari pengertian yang dipahami dari nash-nash syari`at Islam.[52]
Konsep maqashid syari`ah merupakan hal lain yang ada dibalik pengertian yang ditunjukkan oleh zahir lafazh, yang terdapat dalam semua aspek syari`at. Pandangan yang demikian bisa berimplikasi bahwa tak seorang pun dapat berpegang kepada zahir lafazh dari nash-nash keagamaan yang memungkinkan ia memperoleh pengertian maqashid syari`ah. Syatibi menyebut kelompok ulama yang berpegang dengan metode ini sebagai kelompok batiniyah, yaitu kelompok yang bermaksud menghancurkan Islam.[53]
b.    Golongan teoritis (penalaran)
Golongan ini merupakan golongan yang mendalami qiyas, mereka mendahulukan qiyas daripada nash, dan mereka berpendapat bahwa maksud syari` dapat diperoleh dengan memperhatikan kepada makna yang diperoleh dengan penalaran secara teoritis, tanpa mempertimbangkan zahir nash kecuali dalam nash terdapat maksud syari` secara mutlak. Golongan ini juga menjelaskan bahwa jika pengertian teks wahyu bertentangan dengan penafsiran yang didasarkan pada pertimbangan akal, maka pengertian ayat itu disesuaikan dengan pengertian akal,[54] artinya yang diutamakan adalah akal (nalar), baik atas dasar keharusan menjaga kemaslahatan maupun tidak. Menurut mereka antara qiyas dan maqashid syari`ah dipandang memiliki keterkaitan metodologis yang terfokus pada penelitian illah. Jalaluddin Rahmat menyebut kelompok ini termasuk liberalisme atau yang paling tepat kelompok rasionalisme.[55]
Dengan demikian kelompok batiniyah dan kelompok teoritis atau rasionalisme ini merupakan kelompok yang menentang terhadap golongan yang hanya memperhatikan zahir teks-teks keagamaan untuk mencari maksud syari`. Namun yang sangat mencolok adalah bahwa dua kelompok yang menentang tersebut juga hanya berpegang kepada apa yang menjadi pandangannya. Kelompok batiniyah dalam rangka mencari maksud syari` hanya menggunakan pengertian yang disampaikan dibalik nash dan melihat dari segala aspek syari`at. Begitu juga dengan kelompok rasionalis juga hanya menggunakan penalaran dalam mencari maksud Allah sehingga masing-masing golongan ini hanya terfokus kepada bagaimana metode mereka masing-masing dalam mencari maksud Allah dalam penetapan suatu hukum.
3.      Golongan yang menggabungkan terhadap pertimbangan makna lafazh yang zahir dengan kajian terhadap makna-makna lafazh serta illat-illatnya
Metode ini dapat disebut juga sebagai metode kombinasi atau metode konvergensi,[56] yaitu metode mengetahui maqashid syari`ah yang menggabungkan antara mempertimbangkan zahir nash dan juga mempertimbangkan kepada penalaran terhadap makna-makana dan illat-illatnya. Agar syari`at berjalan dengan aturan yang satu dan tida ada perbedaan padanya serta tidak adanya ketidak cocokan antara satu sama lain. Syatibi menyebut golongan ini “Ar-Raasikhun” yaitu kelompok ulama yang mumpuni dalam agama.[57]
Menurut Syamsul Bahri dalam bukunya Metodologi Hukum Islam menyebutkan bahwa Syatibi sebagai salah seorang ulama yang mengembangkan metode ini memandang, bahwa pertimbangan makna zahir, makna batin, dan makna penalaran memiliki keterkaitan yang bersifat simbiosis. Oleh karena itu, dalam mengetahui maqashid syari`ah ketiga pertimbangan tersebut mesti diperhatikan.[58]
Dalam menggunakan metode ini tampak dalam uraiannya mengenai beberapa aspek yang menyangkut upaya dalam memahami maqashid syari`ah di antaranya :
1.      Mempertimbangkan lafazh perintah dan larangan
2.      Mempertimbangkan illat dalam perintah dan larangan
3.      Pertimbangan terhadap diam syari` dari penetapan hukum sesuatu.
4.      Analisis terhadap tujuan ashliyah dan tabi`yah dari semua hukum yang telah ditetapkan syari`.[59]
5.      Istiqra` (metode induksi)
Dalam hal ini penulis akan menjelaskan beberapa poin penting yang menjadi metode dalam memahami maqashid syari`ah ini dengan berpegang kepada kelompok ketiga yaitu kelompok yang menggunakan metode konvergensi atau penggabungan terhadap zahir nash dan pertimbangan terhadap makna-makna dan illat-illat hukum yang terkandung dalam nash.
1.      Analisis terhadap lafazh perintah dan larangan
Setiap perintah dan larangan yang terdapat dalam nash mempunyai tujuan yang jelas, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan dari kemudharatan. Menurut `Izz al-Din bin Abd al-Salam, sebagaimana yang dikutip oleh Umar ibn Shalih ibn Umar, jika dsesutau disuruh mengerjakannya, berarti di dalamnya terkandung tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Sebaliknya jika dilarang, berarti di dalamnya terkandung sebuah kemafsadhatan. Akibat hukumnya, perbuatan yang diperintahkan akan menghasilkan hukum wajib, mandub atau mubah. Sedangkan perbuatan yang dilarang akan mengahasilkan hukum haram dan makruh.[60]
Maka dalam hal ini ketika terdapat perintah, maka perintah itu dikehendaki untuk melakukannya, maka ketika melaksanakan perintah tersebut, itulah maksud tujuan Allah, begitu juga sebaliknya ketika terdapat larangan, maka larangan tersebut merupakan bentuk untuk meninggalkan pekerjaan, maka meinggalkan itulah yang menjadi maksud Allah.[61] Inilah yang disebut oleh Syatibi Ibtida` dan Tasrihi.[62]
Dalam hal ini Syatibi membuat dua persyaratan agar kedua kategori itu menghasilkan terealisasinya tujuan Allah, yaitu : pertama, Amar dan nahi yang dituju sejak awalnya. Kedua, perintah dan larangan itu jelas/tegas.[63]
Sebagai contoh dapat dilihat dalam al-Qur`an surat al-Jum`ah ayat 9 :
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩ [64]
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila (kamu) diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum`at, maka bersegaralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya”

Lafazh ayat di atas mengandung perintah dan larangan, yaitu perintah untuk bersegera mengingat Allah SWT (salat Jum`at) dan larangan jual beli. Menurut Syatibi, larangan juall beli bukanlah larangan yang berdiri sendiri sejak awal. Tetapi hanya bertujuan menguatkan perintah untuk bersegara mengingat Allah. Oleh karena itu larangan jual beli hanya merupakan tujuan kedua dari ayat ini. Hal ini tidak sama dengan larangan riba, zina, dan lain-lain.[65] Karena dengan transaksi jual beli dapat menyebabkan seseorang melalaikan suatu kewajiban yakni salat Jum`at. Jadi, larangan transaksi jual beli pada ayat tersebut hanya bersifat sementara yakni pada waktu pelaksanaan salat Jum`at.
2.      Analisis terhadap illat perintah dan larangan
Dalam hal analisis terhadap illat perintah dan larangan ini terbagi kepada dua bentuk. Adakalanya illat itu diketahui dan adakalanya illat tersebut tidak diketahui.[66]
Ketika illat tersebut diketahui, maka akan diketahui apa yang dikehendaki oleh perintah atau larangan tersebut baik itu maksudnya ataupun peniadaan untuk melaksanakannya, dalam hal ini seperti nikah untuk kemaslahatan keturunan, jual beli untuk memanfaatkan keuntungan satu sama lain, dan ketentuan hudud untuk memelihara kemaslahatan jiwa. Dan untuk mengetahui illat di sini  adalah dengan masalikul `illah yang diketahui dalam ilmu ushul fiqh, maka illat tersebut menentukan untuk mengetahui maksud syari` apa yang dikehendakinya dari illat tersebut sehingga harus dikerjakan atau ditinggalkan.Dan ketika illat tidak diketahui, seseorang harus berhenti (tawaqquf) sampai di situ, karena hanya Allah SWT lah yang mengetahui alasannya.[67]
Dalam hal mengambil sikap tawaquf  ini dilandasi atas dua alasan; pertama, tidak boleh memperluas cakupan alasan dari alasan atau sebab yang sudah tertulis jelas dalam nash, karena hal ini sama saja dengan menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, perluasan cakupan alasan dibolehkan apabila memungkinkan dapat mengetahui tujuan hukum.[68]
Manurut Asfari Jaya Bakri, petimbangan tawaquf yang dikemukakan di atas ini terletak pada orientasi atau objek permasalahan. Pertimbangan pertama lebih ditujukan kepada nash-nash yang berkaitan dengan ibadah, sedangkan pertimbangan kedua, yang memungkinkan adanya perluasan cakupan `illat berkaitan dengan permasalahan-permasalahan muamalah. Pendapat ini sepertinya sejalan dengan usaha-usaha ulama sebelumnya yang sungguh-sungguh dalam mencari cara untuk menemukan `illat hukum yang terdapat dalam nash al-Qur`an maupun sunnah. Tujuan ditemukannya `illat tidak lain adalah untuk merentangkan ketentuan hukum yang sudah jelas kepada hukum permasalahan yang belum ada kejelasannya. Apabila usaha menemukan illat itu tidak ada, tentu hukum tidak mungkin dikembangkan sesuai dengan kondisi yang dihadapi.[69]
3.      Analisis terhadap diam syari` dari penetapan hukum sesuatu
 Dalam hal ini bahwa diamnya syari` tentang suatu hukum sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Athy Muhammad salah satu dosen Kairo Mesir dalam bukunya yang berjudul Maqashid Syari`ah wa atsaruhu fi Fiqhi al-Islami terbagi ke dalam dua bentuk :[70]
1)      Bahwa diamnya syari` terhadap hukum karena tidak ada seruan terhadap hukum tersebut untuk meghendaki hukum itu terjadi, dan tidak ada hal positif untuk mengukur berdasarkan kepentingan tertentu. Sebagaimana halnya pengumpulan mushaf, atau kodifikasi ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah.[71]
Bertitik tolak dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya manusia diberi kesempatan secara luas untuk melakukan inovasi-inovasi dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hidupnya. Inovasi-inovasi tersebut menurut Syatibi bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang absah selagi masih didsarkan atas dalil kulliyah dan masih dalam kerangka maksud umum syari`ah. contoh di atas yang kesemuanya itu tidak dilakukan berdasarkan nash yang jelas karena syari` tidak memberikan keterangan tentang hal-hal tersebut.[72]
2)      Sikap diamnya syari` dalam suatu persolan hukum walaupun pada saat itu sebenarnya syari` tidak harus diam, karena ada faktor yang mendorong untuk menetapkan hukum. Pada dasarnya hukum harus diparktekan sesuai dengan ketentuan nash tanpa menambah atau mengurangi sedikit pun, dan beginilah yang dikehendaki oleh syari`. Menambah-nambah dari apa yang telah ditetapkan dapat dikategorikan bid`ah dan tentunya bertentangan dengan keinginan syari` itu sendiri. Dalam hal ini Syatibi memberikan melakukan sujud syukur sebagai contoh, yang mana di dalam madzhab Maliki sujud syukur itu tidak disyariatkan sama sekali. Alasanya karena sujud syukur itu tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi, walaupun secara rasional hal ini diperlukan. Walaupun ada riwayat yang mengatakan bahwa Abu Bakr Shiddiq pernah melakukannya setelah perang Yamamah, namun hal ini dibantah Syatibi karena menurutnya riwayat ini merupakan riwayat yang tidak betul atau menyesatkan. Sedangkan menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyah, sujud syukur mempunyai dasar yang kuat dalam Islam. Hal ini didasarkan kepada hadis shahih dan atsar yang satu sama lain saling mendukung. Dengan demikian Ibn Qayyim tidak melihat sikap diamnya syari` dalam hal ini. Agaknya perbedaan pendapat ini terjadi hanya dilatarbelakangi dengan melihat eksisitensi dan validitas hadis yang mengatur persoalan sujud syukur. Terlepas dari perbedaan pendapat ini sepertinya inti pembicaraan Syatibi adalah mengenai penambahan yang dilakukan oleh umat Islam dalam masalah ibadah, dan hal itu tidak dapat dibenarkan.[73]
Dengan demikian mengenai diamnya syari` terhadap suatu hukum berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas sepertinya dapat kita pahami bahwa dalam hal ibadah para ulama tidak membenarkan adanya penambahan, khususnya Syatibi memandang bahwa apabila adanya penambahan dalam hal ibadah, maka hal tersebut dianggap bid`ah. alasanya apa yang diperintahkan itulah yang mengandung maqashid syari`ah. berbeda dengan diamnya syari` terhadap hal yang berada di luar lingkup ibadah sebagaimana yang penulis paparkan pada poin satu, hal itu lebih berkaitan dengan urusan pengetahuan atau masalah kemanusiaan yang di sana mengandung banyak kemaslahatan yang dapat mempermudah manusia dalam melaksanakan urusan duniawi maupun ukhrawi.
4.      Analisis terhadap tujuan ashliyah (pokok) dan tab`iyah (tambahan) dari semua hukum yang telah ditetapkan syari`.
Dalam menetapkan hukum, baik yang masuk kategori ibadah maupun muamalah, syari` mempunyai dua maksud, yaitu maksud pokok dan maksud tambahan.[74] Maksud pokok adalah hal-hal penting yang harus dilaksanakan oleh manusia (mukallaf) untuk menjaga kelangsungan hidupnya (dharuriyah) guna mewujudkan kemaslahatan. Artinya, bila sendi itu tidak ada maka kehidupan mereka menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak dapat dicapai dan kenikmatan hidup ukhrawi tidak dapat dirasakan. Sedangkan yang dimaksud dengan maksud-maksud tambahan adalah maksud tuhan meperhatikan kebutuhan manusia (mukallaf) agar bisa mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, apa yang menjadi penekanan pada maksud-maksud pokok (ashliyah) ialah kebutuhan mukallaf dalam menunaikan kewajibannya, sedangkan pada maksud-maksud tambahan (thab`iyah) ialah hak-hak yang diperoleh setiap mukallaf yaitu berupa keuntungan-keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat.[75]
Untuk memperjelas masalah ini, Syatibi memberikan contoh hukum nikah. Maksud pokok disyariatkan nikah adalah untuk memelihara keturunan. Kemudian di samping itu nikah juga dilengkapi maksud tambahan yakni agar mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan, agar bisa bekerjasama dalam mewujudkan kemaslahatan hidup dunia dan akhirat, memperoleh kenikmatan seksual yang halal, memandang kemolekan tubuh wanita (isteri), memelihara nafsu seksual dan pandangan mata agar tidak terjerumus kepada kemaksiatan.[76] Oleh karena itu, nikah yang dilakukan tidak dalam rangka memenuhi maksud syari` tersebut seperti nikah tahlil, atau nikah mut`ah atau yang sejenisnya yang bertentangan dengan maksud syari`.[77]
Begitu pula pada aspek ibadah, maksud pokoknya adalah mengahadapkan diri kepada Allah, kemudian diikuti dengan maksud-maksud tambahan seperti memperoleh derajat yang tinggi di akhirat dan kemuliaan di sisi Allah SWT.[78]
5.      Istiqra` (metode induksi)
Istiqra` adalah suatu cara menarik kesimpulan atau inferensi umum atau proposisi universal melalui observasi atas kejadian-kejadian partikular. Metode penalaran induksi ini pun digunakan oleh Aristoteles yang kemudian dikenal dengan silogismenya atau logika formal yang juga sering disebut logika tradisional.[79]
Sedangkan Busyro dalam bukunya yang berjudul Fiqh Maqashid[80] juga menyinggung mengenai istiqra` ini namun lebih spesifik dengan istilah istiqra` ma`nawi,  merupakan sebuah metode penetapan kesimpulan qasd syari` (tujuan pembuat syari`at) yang bukan hanya dilakukan dengan satu dalil tertentu saja, tetapi dengan menghimpun sejumlah dalil lainnya yang digabungkan satu sama lain, walaupun mengandung persoalan atau objek yang berbeda, kumpulan dalil-dalil itulah yang menghasilkan sebuah kesimpulan makna umum (general) yang pada akhirnya diterapkan untuk menyelesaikan secara keseluruhan persoalan-persoalan yang tidak dibicarakan dalam nash.
Karakteristik istiqra` ma`nawi ini termasuk metode dalam memahami maqashid syari`ah yang dikembangkan oleh Syatibi yang dapat disimpulkan dalam empat bentuk:
1)      Ungkapan penggabungan dalil-dalil menggambarkan bahwa prinsip metode istiqra` ini tidak menganggap cukup menetapkan suatu hukum hanya dengan satu dalil saja. Tetapi dengan menghimpun banyak dalil yang relevan walaupun dalam bidang hukum yang berbeda.
2)      Dalil-dalil hukum yang dihimpun tersebut ada yang yang sifatnya kully dan ada yang sifatnya juz`i. Konsekuensi dengan adanya hukum-hukum yang bersifat kully dan hukum-hukum yang juz`i. Oleh karena itu dalil-dalil itu lafaznya dapat berbentuk umum, khusus, amar, nahi, zhahir, mutlak, muqayyad, dan lain-lain.
3)      Sedemikiannya metode ini, maka Syatibi memandang bahwa seorang ahli fiqh tidak akan menemukan tujuan syari` secara umum dalam menetapkan hukum apabila hanya dilakukan dengan satu dalil atau beberapa dalil saja. Tujuan syari` itu baru dapat ditemukan dengan melakukan penelitian terhadap terhadap semua dalil yang relevan dengan persoalan yang dihadapi.
4)      Seorang ahli fiqh juga harus memperhatikan qara`in al-ahwal, baik yang berkaitan dengan nash tersebut secara tertulis maupun yang tidak tertulis.[81]
Berdasarkan apa yang penulis jelaskan di atas mengenai metode memahami maqashid syari`ah merupakan cara dalam rangka untuk mengetahui maksud ditetapkannya suatu hukum. Dengan demikian pada prinsipnya metode tersebut dapat terhimpun dalam satu metode yaitu metode istiqra` yang merupakan inti dari dari keseluruhan metode untuk menemukan tujuan syari`ah, dengan cara menginduksikan dalil-dalil secara keseluruhan dan untuk selanjutnya ditemukan makna umum dari keseluruhan dalil tersebut. Makna umum inilah yang pada akhirnya dijadikan sebagai panduan dalam menetapkan hukum Islam. Adapun metode-metode lainnya merupakan sarana untuk sampainya seorang ahli hukum Islam kepada penemuan istiqra` ma`nawi ini.




[1]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 1
[2]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo : Wade Group, 2016), hal. 35
[3]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 2
[4]Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hal. 3-4
[5]Zulkifli, Hukum Islam dan Perubahan Sosial Studi Tentang Al-`Urf dalam Upaya Pembaharuan Hukum Islam, (Bukittinggi : STAIN Press, 2006), hal. 122-124
[6]Hasbi Ash Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 29
[7]Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 4
[8]Alaiddin Koto, Filsafat hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hal. 153
[9]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 36, Lihat juga Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam (Tulisan dalam Falsafah Hukum Islam), (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hal. 16
[10]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 40-41
[11]Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hal. 234-235
[12]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami, (Al-Qahirah : Dar Al-Hadis, 2007), hal. 13
[13]Jasser Audah, Maqashid untuk Pemula, Terj : `Ali Abdelmom `im, (Yogyakarta : SUKA-Press,2013), hal. 6
[14]Imam Anas Muslihin, Arah Baru Pemikiran Filsafat Hukum Islam Vol VII, No 2, (STAIN Kediri : Manahij Jurnal Hukum Islam,  2013), hal. 157
[15]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal.
[16]Imam Anas Muslihin, Arah Baru Pemikiran Filsafat Hukum Islam Vol VII, No 2,..., hal. 158
[17]Muhammad Sa`id Ramadhan Al-Buthi, Dawabit al-Mashlahah fi al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Beirut : Muasasah Risalah : 1973), hal. 12
[18]Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Mashlahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 106
[19]Jasser Audah, Maqashid untuk Pemula, Terj : `Ali Abdelmom `im,..., hal. 18
[20]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat, (Daar Ibn Affan, 1997) juz II hal.8
[21]Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial,..., hal. 51
[22]Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial,..., hal. 51
[23]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 310
[24]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 310
[25]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, Al-Mustashfa, Muhaqqiq :Muhammad Abdu Salam Abdu Syafi, (Dar Al-Kutb Al-‘Ilmiyah, 1993), cet. I, hal. 174
[26]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 150
[27]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 150
[28]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, Al-Mustashfa,..., hal.174
[29]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 151-152
[30]Muhamdiyah Djafar, Pengaantar Ilmu Fikih (Suatu Pengantar Tentang Ilmu Hukum Islam dalam Berbagai Madzhab), (Jakarta : Kalam Mulia, 1993), hal. 38
[31]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hal. 70
[32]Al-Qur`an Karim
[33]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 75
[34]Al-Qur`an Karim
[35]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal. 153
[36]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 101
[37]Muhamdiyah Djafar, Pengaantar Ilmu Fikih (Suatu Pengantar Tentang Ilmu Hukum Islam dalam Berbagai Madzhab),..., hal. 39-40
[38]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz II, (Daar Ibn Affan, 1997), hal. 22
[39]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, Al-Mustashfa,...,hal. 175
[40]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer, (Jakarta : Adelina Bersaudara, 2015), hal. 112-113
[41]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 350
[42]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, Al-Mustashfa,...,hal.  175
[43]Jasser Audah, Maqashid untuk Pemula, Terj : `Ali Abdelmom `im,..., hal. 11
[44]Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam,..., hal.155-168
[45]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 124
[46]Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,..., hal. 119-120
[47]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 44
[48]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 107
[49]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 107
[50]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 44-45
[51]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 110
[52]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 44
[53]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 111
[54]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 45
[55]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 112-113
[56]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 113
[57]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz III,..., hal. 134
[58]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 114
[59]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz III,..., hal. 134-139
[60]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal. 87
[61]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 46
[62]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 123
[63]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal. 87
[64]Al-Qur`an Karim
[65]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz III,..., hal. 134
[66]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 47
[67]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz III,..., hal.135-136
[68]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.85
[69]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal. 85
[70]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 54
[71]Muhammad Abdul Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,..., hal. 54
[72]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 128-129
[73]Busyro, Fiqh Maqashid,..., hal 95
[74]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz III,..., hal. 139
[75]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 126
[76]Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat juz III,..., hal. 139
[77]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 127
[78]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam,..., hal. 127
[79]Abdurahman Wahid dkk, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 272 
[80]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal. 97
[81]Busyro, Fiqh Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal. 99-100

No comments:

Post a Comment