MAQASHID
SYARI`AH
A. Filosofis Hukum Islam
Kata filosofis hukum Islam terdiri dari
kata filosofis dan hukum Islam. Untuk mengerti apa itu filosofis hukum Islam
penulis akan menjelaskan apa itu filosofis dan apa itu hukum Islam.
Kata filosofis dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia merupakan bentuk kata adjektif yang berarti
berdasarkan filsafat. Kata filsafat berasal dari perkataan Yunani Philosophia
yang berarti cinta kebijaksanaan (philen = cinta, dan Sophia =
hikmah, kebijaksanaan). Ada yang mengatakan bahwa filsafat itu berasal dari
kata phila (mengutamakan, lebih suka) dan Sophia (hikmah,
kebijaksanaan). Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau
keinginan kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang dalam
bahasa Arab disebut Failasuf.[1]
Filsafat diartikan sebagai hal ihwal
sesuatu sebagai ilmu pengetahuan tentang baecceitas, esensi,dan
sebab-sebab segala hal sampai batas kemampuan manusia.[2]
Sedangkan Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa filsafat berarti alam
berfikir, dan berfilsafat adalah berfikir. Tetapi tidak semua kegiatan berfikir
bisa disebut berfilsafat. Berfikir yang disebut berfilsafat adalah berpikiran
dengan insaf, yaitu berfikir dengan teliti dan menurut suatu aturan yang pasti.
Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata
tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat tradisi, dogma dari agama) dan
sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[3]
Dapat dipahami dari beberapa penjelasan
mengenai filsafat di atas bahwa filsafat merupakan kegiatan berfikir yang
mendalam sehingga hasil dari berfilsafat untuk mengetahui hikmah-hikmah,
kebijaksanaan, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan yang menjadi objek dari
berfilsafat tersebut.
Mengenai pengertian hukum Islam yang
terdiri dari kata “hukum” dan “Islam” secara tegas tidak terdapat dalam
al-Qur`an. Kata “hukum” baik dalam bentuk ma`rifah atau nakirah, disebutkan di
24 ayat dalam al-Quran, namun tidak satupun dari ayat-ayat tersebut yang
mengungkapkan rangkaian kata “hukum Islam”. Yang biasa digunakan adalah
syari`at Islam atau hukum syar`i. Para ulama pun memiliki perbedaan dalam
memberikan definisi hukum syar`i ini di antaranya:
Hukum dapat diartikan pengetahuan
tentang pemikiran mendalam, sistematis, logis, dan radikal tentang berbagai
aturan yang berlaku dalam kehidupan manusia, baik aturan bermasyarakat maupun
aturan bernegara. Dalam Islam dikatakan bahwa hukum adalah menetapkan sesuatu
atas sesuatu (itsbatu syai`in ala syai`in). Secara ringkas, ia berarti
ketetapan. Hans Kelsen mendefnisikan hukum sebagai suatu tatanan perbuatan
manusia. Tatanan adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah seperti yang
terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat peraturan yang
mengandung semacam kesatuan yang dipahami melalui sebuah sistem.[4]
Hukum Islam biasa disebut dengan
syari`at. Menurut arti kata, adalah jalan yang biasa dilewati atau kolam yang
didatangi oleh peminum. Secara luas artinya adalah jalan atau petunjuk yang
harus dilalui untuk memenuhi kebutuhan. Menurut istilah populer, terdapat
beberapa perumusan di kalangan ahli hukum Islam, yang dicermati dilihat akan
berarti semua hukum yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan Islam, baik
yang berhubungan dengan aqidah akhlak maupun yang berhubungan dengan `amaliyah.
Di antaranya seperti ungkapan Muhammad Abu Syuhbah :
“Adapun
syari`at menurut istilah syara` dipakaikan kepada hukum-hukum yang
disyari`atkan Allah untuk hamba-hamba Nya yang terdiri dari `aqidah,
hukum-hukum dan adab-adab (akhlak) untuk mendapatkan kebahagian dunia akhirat”.[5]
Sedangkan Hasbi Ash Siddieqi menyebutkan
bahwa hukum Islam yang tidak lain adalah fiqh Islam atau syari`at
Islam, yaitu : “Hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari`at
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Istilah hukum Islam walaupun
berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai padanan dari
fiqh Islam, atau syariat Islam, yang bersumber kepada al-Qur`an, sunnah, dan
ijma` para sahabat dan tabi`in.[6]
Dengan pemahaman terhadap penjelasan
mengenai apa itu yang disebut dengan filsafat dan apa itu yang disebut dengan
hukum Islam dapat dipahami bahwa filsafat hukum Islam dapat diartikan dengan
pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang
menyangkut materinya maupun proses penetapannya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
filsafat hukum Islam adalah setiap kaidah, asas, atau mabda`,
aturan-aturan pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah
tersebut dapat berupa ayat al-Qur`an hadis, pendapat sahabat dan tabi`in, ijma`
ulama, fatwa lembaga keagamaan. Filsafat hukum Islam diartikan pula dengan
istilah hikmah tasyri`.
Dalam sejarah pembinaan hukum Islam
dapat ditemukan bahwa para ahli ushul telah mewujudkan falsafah at-tasyri`sehingga
hukum terus terbina dengan baik. Oleh karena itu, filsafat hukum Islam dapat
dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Falsafah Asy-Syar`iyah, yang
mengungkapkan masalah ibadah, mu`amalah, jinayah, dan `uqubah dari materi hukum
Islam, filsafat syari`at mencakup asrar al-ahkam, dan tawabi`
al-ahkam.
2. Falsafah Tasyri`, yaitu
filsafat yang memancarkan hukum Islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah
Tasyri` meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam, dan qawaid
al-ahkam.
3. Hikmah at-Tasyri` wa falsafatuhu, yaitu
kajian mendalam dan radikal tentang perilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum
Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.[7]
Dapat dipahami bahwa filsafat hukum
Islam merupakan suatu ilmu yang digunakan oleh para mujtahid dalam menetapkan
suatu hukum. Sehingga dengan mengetahui unsur filosofis apa yang terkandung
dalam sebuah hukum yang dilahirkan oleh mujtahid agar dapat tercapainya
kemashlahatan yang menjadi tujuan utama syari`at.
Mustafa Abd al-Raziq, ahli fikih
kontemporer Mesir, misalnya, mengemukakan bahwa filsafat hukum Islam itu
terdiri atas sumber hukum, kaidah dan tujuannya. Dengan melihat kepada penerapan
hukum Islam tersebut ada ulama yang menamakan filsafat hukum Islam itu maqashid al-tasyri` atau maqashid
al-syari`ah. Yaitu tujuan atau rahasia yang sesungguhnya dari pengundangan
atau penetapan hukum Islam oleh Allah SWT.[8]
Di sisi lain, filsafat hukum Islam dapat
pula diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, rahasia,dan tujuan
esensi dari hukum Islam, sehingga seorang mujtahid dituntut untuk mewujudkan
esensi tersebut di mana esensi hukum Islam terletak pada kemaslahatan yang
terkandung dalam hukum Islam itu sendiri. Menurut Amir Syarifuddin mengatakan :
“Bahwa
proses terbentuknya hukum Islam juga merupakan sebuah langkah berfikir
filosofis dalam hukum Islam”.[9]
Secara garis besar ruang lingkup dalam
filsafat hukum Islam dari segi permasalahan yang dapat dibahas dapat disimpulkan
dalam tiga bagian :
1. Pembagian tentang wujud (universal)
termasuk di dalamnya diri manusia sendiri dari mana asalnya, bagaimana proses
kejadiannya dan bagaimana akhirnya serta apa tujuannya. Pembahasan dalam bidang
ini dikenal dengan nama onthology. Dalam kajian filsafat gukum Islam
juga harus beranjak dari pembahasan tentang onthology hukum Islam, yaitu
pengetahuan tentang hukum itu sendiri, yang mencakup materi hukum Islam itu
sendiri , bagaimana proses lahirnya hukum Islam dan tujuan apa yang hendak
dicapai dengan hukum itu.
2. Pembahasan yang menyangkut tentang
pengetahuan manusia darimana sumbernya, sejauh mana kemampuannya serta alat apa
yang digunakannya untuk mengetahui sesuatu. Pembagian dibidang ini dikenal
dengan nama epistimology. Dalam kajian filsafat hukum Islam, epistimologynya
lebih mengarah kepada penemuan sesuatu, atau alat yang digunakan untuk
menetapkan hukum Islam. Dalam hal ini metode-metode istinbath hukum seperti
qiyas, istihsan, maslahah mursalah, al-`urf, sad al-dzari`ah, al-istishab, dan
lain sebagainya.
3. Pembahasan tentang norma-norma yang
dipakai untuk mengukur benar atau salahnya fikiran manusia, baik atau buruknya
tingkah laku seseorang serta baik buruknya. Pembahasan di bidang ini dikenal
dengan nama axiology. Dalam kajian filsafat hukum Islam juga harus
memenuhi sisi axiologi. Yaitu kajian tentang norma-norma yang harus
dipatuhi bagi seseorang yang berkecimpung dalam hukum Islam. Etika dan estetika
mujtahid perlu diperhatikan agar hukum yang diistinbathkannya mempunyai wibawa
hukum dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah dan umat Islam. Oleh karena
itu dalam ketentuan yang ada hubungannya
dengan axiologi, para ulama sudah berusaha membuat
persyaratan-persayaratan bagi seorang yang akan menyibukkan dirinya dengan
istinbath hukum Islam, seperti pengetahuan luas tentang al-Qur`an, al-Sunnah
dan sebagainya, yang lazim disebut dengan integritas ilmiah. Di samping itu
harus mempunyai sifat `adalah, yang dapat dibahasakan dengan integritas
moral.[10]
Dalam menetapkan sebuah hukum atau hasil
ijtihad para ulama juga harus berpegang kepada prinsip dan tujuan hukum Islam
itu sendiri yang hal ini juga termasuk dalam lingkup kajian filosofis Hukum
Islam, namun apa yang menjadi prinsip hukum Islam. Menurut Juhaya S. Pradja
yaitu :
1. Prinsip tauhidullah,
bahwa semua paradigma berfikir yang digunakan untuk menggali kandungan ajaran
Islam yang termuat dalam al-Qur`an dan hadis, dalam konteks ritual maupun
sosial, harus bertitik tolak dengan nilai-nilai ketauhidan, yakni tentang
segala yang ada yang mungkin ada, bahkan yang mustahil ada adalah diciptakan
oleh Allah.
2. Prinsip Insaniyah,
prinsp kemanusian, bahwa produk akal manusia yang dijadikan rujukan dalam
perilaku sosial maupun sistem budaya harus bertitik tolak dengan nilai-nilai
kemanusian, memuliakan manusia dan memberi manfaat serta menghilangkan
kemudharatan bagi manusia.
3. Prinsip Tasammuh, prinsip
toleransi, sebagai titik tolak pengamalan hukum Islam. Karena cara berfikir
manusia yang berbeda-beda, satu sama lain harus saling mneghargai dan mengakui
bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat relatif.
4. Prinsip Ta`awun, tolong-menolong,
sebagai titik tolak kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan.
5. Prinsip Silahturahmi baina an-nas, sebagai
titik interaksi, karena manusia adalah human relation yang secara
fitrahnya menajadikan silaturahmi sebagai embrio terciptanya masyarakat.
6. Prinsip Keadilan, kesemimbangan
antara hak dan kewajiban. Sebagai titik tolak kesadaran manusia terhadap hak-hak
orang lain dan kewajiban dirinya, jika ia berkewajiban sesuatu maka ia berhak
menerima sesuatu. Keduanya harus berjalan secara seimbang dan dirasakan adil
untuk dirinya dan orang lain.
7. Prinsip Kemaslahatan, yaitu
bertitik tolak dari kaidah penyusun argumentasi dan berperilaku, bahwa
meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mangambil manfaatnya.
Operasionalisasi kaidah ini berhubungan dengan
kaidah yang menyatakan, bahwa kemaslahatan umum lebih didahulukan
daripada kemaslahatan khusus. Kaidah umum yang dijadikan titik tolak
kemaslahatan dalam situasi dan kondisi tertentu dapat berubah sebagaimana dalam
situasi dan kondisi emergensi atau darurat. Kaidah kemudharatan berpijak kepada
kaidah umum yakni bahwa kemudharatan membolehkan berbuat sesuatu yang hukum
asalnya dilarang.[11]
Dengan demikian,
dalam penetapan hukum Islam mujtahid harus berpegang kepada prinsip-prinsip
hukum Islam yang menjadi dasar dalam penetapan hukum Islam. sehingga ketika
adanya perundangan hukum Islam yang dilakukan dengan melalui metode istinbath
hukum harus sesuai dengan prinsip tersebut. Hal ini dikarenakan prinsip pada
dasarnya merupakan pijakan yang membentuk hukum Islam dapat diaplikasikan dan
mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Selain
memperhatikan prinsip, ada juga hal lain yang menjadi pertimbangan dalam
penetapan hukum Islam yaitu tujuan hukum Islam itu sendiri atau disebut dengan
maqhasid syari`ah. Maqashid Syari`ah menjadi tolak ukur dalam menentukan
apa tujuan dibentuknya hukum Islam itu sendiri. Maka dalam hal ini penulis akan
menjelaskan mengenai maqashid syari`ah pada sub bab berikutnya.
B. Maqashid Syari`ah
Dari segi bahasa maqashid syari`ah
berarti maksud atau tujuan disyari`atkan hukum Islam. Untuk memahami tujuan
hukum Islam ini atau lebih dikenal dengan maqashid syari`ah ini maka
akan penulis jelaskan apa yang dimaksud dengan maqashid syari`ah.
Istilah maqashid syari`ah adalah
bentuk jamak dari kata bahasa Arab “maqashid” yang artinya “al-Ghayah”
yang menunjuk kepada tujuan, sasaran, hal yang diminati, dan tujuan akhir.[12]
Istilah ini dapat disamakan dengan istilah “ends” dalam bahasa Inggris, “telos”
dalam bahasa Yunani, “finalite” dalam bahasa Prancis, atau “Zweck”
dalam bahasa Jerman.[13]
Dengan demikian secara bahasa maqashid
syari`ah yaitu tujuan syari`at. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di
dalamnya adalah masalah hikmat dan illat ditetapkannya suatu
hukum. Kajian tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum Islam merupakan
pembahasan yang menarik dalam bidang ushul fiqh. Istilah yang disebut terakhir
melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkan suatu hukum.
Para ahli hukum Islam pada masa awal dan
pertengahan Islam telah melakukan kajian terhadap filsafat hukum Islam. Fokus
pembahasan mereka adalah memahami ada tidaknya tujuan Allah dalam penetapan
hukum Islam. Upaya mereka memahami tujuan hukum tersebut berawal dari teks
(nash) al-Qur`an maupun sunnah, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Pendekatan teks secara langsung
adalah adalah menggali illat (alasan penetapan hukum) dibalik setiap perintah
dan larangan, kaidah yang terkenal adalah[14]
الحكم يدور مع العلة[15]
“Hukum beredar mengikuti illahnya”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ada atau
tidak adanya suatu hukum tergantung kepada illatnya. Karena eksistensi suatu
hukum melihat kepada illat yang dikandungnya.
Sedangkan kajian maqashid syari`ah
melalui pendekatan teks secara tidak langsung adalah melakukan dengan cara istiqara`
ma`nawi(metode induksi) terhadap keseluruhan teks al-Qur`an maupun sunnah
untuk menemukan tujuan Allah dalam penetapan hukum Islam. Berdasarkan metode
induksi ini disimpulkan bahwa tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan. Kaidah
yang populer adalah[16]
حيثما وجدت المصلحة فثم شرع الله[17]
“Dimana saja terdapat kemaslahatan di sana
terdapat hukum Allah”.
Tokoh yang melakukan kajian model ini
adalah Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H/1388 M).
Dapat dipahami bahwa dalam melakukan kajian filsafat
hukum Islam seorang mujtahid dapat melakukan kajian dengan dua pendekatan.
Pendekatan kebahasaan (harfiyah) dan pendekatan maqashid syari`ah.
Perbandingan antara pendekatan kebahasaan (harfiyah) dan pendekatan
Maqashid syari`ah dalam rangka pengembangan hukum Islam. pendekataan
kebahasaan (harfiyah) lebih memperhatikan teks sehingga pengembangan
hukum Islam lebih kaku dan terpaku dengan teks-teks keagamaan yang pada
akhirnya hukum Islam akan kehilangan jiwa fleksibelitasnya dan kehilangan
konteks. Sedangkan salah satu bentuk kelebihan dengan menggunakan pendekatan maqashid
syari`ah, seorang mujtahid dapat menghasilkan hukum Islam yang bersifat
kontekstual dan memiliki fleksibelitas yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan
umat.
Al-Ghazali dengan teori ushul fiqhnya sudah mulai
mengupayakan bagaimana agar hukum Islam selalu dapat tampil secara kontekstual.[18]
Menurut Jasser Audah sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya Maqashid
untuk Pemula, bahwa Al-Ghazali mengajak agar mengambil pelajaran dari
sejarah Islam yang berusia 14 abad, sehingga beliau memasukkan “keadilan dan
kebebasan” ke dalam maqashid pada tingkat keniscayaan. Sumbangan
al-Ghazali dalam pengetahuan maqashid adalah kritiknya terhadap kecendrungan
harfiah yang dimiliki oleh besar ulama kini. Al-Ghazali memiliki sejumlah
pendapat yang reformis dalam ranah hak asasi manusia dan hak perempuan, dimana
pendapat-pendapat itu, jika dikaji dengan seksama, akan tampak berdasarkan
persfektif al-maqashid, yang meliputi maksud utama dan kesetaraan dan keadilan.[19]
Dalam pemikiran ahli ushul fiqh maqashid syari`ah
berguna dalam rangka menjawab tantangan perubahan sosial. Hal ini dapat
diaplikasikan dengan pendekatan dan penekanan terhadap nilai-nilai kemaslahatan
manusia dalam setiap taklif yang diperintahkan Allah. Dengan melakukan
pendekatan maqashid syari`ah seorang mujtahid dapat menggali nilai-nilai
kemaslahatan yang terkandung dalam setiap taklif yang Allah perintahkan kepada
umatnya. Kajian maqashid syari`ah ini
kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi.
Yang mana kajian maqashid syari`ah secara substansial mengandung
kemaslahatan bagi manusia.
Menurut Syatibi, dapat dilihat dari dua sudut
pandang. Pertama, maqashid al-syar`i (tujuan tuhan), kedua, maqashid
al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan tuhan, maqashid
syari`ah mengandung empat aspek:
1.
Tujuan dari syari’ menetapkan syari`at
2.
Penetapan syari`at yang harus dipahami
3.
Penetapan syari`at sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan
4.
Penetapan syari`at untuk membawa manusia kebawah lindungan hukum[20]
Dengan dimikian, tujuan tuhan menetapkan
suatu syari`at bagi manusia adalah untuk kemaslahatan manusia. Untuk itu, tuhan
menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan syari`at sesuai dengan
kemampuannya. Dengan memahami dan melaksanakan syari`at, manusia akan
terlindungi di dalam hidupnya dari kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Adapun tujuan syari`at ditinjau dari
sudut mukallaf ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syari`at yang
digariskan oleh syara` di atas sehingga tercapai tujuan mulia syari`at, yakni
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.[21]
Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama
dari syari`at adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum,
tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk memastikan bahwa kemaslahatan
kaum muslim baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang baik
karena tuhan berbuat demi kebaikan hamba-Nya. Syatibi mendefinisikan maslahah
sebagai apa-apa yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan kehidupan manusia,
dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas emosional dan intelektualnya,
dalam pengertian yang mutlak. Dalam pandangan Muhammad Khalid Masud, maslahah
dalam pengertian Syatibi, identik dengan “perlindungan kepentingan” entah
dengan cara positif. Misalnya, ketika demi memlihara eksistensi mashalih,
syari`ah mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih
tersebut, atau dengan cara preventif; untuk mencegah hilangnya mashalih,
syari`at mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan unsur apapun secara
aktual atau potensial merusak mashalih.[22]
Tujuan Syari` dalam pembentukan
hukumnya, yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan
pokoknya (daruriyat), dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyat)
serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyat). Dengan demikian setiap hukum
syara` tidak ada tujuan kecuali salah satu di antara tiga unsur tersebut,
dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. Tahsiniyah
tidak mungkin dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi
hajiyah. Dan hajiyah, juga tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam
pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi dharuriyah.[23]
Hal ini menerangkan tujuan umum syari`
dalam mensyariatkan hukum-hukum syari`ah. Baik hukum taklifi maupun hukum
wadh`i. Hal ini juga menjelaskan tingkatan-tingkatan hukum berdasrkan
tujuannya. Sedangkan pengetahuan tentang tujuan umum syari` dalam pembentukan
hukum termasuk sesuatu yang terpenting yang dipergunakan untuk memahami nash
dengan sepenuh pemahaman dan menerapkannya pada berbagai kejadian dan mengistinbathkan
hukum dalam permasalahan yang tidak ada nashnya.[24]
Dengan demikian yang menjadi tujuan
dalam mengetahui maqashid syari`ah ini adalah untuk mencapai
kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Imam Al-Ghazali mendefinisikan
bahwa maslahah adalah:
أَمَّا الْمَصْلَحَةُ
فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ،
وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ، فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ
الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ،
لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ
وَمَقْصُودُ الشَّرْعِ مِنْ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ:
وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ
وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ
الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ
مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.
Adapun
maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik manfaat dan menolak
mudarat, tetapi bukan itu yang kami maksud; sebab menarik manfaat dan menolak
mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu akan terwujud
dengan meraih tujuan-tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat ialah
memelihara tujuan syara” /hukum Islam.
Dan tujuan
syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
(ada yang menyatakan keturunan dan kehormatan), dan harta mereka. Setiap yang
mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setiap
yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut
maslahat.”[25]
Dengan dimikian dapat kita pahami bahwa maqashid
syari`ah merupakan suatu bentuk cara untuk mengetahui tujuan hukum Islam, di
samping itu guna mengetahui tujuan hukum Islam tersebut adalah untuk mencari
atau mencapai kemaslahatan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Karena
tanpa adanya maslahah, hukum Islam akan memberatkan dengan merusak kepada
kehidupan manusia di dunia manupun di akhirat.
C. Tingkatan Maqashid Syari`ah
Sebagaimana yang telah penulis uraikan
di atas tadi bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan
manusia dalam hal ini maslahat jika dilihat dari segi kekuatan substansinya
:
1.
Al-Daruriyat
(keniscayaan)
Merupakan segala
sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kemaslahatan manusia, baik agamanya
maupun dunianya. Apabila Al-Daruriyat ini tidak ada dan tidak
terpelihara dengan baik, maka rusaklah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Dengan kata lain Al-Daruriyat adalah tujuan esensial dalam kehidupan
manusia demi untuk menjaga kemaslahatan mereka.[26]
Dapat dipahami
bahwa yang menjadi tingkatan pertama dalam kajian maqashid syari`ah adalah
tingkat dharuriyat yang mana hal ini sangat berpengaruh kepada kehidupan
manusia. Untuk itu dalam penetapan hukum maupun dalam menggali nilai-nilai
kemaslahatan dalam taklif yang diperintahkan Allah, para pemikir hukum Islam
haruslah memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dharuriyat dalam penetapan hukum tersebut.
Tujuan hukum
Islam dalam bentuk dharuriyat ini mengharuskan pemeliharaan terhadap
lima kebutuhan yang sangat esensial bagi manusia yang dikenal dengan dharuriyat
al-khams, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[27] Imam Al-Ghazaly menjelaskan bahwa tujuan
syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
(ada yang menyatakan keturunan dan kehormatan), dan harta mereka. Setiap yang
mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setiap
yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut
maslahat.”[28]
Adapun lima kebutuhan (Al-Maqashidu
Al-Khams) yang sangat esensial bagi
manusia tersebut adalah :
a)
Memelihara
Kemaslahatan Agama
Agama merupakan seperangkat akidah,
ibadah, hukum, dan undang-undang, yang telah disyariatkan Allah SWT, untuk
mengatur hubungan manusia denga tuhannya, dan hubungan dengan sesamanya, serta
hubungan mereka dengan alam sekitarnya.
Agama merupakan sesuatu yang mesti
dimiliki oleh manusia agar kedudukannya lebih terangkat tinggi dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Agama Islam merupakan nikmat Allah SWT yang amat tinggi
dan sempurna. Oleh karena itu agama harus dipelihara dari segala sesuatu yang
dapat menganggunya, baik dalam intern agama itu sendiri maupun dari eksternnya.
Dalam bentuk eksternya, agama mesti dipelihara dari segala sesuatu yang ingin
menghancurkan dan melenyapkannya. Oleh karena itu kepada umat Islam dihalalkan
melakukan ijthad (bahkan diperintahkan) guna membela agama dari
gangguan-gangguan luar, dan sebagaimana diketahui dalam jihad (perang)
pertaruhan nyawa merupakan suatu keniscayaan yang wajib dihadapi. Tetapi demi
pemeliharaan agama, mengorbankan nyawa atau melenyapkan nyawa orang lain sudah
merupakan suatu perintah agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan
tingkat yang paling tinggidari keseluruhan kebutuhan pokok yang mesti ada pada
manusia.[29]
b)
Memelihara
Jiwa
Memelihara jiwa adalah memelihara
kehidupan yang terhormat, dan melindunginya dari segala macam gangguan dan
ancaman atas keselamatannya.[30]
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam
dengan hukuman qisas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan
demikian diharapkan agar orang sebelum yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh
juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera,
maka si pelakunya akan cedera pula. Mengenai hal ini dapat kita jumpai antara
lain dalam firman Allah : [31]
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ
بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ
فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ
مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ
أَلِيمٞ ١٧٨ وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩[32]
Artinya :”Wahai
orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu Qisas (pembalasan) pada
orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya,
hendaklah mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah mengikuti cara yang
baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dan
rahmat dari tuhanmu. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
untuknya siksaan yang sangat pedih. (178). Dalam Qisas itu terdapat kehidupan
bagimu, wahai orang-orang yang mempunyai akal. (178).” (Q.S Al-Baqarah,
178-179)
c)
Memelihara
Akal
Manusia adalah makhluk Allah SWT.
Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. petama, Allah SWT
telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan dengan
bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang. Hal ini telah
dijelaskan Allah sendiri dalam al-Qur`an surat At-Tin ayat 4 yang berbunyi :[33]
لَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤[34]
Artinya : “Sungguh
kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya” (Q.S.
At-Tin : 4)
Yang kedua, adalah akal. Akal adalah ciri khas yang dimiliki oleh
manusia yang membedakannya dengan binatang. Manusia hidup dengan akalnya,
berfikir dengan akalnya, mencari jalan keluar dengan akalnya, dan berbagai
fungsi akal lainnya yang membawa manusia kepada jalan yang lebih terarah.
Namun, ketika akal terganggu maka akan mempengaruhi segala aspek yang ada dalam
diri manusia itu sendiri.
Salah satu contoh dalam pemeliharaan agama Islam tehadap akal, salah
satunya adalah Islam mengharamkan umat muslim untuk mengkonsumsi khamar atau
sejenis minuman lain yang memabukkan. Karena ketika seseorang mengkonsumsi
khamar atau minuman lain yang berpotensi memabukkan dapat menghilangkan daya
akal fikiran yang jernih sehingga membuat kerja akal yang tidak terkontrol.
Untuk memperkuat larangan ini maka Islam memberikan hukuman bagi siapa saja
yang mengkonsumsi minuman khamar atau yang sejenisnya yang memabukkan.
d)
Memelihara
Keturunan
Dalam pemeliharaan keturunan, Allah
SWT melarang para umatnya untuk melakukan hubungan-hubungan yang tidak
dihalalkan. Dalam rangka memelihara keturunan ini Allah mensyari`atkan kepada
umatnya untuk melaksanakan perkawinan. Salah satu tujuan perkawinan adalah
untuk memelihara keturunan di samping tujuan-tujuan lainnya. Oleh sebab itulah
diatur hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan dalam bentuk
perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar mereka memperoleh anak cucu yang akan
meneruskan garis keturunan mereka. Dengan lembaga perkawinan, Allah SWT
mengakui garis keturunan tersebur, begitu juga dengan masyarakat. [35]
Dalam rangka agar pemeliharaan
keturunan ini tercapai maka bagi siapa saja yang melanggar dengan melakukan
hubungan-hubungan yang tidak dihalalkan seperti melakukan perbuatan zina maka
akan dijatuhkan hukuman berat bagi pelakunya.
e)
Memelihara
Harta Benda dan Kehormatan
Harta benda adalah pokok kehidupan
manusia dan alat perjuangan untuk membela agama Allah. Meskipun pada hakikatnya
semua harta benda itu milik Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi
seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tamak kepada harta benda, sehingga
mau mengusahakannya dengan jalan apapun, makanya Islam mengatur supaya jangan
sampai terjadi bentrokan satu sama lain.untuk ini Islam mensyari`atkan
peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, gadai
menggadai dan sebagainya.[36]
Sedangkan memelihara kehormatan
merupakan penjagaan dan perlindungan keturunan yang berarti, pemeliharaan dan
perlindangan terhadap jenis manusia, dengan adanya peraturan untuk membangun
dan membina rumah tangga, yaitu pernikahan. Islam telah menetapkan sutau hukum
untuk memelihara dan melindungi kehormatan setiap orang, dan mengancam dengan
hukuman berat bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan orang
lain, sebagaimana hukuman terhadap orang-orang yang melakukan zina dan
orang-orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa adanya saksi.[37]
Dalam hal pemeliharaan sendi utama
di atas mestilah berdasarkan skala prioritas. Maksudnya di sini adalah bahwa
pemeliharaan terhadap agama lebih utama daripada pemeliharaan terhadap jiwa
begitu seterusnya. Hal ini dikarenakan tingkat pemeliharaan dalam mewujudkan maqashid
syari`ah harus berdasarkan urutan pemeliharaan sendi tersebut.
2.
Al-Hajiyat
(kebutuhan)
Menurut Syatibi yang dimaksud
dengan Hajiyat ini adalah
“Kebutuhan
terhadapnya dari segi mengangkat kesempitan, dan adapun tahsiniyat artinya
mengambil sesuatu untuk memperindah kebiasaan”.[38]
Hajiyat merupakan suatu kebutuhan yang juga
harus dimiliki oleh manusia, dan keberadaan kebutuhan hajiyat ini sangat
berguna untuk menghindari manusia dari kesusahan dan menghilangkan kesulitan.
Maslahat yang berada pada posisi
hajat, seperti pemberian kekuasaan kepada wali untuk mengawinkan anaknya yang
masih kecil. Hal ini tidak sampai pada batas darurat (sangat mendesak), tetapi
diperlukan untuk memperoleh kemaslahatan, untuk mencari kesetaraan (kafa’ah)
agar dapat dikendalikan, karena khawatir kalau-kalau kesempatan tersebut
terlewatkan, dan untuk mendapatkan kebaikan yang diharapkan pada masa datang.[39]
Sesungguhnya hajiyat ini adalah
sesuatu yang dapat menyampaikan seseorang untuk memelihara kebutuhan daruriyah.
Dalam hal ini Amir Syarifuddin mengelompokkan tujuan hajiyat ini dilihat dari
segi penetapan hukumnya kepada tiga kelompok, yaitu : pertama, hal-hal
yang disuruh syara` melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara`
secara baik. Kedua, hal-hal yang dilarang syara` melakukannya untuk
menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang
dharuri. Ketiga, segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukhsah
yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah
pun tidak akan menghilangkan salah satu unsur yang dharuri, tetapi manusia akan
berada dalam kesempitan.[40]
Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa hajiyat merupakan kebutuhan sekunder bagi
mukallaf, apabila kebutuhan sekunder ini terpenuhi maka akan mempermudah
kehidupan mukallaf dan menghilangkan kesempitan-kesempitan bagi mukallaf dalam
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba. Hal ini merupakan salah satu
bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya dengan memberikan kemudahan bagi
hambanya seperti mengqashar salat dalam perjalanan, yang merupakan ‘salah satu
contoh kebutuhan hajiyat bagi mukallaf dalam menghilangkan kesempitan
dalam perkara-perkara terntentu untuk mencapai daruriyat yang terkadang dirasa sulit bagi diri
mukallaf.
3.
Tahsiniyat
(kemewahan)
Menurut Amir
Syarifuddin tahsiniyat adalah :
“Kebutuhan
manusia yang tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat hajiy,
namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan
keindahan bagi hidup manusia”.[41]
Kebutuhan
tahsiniyat digunakan untuk mengendalikan kehidupan umat manusia agar
tercapainya keharmonisan antar sesama manusia, serta keserasian antara satu
sama lain dan penuh dengan nilai-nilai estetika sehingga dapat mewujudkan
manusia dengan perilaku dan akhlaknya yang terpuji.
Menurut al-Ghazali :
“Posisi tahsin (mempercantik), tazyin (memperindah), dan taisir
(mempermudah) untuk mendapatkan beberapa keistimewaan, nilai tambah, dan
memelihara sebaik-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari dan
muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status ketidaklayakan hamba sahaya
sebagai saksi, padahal fatwa dan periwayatannya bisa diterima”.[42]
Contoh lainnya seperti minyak wangi, pakaian
yang menarik, rumah yang asri dan sebagainya. Islam mendukung hal-hal tersebut
dan menganggapnya sebagai tanda kemurahan rahmat Allah terhadap manusia dan
rahmat Nya yang tak terbatas. Akan tetapi Islam tidak, menghendaki agar manusia
memberikan perhatian terhadap kategori yang terakhir ini akan tetapi lebih
memberi perhatian kepada kedua kategori sebelumnya.[43]
Berbedanya
tingkat maslahah yang hendak dipelihara karena berbedanya maslahah yang hendak
diwujudkan pada setiap diri mukallaf sebagai objek hukum. Dalam hal ini
kebutuhan dan kondisi setiap mukallaf berbeda satu sama lainnya. Intelektual
hukum Islam sangat menyadari akan relatifitas maslahah. Seusatu yang dipandang
maslahah oleh sebagian orang belum tentu dipandang maslahah juga oleh yang
lain. untuk mengeliminasikan relatifitas tersebut diperlukan beberapa kriteria
dalam erifikasinya, salah satunya disebutkan bahwa kemaslahatan tersebut tidak
bertentangan dengan maqashid syari`ah. dalam melakukan ijtihad dengan
menggunakan metode maslahah haruslah dipastikan bahwa kemaslahatan tersebut
secara hakiki betul-betul sejalan atau tidak bertentangan dengan maqashid
syari`ah.[44]
Prinsip serta
tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran
hukum Islam secara umum. Tujuan hukum itu harus diketahui dalam rangka
mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu kesatuan
hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat
diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang maqashid syari`ah menjadi
kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. [45]
Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis
tingkatan kebutuhan manusia di atas adalah jalan untuk mencapai kemaslahatan
yang diinginkan syari`, dalam hal ini ketiga kebutuhan di atas tidaklah dapat
dipisahkan satu sama lain. hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan
mempunyai hubungan dalam penyempurnaannya, sebagaimana dharuriyat membutuhkan
hajiyat untuk menyempurnakannya, begitu juga dengan hajiyat membutuhkan
tahsiniyat untuk menyempurnakannya. Namun dalam hal ini yang menjadi
dasar dari segala kemaslahatan manusia adalah aspek dharuriyat.
Sekalipun dikatakan dharuriyat merupakan
dasar untuk adanya hajiyat dan tahsiniyat, itu tidak berarti
bahwa tidak terpenuhinya dua kebutuhan yang disebut terakhir akan membawa
kepada hilangnya eksistensi dharuriyat. Atau, ketiadaan dua aspek itu
tidaklah mengganggu esksistensi dharuriyat secara keseluruhan. Namun,
untuk kesempurnaan tercapainya tujuan syari` dalam mensyari`atkan hukum Islam,
ketiga jenis kebutuhan tersebut harus terpenuhi. Dan inilah yang dimaksud bahwa
ketiga kebutuhan tersebut merupakan satau kesatuan yang sulit dipisahkan.[46]
Pada intinya teori filsafat hukum Islam berpusat kepada penerapan maqashid
syari`ah yang berpuncak pada prinsip menjaga kepentingan agama, jiwa, akal
keturunan dan harta yang dikonversikan kepada salah satu tingkatan dharuriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah.
D. Metode Memahami Maqashid Syari`ah
Sebelum
mengemukakan metode untuk memahami maqashid syari`ah, dalam hal ini akan
dikemukakan terlebih dahulu beberapa golongan yang menurut pandangan mereka
bagaimana memahami maqashid syari`ah tersebut yang terbagi ke dalam 3
kelompok :[47]
1. Golongan yang hanya mempertimbangkan
makna zahir lafazh
Maksud makna
zahir di sini adalah makna yang dipahami dari apa yang tersurat dalam
lafazh-lafazh nash keagamaan yang menjadi landasan utama dalam mengetahui maqashid
syari`ah. kecendrungan untuk menggunakan metode ini bermula dari suatu
asumsi bahwa maqashid syari`ah adalah suatu yang abstrak dan tidak dapat
diketahui kecuali melalui petunjuk tuhan dalam bentuk zahir lafazh yang jelas.
Petunjuk tuhan itu tidak memerlukan penelitian yang ada gilirannya bertentangan
dengan kehendak bahasa. Dengan kata lain, pengertian hakiki suatu nash tidak
boleh dipalingkan (ditakwilkan) kepada makna majazi, kecuali bila ada petunjuk
jelas dari pembuat syari`at, bahwa yang dimaksudkan adalah makna tersirat.[48]
Metode ini
dikembangkan oleh Dawud al-Zahiri, seorang pendiri pelopor aliran Zahiriyah.
Dia mengajukan suatu perinsip bahwa setiap kesimpulan hukum harus di dasarkan
atas maknanya yang hakiki, makna zahir teks-teks keagamaan. Menurutnya
pemalingan makna zahir teks-teks syari`at kepada makna majazi (alegoris)
merupakan suatu penyimpangan yang harus diluruskan.[49]
Dengan demikian
secara prinsipil dapat kita pahami bahwa apa yang dikemukakan oleh kalangan
Zahiriyah ini, untuk memahami maksud syari` seseorang hanya diperbolehkan
berpegang kepada makna zahir lafazh atau makna hakiki lafazh tersebut tanpa
adanya pemalingan karena mereka menganggap pemalingan makna tersebut merupakan
suatu penyimpangan yang tidak semestinya dilakukan.
2. Golongan yang menentang kelompok yang
hanya mempertimbangkan makna lafazh
Kelompok kedua
ini merupakan kelompok yang menentang terhadap pemahaman yang menyatakan untuk
mengetahui maksud syari` seorang yang melakukan kajian tersebut harus berpegang
kepada makna hakiki lafazh. Dalam kelompok ini terdapat dua golongan kecil :[50]
a. Golongan Batiniyah
Maksud
makna batin di sini adalah makna yang tersirat dari suatu teks ajaran Islam.
Makna batin menjadi dasar pertimbangan dalam mengetahui maqashid syari`ah
adalah berpijak dari suatu asumsi,[51]
bahwa maqashid syari`ah bukan dalam bentuk zahir dan bukan pula dari pengertian yang dipahami
dari nash-nash syari`at Islam.[52]
Konsep maqashid syari`ah
merupakan hal lain yang ada dibalik pengertian yang ditunjukkan oleh zahir
lafazh, yang terdapat dalam semua aspek syari`at. Pandangan yang demikian bisa
berimplikasi bahwa tak seorang pun dapat berpegang kepada zahir lafazh dari
nash-nash keagamaan yang memungkinkan ia memperoleh pengertian maqashid
syari`ah. Syatibi menyebut kelompok ulama yang berpegang dengan metode ini
sebagai kelompok batiniyah, yaitu kelompok yang bermaksud menghancurkan Islam.[53]
b. Golongan teoritis (penalaran)
Golongan ini
merupakan golongan yang mendalami qiyas, mereka mendahulukan qiyas daripada
nash, dan mereka berpendapat bahwa maksud syari` dapat diperoleh dengan
memperhatikan kepada makna yang diperoleh dengan penalaran secara teoritis,
tanpa mempertimbangkan zahir nash kecuali dalam nash terdapat maksud syari`
secara mutlak. Golongan ini juga menjelaskan bahwa jika pengertian teks wahyu
bertentangan dengan penafsiran yang didasarkan pada pertimbangan akal, maka
pengertian ayat itu disesuaikan dengan pengertian akal,[54]
artinya yang diutamakan adalah akal (nalar), baik atas dasar keharusan menjaga
kemaslahatan maupun tidak. Menurut mereka antara qiyas dan maqashid syari`ah
dipandang memiliki keterkaitan metodologis yang terfokus pada penelitian illah.
Jalaluddin Rahmat menyebut kelompok ini termasuk liberalisme atau yang paling
tepat kelompok rasionalisme.[55]
Dengan demikian
kelompok batiniyah dan kelompok teoritis atau rasionalisme ini merupakan
kelompok yang menentang terhadap golongan yang hanya memperhatikan zahir
teks-teks keagamaan untuk mencari maksud syari`. Namun yang sangat mencolok
adalah bahwa dua kelompok yang menentang tersebut juga hanya berpegang kepada
apa yang menjadi pandangannya. Kelompok batiniyah dalam rangka mencari maksud
syari` hanya menggunakan pengertian yang disampaikan dibalik nash dan melihat
dari segala aspek syari`at. Begitu juga dengan kelompok rasionalis juga hanya
menggunakan penalaran dalam mencari maksud Allah sehingga masing-masing
golongan ini hanya terfokus kepada bagaimana metode mereka masing-masing dalam
mencari maksud Allah dalam penetapan suatu hukum.
3. Golongan yang menggabungkan terhadap
pertimbangan makna lafazh yang zahir dengan kajian terhadap makna-makna lafazh
serta illat-illatnya
Metode ini dapat
disebut juga sebagai metode kombinasi atau metode konvergensi,[56]
yaitu metode mengetahui maqashid syari`ah yang menggabungkan antara
mempertimbangkan zahir nash dan juga mempertimbangkan kepada penalaran terhadap
makna-makana dan illat-illatnya. Agar syari`at berjalan dengan aturan yang satu
dan tida ada perbedaan padanya serta tidak adanya ketidak cocokan antara satu
sama lain. Syatibi menyebut golongan ini “Ar-Raasikhun” yaitu kelompok
ulama yang mumpuni dalam agama.[57]
Menurut Syamsul
Bahri dalam bukunya Metodologi Hukum Islam menyebutkan bahwa Syatibi
sebagai salah seorang ulama yang mengembangkan metode ini memandang, bahwa
pertimbangan makna zahir, makna batin, dan makna penalaran memiliki keterkaitan
yang bersifat simbiosis. Oleh karena itu, dalam mengetahui maqashid syari`ah
ketiga pertimbangan tersebut mesti diperhatikan.[58]
Dalam
menggunakan metode ini tampak dalam uraiannya mengenai beberapa aspek yang
menyangkut upaya dalam memahami maqashid syari`ah di antaranya :
1. Mempertimbangkan lafazh perintah dan
larangan
2. Mempertimbangkan illat dalam perintah
dan larangan
3. Pertimbangan terhadap diam syari` dari
penetapan hukum sesuatu.
4. Analisis terhadap tujuan ashliyah dan tabi`yah
dari semua hukum yang telah ditetapkan syari`.[59]
5. Istiqra` (metode
induksi)
Dalam hal ini penulis akan menjelaskan
beberapa poin penting yang menjadi metode dalam memahami maqashid syari`ah
ini dengan berpegang kepada kelompok ketiga yaitu kelompok yang menggunakan
metode konvergensi atau penggabungan terhadap zahir nash dan pertimbangan
terhadap makna-makna dan illat-illat hukum yang terkandung dalam nash.
1. Analisis terhadap lafazh perintah dan
larangan
Setiap perintah
dan larangan yang terdapat dalam nash mempunyai tujuan yang jelas, yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan dari kemudharatan. Menurut `Izz
al-Din bin Abd al-Salam, sebagaimana yang dikutip oleh Umar ibn Shalih ibn
Umar, jika dsesutau disuruh mengerjakannya, berarti di dalamnya terkandung
tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Sebaliknya jika dilarang, berarti di
dalamnya terkandung sebuah kemafsadhatan. Akibat hukumnya, perbuatan yang
diperintahkan akan menghasilkan hukum wajib, mandub atau mubah. Sedangkan
perbuatan yang dilarang akan mengahasilkan hukum haram dan makruh.[60]
Maka dalam hal
ini ketika terdapat perintah, maka perintah itu dikehendaki untuk melakukannya,
maka ketika melaksanakan perintah tersebut, itulah maksud tujuan Allah, begitu
juga sebaliknya ketika terdapat larangan, maka larangan tersebut merupakan
bentuk untuk meninggalkan pekerjaan, maka meinggalkan itulah yang menjadi
maksud Allah.[61]
Inilah yang disebut oleh Syatibi Ibtida` dan Tasrihi.[62]
Dalam hal ini
Syatibi membuat dua persyaratan agar kedua kategori itu menghasilkan
terealisasinya tujuan Allah, yaitu : pertama, Amar dan nahi yang dituju
sejak awalnya. Kedua, perintah dan larangan itu jelas/tegas.[63]
Sebagai contoh
dapat dilihat dalam al-Qur`an surat al-Jum`ah ayat 9 :
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ
إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ٩ [64]
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, apabila (kamu) diseru untuk melaksanakan salat
pada hari Jum`at, maka bersegaralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya”
Lafazh ayat di atas mengandung perintah dan larangan,
yaitu perintah untuk bersegera mengingat Allah SWT (salat Jum`at) dan larangan
jual beli. Menurut Syatibi, larangan juall beli bukanlah larangan yang berdiri
sendiri sejak awal. Tetapi hanya bertujuan menguatkan perintah untuk bersegara
mengingat Allah. Oleh karena itu larangan jual beli hanya merupakan tujuan
kedua dari ayat ini. Hal ini tidak sama dengan larangan riba, zina, dan
lain-lain.[65] Karena dengan transaksi
jual beli dapat menyebabkan seseorang melalaikan suatu kewajiban yakni salat
Jum`at. Jadi, larangan transaksi jual beli pada ayat tersebut hanya bersifat
sementara yakni pada waktu pelaksanaan salat Jum`at.
2. Analisis terhadap illat perintah dan
larangan
Dalam hal
analisis terhadap illat perintah dan larangan ini terbagi kepada dua bentuk.
Adakalanya illat itu diketahui dan adakalanya illat tersebut tidak diketahui.[66]
Ketika illat
tersebut diketahui, maka akan diketahui apa yang dikehendaki oleh perintah atau
larangan tersebut baik itu maksudnya ataupun peniadaan untuk melaksanakannya,
dalam hal ini seperti nikah untuk kemaslahatan keturunan, jual beli untuk
memanfaatkan keuntungan satu sama lain, dan ketentuan hudud untuk memelihara
kemaslahatan jiwa. Dan untuk mengetahui illat di sini adalah dengan masalikul `illah yang
diketahui dalam ilmu ushul fiqh, maka illat tersebut menentukan untuk mengetahui
maksud syari` apa yang dikehendakinya dari illat tersebut sehingga harus
dikerjakan atau ditinggalkan.Dan ketika illat tidak diketahui, seseorang harus
berhenti (tawaqquf) sampai di situ, karena hanya Allah SWT lah yang
mengetahui alasannya.[67]
Dalam hal
mengambil sikap tawaquf ini
dilandasi atas dua alasan; pertama, tidak boleh memperluas cakupan
alasan dari alasan atau sebab yang sudah tertulis jelas dalam nash, karena hal
ini sama saja dengan menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, perluasan cakupan
alasan dibolehkan apabila memungkinkan dapat mengetahui tujuan hukum.[68]
Manurut Asfari
Jaya Bakri, petimbangan tawaquf yang dikemukakan di atas ini terletak
pada orientasi atau objek permasalahan. Pertimbangan pertama lebih ditujukan
kepada nash-nash yang berkaitan dengan ibadah, sedangkan pertimbangan kedua,
yang memungkinkan adanya perluasan cakupan `illat berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan muamalah. Pendapat ini sepertinya sejalan dengan
usaha-usaha ulama sebelumnya yang sungguh-sungguh dalam mencari cara untuk
menemukan `illat hukum yang terdapat dalam nash al-Qur`an maupun sunnah. Tujuan
ditemukannya `illat tidak lain adalah untuk merentangkan ketentuan hukum yang
sudah jelas kepada hukum permasalahan yang belum ada kejelasannya. Apabila usaha
menemukan illat itu tidak ada, tentu hukum tidak mungkin dikembangkan sesuai
dengan kondisi yang dihadapi.[69]
3. Analisis terhadap diam syari` dari
penetapan hukum sesuatu
Dalam hal ini bahwa diamnya syari` tentang
suatu hukum sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Athy Muhammad salah satu
dosen Kairo Mesir dalam bukunya yang berjudul Maqashid Syari`ah wa atsaruhu
fi Fiqhi al-Islami terbagi ke dalam dua bentuk :[70]
1) Bahwa diamnya syari` terhadap hukum
karena tidak ada seruan terhadap hukum tersebut untuk meghendaki hukum itu
terjadi, dan tidak ada hal positif untuk mengukur berdasarkan kepentingan
tertentu. Sebagaimana halnya pengumpulan mushaf, atau kodifikasi ilmu
pengetahuan, dan lain sebagainya yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah.[71]
Bertitik tolak dari pernyataan di
atas dapat dipahami bahwa sebenarnya manusia diberi kesempatan secara luas
untuk melakukan inovasi-inovasi dalam rangka merealisasikan kemaslahatan
hidupnya. Inovasi-inovasi tersebut menurut Syatibi bisa dikategorikan sebagai
sesuatu yang absah selagi masih didsarkan atas dalil kulliyah dan masih
dalam kerangka maksud umum syari`ah. contoh di atas yang kesemuanya itu tidak
dilakukan berdasarkan nash yang jelas karena syari` tidak memberikan keterangan
tentang hal-hal tersebut.[72]
2) Sikap diamnya syari` dalam suatu
persolan hukum walaupun pada saat itu sebenarnya syari` tidak harus diam,
karena ada faktor yang mendorong untuk menetapkan hukum. Pada dasarnya hukum
harus diparktekan sesuai dengan ketentuan nash tanpa menambah atau mengurangi
sedikit pun, dan beginilah yang dikehendaki oleh syari`. Menambah-nambah dari
apa yang telah ditetapkan dapat dikategorikan bid`ah dan tentunya bertentangan
dengan keinginan syari` itu sendiri. Dalam hal ini Syatibi memberikan melakukan
sujud syukur sebagai contoh, yang mana di dalam madzhab Maliki sujud syukur itu
tidak disyariatkan sama sekali. Alasanya karena sujud syukur itu tidak pernah
dilakukan pada zaman Nabi, walaupun secara rasional hal ini diperlukan.
Walaupun ada riwayat yang mengatakan bahwa Abu Bakr Shiddiq pernah melakukannya
setelah perang Yamamah, namun hal ini dibantah Syatibi karena menurutnya
riwayat ini merupakan riwayat yang tidak betul atau menyesatkan. Sedangkan
menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyah, sujud syukur mempunyai dasar yang kuat dalam Islam.
Hal ini didasarkan kepada hadis shahih dan atsar yang satu sama lain saling
mendukung. Dengan demikian Ibn Qayyim tidak melihat sikap diamnya syari` dalam
hal ini. Agaknya perbedaan pendapat ini terjadi hanya dilatarbelakangi dengan
melihat eksisitensi dan validitas hadis yang mengatur persoalan sujud syukur.
Terlepas dari perbedaan pendapat ini sepertinya inti pembicaraan Syatibi adalah
mengenai penambahan yang dilakukan oleh umat Islam dalam masalah ibadah, dan
hal itu tidak dapat dibenarkan.[73]
Dengan demikian
mengenai diamnya syari` terhadap suatu hukum berdasarkan apa yang telah
dikemukakan di atas sepertinya dapat kita pahami bahwa dalam hal ibadah para
ulama tidak membenarkan adanya penambahan, khususnya Syatibi memandang bahwa
apabila adanya penambahan dalam hal ibadah, maka hal tersebut dianggap bid`ah.
alasanya apa yang diperintahkan itulah yang mengandung maqashid syari`ah.
berbeda dengan diamnya syari` terhadap hal yang berada di luar lingkup ibadah
sebagaimana yang penulis paparkan pada poin satu, hal itu lebih berkaitan
dengan urusan pengetahuan atau masalah kemanusiaan yang di sana mengandung
banyak kemaslahatan yang dapat mempermudah manusia dalam melaksanakan urusan
duniawi maupun ukhrawi.
4. Analisis terhadap tujuan ashliyah
(pokok) dan tab`iyah (tambahan) dari semua hukum yang telah ditetapkan
syari`.
Dalam menetapkan hukum, baik yang masuk
kategori ibadah maupun muamalah, syari` mempunyai dua maksud, yaitu maksud
pokok dan maksud tambahan.[74]
Maksud pokok adalah hal-hal penting yang harus dilaksanakan oleh manusia
(mukallaf) untuk menjaga kelangsungan hidupnya (dharuriyah) guna mewujudkan
kemaslahatan. Artinya, bila sendi itu tidak ada maka kehidupan mereka menjadi
kacau balau, kemaslahatan tidak dapat dicapai dan kenikmatan hidup ukhrawi
tidak dapat dirasakan. Sedangkan yang dimaksud dengan maksud-maksud tambahan
adalah maksud tuhan meperhatikan kebutuhan manusia (mukallaf) agar bisa
mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, apa yang
menjadi penekanan pada maksud-maksud pokok (ashliyah) ialah kebutuhan
mukallaf dalam menunaikan kewajibannya, sedangkan pada maksud-maksud tambahan (thab`iyah)
ialah hak-hak yang diperoleh setiap mukallaf yaitu berupa
keuntungan-keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat.[75]
Untuk memperjelas masalah ini, Syatibi
memberikan contoh hukum nikah. Maksud pokok disyariatkan nikah adalah untuk
memelihara keturunan. Kemudian di samping itu nikah juga dilengkapi maksud
tambahan yakni agar mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan, agar bisa
bekerjasama dalam mewujudkan kemaslahatan hidup dunia dan akhirat, memperoleh
kenikmatan seksual yang halal, memandang kemolekan tubuh wanita (isteri),
memelihara nafsu seksual dan pandangan mata agar tidak terjerumus kepada
kemaksiatan.[76]
Oleh karena itu, nikah yang dilakukan tidak dalam rangka memenuhi maksud syari`
tersebut seperti nikah tahlil, atau nikah mut`ah atau yang sejenisnya yang
bertentangan dengan maksud syari`.[77]
Begitu pula pada aspek ibadah, maksud
pokoknya adalah mengahadapkan diri kepada Allah, kemudian diikuti dengan
maksud-maksud tambahan seperti memperoleh derajat yang tinggi di akhirat dan
kemuliaan di sisi Allah SWT.[78]
5. Istiqra` (metode
induksi)
Istiqra` adalah suatu cara menarik
kesimpulan atau inferensi umum atau proposisi universal melalui observasi atas
kejadian-kejadian partikular. Metode penalaran induksi ini pun digunakan oleh
Aristoteles yang kemudian dikenal dengan silogismenya atau logika formal yang
juga sering disebut logika tradisional.[79]
Sedangkan Busyro dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Maqashid[80]
juga menyinggung mengenai istiqra` ini namun lebih spesifik dengan
istilah istiqra` ma`nawi,
merupakan sebuah metode penetapan kesimpulan qasd syari` (tujuan
pembuat syari`at) yang bukan hanya dilakukan dengan satu dalil tertentu saja,
tetapi dengan menghimpun sejumlah dalil lainnya yang digabungkan satu sama
lain, walaupun mengandung persoalan atau objek yang berbeda, kumpulan
dalil-dalil itulah yang menghasilkan sebuah kesimpulan makna umum (general)
yang pada akhirnya diterapkan untuk menyelesaikan secara keseluruhan
persoalan-persoalan yang tidak dibicarakan dalam nash.
Karakteristik istiqra` ma`nawi
ini termasuk metode dalam memahami maqashid syari`ah yang dikembangkan
oleh Syatibi yang dapat disimpulkan dalam empat bentuk:
1)
Ungkapan
penggabungan dalil-dalil menggambarkan bahwa prinsip metode istiqra` ini
tidak menganggap cukup menetapkan suatu hukum hanya dengan satu dalil saja.
Tetapi dengan menghimpun banyak dalil yang relevan walaupun dalam bidang hukum
yang berbeda.
2)
Dalil-dalil
hukum yang dihimpun tersebut ada yang yang sifatnya kully dan ada yang
sifatnya juz`i. Konsekuensi dengan adanya hukum-hukum yang bersifat
kully dan hukum-hukum yang juz`i. Oleh karena itu dalil-dalil itu lafaznya
dapat berbentuk umum, khusus, amar, nahi, zhahir, mutlak, muqayyad, dan lain-lain.
3)
Sedemikiannya
metode ini, maka Syatibi memandang bahwa seorang ahli fiqh tidak akan menemukan
tujuan syari` secara umum dalam menetapkan hukum apabila hanya dilakukan dengan
satu dalil atau beberapa dalil saja. Tujuan syari` itu baru dapat ditemukan
dengan melakukan penelitian terhadap terhadap semua dalil yang relevan dengan
persoalan yang dihadapi.
4)
Seorang
ahli fiqh juga harus memperhatikan qara`in al-ahwal, baik yang berkaitan
dengan nash tersebut secara tertulis maupun yang tidak tertulis.[81]
Berdasarkan apa yang penulis jelaskan di
atas mengenai metode memahami maqashid syari`ah merupakan cara dalam
rangka untuk mengetahui maksud ditetapkannya suatu hukum. Dengan demikian pada
prinsipnya metode tersebut dapat terhimpun dalam satu metode yaitu metode istiqra`
yang merupakan inti dari dari keseluruhan metode untuk menemukan tujuan syari`ah,
dengan cara menginduksikan dalil-dalil secara keseluruhan dan untuk selanjutnya
ditemukan makna umum dari keseluruhan dalil tersebut. Makna umum inilah yang
pada akhirnya dijadikan sebagai panduan dalam menetapkan hukum Islam. Adapun
metode-metode lainnya merupakan sarana untuk sampainya seorang ahli hukum Islam
kepada penemuan istiqra` ma`nawi ini.
[1]Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
1
[2]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo : Wade Group, 2016), hal. 35
[3]Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 2
[4]Muhammad Syukri
Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013),
hal. 3-4
[5]Zulkifli, Hukum
Islam dan Perubahan Sosial Studi Tentang Al-`Urf dalam Upaya Pembaharuan Hukum
Islam, (Bukittinggi : STAIN Press, 2006), hal. 122-124
[6]Hasbi Ash
Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra,
2001), hal. 29
[7]Muhammad Syukri
Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 4
[8]Alaiddin Koto, Filsafat
hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hal. 153
[9]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal. 36, Lihat juga Amir Syarifudin, Pengertian
dan Sumber Hukum Islam (Tulisan dalam Falsafah Hukum Islam), (Jakarta :
Bumi Aksara, 1992), hal. 16
[10]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal. 40-41
[11]Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hal.
234-235
[12]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami, (Al-Qahirah
: Dar Al-Hadis, 2007), hal. 13
[13]Jasser Audah, Maqashid
untuk Pemula, Terj : `Ali Abdelmom `im, (Yogyakarta : SUKA-Press,2013),
hal. 6
[14]Imam Anas Muslihin,
Arah Baru Pemikiran Filsafat Hukum Islam Vol VII, No 2, (STAIN Kediri :
Manahij Jurnal Hukum Islam, 2013), hal.
157
[15]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,...,
hal.
[16]Imam Anas
Muslihin, Arah Baru Pemikiran Filsafat Hukum Islam Vol VII, No 2,..., hal.
158
[17]Muhammad Sa`id
Ramadhan Al-Buthi, Dawabit al-Mashlahah fi al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Beirut
: Muasasah Risalah : 1973), hal. 12
[18]Ahmad Munif
Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Mashlahah
Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 106
[19]Jasser Audah, Maqashid
untuk Pemula, Terj : `Ali Abdelmom `im,..., hal. 18
[20]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat,
(Daar Ibn Affan, 1997) juz II hal.8
[21]Badri
Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial,..., hal. 51
[22]Badri
Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial,..., hal. 51
[23]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal.
310
[24]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,...,
hal. 310
[25]Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, Al-Mustashfa, Muhaqqiq
:Muhammad Abdu Salam Abdu Syafi, (Dar Al-Kutb Al-‘Ilmiyah, 1993), cet.
I, hal. 174
[26]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal. 150
[27]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal. 150
[28]Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, Al-Mustashfa,..., hal.174
[29]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal. 151-152
[30]Muhamdiyah
Djafar, Pengaantar Ilmu Fikih (Suatu Pengantar Tentang Ilmu Hukum Islam
dalam Berbagai Madzhab), (Jakarta : Kalam Mulia, 1993), hal. 38
[31]Ismail Muhammad
Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hal. 70
[32]Al-Qur`an Karim
[33]Ismail Muhammad
Syah, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 75
[34]Al-Qur`an Karim
[35]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal. 153
[36]Ismail Muhammad
Syah, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 101
[37]Muhamdiyah
Djafar, Pengaantar Ilmu Fikih (Suatu Pengantar Tentang Ilmu Hukum Islam
dalam Berbagai Madzhab),..., hal. 39-40
[38]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz II, (Daar Ibn Affan, 1997), hal. 22
[40]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer, (Jakarta
: Adelina Bersaudara, 2015), hal. 112-113
[41]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 350
[43]Jasser Audah, Maqashid
untuk Pemula, Terj : `Ali Abdelmom `im,..., hal. 11
[44]Busyro, Dasar-Dasar
Filosofis Hukum Islam,..., hal.155-168
[45]Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 124
[46]Alaidin Koto, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh,..., hal. 119-120
[47]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 44
[48]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 107
[49]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 107
[50]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 44-45
[51]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 110
[52]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 44
[53]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 111
[54]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 45
[55]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 112-113
[56]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 113
[57]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz III,..., hal. 134
[58]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 114
[59]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz III,..., hal. 134-139
[60]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.
87
[61]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 46
[62]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 123
[63]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.
87
[64]Al-Qur`an Karim
[65]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz III,..., hal. 134
[66]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 47
[67]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz III,..., hal.135-136
[68]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.85
[69]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.
85
[70]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 54
[71]Muhammad Abdul
Athy Muhammad, Maqashidu Asy-Syar`iyatu wa Atsaruha Fil Fiqhi Al-Islami,...,
hal. 54
[72]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 128-129
[73]Busyro, Fiqh
Maqashid,..., hal 95
[74]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz III,..., hal. 139
[75]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 126
[76]Ibrahim bin
Musa bin Muhammad lakhmi al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat
juz III,..., hal. 139
[77]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 127
[78]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam,..., hal. 127
[79]Abdurahman
Wahid dkk, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 272
[80]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.
97
[81]Busyro, Fiqh
Maqashid Mengukur Aplikasi Maqashid al-Syari`ah dalam Fatwa Kontemporer,..., hal.
99-100
No comments:
Post a Comment