Friday, January 25, 2019

PEREMPUAN SEBAGAI WALI NIKAH MENURUT HANAFIYAH

PEREMPUAN SEBAGAI WALI NIKAH MENURUT HANAFIYAH
A.    Sejarah Hanafiyah
1.      Sejarah Hanafiyah
Hanafiyah merupakan sebutan untuk pengikut madzhab yang didirikan oleh Imam Hanafi. Imam Abu Hanifah al-Nu`man bin Sabit bin Zuthi, lahir pada tahun 80 H di kota Kuffah pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan pada saat itu merupakan masa kekhalifahan Marwan bin Abdul Malik.[1] Beliau lebih populer dengan sebutan Abu Hanifah. Bukan karena mempunyai putra yang bernama Hanifah, tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah, diambil dari ayat :[2]
قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٥[3]
Artinya : “Katakanlah, “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.. (Q.S Ali Imran : 95).

Abu Hanifah tumbuh di Kuffah dalam keluarga muslim dari Ahli Yasar, Sejak kecil Abu Hanifah telah menghafal al-Qur`an. Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang yang menjual pakaian dari wol. Kemudian Abu Hanifah mewarisi profesi orang tuanya tersebut.[4]
Di Kuffah Abu Hanifah bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW. Antara lain : Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, di Madinah dengan Sahal bin Sa`ad al-Saisi. Di Makkah dengan Amir bin Watsilah, seorang tabi`in[5]. Akan tetapi sebagian orang meragukan pertemuannya dengan mereka. Teman-temannya mengatakan : “Ia bertemu bahkan banyak mendapatkan Hadis dari mereka”. Tetapi para ulama tradisionalis menafikan hal tersebut.[6]
Tidak ada pertengan bahwa Abu Hanifah mendapati zaman sahabat, akan tetapi yang menjadi pertentangan adalah dalam hal Abu Hanifah meriwayatkan dari sahabat dan mendengar langsung dari mereka. Banyak dari kalangan muhadditsin dan muarakhin menyebutkan bahwa Abu Hanifah melihat sejumlah sahabat. Dan sebagian lainnya menyebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan dari sejumlah sahabat.[7]
Mengenai sifat yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf berkata, “Dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang yang diinginkannya.[8]
Hammad Puteranya mengatakan “ Dia adalah orang yang berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu, dia juga tidak mau menjawab pertanyaan yang bukan urusannya”. Ahmad bin Al-Haitsami berkata, “Tidak ada pertentangan antara perawakan yang sedang dengan tubuh yang tinggi, karena terkadang dengan perawakan yang sedang itu lebih dekat dengan tubuh yang tinggi”. Ibnu al-Mubarak berkata, “Dia berwajah tampan dan berpakaian rapi”. Abdurahman bin Muhammad bin Al-Mughirah berkata, “Aku melihat Abu Hanifah seorang guru yang banyak memberikan fatwa kepada masyarakat di masjid Kuffah dengan memakai kopiah panjang berwarna hitam di kepala”.[9]
Kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan negeri timur dan barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu dengannya. [10]
Dalam kitab Wahbi Sulaiman Ghaawiji yang berjudul Abu Hanifah An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha, disebutkan bahwa guru Abu Hanifah mencapai 4000 orang, yang riciannya 7 orang dari kalangan sahabat, 93 orang dari kalangan tabi`in dan selebihnya orang yang ada pada masa itu. Di antara guru-guru Abu Hanifah juga disebutkan yaitu : Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir Al-Kufi, Ibrahim bin Yazid An-Nakha`I Al-Kufi, Ismail bin Hammad bin Abi Sulaiman Al-Kufi, Ayyub An-Nastakhyani Al-Bashri, Harits bin `Abdirrahman Al-Hamdzaani Al-Kufi Abu Hindi, Rabi`ah bin `Abdirrahman Al-Madani (lebih dikenal dengan sebutan Rabi`ah), Salim bin `Abdillah bin Umar bin Khattab Radiyaallahu `Anhu, Sa`id bin Masruq Walidi Sufyan Atsauri, Sulaiman bin Yassar Al-Halali Al-Maddani, `Ashim bin Kulaib bin Syihab Al-Kufi, `Abdurrahman bin Hurmaz Al-`Araji Al-Madani, `Atha` bin Yasar Al-Halali, Al-Madani, Amru bin Dinar Al-Makki, Qaasim bin Abdirrahman bin `Abdillah bin Mas`ud, `Abdul Karim bin Abi Al-Mu`ariq Al-Bashri.[11]
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan yang selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah Imam ‘Amir Ibn Syahril al-Sya’by dan Hammad Ibn Sulaiman al-Asy’ary. Dan guru yang berpengaruh pada dirinya adalah Imam Hammad bin Abi Sulaiman.[12]
2.      Perkembangan dan Kitab-Kitab Madzhab Hanafi
Pada awalnya madzhab Hanafi berkembang di Kuffah yang merupakan tanah kelahiran Abu Hanifah sendiri, kemudian tersebar ke seluruh wilayah di Irak.[13] Madzhab ini menempati kedudukan paling atas di Irak sepanjang masa kekhalifahan Abbasiyah kerena merupakan sistem hukum yang paling banyak mendapat dukungan khalifah. Madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi negara di zaman Turki Utsmani.[14]
Abu Hanifah yang hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan pada tahun 762 M.
Dari perjalanan hidupnya, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu sisi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Basrah dan Kufah di Irak melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang; seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, fikih, hadis, dan tasawwuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat  dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Beliau dikenal sebaga salah satu ulama ahlu ra`yi. Ketika menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an atau hadis, beliau lebih banyak menggunakan ra`yi dari pada khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, maka metode qiyâs dan istihsanlah yang beliau pakai dalam menetapkan suatu hukum.[15]
Penyebaran Madzhab Imam Abu Hanifah tidak lepas dari usaha para murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya, hal ini dibuktikan banyaknya buah fikiran beliau yang dikodifikasikan oleh para muridnya setelah beliau meninggal dunia, sehingga menjadi madzhab ahli ra`yi yang hidup dan berkembang. Madzhab ini kemudian terkenal dengan beberapa nama, yaitu Madzhab Hanafî dan Madzhab Ahli Ra`yi, di samping namanya menurut versi sejarah Hukum Islam dikenal dengan sebutan “Madzhab Kûfah”.
Dengan banyaknya buah fikiran Imam Abu Hanifah yang dikodifikasikan oleh murid-muridnya dan dengan banyaknya para pengikut beliau yang tersebar diberbagai negara, seperti; Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria, Mesir dan Libanon, maka mazhab Hanafi tersebar diseluruh pelosok dunia dan termasuk dalam golongan mayoritas di samping madzhab Syafi`i.[16]
Selanjutnya di antara para murid Imam Abu Hanifah terdapat kira 40 orang ulama yang gigih menyebarluaskan aliran madzhab Hanafi ini, lagi pula seperti murid beliau yaitu Imam Abu Yusuf diberi jabatan sebagai seorang qadhi (hakim), pada pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Imam Abu Yusuf melantik pula para hakim dari madzhab Hanafi yang kemudian disebarluaskan di seluruh jajahan negeri Iraq, Khurrasan, Syam, Mesir dan daerah lain di Utara Afrika, sehingga dari situlah madzhab Hanafi jadi banyak dikenal dan dipergunakan banyak orang.[17]
Madzhab Hanafi merupakan salah satu madzhab yang mampu bertahan hingga saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjangnya sejarah. Untuk mencapai kejayaannya madzhab ini melewati beberapa fase sehingga menjadi sebuah madzhab yang dianut.
Penyebaran madzhab Hanafi juga tidak bisa lepas dari otoritas pemerintahan, yang dimaksudkan di sini adalah rezim kerajaan ottoman pada abad ke-19, kerajaan ottoman menjadikan madzhab Hanafi sebagai hukum resmi negara. Siapa pun yang berkeinginan untuk menjadi hakim di sana, mereka diwajibkan mempelajari madzhab Hanafi, oleh karena itu, madzhab Hanafi tersebar luas di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan ottoman di akhir abad 19.[18]
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih dan ilmu kalam dan pada saat beliau hidup banyak orang-orang yang belajar ilmu kepadanya. Di bidang ilmu kalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asghar, al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi dalam bidang ilmu fiqih tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqih sewaktu hidupnya.[19]
Pendapat-pendapat Abu Hanifah dinukilkan kepada kita dengan perantara riwayat atau tulisan-tulisan yang ditulis oleh murid-murid beliau. Di antara murid-murid beliau yang paling terkenal ialah :
1)      Abu Yusuf Ya`qub bin Ibrahim Al-Anshari Al-Khufi (113 H - 182 H)
Beliaulah yang telah berjasa besar dalam mengembangkan madzhab Abu Hanifah. Beliau menjadi qadhi di Kuffa dalam masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Dan kepada beliau diserahkan urusan mengangkat qadhli-qadhli di seluruh daerah. Pendapat-pendapat beliau dapat dipelajari dalam kitab fikih Hanafi. Kitabnya yang ditulis dengan tangannya sendiri yang sampai ke tangan kita sekarang, ialah kitab Al-Kharaj.[20]
2)      Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani (132 H - 189 H)
Beliau tidak lama menyertai Abu Hanifah dan pernah belajar kepada Imam Malik. Tetapi beliaulah yang telah berusaha membukukan madzhab Hanafi. Kitab-kitab beliau yang dibukukan ada dua macam:
a.       Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Dhahirur Riwayah atau Masa-ilul Ushul.
Kitab Dhahirur Riwayah ada enam buah : Al-Mabsuth, Al-Jami`ul Kabi, Al-Jami`u Shagir, As-Siyarul Kabir, As-Siyarush Shagir, Az-Zidayat.
Keenam kitab ini tersebut dikumpulkan oleh Abu Fadlel Al Marwazi yang terkenal dengan nama Al-Hakim Asy-Syahid (344 H). Dalam kitab yang dinamai Al-Kafi. Kemudian Al-Kafi ini disyarahkan di dalam kitab Al-Mabsuth oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsy yang wafat pada akhir abad 5 H.
Dari kitab-kitab Dhahirur Riawayah inilah lembaga majalah Al-Ahkam Al-`Adliyah di Turki mengutip kebanyakan masalahnya adapun kitab-kitab An-Nawadhir, ialah : Amali Muhammad, Al-Kaisaniyat, Ar-Riqayat, Al-Haruniyat, Al-Jurjaniyat, Al-Makharij fil Hiyal, Ziyadatul Ziyadat, Nawadhir Muhammad
b.      Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak kepercayaan. Dinamai Masa-ilun Nawadhir.[21]
3)      Zufaz ibn Hudzail ibn Qais Al-Khufi (110 H - 168 H)
Beliau terkenal sebagai seorang ahli qiyas yang terpandai dari murid-murid Abu Hanifah.
4)      Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu`lu`i (204 H)
Beliau belajar kepada Abu Hanifah dan meriwayatkan pendapat-pendapatnya. Akan tetapi fuqaha` tidak menyamakan riwayat-riwayatnya dengan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Hasan dalam kitab Dhahirur Riwayah. Di antara kitabnya ialah : Abadul Qadli, Al-Khislal, Ma`ani Iman, An-Nafaqat, Al-Kharaj, Al-Fara-idl dan Al-Washaya. Selain daripada kitab-kitab Dhahirur Riwayah, terdapat pula dalam madzhab Hanafi ini kitab-kitab fatwa dan hasil-hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mutaakhirrin dari murid-murid Abu Hanifah itu.[22]
Adapun ciri khas fiqh Hanafi adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia sangat ekstrimmenilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, di sisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama.[23]
Dalam menggali hukum, seperti ulama fikih lainnya, Abu Hanifah menempatkan al-Qur`an sebagai sumber utamanya, kemudian hadis. Satu hal yang menjadi ciri khas pandangannya adalah ia memberikan peranan yang cukup besar kepada ra`yu (penggunaan penalaran akal dalam menggali hukum) dengan cara qiyas (perbandingan) dan istihsan. Selain itu ia juga banyak menjelaskan hukum persoalan-persoalan teoritis yang belum benar-benar terjadi. Sebab itulah ia dikenal sebagai Imam Ahlu Ra`yi (pemuka kalangan ra`yu).[24]
Perbedaan pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontrovensional, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain.[25]
Pada masa sekarang ini madzhab Hanafi adalah madzhab resmi negara Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Dan madzhab inilah yang dianut oleh sebagian besar penduduk Afghanistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok. Lebih sepertiga umat Islam di dunia ini menganut madzhab Hanafi.[26]
B.     Konsep Perwalian dalam Pandangan Hanafiyah
1.      Pengertian wali
Perwalian, dalam literatur fiqh Islam disebut dengan al-walayah (الولاية). Secara etimologi, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah cinta ( المحبّة ) dan pertolongan ( نصرة ) seperti dalam penggalan ayat بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ Ayat 71 surat at-Taubat (9) ; juga berarti kekuasaan/otoritas (السلطة والقدرة) seperti dalam ungkapan al-wali ( الوالى ), yakni orang yang mempunyai kekuasaan”. Hakekat dari الولاية adalah “الامر تولي ” (mengurus/menguasai sesuatu).[27]
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum Islam) seperti yang dikemukakan Wahbah Al-Zuhaili ialah:
القدرة على مباشرة التصرف من غير توقف على إجازة أحد[28]
“Kemampuan untuk langsung bertindak tanpa bergantung kepada izin seseorang”.

Sejalan dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.[29]
Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya yang dimaksud dengan wali secara universal adalah orang yang karena kedudukannya bertindak atas nama orang lain tanpa izin seseorang.
Hanafiyah membagi perwalian kepada tiga bagian :
1)      Pertama wali atas jiwa (Wilayah ‘ala al-Nafs) yang wilayahnya meliputi kepada urusan-urusan kepribadian seperti mengawinkan, mengajar dan sebagainya, dan menjadikan kekuasaan ini milik bapak dan kakek.
2)      Kedua kekuasaan atas harta (Wialayah `ala al-Mal ) yang kekuasaannya mengenai masalah harta benda seperti mengembangkan harta, menjaga serta membelanjakan. Kekuasaan ini juga milik bapak dan kakek, atau orang yang memberi wasiat oleh mereka berdua.
3)      Ketiga wilayah atas jiwa dan harta secara bersamaan, dan dalam hal ini pun berkuasa tetap bapak dan kakek.[30]
Namun dalam pembahasan ini penulis lebih memfokuskan kepada wali atas jiwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah yang meliputi urusan perkawinan. Karena yang menjadi inti pembahasan dalam tulisan ini merupakan wali nikah, maka perlulah kita memahami apa yang dimaksud dengan wali nikah tersebut.
Dalam memahami apa yang dimaksud dengan wali nikah, beberapa ulama telah memberikan definisi secara khusus untuk menjelaskan mengenai wali nikah ini, di antaranya :
Abdurrahman Al-Jaziri mengemukakan definisi wali nikah :
الولي في النكاح هو الذي يتوقف عليه صحة العقد فلا يصح بدونه، وهو الأب أو وصيه والقريب العاصب والمعتق والسلطان والمالك[31]
“Wali di dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu`tiq, sulthan dan penguasa yang berwenang”.
Sayyid Sabiq juga memberikan definisi mengenai wali nikah dalam Fikih Sunnah yaitu :
الولاية حق شرعي، ينفذ بمقتضاه الامر على الغير جبرا عنه[32]
“Suatu yang harus ada menurut syara’ yang bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa”.

Dari penjelesan mengenai perwalian di atas dapat kita pahami bahwa perwalian dapat dipahami dalam bentuk yang luas dan dapat dipahami dalam bentuk yang khusus. Maka dalam memahami wali apa yang dimaksudkan maka perlu kita sesuaikan dengan konteks pembicaraan. Karena dalam memahami wali secara khusus perlu adanya hubungan dengan konteks yang menjadi pembatas sehingga pemahaman terhadap wali tidak menyimpang dari apa yang seharusnya.
Dengan melihat beberapa ketentuan tentang pengertian wali dapat dipahami bahwa wali yang dimaksud di sini adalah orang yang mengasuh orang yang berada di bawah perwaliannya, dan dalam hal ini cenderung pada wali dalam suatu pernikahan. Wali adalah orang/pihak yang memberikan izin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak perempuan.[33] Wali nikah adalah orang yang berakad dalam suatu pernikahan, sehingga dalam tersambungnya ijab dan qabul dalam suatu pernikahan dilakukan oleh wali dan mempelai laki-laki yang melangsungkan pernikahan.
2.      Dasar Hukum Wali Nikah
Adapun yang menjadi dasar hukum wali menurut madzhab Hanafi adalah al-Qur`an dan hadis, mereka mengutip ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan wali dan juga mengutip hadis-hadis yang berbicara mengenai wali dalam pernikahan di antaranya :[34]
1)      Dalil al-Qur`an
sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 232 :
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوۡاْ بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِۗ ذَٰلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٢٣٢[35]
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masaiddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(Q.S. Al-Baqarah :232)
2)      Dalil hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي الشَّوَارِبِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ: حَدَّثَنَاأَبُوإِسْحَاقَ الْهَمْدَانِيُّ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ: لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ (رواه إبن ماجه)[36]
Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin `Abdil Malik bin Abi Asy-Syawarib dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abu `Awanah dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Al-Hamdani dia berkata : dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radiyallaahu’anhu dia berkata Rasulullah salallahu`alai wa sallam bersabda: “ Tidak ada nikah kecuali dengan wali”. (H.R. Ibnu Majah)

Adapun hadis lain yang menjadi dasar madzhab Hanafi dalam pensyari`atan wali
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ،عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ  رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ قَالَ:أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَابَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَااسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رواه الترمذي)[37]
Artinya :“Telah Menceritakan kepada kami Abi Umar dia berkata : telah menceritakan kepada kami Sufyan bin `Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari, `Urwah‚ dari 'Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali” (H.R. At-Tirmidhzi)

3.      Macam-macam Wali
Perwalian di dalam perkawinan menurut madzhab Hanafi termasuk ke dalam perwalian terhadap jiwa, sedangkan perwalian di dalam perkawinan secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Perwalian ijbar
Perwalian yang dilakukan terhadap seorang gadis atau janda, yang dalam hal ini masih kecil dengan artian belum dewasa.
b.      Perwalian nadab/istihbab
Merupakan perwalian yang dilakukan terhadap seorang gadis atau janda yang sudah baligh dan berakal.[38]
Dalam hal menetapkan sebuah perwalian menurut Hanafiyah dikarenakan empat sebab, di antaranya :
1)        Perwalian karena kekerabatan
Perwalian kekerabatan adalah perwalian yang ditetapkan berdasarkan adanya hubungan darah/adanya kekerabatan antara wali dan orang yang berada di dalam perwalianya, baik kekerabatan itu bersifat dekat seperti halnya bapak, kakek, saudara atau akibat kekerabatan yang bersifat jauh seperti halnya anak laki-laki paman dari pihak ibu, dan anak laki-laki paman dari pihak laki-laki.[39] Urutan perwalian dari sebab kekerabatan adalah seperti di bawah ini:
a)      Anak dan anaknya anak sampai nasab ke bawah
b)      Bapak dan kakek yang asli dan nasab keatasnya
c)      Saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki sebapak, serta anak laki-laki
d)     saudara sekandung dan sebapak dan nasab kebawahnya
e)      Paman sekandung, dan paman sebapak serta anak-anak laki-lakinya dan nasab kebawahnya.
f)       Kemudian setelah mereka itu orang yang memerdekakan budak
g)      dan kerabat ‘asabah-nya secara nasab.[40]
2)      Perwalian karena kepemilikan
Perwalian kepemilikan adalah perwalian akibat adanya kepemilikian yaitu antara seorang majikan terhadap budak-budaknya. Dengan demikian seorang majikan mempunyai hak mutlak terhadap budak-budaknya, sehingga seorang majikan tidak memerlukan keridhaan dari budaknya tersebut. Hal ini karena seorang budak merupakan milik majikannya secara keseluruhan yang ada pada dirinya secara mutlak.[41]
3)      Perwalian karena memerdekakan
Perwalian karena memerdekakan ini dibagi menjadi dua macam:[42]
a)      Perwalian al-`atiqah
Yaitu perwalian yang disebabkan karena memerdekakan seorang budak. Maka dalam hal perwalian karena memerdekakan budak ini Hanafiyah menganggap perwaliannya dapat menjadi perwalian yang wajib dan dalam kondisi lain dapat menjadi perwalian istihbab (sunat). Maksudnya di sini ketika seorang yang telah dimerdekakan tersebut hendak menikah namun dia tidak memiliki wali `asabah dari keluarganya maka orang yang memerdekakan tersebut adalah walinya. Namun, jika ada `asabah dari keluarganya maka dalam hal ini orang yang memerdekakan tidak wajib untuk menjadi wali baginya. [43]
b)      Perwalian al-muwalah
Yaitu perwalian akibat adanya sebuah akad antara dua orang untuk menolongnya dan membayarkan denda dan perwalian akibat adanya sebuah akad antara dua orang untuk menolongnya dan membayarkan dendanya jika dia melakukan tindakan kriminal, serta mengurusnya jika dia meninggal, oleh karena itu hak menikahkan juga berada di bawah kekuasannya.[44]
4)      Perwalian karena penguasa
Perwalian yang disebabkan karena seseorang memiliki kekuasaan di suatu daerah dan memiliki kewenangan sebagai wali. Perwalian Pengusa ini juga dapat dilakukan oleh wakilnya (penguasa) tersebut. Untuk cakupan perwalian pemimpin ini di antaranya seperti qadhi. Dalam hal ini dia memiliki kewenangan untuk menikahkan orang yang mempunyai beberapa sebab.
Hanafiyah mensyaratkan perwalian beralih ke penguasa apabila terdapat salah satu syarat di antara dua syarat berikut :
a)      Apabila tidak ada sama sekali wali asal yang akan menikahkan, maka perwalian beralih ke wali penguasa.
b)      Apabila wali `adhal, maksudnya ketika wali asal enggan untuk menikahkan seseorang padahal pernikahan tersebut dilakukan dengan orang yang sekufu`, maka dalam hal ini penguasa wajib menikahkan orang tersebut, dan apabila penguasa menolak untuk menikahkannya maka penguasa tersebut dianggap telah membuat mudharat sedangkan eksistensi penguasa adalah untuk menolak suatu kemudharatan. [45]
C.    Konsep Perempuan Menjadi Wali nikahdalam Pandangan Hanafiyah
Dalam kitab al-Mabsuth karangan Asy-Syarakhsi dijelaskan bahwa mengenai perempuan menjadi wali untuk menikahkan dirinya sendiri :[46]
“Imam Syarakhsi berkata diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa seorang perempuan menikahkan putrinya dengan ridhonya, kemudian wali anak perempuan tersebut datang, kemudian melaporkan hal ini kepada Ali bin Abi Thalib mengenai masalah ini, kemudian Ali bin Abi Thalib memperbolehkan nikah tersebut.
Hal ini menjadi dalil bahwa seorang perempuan ketika menikahkan dirinya sendiri atau memerintahkan orang yang kedudukannya bukan wali untuk menikahkan dirinya kemudian orang tersebut menikahkannya. Maka dengan dasar ini nikahnya itu boleh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, baik perempuan itu masih perawan atau janda, ketika dirinya menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya diperbolehkan menurut zahir riwayat, baik suaminya sekufu ataupun tidak, maka nikahnya tetap sah, namun jika calon suaminya tidak sekufu maka wali mempunyai hak untuk menghalangi pernikahan tersebut.
Di dalam riwayatnya Imam Hasan apabila seorang suami sekufu, maka nikahnya boleh dan jika tidak sekufu maka nikahnya tidak boleh, dan Imam Abu Yusuf adalah orang yang pertama kali mengungkapkan tidak diperbolehkannya menikahnya seorang wanita atas dirinya sendiri dengan seorang pria baik sekufu ataupun tidak ketika dia masih mempunyai wali. Lalu beliau kembali mengatakan, jika seorang suami sekufu maka nikahnya boleh, dan jika suaminya tidak sekufu maka nikahnya tidak boleh. Kemudian beliau kembali mengatakan nikah yang seperti itu sah baik suaminya sekufu maupun tidak. Kemudian Imam Tohawi mengungkapkan pada ungkapan Imam Abu Yusuf bahwasanya, jika seorang suami sekufu memerintahkan seorang hakim menjadi wali dengan memperbolehkannya akad, maka jika seorang hakim memperbolehkannya juga boleh seorang hakim itu menolak untuk meneruskan akad tersebut maka nikahnya tidak rusak.
Tetapi seorang hakim yang meneruskan akad nikahnya maka akad nikahnya boleh berdasarkan pendapatnya Imam Muhammad nikahnya seorang perempuan hal ini berhenti berdasarkan diperbolehkannya seorang wali baik itu dia menikahkan dengan dirinya sendiri dengan suami yang sekufu maupun tidak. Jika seorang suami membolehkan maka nikahnya boleh, dan jika seorang wali tidak memperbolehkannya maka nikahnya batal kecuali jika suaminya sekufu maka sebaiknya seorang hakim memperbarui akad ketika seorang wali menolak untuk menikahkan seorang perempuan tersebut berdasarkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi`i. Menikahkan seorang wanita atas dirinya sendiri nikahnya batal dalam keadaan apa pun dan akad nikahnya tidak sah dengan cara apapun.”

Dalam kitab Badai’u Al-Shonai’, karangan`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud juga menyebutkan :
الْحُرَّةُ الْبَالِغَةُ الْعَاقِلَةُ إذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا مِنْ رَجُلٍ أَوْ وَكَّلَتْ رَجُلًا بِالتَّزْوِيجِ فَتَزَوَّجَهَا أَوْ زَوَّجَهَا فُضُولِيٌّ فَأَجَازَتْ جَازَ فِي قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَزُفَرَ وَأَبِي يُوسُفَ الْأَوَّلِ سَوَاءً زَوَّجَتْ نَفْسَهَا مِنْ كُفْءٍ أَوْ غَيْرِ كُفْءٍ بِمَهْرٍ وَافِرٍ أَوْ قَاصِرٍ غَيْرَ أَنَّهَا إذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ فَلِلْأَوْلِيَاءِ حَقُّ الِاعْتِرَاضِوَكَذَا إذَا زَوَّجَتْ بِمَهْرٍ قَاصِرٍ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَة[47]
“Perempuan yang merdeka, baligh, aqil ketika menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki atau wakil dari laki-laki yang lain dalam suatu pernikahan, maka pernikahan perempuan itu atau suaminya diperbolehkan. Qaul Abi Hanifah, Zufar dan Abi Yusufsama dengan yang awal, perempuan itu boleh menikahkan dirinya sendiri dengan orang yang kufu‟ atau yang tidak kufu‟ denganmahar yang lebih kecil atau rendah, ketika perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan seorang yang tidak kufu‟, maka bagi para wali berhak menghalangi pernikahannya, bila pernikahannya itu dengan mahar yang kecil.”
Menurut Imam Abu Hanifah Rahimahullah : wali disyaratkan pada pernikahan apabila yang diwalikan tersebut adalah anak kecil baik itu laki-laki ataupun perempuan dan juga orang gila baik perawan maupun janda namun masih kecil.
Untuk perwalian terhadap perempuan yang merdeka, sudah dewasa dan baligh, menurut Imam Abu Hanifah bentuk perwalian terhadapnya merupakan perwalian yang sunah bukanlah sesuatu yang wajib.  Dengan demikian boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki serta dia juga yang mengakadkan pernikahan tersebut baik dengan laki-laki yang sekufu` atau tidak sekufu`, baik walinya ridha ataupun tidak ridha, maka nikahnya sah. Namun, dalam hal ini wali mempunyai hak untuk menghalangi pernikahan tersebut jika suami dari perempuan tersebut tidak sekufu atau mahar yang diberikan kurang dari marah mitsil yang menjadi hak perempuan.[48]
Mereka (Hanafiyah) berpendapat bahwa seorang wanita yang telah baligh dan  berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda, tak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya. Dengan syarat orang yang dipilihnya itu sekufu atau sepadan dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Tetapi jika ia memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh diminta untuk membatalkan akadnya bila mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.[49]
Dengan demikian apa yang dikemukakan oleh Hanafiyah dalam konsep perempuan sebagai wali nikah untuk mengakadkan dirinya sendiri dalam suatu pernikahan dapat dipahami bahwa yang menjadi tolak ukur dalam kebolehan tersebut adalah keadaan si wanita dengan melihat kepada kebalighan, dan berakal sehatnya wamita tersebut. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan kedudukan wali bagi perempuan yang masih kecil baik perawan maupun janda. Hanafiyah menganggap bahwa kemestian perwalian terhadap perempuan yang masih kecil adalah karena keadaannya yang masih kecil menjadikan dirinya tidak mengetahui mengenai perkara nikah, sehingga di sini diwajibkan adanya wali dalam pernikahannya. Dapat dikatakan bahwasanya perempuan yang masih kecil masih sempit pola pikirnya.
Di samping itu juga mengenai kesepadanan antara wanita tersebut dengan laki-laki yang hendak menikah dengannya, dengan kata lain bahwa sebaiknya si wanita memilih laki-laki yang sekufu dengannya. Dan juga bahwa dalam pernikahan tersebut menyangkut mahar yang hendak diberikan oleh si suami kepada wanita tersebut haruslah dengan mahar mitsil, karena jika tidak terpenuhi mahar mitsil tersebut sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hanafiyah di atas, pernikahan yang dilakukan dapat dibatalkan oleh wali dengan meminta kepada hakim untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Sedangkan jumhur menanggapi bahwa terhadap pendapat Hanafiyah mengenai perempuan bertindak sebagai wali nikah :
 ذهب جمهور أهل العلم أن المرأة لا تزوج نفسها بنفسها و لابد أن يتولى ذالك وليها[50]
“Menurut Jumhur Ahli Ilmu bahwa perempuan tidak menikahkan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri, dan mestilah dalam hal itu dia mewalikan pernikahan tersebut kepada walinya”

Perbedaan mendasar dalam pendapat Hanafiyah dan jumhur dalam hal perempuan bertindak sebagai wali nikah adalah, bahwa Hanafiyah menjelaskan bahwa kebolehan perempuan bertindak sebagai wali nikah dengan melihat aspek kedewasaan sehingga Hanafiyah memberikan kebolehan terhadap perempuan yang baligh berakal untuk bertindak sebagai wali. Sedangkan jumhur tidak memberikan sedikitpun terhadap perempuan peluang untuk bertindak sebagai wali nikah tanpa ada pertimbangan kedewasaan si perempuan. Meskipun perempuan tersebut telah baligh berakal, jumhur tetap tidak memperbolehkan perempuan bertindak sebagai wali nikah terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang yang di bawah perwaliannya sehingga apabila perempuan hendak menikah, maka mesti dengan perantara walinya.
D.    Metode Istinbath Hanafiyah
Ada beberapa dasar lain dari al-Qur`an dan sunnah nabi yang membolehkan perempuan dapat mengakadkan nikahnya tanpa wali atau dia menjadi wali bagi dirinya sendiri menurut Hanafiyah adalah :
1.      Al-Qur`an[51]
Dalam surat Al-Baqarah ayat 230, 232, 234
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۗ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ ٢٣٠[52]
Artinya : “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. kemudian, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang mau mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 230)
                
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوۡاْ بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِۗ ذَٰلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٢٣٢[53]
Artinya : “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٢٣٤[54]
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Q.S. Al-Baqarah : 234)

Ayat di atas merupakan dalil yang digunakan oleh Hanafiyah dalam menguatkan pendapat mereka bahwa perempuan boleh menjadi wali dalam pernikahannya.
Pada dasarnya ayat di atas membicarakan mengenai larangan bagi para wali untuk menghalangi pernikahan seseorang yang apabila telah habis masa iddahnya. Dengan dimikian wali tidak berhak menghalangi pernikahan tersebut apalagi jika memang telah ada kerelaan di antara mereka untuk terjadinya pernikahan. Dan menunjukkan larangan terhadap wali yang enggan untuk menahan anak perempuannya dirumah dan wali melarang anak perempuannya untuk menikah.[55]
Sedangkan pada awal ayat 232 yang berbunyi (وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ) Hanafiyah menganggap bahwa untuk perempuan yang telah diceraikan dan telah habis masa iddahnya maka tidak ada hak bagi bekas suaminya untuk melarang perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain.[56]
Hanafiyah menganggap ayat tersebut merupakan dalil perempuan dapat menjadi wali nikah dalam hal mengakadkan pernikahan untuk dirinya sendiri. Hanafiyah memandang bahwasanya kata (حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًاغَيْرَهُ) pada ayat 230, (أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ) pada ayat 232, dan kata (فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ) pada ayat 234, Hanafiyah menyandarkan akad pernikahan pada ayat tersebut kepada perempuan yang menunjukkan bahwasanya perempuan mempunyai hak kepemilikan secara langsung.[57]
Hanafiyah memberikan penjelasan bahwa dari beberapa ayat di atas menjelaskan tentang hal yang berkaitan dengan pernikahan. Kemudian didapati bahwa dalam ayat di atas ada kata kerja تَنْكِحَ dan يَنْكِحْنَ yang memberikan pengertian bahwa penyandaran fi`il (kata kerja) adalah kepada fa`il (pelaku). Sehingga secara hakikat penyandaran fi`il (kata kerja) adalah kepada fa`il (pelakunya) dengan artian bahwa kata kerja تَنْكِحَ dan يَنْكِحْنَ pelaku pernikahan secara hakiki adalah si perempuan.
Dengan demikian Hanafiyah memahami bahwa yang melakukan pernikahan dari penggalan kata tersebut adalah si perempuan secara langsung tanpa disyaratkannya wali karena pelaku hakiki dari fi`il  (kata kerja) adalah fa`il (pelakunya) yaitu perempuan itu sendiri.[58]
Dari pemahaman ayat di atas Hanafiyah memandang bahwa perempuan dapat melaksanakan pernikahan secara langsung atau dengan kata lain perempuan memiliki hak kepemilikan akad secara penuh dalam pernikahan tanpa disyaratkannya wali.
Ayat di atas memberikan penjelasan terhadap dua macam : pertama, bahwa menyandarkan pernikahan kepada perempuan maka menunjukkan atas kebolehan pernikahan dengan melihat kepada keadaan wanita tersebut dari segi tidak disyaratkannya wali. Kedua, melarang para wali untuk menghalangi pernikahan perempuan yang dilakukan sendiri apabila ada keridhaan antara kedua mempelai.[59]
2.      As-Sunnah
Di samping itu Hanafiyah juga menggunakan dalil hadis yang diriwayatkan Imam Muslim :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَالِكٌ، ح وحَدَّثَنَا يَحْيَىبْنُ يَحْيَى، وَاللَّفْظُ لَهُ، قَالَ: قُلْتُ لِمَالِكٍ: حَدَّثَكَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ نَافِعِ بْنِجُبَيْرٍ،عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْوَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا»؟ قَالَ: نَعَمْ) رواه مسلم)[60]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Sa`id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa`id, mereka berdua telah berkata : telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, dan Lafazh menurutnya, dia berkata : aku telah berkata kepada Malik: telah menceritakan kepada engkau `Abdullah bin Fadhli, dari Nafi` bin Jubair, dari Ibnu `Abbas, bahwa Nabi Salallahu `alaihi wa sallam telah bersabda : wanita yang tidak bersuami lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya, dan perawan meminta izin kepadanya dan izin wanita yang perawan adalah diamnya?, dia berkata : benar “ (H.R Muslim).

Dalam Mabsuth Syarakhsi, Hanafiyah menjelaskan bahwasanya kata (الْأَيِّمُ) merupakan sebuah sebutan untuk seorang wanita yang tidak memiliki ikatan pernikahan (suami), baik dia itu perawan ataupun janda, dan ini merupakan pengertian yang benar menurut ahli bahasa.[61] Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwasanya seorang wanita yang tidak memiliki pasangan hidup memiliki hak dan dalam hak tersebut ia memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri baik dia perawan ataupun janda.
Hanafiyah juga mengungkapkan dalam kitab Bada`i As-Shona`i :
أَنَّهَا لَمَّا بَلَغَتْ عَنْ عَقْلٍ وَحُرِّيَّةٍ فَقَدْ صَارَتْ وَلِيَّةَ نَفْسِهَا فِي النِّكَاحِ فَلَا تَبْقَى مُولَيًا عَلَيْهَا كَالصَّبِيِّ الْعَاقِلِ إذَا بَلَغَ
Artinya :“Sesungguhnya perempuan ketika telah baligh berakal dan merdeka, bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri dalam pernikahan. Maka tidak menetapkan perwalian terhadap perempuan yang telah baligh berakal tersebut seperti anak kecil yang berakal apabila telah baligh.”
Hadis di atas senada dengan hadis :
وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْفَضْلِ، سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ، يُخْبِرُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا») رواه مسلم)[62]
Artinya  : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ziyad bin Sa`id, dari Abdillah bin Fahli, dia telah menedengar Nafi` bin Jubai, dikabarkan dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi Salallahu`alaihi wa sallah telah bersabda : janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya, dan perawan dimintai izin, dan izinya adalah diamnya” (H.R Muslim)

Dalam memahami hadis di atas Hanafiyah membenarkan bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya, namun dalam memahami kata (وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ) Hanafiyah berbeda pendapat, yaitu jika wajib meminta izin sesuai dengan lafazh yang ada di dalam hadis, hal tersebut merupakan suatu bentuk yang kontradiktif dengan hak ijbar wali, karena hadis di atas menuntut untuk melaksanakan suatu perkara atau menuntut untuk meminta izin kepada si perempuan. Sehingga lafazh hadis di atas memfaidahkan bahwasanya permintaan izin tersebut bertujuan untuk menanyakan ridha atau tidaknya si perempuan. 
Dengan demikian dari lafazh yang ditetapkan atas hak bagi seorang janda untuk dirinya itu mutlak. Kemudian hal yang serupa menunjukkan untuk si perawan sebagaimana yang telah ditunjukkan bagi si perawan tersebut hak untuk dimintai izin. Maksud dari perintah meminta izin tersebut bahwasanya itu adalah landasan terhadap lebih berhaknya setiap janda dan perawan dengan lafazh yang khusus seakan-akan berbunyi : seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dan seorang perawan lebih berhak terhadap dirinya pula.[63]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud Hanafiyah dalam memahami hadis di atas adalah pada dasarnya perempuan dan janda lebih berhak dari pada walinya. Lafazh hadis di atas hanya berfaidah untuk menanyakan keridhaannya atau tidak. Bukan berarti perempuan di bawah perwalian ijbar, karena jika si perempuan berada di bawah perwalian ijbar maka bentuk meminta izin akan bertentangan dengan sifat ijbar yang dimiliki oleh bapak. Sedangkan redaksi hadis yang menunjukkan perempuan dimintai izin, hal ini disebabkan karena menurut kebiasaan peminangan perempuan dilakukan melalui walinya sehingga ketika perempuan dipinang maka dimintai izin keridhaannya atau tidak terhadap peminangan tersebut. Hal inilah yang dipahami Hanafiyah dari redaksi hadis di atas.
Jumhur ulama pun juga memakai hadis di atas dalam menguatkan pendapat mereka, namun perbedaan dalam memahami redaksi hadis di atas menghasilkan rumusan pemikiran yang berbeda. Dalam memahami hadis di atas jumhur memahami bahwa hadis di atas berbicara mengenai pengkhususan berhaknya janda terhadap dirinya sendiri dari pada walinya, sehingga mafhum mukhallafah yang dapat dipahami dari pemahaman jumhur tersebut adalah bahwa hak janda terhadap dirinya sendiri tersebut tidak terdapat di sana perempuan yang masih gadis. Sehingga pemahaman yang dihasilkan oleh jumhur adalah bahwa hanya janda yang mempunyai hak terhadap dirinya sendiri, sedangkan perempuan yang masih gadis tidak memiliki hak serupa sebagaimana hak janda terhadap dirinya sendiri.[64]
Menurut Hanafiyah hadis di atas merupakan hadis yang shahih sehingga Hanafiyah menggunakan hadis tesebut. Sedangkan hadis-hadis yang lain yang berbicara mengenai perwalian yang digunakan jumhur dalam menguatkan pendapat mereka seperti hadis yang diriwayatkan dari Abi Musa, dan hadis yang diriwayatkan Aisyah   :
وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ  ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ,وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ [65](
Artinya :Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadis shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadis mursal”.
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ،عَنْسُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ  رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رواه الترمذى)[66]
Artinya :“Telah Menceritakan kepada kami Abi Umar dia berkata : telah menceritakan kepada kami Sufyan bin `Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari, `Urwah‚dari 'Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali” (H.R. At-Tirmidhzi)

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Syarakh Fathul Qadir bahwa kedua hadis di atas merupakan hadis yang lemah. Menurut Hanafiyah hadis yang driwayatkan oleh Abi Musa merupakan hadis dhaif yang mudhtarib pada sanadnya. Kemudian hadis yang diriwayatkan Aisyah merupakan hadis yang diingkari oleh Az-Zuhri.[67]
Menurut Hanafiyah meskipun demikian ketiga hadis di atas dapat di kompromikan dengan menggunakan kaidah ushuliyyah :
يحمل عمومه علي الخصوص
“ Membawa yang umum terhadap yang khusus”

Karena hadis yang dua di atas masih bersifat umum menurut Hanafiyah dan keumuman hadis di atas dapat dibawakan kepada hadis yang lebih khusus. Menurut Hanafiyah dengan kaidah tersebut maka dapat disetujui. Sehingga mereka mengaggap hadis yang diriwayatkan oleh Abi Musa dikhususkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Oleh karena itu Hanafiyah memahami dari hadis yang diriwayatkan oleh Abi Musa bahwa keberadaan (لا) nafi di sana merupakan nafi yang berfaidah untuk menyempurnakan dan hanya bersifat sunnah.[68]
Dan hadis Ibnu Abbas juga mengkhususkan hadis Aisyah yaitu dengan mentakwilkan bahwa kebatalan tersebut adalah bagi perempuan yang menikah tidak sekufu. Dan yang dimaksud dengan batal secara hakikat adalah melakukan pernikahan secara langsung tanpa mempertimbangkan sekufu atau tidaknya. Jika terjadi demikian maka diberikan hak kepada wali untuk menentang pernikahan dan dapat memfasakhan pernikahan tersebut.
Dengan demikian Hanafiyah berpendapat bahwa mafhum yang bisa dipahami apabila seorang perempuan yang sudah baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan izin walinya maka pernikahan tersebut shahih.[69]
Dalam kitab Badai’u Al-Shonai’ Imam Abu Hanifah juga menegaskan bahwasanya hadis di atas merupakan dalil yang menunjukkan bahwasanya apabila seorang wanita tersebut telah baligh berakal merdeka maka dia  (perempuan) dapat menjadi wali bagi dirinya sendiri dalam suatu pernikahan. Dan di samping itu bahwasanya perwalian yang wajib diwalikan oleh bapak merupakan perwalian untuk anak kecil.[70]
3.      Amalan sahabat
Di samping itu juga ada amalan sahabat dari Umar dan Ali dan Ibnu Umar semoga Allah merihoi mereka – membolehkan pernikahan tanpa wali
وَأَنَّ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - زَوَّجَتْ ابْنَةَ أَخِيهَا حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مِنْ الْمُنْذِرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ غَائِبٌ فَلَمَّا رَجَعَ قَالَ: أَوَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ فِي بَنَاتِهِ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا -: أَوَتَرْغَبُ عَنْ الْمُنْذِرِ؟ وَاَللَّهِ لَتُمَلِّكَنَّهُ أَمْرَهَا[71]
Artinya :“Bahwa sesungguhnya `Aisyah yang menikahkan anak perempuan saudaranya Hafsah binti Abdirrahman bin Mundzir bin Zubair yang pada saat itu ayahnya tidak ada ketika dia kembali (pulang) dia berkata : Aku merasa seperti aku diremehkan oleh anankku sendiri, maka Aisyah berkata : apakah engkau mencari Mundzir? Demi Allah pastilah perempuan memiliki setiap perkaranya sendiri”
Dari dalil di atas Hanafiyah memandang bahwasanya `Aisyah yang berperan dalam pernikahan anak perempuan saudaranya dengan menjadi wali bagi anak perempuan tersebut yang mengisyaratkan bahwasanya di sana `Aisyah membolehkan perempuan sebagai wali nikah untuk menikahkan orang lain juga.
Maka dalam hal ini berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah mengenai perempuan menjadi wali dalam melaksanakan akad atau mengakadkan nikahnya sendiri dapat kita pahami bahwasanya perwalian untuk seseorang itu melihat kepada keadaanya. Dengan artian bahwasanya apabila perempuan yang hendak menikah tersebut sudah dewasa, baligh dan berakal, maka dia dapat menjadi wali dalam pernikahannya sendiri. Namun sebaliknya apabila yang hendak menikah itu anak kecil, ataupun orang dewasa namun dia gila maka dalam hal ini diwajibkan adanya wali yang harus mengatasnamakan dirinya dalam suatu pernikahan.
4.      Qiyas
Hanafiyah juga menggunakan dalil qiyas dalam permasalahan wali ini, yaitu dengan mengqiyaskan antara pernikahan perempuan yang sudah baligh berakal dengan jual beli yang dilakukan oleh perempuan yang baligh berakal. Dalam melaksanakan akad jual beli wanita dapat melakukan akad tersebut oleh dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian apabila perempuan yang sudah baligh, dewasa dan berakal sehat dapat melaksanakan akad jual beli tentu mereka juga mampu untuk melaksanakan akad nikah dengan sendirinya.[72] Hal ini disebabkan karena Hanafiyah tidak membedakan antara akad pernikahan dengan akad-akad yang lain. sehingga ketika perempuan mampun melaksanakan akad dalam bidang muamalat, tentu dia juga mampu melaksanakan akad dalam bidang perkawinan.
Berdasarkan hal inilah maka penetapan bagi perempuan yang sudah dewasa baligh berakal dapat langsung mengakadkan nikahnya sendiri. sedangkan dalam penetapan bahwa untuk perempuan yang belum dewasa baligh dan berakal maka ditetapkan baginya wali ijbar hal ini dikarenakan bahwa perempuan yang masih kecil masih dalam dunia ketidaktahuannya dengan perkara pernikahan dan akibat-akibat dari pernikahan. Oleh karena itu Hanafiyah dalam penetapan wali ijbar hanya bagi anak kecil dengan illat bahwa dia tidak tahu dengan perkara nikah. Akan tetapi hal ini dapat diketahui pembatalan hak ijbar untuk memastikan dengan kebolehannya melakukan pernikahan, yaitu ketika jual beli dan berbelanja hal ini berlaku bagi siapa saja yang ketidaktahuannya itu karena tidak pernah menikah.[73]


[1]Ahmad Sa`id Hawa, al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man, (Jeddah : Dar-Andalus, 2002), hal. 33
[2]A. Dzajuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Pengembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Kencana, 2010), Edisi Revisi, hal. 125
[3]Al-Qur`an Karim
[4]Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah : Husein Muhammad,..., hal. 73
[5]Tabi`in adalah orang yang bertemu dengan para sahabat yang muslim dan meninggal dalam  Islam. Dan dikatakan juga seorang Tabi`in adalah orang yang berteman dengan para sahabat.
[6]Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah : Husein Muhammad,..., hal. 73
[7]Ahmad Sa`id Hawa, al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man,..., hal. 34
[8]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i Taman,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 170
[9]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i Taman,..., hal. 170
[10]Hepi Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi`in, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 43-44
[11]Wahbi Sulaiman Ghaawijy, Abu Hanifah An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha`,..., hal. 57-60
[12]Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 23
[13]Al-`Allamah Ahmad Timurbats, Nazrah Tarikhiyyah fi Huduts Al-Madzahib Al-Arba`ah : Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Syafi`i, Al-Hanbali wa Intisyaraha `Inda Jumhur Al-Muslimin, (Beirut : Dar-Al-Qadir, 1990), hal. 50
[14]Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve, 2006), hal. 128
[15]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 97-98
[16]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 101-102
[17]Mustafa Suhaimi, Imam Abu Hanifah, (Jakarta: Progressive Products Supply, 1990), cet. 1, hal. 46
[18]Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh : Analisis Historis atas Madzhab, (Bandung : Nusamedia, 2005), hal. 93
[19]Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet ke-I, hal. 340
[20]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114
[21]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114-115
[22]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
[23]Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-1, hal. 49
[24]Indi Aunullah, Ensiklopedi Fikih untuk Remaja jilid I, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008) , hal. 4
[25]Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka,..., hal. 49
[26]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
[27]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 134
[28]Wahbah  Az-Zuhaili, Fiqhu Al-Islam Wa Adilatuhu Juz VII,..., hal. 186                               
[29]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,..., hal.  69
[30]Wahbah  Az-Zuhaili, Fiqhu Al-Islam Wa Adilatuhu Juz VII,..., hal.187
[31]Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh `ala Al-Madzhabil Arba`ah Juz IV, (Beirut, Dar-Al-Kutub Al- Alamiyah,t.t(, hal. 29
[32]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-`Arabi, 1977), hal. 125
[33]Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 235
[34]Kamal al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah,1995), hal. 247-250
[35]Al-qur`an  Karim
[36]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I, Muhaqqiq : Muhammad Fuad Abdi Al-Baqi, (Fishal `Isa Al-Babi Al-Halbi- Dar Ihya` Al-Kitab Al-`Arabiah,t,t), hal. 605
[37]At-Tirmdhzi, Sunan Tirmidhzi Juz III, Muhaqqiq dan Mu`aliq : Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Fuad `Abdi Al-Baqi,..., hal. 399
[38]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 246
[39]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-`Ilmiyah, 1986), hal. 238-239
[40]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 268-269
[41]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 237
[42]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[43]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[44]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[45]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[46]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 10
[47]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 247
[48]Sulaiman Al-Asyqar, dkk, Masail fi Fiqhi al-Muqarrin, (Iran : Dar-An-Nafis, 1997), hal. 171
[49]Muahammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh `Ala Madzahibi al-Khamsah Ja`fari-Hanafi-Maliki-Syafi`i-Hambali, (Tahran : Muasasah ash-Shadiq Litab`ah wa An-Nasyir,t,t), hal.  321
[50]Sulaiman Al-Asyqar, dkk, Masail fi Fiqhi al-Muqarrin,..., hal. 170
[51]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 11-12
[52]Al-qur`an Karim
[53]Al-qur`an Karim
[54]Al-qur`an Karim
[55]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 11
[56]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[57]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 11
[58]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 259, Lihat juga `Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 248
[59]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 248
[60]Muslim, Shahih Muslim, Juz I, ( Indonesia : Maktabah wa Matba`ah Putra Semarang, t,t,), hal. 594
[61]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[62]Muslim, Shahih Muslim, Juz I,..., hal. 594
[63]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 262
[64]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 262
[65]Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subululssalam  Syarah Bulughul Maram min Jami`i Adilati Al-Ahkamjuz III, Bab Nikah...,  hal. 117
[66]At-Tirmdhzi, Sunan Tirmidhzi Juz III,..., hal. 264
[67]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 259
[68]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 260
[69]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 260
[70]`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 248
[71]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[72]Muhammad bin Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[73]Kamalu al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal. 261

1 comment: