PEREMPUAN
SEBAGAI WALI NIKAH MENURUT HANAFIYAH
A.
Sejarah Hanafiyah
1.
Sejarah Hanafiyah
Hanafiyah merupakan sebutan untuk pengikut madzhab yang didirikan
oleh Imam Hanafi. Imam Abu Hanifah al-Nu`man bin Sabit bin Zuthi, lahir pada
tahun 80 H di kota Kuffah pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan pada saat
itu merupakan masa kekhalifahan Marwan bin Abdul Malik.[1]
Beliau lebih populer dengan sebutan Abu Hanifah. Bukan karena mempunyai putra
yang bernama Hanifah, tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah,
diambil dari ayat :[2]
قُلۡ
صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
٩٥[3]
Artinya
: “Katakanlah, “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama
Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik..”
(Q.S Ali Imran : 95).
Abu Hanifah tumbuh di Kuffah dalam keluarga muslim dari Ahli Yasar,
Sejak kecil Abu Hanifah telah menghafal al-Qur`an. Ayah Abu Hanifah adalah
seorang pedagang yang menjual pakaian dari wol. Kemudian Abu Hanifah
mewarisi profesi orang tuanya tersebut.[4]
Di Kuffah Abu Hanifah bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW.
Antara lain : Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, di Madinah dengan Sahal
bin Sa`ad al-Saisi. Di Makkah dengan Amir bin Watsilah, seorang tabi`in[5].
Akan tetapi sebagian orang meragukan pertemuannya dengan mereka.
Teman-temannya mengatakan : “Ia bertemu bahkan banyak mendapatkan Hadis dari mereka”.
Tetapi para ulama tradisionalis menafikan hal tersebut.[6]
Tidak ada pertengan bahwa Abu Hanifah mendapati zaman sahabat, akan
tetapi yang menjadi pertentangan adalah dalam hal Abu Hanifah meriwayatkan dari
sahabat dan mendengar langsung dari mereka. Banyak dari kalangan muhadditsin
dan muarakhin menyebutkan bahwa Abu Hanifah melihat sejumlah sahabat.
Dan sebagian lainnya menyebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan dari sejumlah
sahabat.[7]
Mengenai sifat yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf
berkata, “Dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur
tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat
bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang yang
diinginkannya.[8]
Hammad Puteranya mengatakan “ Dia adalah orang yang berkulit sawo
matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara
kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu, dia juga tidak mau
menjawab pertanyaan yang bukan urusannya”. Ahmad bin Al-Haitsami berkata, “Tidak
ada pertentangan antara perawakan yang sedang dengan tubuh yang tinggi, karena
terkadang dengan perawakan yang sedang itu lebih dekat dengan tubuh yang
tinggi”. Ibnu al-Mubarak berkata, “Dia berwajah tampan dan berpakaian rapi”.
Abdurahman bin Muhammad bin Al-Mughirah berkata, “Aku melihat Abu Hanifah
seorang guru yang banyak memberikan fatwa kepada masyarakat di masjid Kuffah
dengan memakai kopiah panjang berwarna hitam di kepala”.[9]
Kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan
negeri timur dan barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang
biasa bertemu dengannya. [10]
Dalam kitab Wahbi Sulaiman Ghaawiji yang berjudul Abu Hanifah
An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha, disebutkan bahwa guru Abu Hanifah
mencapai 4000 orang, yang riciannya 7 orang dari kalangan sahabat, 93 orang
dari kalangan tabi`in dan selebihnya orang yang ada pada masa itu. Di antara
guru-guru Abu Hanifah juga disebutkan yaitu : Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir
Al-Kufi, Ibrahim bin Yazid An-Nakha`I Al-Kufi, Ismail bin Hammad bin Abi
Sulaiman Al-Kufi, Ayyub An-Nastakhyani Al-Bashri, Harits bin `Abdirrahman
Al-Hamdzaani Al-Kufi Abu Hindi, Rabi`ah bin `Abdirrahman Al-Madani (lebih
dikenal dengan sebutan Rabi`ah), Salim bin `Abdillah bin Umar bin Khattab
Radiyaallahu `Anhu, Sa`id bin Masruq Walidi Sufyan Atsauri, Sulaiman bin Yassar
Al-Halali Al-Maddani, `Ashim bin Kulaib bin Syihab Al-Kufi, `Abdurrahman bin
Hurmaz Al-`Araji Al-Madani, `Atha` bin Yasar Al-Halali, Al-Madani, Amru bin
Dinar Al-Makki, Qaasim bin Abdirrahman bin `Abdillah bin Mas`ud, `Abdul Karim
bin Abi Al-Mu`ariq Al-Bashri.[11]
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya
dan yang selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah Imam ‘Amir Ibn
Syahril al-Sya’by dan Hammad Ibn Sulaiman al-Asy’ary. Dan guru yang berpengaruh
pada dirinya adalah Imam Hammad bin Abi Sulaiman.[12]
2.
Perkembangan dan Kitab-Kitab Madzhab Hanafi
Pada awalnya madzhab Hanafi berkembang di Kuffah yang merupakan
tanah kelahiran Abu Hanifah sendiri, kemudian tersebar ke seluruh wilayah di
Irak.[13]
Madzhab ini menempati kedudukan paling atas di Irak sepanjang masa kekhalifahan
Abbasiyah kerena merupakan sistem hukum yang paling banyak mendapat dukungan
khalifah. Madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi negara di zaman Turki Utsmani.[14]
Abu Hanifah yang hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah
dan 18 tahun hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari Umayyah
yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota
Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah
kedua Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan
pada tahun 762 M.
Dari perjalanan hidupnya, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi
besar di Kufah. Di satu sisi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya
sehingga menjadi salah seorang ulama besar. Di sisi lain ia merasakan kota
Kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Basrah
dan Kufah di Irak melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang; seperti ilmu
sastra, teologi, tafsir, fikih, hadis, dan tasawwuf. Kedua kota bersejarah ini
mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah berlangsungnya proses transformasi
sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional suku Arab Utara, Arab
Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam
menetapkan hukum, sudah tentu sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga
tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Beliau dikenal sebaga salah satu
ulama ahlu ra`yi. Ketika menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an
atau hadis, beliau lebih banyak menggunakan ra`yi dari pada khabar ahad.
Apabila terdapat hadis yang bertentangan, maka metode qiyâs dan istihsanlah
yang beliau pakai dalam menetapkan suatu hukum.[15]
Penyebaran Madzhab Imam Abu Hanifah tidak lepas dari usaha para
murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya, hal ini dibuktikan banyaknya buah
fikiran beliau yang dikodifikasikan oleh para muridnya setelah beliau meninggal
dunia, sehingga menjadi madzhab ahli ra`yi yang hidup dan berkembang. Madzhab
ini kemudian terkenal dengan beberapa nama, yaitu Madzhab Hanafî dan Madzhab
Ahli Ra`yi, di samping namanya menurut versi sejarah Hukum Islam dikenal dengan
sebutan “Madzhab Kûfah”.
Dengan banyaknya buah fikiran Imam Abu Hanifah yang dikodifikasikan
oleh murid-muridnya dan dengan banyaknya para pengikut beliau yang tersebar
diberbagai negara, seperti; Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis,
Turkistan, Syiria, Mesir dan Libanon, maka mazhab Hanafi tersebar diseluruh
pelosok dunia dan termasuk dalam golongan mayoritas di samping madzhab Syafi`i.[16]
Selanjutnya di antara para murid Imam Abu Hanifah terdapat kira 40
orang ulama yang gigih menyebarluaskan aliran madzhab Hanafi ini, lagi pula
seperti murid beliau yaitu Imam Abu Yusuf diberi jabatan sebagai seorang qadhi
(hakim), pada pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Imam Abu Yusuf
melantik pula para hakim dari madzhab Hanafi yang kemudian disebarluaskan di
seluruh jajahan negeri Iraq, Khurrasan, Syam, Mesir dan daerah lain di Utara
Afrika, sehingga dari situlah madzhab Hanafi jadi banyak dikenal dan
dipergunakan banyak orang.[17]
Madzhab Hanafi merupakan salah satu madzhab yang mampu bertahan
hingga saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjangnya sejarah.
Untuk mencapai kejayaannya madzhab ini melewati beberapa fase sehingga menjadi
sebuah madzhab yang dianut.
Penyebaran madzhab Hanafi juga tidak bisa lepas dari otoritas pemerintahan,
yang dimaksudkan di sini adalah rezim kerajaan ottoman pada abad ke-19,
kerajaan ottoman menjadikan madzhab Hanafi sebagai hukum resmi negara. Siapa pun
yang berkeinginan untuk menjadi hakim di sana, mereka diwajibkan mempelajari
madzhab Hanafi, oleh karena itu, madzhab Hanafi tersebar luas di sepanjang
wilayah pemerintahan kerajaan ottoman di akhir abad 19.[18]
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih dan ilmu
kalam dan pada saat beliau hidup banyak orang-orang yang belajar ilmu
kepadanya. Di bidang ilmu kalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh
al-Asghar, al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi dalam bidang ilmu fiqih tidak
ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis
sebuah buku fiqih sewaktu hidupnya.[19]
Pendapat-pendapat Abu Hanifah dinukilkan kepada kita dengan
perantara riwayat atau tulisan-tulisan yang ditulis oleh murid-murid beliau. Di
antara murid-murid beliau yang paling terkenal ialah :
1)
Abu Yusuf Ya`qub bin Ibrahim Al-Anshari Al-Khufi (113 H - 182 H)
Beliaulah yang telah berjasa besar dalam mengembangkan madzhab Abu
Hanifah. Beliau menjadi qadhi di Kuffa dalam masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid.
Dan kepada beliau diserahkan urusan mengangkat qadhli-qadhli di seluruh daerah.
Pendapat-pendapat beliau dapat dipelajari dalam kitab fikih Hanafi. Kitabnya
yang ditulis dengan tangannya sendiri yang sampai ke tangan kita sekarang, ialah
kitab Al-Kharaj.[20]
2)
Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani (132 H - 189 H)
Beliau tidak lama menyertai Abu Hanifah dan pernah belajar kepada
Imam Malik. Tetapi beliaulah yang telah berusaha membukukan madzhab Hanafi.
Kitab-kitab beliau yang dibukukan ada dua macam:
a.
Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan.
Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Dhahirur Riwayah atau Masa-ilul
Ushul.
Kitab Dhahirur Riwayah ada enam buah : Al-Mabsuth,
Al-Jami`ul Kabi, Al-Jami`u Shagir, As-Siyarul Kabir, As-Siyarush Shagir, Az-Zidayat.
Keenam kitab ini tersebut dikumpulkan oleh Abu Fadlel Al Marwazi
yang terkenal dengan nama Al-Hakim Asy-Syahid (344 H). Dalam kitab yang dinamai
Al-Kafi. Kemudian Al-Kafi ini disyarahkan di dalam kitab Al-Mabsuth
oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsy yang wafat pada akhir
abad 5 H.
Dari kitab-kitab Dhahirur Riawayah inilah lembaga majalah Al-Ahkam
Al-`Adliyah di Turki mengutip kebanyakan masalahnya adapun kitab-kitab
An-Nawadhir, ialah : Amali Muhammad, Al-Kaisaniyat, Ar-Riqayat, Al-Haruniyat, Al-Jurjaniyat,
Al-Makharij fil Hiyal, Ziyadatul Ziyadat, Nawadhir Muhammad
b.
Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak
kepercayaan. Dinamai Masa-ilun Nawadhir.[21]
3)
Zufaz ibn Hudzail ibn Qais Al-Khufi (110 H - 168 H)
Beliau terkenal sebagai seorang ahli qiyas yang terpandai dari
murid-murid Abu Hanifah.
4)
Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu`lu`i (204 H)
Beliau belajar kepada Abu Hanifah dan meriwayatkan
pendapat-pendapatnya. Akan tetapi fuqaha` tidak menyamakan riwayat-riwayatnya
dengan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Hasan dalam kitab Dhahirur
Riwayah. Di antara kitabnya ialah : Abadul Qadli, Al-Khislal, Ma`ani
Iman, An-Nafaqat, Al-Kharaj, Al-Fara-idl dan Al-Washaya. Selain
daripada kitab-kitab Dhahirur Riwayah, terdapat pula dalam madzhab
Hanafi ini kitab-kitab fatwa dan hasil-hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mutaakhirrin
dari murid-murid Abu Hanifah itu.[22]
Adapun
ciri khas fiqh Hanafi adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena
bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan
kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian
manusia sangat ekstrimmenilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan
seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun,
di sisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan
bahwa beliau telah keluar dari agama.[23]
Dalam
menggali hukum, seperti ulama fikih lainnya, Abu Hanifah menempatkan al-Qur`an
sebagai sumber utamanya, kemudian hadis. Satu hal yang menjadi ciri khas
pandangannya adalah ia memberikan peranan yang cukup besar kepada ra`yu
(penggunaan penalaran akal dalam menggali hukum) dengan cara qiyas
(perbandingan) dan istihsan. Selain itu ia juga banyak menjelaskan hukum
persoalan-persoalan teoritis yang belum benar-benar terjadi. Sebab itulah ia
dikenal sebagai Imam Ahlu Ra`yi (pemuka kalangan ra`yu).[24]
Perbedaan
pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis
pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai
beliau berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang
kontrovensional, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara
maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang
lain.[25]
Pada masa sekarang ini madzhab Hanafi adalah madzhab resmi negara
Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Dan madzhab inilah yang dianut oleh sebagian
besar penduduk Afghanistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
Lebih sepertiga umat Islam di dunia ini menganut madzhab Hanafi.[26]
B.
Konsep Perwalian dalam Pandangan Hanafiyah
1. Pengertian wali
Perwalian, dalam literatur fiqh Islam disebut dengan al-walayah
(الولاية). Secara etimologi, dia memiliki beberapa
arti. Di antaranya adalah cinta ( المحبّة ) dan pertolongan ( نصرة ) seperti dalam
penggalan ayat بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ Ayat
71 surat at-Taubat (9) ; juga berarti kekuasaan/otoritas (السلطة والقدرة) seperti dalam ungkapan
al-wali ( الوالى ), yakni orang yang mempunyai kekuasaan”. Hakekat
dari الولاية adalah “الامر تولي ” (mengurus/menguasai sesuatu).[27]
Adapun
yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum
Islam) seperti yang dikemukakan Wahbah Al-Zuhaili ialah:
القدرة
على مباشرة التصرف من غير توقف على إجازة أحد[28]
“Kemampuan untuk langsung bertindak tanpa
bergantung kepada izin seseorang”.
Sejalan
dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan wali secara umum
adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap
dan atas nama orang lain.[29]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwasanya yang dimaksud dengan wali secara universal
adalah orang yang karena kedudukannya bertindak atas nama orang lain tanpa izin
seseorang.
Hanafiyah membagi perwalian kepada tiga bagian :
1)
Pertama wali atas jiwa (Wilayah ‘ala al-Nafs) yang
wilayahnya meliputi kepada urusan-urusan kepribadian seperti mengawinkan,
mengajar dan sebagainya, dan menjadikan kekuasaan ini milik bapak dan kakek.
2)
Kedua kekuasaan atas harta (Wialayah `ala al-Mal ) yang
kekuasaannya mengenai masalah harta benda seperti mengembangkan harta, menjaga
serta membelanjakan. Kekuasaan ini juga milik bapak dan kakek, atau orang yang
memberi wasiat oleh mereka berdua.
3)
Ketiga wilayah atas jiwa dan harta secara bersamaan, dan dalam hal
ini pun berkuasa tetap bapak dan kakek.[30]
Namun dalam pembahasan ini penulis lebih memfokuskan kepada wali
atas jiwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah yang meliputi
urusan perkawinan. Karena yang menjadi inti pembahasan dalam tulisan ini
merupakan wali nikah, maka perlulah kita memahami apa yang dimaksud dengan wali
nikah tersebut.
Dalam memahami apa yang dimaksud dengan wali nikah, beberapa ulama
telah memberikan definisi secara khusus untuk menjelaskan mengenai wali nikah
ini, di antaranya :
Abdurrahman Al-Jaziri mengemukakan definisi wali nikah :
الولي
في النكاح هو الذي يتوقف عليه صحة العقد فلا يصح بدونه، وهو الأب أو وصيه والقريب
العاصب والمعتق والسلطان والمالك[31]
“Wali di dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan
atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah
suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang
melindungi, mu`tiq, sulthan dan penguasa yang berwenang”.
Sayyid
Sabiq juga memberikan definisi mengenai wali nikah dalam Fikih Sunnah
yaitu :
الولاية حق شرعي، ينفذ بمقتضاه الامر على الغير جبرا عنه[32]
“Suatu yang harus ada menurut syara’ yang bertugas
melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa”.
Dari penjelesan mengenai perwalian di
atas dapat kita pahami bahwa perwalian dapat dipahami dalam bentuk yang luas
dan dapat dipahami dalam bentuk yang khusus. Maka dalam memahami wali apa yang
dimaksudkan maka perlu kita sesuaikan dengan konteks pembicaraan. Karena dalam
memahami wali secara khusus perlu adanya hubungan dengan konteks yang menjadi
pembatas sehingga pemahaman terhadap wali tidak menyimpang dari apa yang
seharusnya.
Dengan melihat beberapa ketentuan
tentang pengertian wali dapat dipahami bahwa wali yang dimaksud di sini adalah
orang yang mengasuh orang yang berada di bawah perwaliannya, dan dalam hal ini cenderung
pada wali dalam suatu pernikahan. Wali adalah orang/pihak yang memberikan izin
berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya
ditetapkan bagi pihak perempuan.[33]
Wali nikah adalah orang yang berakad dalam suatu pernikahan, sehingga dalam
tersambungnya ijab dan qabul dalam suatu pernikahan dilakukan oleh wali dan
mempelai laki-laki yang melangsungkan pernikahan.
2.
Dasar Hukum Wali Nikah
Adapun yang menjadi dasar hukum wali menurut madzhab Hanafi adalah
al-Qur`an dan hadis, mereka mengutip ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan wali
dan juga mengutip hadis-hadis yang berbicara mengenai wali dalam pernikahan di
antaranya :[34]
1)
Dalil al-Qur`an
sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat
232 :
وَإِذَا
طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن
يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوۡاْ بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٰلِكَ
يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِۗ
ذَٰلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا
تَعۡلَمُونَ ٢٣٢[35]
Artinya: “Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masaiddahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.
Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”.(Q.S. Al-Baqarah :232)
2)
Dalil hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ أَبِي الشَّوَارِبِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ:
حَدَّثَنَاأَبُوإِسْحَاقَ الْهَمْدَانِيُّ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي
مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ: لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ (رواه إبن ماجه)[36]
Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin `Abdil
Malik bin Abi Asy-Syawarib dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abu
`Awanah dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Al-Hamdani dia
berkata : dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radiyallaahu’anhu dia
berkata Rasulullah salallahu`alai wa sallam bersabda: “ Tidak ada nikah kecuali
dengan wali”. (H.R. Ibnu Majah)
Adapun hadis
lain yang menjadi dasar madzhab Hanafi dalam pensyari`atan wali
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ ابْنِ
جُرَيْجٍ،عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ
عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ قَالَ:أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَابَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَااسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ
اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رواه الترمذي)[37]
Artinya :“Telah Menceritakan kepada kami Abi Umar dia berkata :
telah menceritakan kepada kami Sufyan bin `Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari
Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari, `Urwah‚ dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
saw bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya
batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin
untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka
penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali” (H.R.
At-Tirmidhzi)
3. Macam-macam
Wali
Perwalian di dalam perkawinan menurut madzhab Hanafi termasuk ke
dalam perwalian terhadap jiwa, sedangkan perwalian di dalam perkawinan secara
garis besar dibagi menjadi dua yaitu :
a.
Perwalian ijbar
Perwalian yang dilakukan terhadap seorang gadis atau janda, yang
dalam hal ini masih kecil dengan artian belum dewasa.
b.
Perwalian nadab/istihbab
Merupakan perwalian yang dilakukan terhadap seorang gadis atau janda
yang sudah baligh dan berakal.[38]
Dalam hal menetapkan sebuah perwalian menurut Hanafiyah dikarenakan
empat sebab, di antaranya :
1)
Perwalian karena kekerabatan
Perwalian kekerabatan adalah perwalian yang ditetapkan berdasarkan
adanya hubungan darah/adanya kekerabatan antara wali dan orang yang berada di
dalam perwalianya, baik kekerabatan itu bersifat dekat seperti halnya bapak,
kakek, saudara atau akibat kekerabatan yang bersifat jauh seperti halnya anak
laki-laki paman dari pihak ibu, dan anak laki-laki paman dari pihak laki-laki.[39]
Urutan perwalian dari sebab kekerabatan adalah seperti di bawah ini:
a)
Anak dan anaknya anak sampai nasab ke bawah
b)
Bapak dan kakek yang asli dan nasab keatasnya
c)
Saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki sebapak, serta
anak laki-laki
d)
saudara sekandung dan sebapak dan nasab kebawahnya
e)
Paman sekandung, dan paman sebapak serta anak-anak laki-lakinya dan
nasab kebawahnya.
f)
Kemudian setelah mereka itu orang yang memerdekakan budak
g)
dan kerabat ‘asabah-nya secara nasab.[40]
2)
Perwalian karena kepemilikan
Perwalian kepemilikan adalah perwalian akibat adanya kepemilikian
yaitu antara seorang majikan terhadap budak-budaknya. Dengan demikian seorang
majikan mempunyai hak mutlak terhadap budak-budaknya, sehingga seorang majikan
tidak memerlukan keridhaan dari budaknya tersebut. Hal ini karena seorang budak
merupakan milik majikannya secara keseluruhan yang ada pada dirinya secara
mutlak.[41]
3)
Perwalian karena memerdekakan
Perwalian karena memerdekakan ini dibagi menjadi dua macam:[42]
a)
Perwalian al-`atiqah
Yaitu perwalian yang disebabkan karena memerdekakan seorang budak.
Maka dalam hal perwalian karena memerdekakan budak ini Hanafiyah menganggap
perwaliannya dapat menjadi perwalian yang wajib dan dalam kondisi lain dapat
menjadi perwalian istihbab (sunat). Maksudnya di sini ketika seorang yang telah
dimerdekakan tersebut hendak menikah namun dia tidak memiliki wali `asabah dari
keluarganya maka orang yang memerdekakan tersebut adalah walinya. Namun, jika
ada `asabah dari keluarganya maka dalam hal ini orang yang memerdekakan tidak
wajib untuk menjadi wali baginya. [43]
b)
Perwalian al-muwalah
Yaitu perwalian akibat adanya sebuah akad antara dua orang untuk
menolongnya dan membayarkan denda dan perwalian akibat adanya sebuah akad
antara dua orang untuk menolongnya dan membayarkan dendanya jika dia melakukan
tindakan kriminal, serta mengurusnya jika dia meninggal, oleh karena itu hak
menikahkan juga berada di bawah kekuasannya.[44]
4)
Perwalian karena penguasa
Perwalian yang disebabkan karena seseorang memiliki kekuasaan di
suatu daerah dan memiliki kewenangan sebagai wali. Perwalian Pengusa ini juga
dapat dilakukan oleh wakilnya (penguasa) tersebut. Untuk cakupan perwalian
pemimpin ini di antaranya seperti qadhi. Dalam hal ini dia memiliki kewenangan
untuk menikahkan orang yang mempunyai beberapa sebab.
Hanafiyah mensyaratkan perwalian beralih ke penguasa apabila
terdapat salah satu syarat di antara dua syarat berikut :
a)
Apabila tidak ada sama sekali wali asal yang akan menikahkan, maka
perwalian beralih ke wali penguasa.
b)
Apabila wali `adhal, maksudnya ketika wali asal enggan untuk
menikahkan seseorang padahal pernikahan tersebut dilakukan dengan orang yang
sekufu`, maka dalam hal ini penguasa wajib menikahkan orang tersebut, dan
apabila penguasa menolak untuk menikahkannya maka penguasa tersebut dianggap telah
membuat mudharat sedangkan eksistensi penguasa adalah untuk menolak suatu
kemudharatan. [45]
C.
Konsep Perempuan Menjadi Wali nikahdalam Pandangan Hanafiyah
Dalam kitab al-Mabsuth karangan Asy-Syarakhsi dijelaskan
bahwa mengenai perempuan menjadi wali untuk menikahkan dirinya sendiri :[46]
“Imam Syarakhsi berkata
diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa seorang perempuan menikahkan
putrinya dengan ridhonya, kemudian wali anak perempuan tersebut datang,
kemudian melaporkan hal ini kepada Ali bin Abi Thalib mengenai masalah ini,
kemudian Ali bin Abi Thalib memperbolehkan nikah tersebut.
Hal
ini menjadi dalil bahwa seorang perempuan ketika menikahkan dirinya sendiri
atau memerintahkan orang yang kedudukannya bukan wali untuk menikahkan dirinya
kemudian orang tersebut menikahkannya. Maka dengan dasar ini nikahnya itu
boleh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, baik perempuan itu masih perawan
atau janda, ketika dirinya menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya
diperbolehkan menurut zahir riwayat, baik suaminya sekufu ataupun tidak, maka
nikahnya tetap sah, namun jika calon suaminya tidak sekufu maka wali mempunyai
hak untuk menghalangi pernikahan tersebut.
Di
dalam riwayatnya Imam Hasan apabila seorang suami sekufu, maka nikahnya boleh
dan jika tidak sekufu maka nikahnya tidak boleh, dan Imam Abu Yusuf adalah
orang yang pertama kali mengungkapkan tidak diperbolehkannya menikahnya seorang
wanita atas dirinya sendiri dengan seorang pria baik sekufu ataupun tidak
ketika dia masih mempunyai wali. Lalu beliau kembali mengatakan, jika seorang
suami sekufu maka nikahnya boleh, dan jika suaminya tidak sekufu maka nikahnya
tidak boleh. Kemudian beliau kembali mengatakan nikah yang seperti itu sah baik
suaminya sekufu maupun tidak. Kemudian Imam Tohawi mengungkapkan pada ungkapan
Imam Abu Yusuf bahwasanya, jika seorang suami sekufu memerintahkan seorang
hakim menjadi wali dengan memperbolehkannya akad, maka jika seorang hakim
memperbolehkannya juga boleh seorang hakim itu menolak untuk meneruskan akad
tersebut maka nikahnya tidak rusak.
Tetapi
seorang hakim yang meneruskan akad nikahnya maka akad nikahnya boleh
berdasarkan pendapatnya Imam Muhammad nikahnya seorang perempuan hal ini
berhenti berdasarkan diperbolehkannya seorang wali baik itu dia menikahkan
dengan dirinya sendiri dengan suami yang sekufu maupun tidak. Jika seorang
suami membolehkan maka nikahnya boleh, dan jika seorang wali tidak
memperbolehkannya maka nikahnya batal kecuali jika suaminya sekufu maka
sebaiknya seorang hakim memperbarui akad ketika seorang wali menolak untuk
menikahkan seorang perempuan tersebut berdasarkan pendapat Imam Malik dan Imam
Syafi`i. Menikahkan seorang wanita atas dirinya sendiri nikahnya batal dalam
keadaan apa pun dan akad nikahnya tidak sah dengan cara apapun.”
Dalam
kitab Badai’u Al-Shonai’, karangan`Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud juga
menyebutkan :
الْحُرَّةُ الْبَالِغَةُ
الْعَاقِلَةُ إذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا مِنْ رَجُلٍ أَوْ وَكَّلَتْ رَجُلًا
بِالتَّزْوِيجِ فَتَزَوَّجَهَا أَوْ زَوَّجَهَا فُضُولِيٌّ فَأَجَازَتْ جَازَ فِي
قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَزُفَرَ وَأَبِي يُوسُفَ الْأَوَّلِ سَوَاءً زَوَّجَتْ
نَفْسَهَا مِنْ كُفْءٍ أَوْ غَيْرِ كُفْءٍ بِمَهْرٍ وَافِرٍ أَوْ قَاصِرٍ غَيْرَ
أَنَّهَا إذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ فَلِلْأَوْلِيَاءِ حَقُّ
الِاعْتِرَاضِوَكَذَا إذَا زَوَّجَتْ بِمَهْرٍ قَاصِرٍ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَة[47]
“Perempuan yang merdeka, baligh, aqil ketika menikahkan dirinya sendiri
dengan seorang laki-laki atau wakil dari laki-laki yang lain dalam suatu
pernikahan, maka pernikahan perempuan itu atau suaminya diperbolehkan. Qaul Abi
Hanifah, Zufar dan Abi Yusufsama dengan yang awal, perempuan itu boleh
menikahkan dirinya sendiri dengan orang yang kufu‟ atau yang tidak kufu‟
denganmahar yang lebih kecil atau rendah, ketika perempuan itu menikahkan
dirinya sendiri dengan seorang yang tidak kufu‟, maka bagi para wali berhak
menghalangi pernikahannya, bila pernikahannya itu dengan mahar yang kecil.”
Menurut Imam Abu Hanifah Rahimahullah : wali disyaratkan pada
pernikahan apabila yang diwalikan tersebut adalah anak kecil baik itu laki-laki
ataupun perempuan dan juga orang gila baik perawan maupun janda namun masih
kecil.
Untuk perwalian terhadap perempuan yang merdeka, sudah dewasa dan
baligh, menurut Imam Abu Hanifah bentuk perwalian terhadapnya merupakan
perwalian yang sunah bukanlah sesuatu yang wajib. Dengan demikian boleh seorang perempuan
menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki serta dia juga yang
mengakadkan pernikahan tersebut baik dengan laki-laki yang sekufu` atau tidak
sekufu`, baik walinya ridha ataupun tidak ridha, maka nikahnya sah. Namun,
dalam hal ini wali mempunyai hak untuk menghalangi pernikahan tersebut jika
suami dari perempuan tersebut tidak sekufu atau mahar yang diberikan kurang
dari marah mitsil yang menjadi hak perempuan.[48]
Mereka (Hanafiyah) berpendapat bahwa seorang wanita yang telah
baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan
maupun janda, tak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau
menentang pilihannya. Dengan syarat orang yang dipilihnya itu sekufu atau
sepadan dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Tetapi jika ia
memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh
menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau
wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar
mitsil, qadhi boleh diminta untuk membatalkan akadnya bila mahar mitsil
tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.[49]
Dengan demikian apa yang dikemukakan oleh Hanafiyah dalam konsep
perempuan sebagai wali nikah untuk mengakadkan dirinya sendiri dalam suatu
pernikahan dapat dipahami bahwa yang menjadi tolak ukur dalam kebolehan
tersebut adalah keadaan si wanita dengan melihat kepada kebalighan, dan berakal
sehatnya wamita tersebut. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan kedudukan wali
bagi perempuan yang masih kecil baik perawan maupun janda. Hanafiyah menganggap
bahwa kemestian perwalian terhadap perempuan yang masih kecil adalah karena
keadaannya yang masih kecil menjadikan dirinya tidak mengetahui mengenai
perkara nikah, sehingga di sini diwajibkan adanya wali dalam pernikahannya.
Dapat dikatakan bahwasanya perempuan yang masih kecil masih sempit pola
pikirnya.
Di samping itu juga mengenai kesepadanan antara wanita tersebut
dengan laki-laki yang hendak menikah dengannya, dengan kata lain bahwa
sebaiknya si wanita memilih laki-laki yang sekufu dengannya. Dan juga bahwa
dalam pernikahan tersebut menyangkut mahar yang hendak diberikan oleh si suami kepada
wanita tersebut haruslah dengan mahar mitsil, karena jika tidak terpenuhi mahar
mitsil tersebut sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hanafiyah di atas,
pernikahan yang dilakukan dapat dibatalkan oleh wali dengan meminta kepada
hakim untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Sedangkan jumhur menanggapi bahwa terhadap pendapat Hanafiyah
mengenai perempuan bertindak sebagai wali nikah :
“Menurut
Jumhur Ahli Ilmu bahwa perempuan tidak menikahkan dirinya sendiri dengan
dirinya sendiri, dan mestilah dalam hal itu dia mewalikan pernikahan tersebut
kepada walinya”
Perbedaan mendasar dalam pendapat Hanafiyah dan jumhur dalam hal
perempuan bertindak sebagai wali nikah adalah, bahwa Hanafiyah menjelaskan
bahwa kebolehan perempuan bertindak sebagai wali nikah dengan melihat aspek
kedewasaan sehingga Hanafiyah memberikan kebolehan terhadap perempuan yang
baligh berakal untuk bertindak sebagai wali. Sedangkan jumhur tidak memberikan
sedikitpun terhadap perempuan peluang untuk bertindak sebagai wali nikah tanpa
ada pertimbangan kedewasaan si perempuan. Meskipun perempuan tersebut telah
baligh berakal, jumhur tetap tidak memperbolehkan perempuan bertindak sebagai
wali nikah terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang yang di bawah
perwaliannya sehingga apabila perempuan hendak menikah, maka mesti dengan
perantara walinya.
D.
Metode Istinbath Hanafiyah
Ada beberapa dasar lain dari al-Qur`an dan sunnah nabi
yang membolehkan perempuan dapat mengakadkan nikahnya tanpa wali atau dia
menjadi wali bagi dirinya sendiri menurut Hanafiyah adalah :
1.
Al-Qur`an[51]
Dalam surat Al-Baqarah ayat 230, 232, 234
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن
يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۗ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوۡمٖ
يَعۡلَمُونَ ٢٣٠[52]
Artinya : “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang mau mengetahui.” (Q.S.
Al-Baqarah : 230)
وَإِذَا
طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن
يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوۡاْ بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٰلِكَ
يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِۗ
ذَٰلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا
تَعۡلَمُونَ ٢٣٢[53]
Artinya : “Apabila
kamu menalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. Itulah yang
dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui dan kamu
tidak mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah : 232)
وَٱلَّذِينَ
يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٢٣٤[54]
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beribadah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Q.S.
Al-Baqarah : 234)
Ayat
di atas merupakan dalil yang digunakan oleh Hanafiyah dalam menguatkan pendapat
mereka bahwa perempuan boleh menjadi wali dalam pernikahannya.
Pada
dasarnya ayat di atas membicarakan mengenai larangan bagi para wali untuk
menghalangi pernikahan seseorang yang apabila telah habis masa iddahnya. Dengan
dimikian wali tidak berhak menghalangi pernikahan tersebut apalagi jika memang
telah ada kerelaan di antara mereka untuk terjadinya pernikahan. Dan menunjukkan larangan terhadap wali yang enggan
untuk menahan anak perempuannya dirumah dan wali melarang anak perempuannya
untuk menikah.[55]
Sedangkan
pada awal ayat 232 yang berbunyi
(وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ) Hanafiyah menganggap bahwa untuk
perempuan yang telah diceraikan dan telah habis masa iddahnya maka tidak ada
hak bagi bekas suaminya untuk melarang perempuan tersebut menikah dengan
laki-laki lain.[56]
Hanafiyah
menganggap ayat tersebut merupakan dalil perempuan dapat menjadi wali nikah
dalam hal mengakadkan pernikahan untuk dirinya sendiri. Hanafiyah memandang
bahwasanya kata (حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًاغَيْرَهُ) pada ayat 230, (أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ) pada ayat 232, dan kata (فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنْفُسِهِنَّ) pada ayat
234, Hanafiyah menyandarkan akad pernikahan pada ayat tersebut kepada perempuan
yang menunjukkan bahwasanya perempuan mempunyai hak kepemilikan secara
langsung.[57]
Hanafiyah
memberikan penjelasan bahwa dari beberapa ayat di atas menjelaskan tentang hal
yang berkaitan dengan pernikahan. Kemudian didapati bahwa dalam ayat di atas
ada kata kerja تَنْكِحَ dan يَنْكِحْنَ yang
memberikan pengertian bahwa penyandaran fi`il (kata kerja) adalah kepada
fa`il (pelaku). Sehingga secara hakikat penyandaran fi`il (kata
kerja) adalah kepada fa`il (pelakunya) dengan artian bahwa kata kerja تَنْكِحَ dan يَنْكِحْنَ pelaku
pernikahan secara hakiki adalah si perempuan.
Dengan demikian Hanafiyah memahami bahwa yang melakukan
pernikahan dari penggalan kata tersebut adalah si perempuan secara langsung
tanpa disyaratkannya wali karena pelaku hakiki dari fi`il (kata kerja) adalah fa`il (pelakunya)
yaitu perempuan itu sendiri.[58]
Dari
pemahaman ayat di atas Hanafiyah memandang bahwa perempuan dapat melaksanakan
pernikahan secara langsung atau dengan kata lain perempuan memiliki hak
kepemilikan akad secara penuh dalam pernikahan tanpa disyaratkannya wali.
Ayat di atas memberikan penjelasan
terhadap dua macam : pertama, bahwa menyandarkan pernikahan kepada
perempuan maka menunjukkan atas kebolehan pernikahan dengan melihat kepada
keadaan wanita tersebut dari segi tidak disyaratkannya wali. Kedua, melarang
para wali untuk menghalangi pernikahan perempuan yang dilakukan sendiri apabila
ada keridhaan antara kedua mempelai.[59]
2. As-Sunnah
Di samping itu
Hanafiyah juga menggunakan dalil hadis yang diriwayatkan Imam Muslim :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ،
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَالِكٌ، ح وحَدَّثَنَا
يَحْيَىبْنُ يَحْيَى، وَاللَّفْظُ لَهُ، قَالَ: قُلْتُ لِمَالِكٍ: حَدَّثَكَ
عَبْدُ اللهِ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ نَافِعِ بْنِجُبَيْرٍ،عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْأَيِّمُ أَحَقُّ
بِنَفْسِهَا مِنْوَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا، وَإِذْنُهَا
صُمَاتُهَا»؟ قَالَ: نَعَمْ) رواه مسلم)[60]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Sa`id bin Manshur dan
Qutaibah bin Sa`id, mereka berdua telah berkata : telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Yahya, dan Lafazh menurutnya, dia berkata : aku telah berkata
kepada Malik: telah menceritakan kepada engkau `Abdullah bin Fadhli, dari Nafi`
bin Jubair, dari Ibnu `Abbas, bahwa Nabi Salallahu `alaihi wa sallam telah
bersabda : wanita yang tidak bersuami lebih berhak terhadap dirinya sendiri
daripada walinya, dan perawan meminta izin kepadanya dan izin wanita yang
perawan adalah diamnya?, dia berkata : benar “ (H.R Muslim).
Dalam
Mabsuth Syarakhsi, Hanafiyah menjelaskan bahwasanya kata (الْأَيِّمُ) merupakan sebuah
sebutan untuk seorang wanita yang tidak memiliki ikatan pernikahan (suami),
baik dia itu perawan ataupun janda, dan ini merupakan pengertian yang benar
menurut ahli bahasa.[61]
Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwasanya seorang wanita yang tidak
memiliki pasangan hidup memiliki hak dan dalam hak tersebut ia memiliki hak
untuk menikahkan dirinya sendiri baik dia perawan ataupun janda.
Hanafiyah juga
mengungkapkan dalam kitab Bada`i As-Shona`i :
أَنَّهَا لَمَّا بَلَغَتْ عَنْ عَقْلٍ وَحُرِّيَّةٍ فَقَدْ
صَارَتْ وَلِيَّةَ نَفْسِهَا فِي النِّكَاحِ فَلَا تَبْقَى مُولَيًا عَلَيْهَا
كَالصَّبِيِّ الْعَاقِلِ إذَا بَلَغَ
Artinya :“Sesungguhnya perempuan
ketika telah baligh berakal dan merdeka, bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri
dalam pernikahan. Maka tidak menetapkan perwalian terhadap perempuan yang telah
baligh berakal tersebut seperti anak kecil yang berakal apabila telah baligh.”
Hadis di atas
senada dengan hadis :
وحَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ الْفَضْلِ، سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ، يُخْبِرُ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الثَّيِّبُ
أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا
سُكُوتُهَا») رواه مسلم)[62]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin
Sa`id, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ziyad bin Sa`id, dari
Abdillah bin Fahli, dia telah menedengar Nafi` bin Jubai, dikabarkan dari Ibnu
Abbas, sesungguhnya Nabi Salallahu`alaihi wa sallah telah bersabda : janda
lebih berhak terhadap dirinya dari walinya, dan perawan dimintai izin, dan
izinya adalah diamnya” (H.R Muslim)
Dalam memahami hadis
di atas Hanafiyah membenarkan bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari
walinya, namun dalam memahami kata (وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ) Hanafiyah berbeda
pendapat, yaitu jika wajib meminta izin sesuai dengan lafazh yang ada di dalam hadis,
hal tersebut merupakan suatu bentuk yang kontradiktif dengan hak ijbar wali,
karena hadis di atas menuntut untuk melaksanakan suatu perkara atau menuntut
untuk meminta izin kepada si perempuan. Sehingga lafazh hadis di atas
memfaidahkan bahwasanya permintaan izin tersebut bertujuan untuk menanyakan
ridha atau tidaknya si perempuan.
Dengan demikian
dari lafazh yang ditetapkan atas hak bagi seorang janda untuk dirinya itu
mutlak. Kemudian hal yang serupa menunjukkan untuk si perawan sebagaimana yang
telah ditunjukkan bagi si perawan tersebut hak untuk dimintai izin. Maksud dari
perintah meminta izin tersebut bahwasanya itu adalah landasan terhadap lebih
berhaknya setiap janda dan perawan dengan lafazh yang khusus seakan-akan
berbunyi : seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dan seorang perawan
lebih berhak terhadap dirinya pula.[63]
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa yang dimaksud Hanafiyah dalam memahami hadis di atas
adalah pada dasarnya perempuan dan janda lebih berhak dari pada walinya. Lafazh
hadis di atas hanya berfaidah untuk menanyakan keridhaannya atau tidak. Bukan
berarti perempuan di bawah perwalian ijbar, karena jika si perempuan berada di
bawah perwalian ijbar maka bentuk meminta izin akan bertentangan dengan sifat
ijbar yang dimiliki oleh bapak. Sedangkan redaksi hadis yang menunjukkan
perempuan dimintai izin, hal ini disebabkan karena menurut kebiasaan peminangan
perempuan dilakukan melalui walinya sehingga ketika perempuan dipinang maka
dimintai izin keridhaannya atau tidak terhadap peminangan tersebut. Hal inilah
yang dipahami Hanafiyah dari redaksi hadis di atas.
Jumhur ulama
pun juga memakai hadis di atas dalam menguatkan pendapat mereka, namun
perbedaan dalam memahami redaksi hadis di atas menghasilkan rumusan pemikiran
yang berbeda. Dalam memahami hadis di atas jumhur memahami bahwa hadis di atas
berbicara mengenai pengkhususan berhaknya janda terhadap dirinya sendiri dari
pada walinya, sehingga mafhum mukhallafah yang dapat dipahami dari
pemahaman jumhur tersebut adalah bahwa hak janda terhadap dirinya sendiri
tersebut tidak terdapat di sana perempuan yang masih gadis. Sehingga pemahaman
yang dihasilkan oleh jumhur adalah bahwa hanya janda yang mempunyai hak
terhadap dirinya sendiri, sedangkan perempuan yang masih gadis tidak memiliki hak
serupa sebagaimana hak janda terhadap dirinya sendiri.[64]
Menurut
Hanafiyah hadis di atas merupakan hadis yang shahih sehingga Hanafiyah
menggunakan hadis tesebut. Sedangkan hadis-hadis yang lain yang berbicara
mengenai perwalian yang digunakan jumhur dalam menguatkan pendapat mereka
seperti hadis yang diriwayatkan dari Abi Musa, dan hadis yang diriwayatkan
Aisyah :
وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ
أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ )
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ
, وَابْنُ حِبَّانَ,وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ [65](
Artinya :“Dari Abu Burdah Ibnu
Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadis shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi,
dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadis mursal”.
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ ابْنِ
جُرَيْجٍ،عَنْسُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ
عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ
اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رواه
الترمذى)[66]
Artinya :“Telah Menceritakan kepada kami Abi Umar dia berkata :
telah menceritakan kepada kami Sufyan bin `Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari
Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari, `Urwah‚dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
saw bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya
batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin
untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka
penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali” (H.R.
At-Tirmidhzi)
Sebagaimana
yang dijelaskan dalam kitab Syarakh Fathul Qadir bahwa kedua hadis di
atas merupakan hadis yang lemah. Menurut Hanafiyah hadis yang driwayatkan oleh
Abi Musa merupakan hadis dhaif yang mudhtarib pada sanadnya.
Kemudian hadis yang diriwayatkan Aisyah merupakan hadis yang diingkari oleh
Az-Zuhri.[67]
Menurut
Hanafiyah meskipun demikian ketiga hadis di atas dapat di kompromikan dengan
menggunakan kaidah ushuliyyah :
يحمل عمومه علي الخصوص
“ Membawa yang umum terhadap yang khusus”
Karena hadis
yang dua di atas masih bersifat umum menurut Hanafiyah dan keumuman hadis di
atas dapat dibawakan kepada hadis yang lebih khusus. Menurut Hanafiyah dengan
kaidah tersebut maka dapat disetujui. Sehingga mereka mengaggap hadis yang
diriwayatkan oleh Abi Musa dikhususkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas. Oleh karena itu Hanafiyah memahami dari hadis yang diriwayatkan oleh Abi
Musa bahwa keberadaan (لا) nafi di sana merupakan nafi yang berfaidah untuk menyempurnakan
dan hanya bersifat sunnah.[68]
Dan hadis Ibnu
Abbas juga mengkhususkan hadis Aisyah yaitu dengan mentakwilkan bahwa kebatalan
tersebut adalah bagi perempuan yang menikah tidak sekufu. Dan yang dimaksud
dengan batal secara hakikat adalah melakukan pernikahan secara langsung tanpa
mempertimbangkan sekufu atau tidaknya. Jika terjadi demikian maka diberikan hak
kepada wali untuk menentang pernikahan dan dapat memfasakhan pernikahan
tersebut.
Dengan demikian
Hanafiyah berpendapat bahwa mafhum yang bisa dipahami apabila seorang perempuan
yang sudah baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan izin walinya maka
pernikahan tersebut shahih.[69]
Dalam kitab Badai’u
Al-Shonai’ Imam Abu Hanifah juga menegaskan bahwasanya hadis di atas
merupakan dalil yang menunjukkan bahwasanya apabila seorang wanita tersebut
telah baligh berakal merdeka maka dia
(perempuan) dapat menjadi wali bagi dirinya sendiri dalam suatu
pernikahan. Dan di samping itu bahwasanya perwalian yang wajib diwalikan oleh
bapak merupakan perwalian untuk anak kecil.[70]
3.
Amalan sahabat
Di
samping itu juga ada amalan sahabat dari Umar dan Ali dan Ibnu Umar semoga
Allah merihoi mereka – membolehkan pernikahan tanpa wali
وَأَنَّ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
تَعَالَى عَنْهَا - زَوَّجَتْ ابْنَةَ أَخِيهَا حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مِنْ الْمُنْذِرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ غَائِبٌ فَلَمَّا رَجَعَ
قَالَ: أَوَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ فِي بَنَاتِهِ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ -
رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا -: أَوَتَرْغَبُ عَنْ الْمُنْذِرِ؟ وَاَللَّهِ
لَتُمَلِّكَنَّهُ أَمْرَهَا[71]
Artinya :“Bahwa sesungguhnya
`Aisyah yang menikahkan anak perempuan saudaranya Hafsah binti Abdirrahman bin
Mundzir bin Zubair yang pada saat itu ayahnya tidak ada ketika dia kembali
(pulang) dia berkata : Aku merasa seperti aku diremehkan oleh anankku sendiri,
maka Aisyah berkata : apakah engkau mencari Mundzir? Demi Allah pastilah
perempuan memiliki setiap perkaranya sendiri”
Dari dalil di
atas Hanafiyah memandang bahwasanya `Aisyah yang berperan dalam pernikahan anak
perempuan saudaranya dengan menjadi wali bagi anak perempuan tersebut yang
mengisyaratkan bahwasanya di sana `Aisyah membolehkan perempuan sebagai wali
nikah untuk menikahkan orang lain juga.
Maka
dalam hal ini berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah mengenai
perempuan menjadi wali dalam melaksanakan akad atau mengakadkan nikahnya
sendiri dapat kita pahami bahwasanya perwalian untuk seseorang itu melihat
kepada keadaanya. Dengan artian bahwasanya apabila perempuan yang hendak menikah
tersebut sudah dewasa, baligh dan berakal, maka dia dapat menjadi wali dalam
pernikahannya sendiri. Namun sebaliknya apabila yang hendak menikah itu anak
kecil, ataupun orang dewasa namun dia gila maka dalam hal ini diwajibkan adanya
wali yang harus mengatasnamakan dirinya dalam suatu pernikahan.
4.
Qiyas
Hanafiyah
juga menggunakan dalil qiyas dalam permasalahan wali ini, yaitu dengan
mengqiyaskan antara pernikahan perempuan yang sudah baligh berakal dengan jual
beli yang dilakukan oleh perempuan yang baligh berakal. Dalam melaksanakan akad
jual beli wanita dapat melakukan akad tersebut oleh dirinya sendiri. Sehingga
dengan demikian apabila perempuan yang sudah baligh, dewasa dan berakal sehat
dapat melaksanakan akad jual beli tentu mereka juga mampu untuk melaksanakan
akad nikah dengan sendirinya.[72]
Hal ini disebabkan karena Hanafiyah tidak membedakan antara akad pernikahan
dengan akad-akad yang lain. sehingga ketika perempuan mampun melaksanakan akad
dalam bidang muamalat, tentu dia juga mampu melaksanakan akad dalam bidang
perkawinan.
Berdasarkan
hal inilah maka penetapan bagi perempuan yang sudah dewasa baligh berakal dapat
langsung mengakadkan nikahnya sendiri. sedangkan dalam penetapan bahwa untuk
perempuan yang belum dewasa baligh dan berakal maka ditetapkan baginya wali
ijbar hal ini dikarenakan bahwa perempuan yang masih kecil masih dalam dunia
ketidaktahuannya dengan perkara pernikahan dan akibat-akibat dari pernikahan.
Oleh karena itu Hanafiyah dalam penetapan wali ijbar hanya bagi anak kecil
dengan illat bahwa dia tidak tahu dengan perkara nikah. Akan tetapi hal ini
dapat diketahui pembatalan hak ijbar untuk memastikan dengan kebolehannya
melakukan pernikahan, yaitu ketika jual beli dan berbelanja hal ini berlaku
bagi siapa saja yang ketidaktahuannya itu karena tidak pernah menikah.[73]
[1]Ahmad Sa`id Hawa,
al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man, (Jeddah :
Dar-Andalus, 2002), hal. 33
[2]A. Dzajuli, Ilmu
Fiqh Penggalian, Pengembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta :
Kencana, 2010), Edisi Revisi, hal. 125
[3]Al-Qur`an Karim
[4]Abdullah
Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah :
Husein Muhammad,..., hal. 73
[5]Tabi`in adalah
orang yang bertemu dengan para sahabat yang muslim dan meninggal dalam Islam. Dan dikatakan juga seorang Tabi`in
adalah orang yang berteman dengan para sahabat.
[6]Abdullah
Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah Penerjemah :
Husein Muhammad,..., hal. 73
[7]Ahmad Sa`id
Hawa, al-Madkhal Ila Madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu`man,..., hal. 34
[8]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i
Taman,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 170
[9]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Ilham & Asmu`i
Taman,..., hal. 170
[10]Hepi Andi
Bastoni, 101 Kisah Tabi`in, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal.
43-44
[11]Wahbi Sulaiman
Ghaawijy, Abu Hanifah An-Nu`man Al-Imam `Aimmatil Fuqaha`,..., hal.
57-60
[12]Moenawir
Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 23
[13]Al-`Allamah
Ahmad Timurbats, Nazrah Tarikhiyyah fi Huduts Al-Madzahib Al-Arba`ah :
Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Syafi`i, Al-Hanbali wa Intisyaraha `Inda Jumhur
Al-Muslimin, (Beirut : Dar-Al-Qadir, 1990), hal. 50
[14]Azyumardi Azra,
Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve, 2006), hal.
128
[15]Huzaemah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 97-98
[16]Huzaemah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,..., hal. 101-102
[17]Mustafa
Suhaimi, Imam Abu Hanifah, (Jakarta: Progressive Products Supply, 1990),
cet. 1, hal. 46
[18]Abu Ameenah
Bilal Philips, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh : Analisis Historis atas
Madzhab, (Bandung : Nusamedia, 2005), hal. 93
[19]Dewan
Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet ke-I, hal. 340
[20]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114
[21]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 114-115
[22]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
[23]Abdurrahman
asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka,
(Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-1, hal. 49
[24]Indi Aunullah, Ensiklopedi
Fikih untuk Remaja jilid I, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008) , hal. 4
[25]Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan
Lima Imam Mazhab Terkemuka,..., hal. 49
[26]M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih,..., hal. 115
[27]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 134
[28]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhu Al-Islam Wa Adilatuhu Juz VII,..., hal. 186
[29]Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,..., hal. 69
[30]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhu Al-Islam Wa Adilatuhu Juz VII,..., hal.187
[31]Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh `ala Al-Madzhabil Arba`ah
Juz IV, (Beirut, Dar-Al-Kutub Al- Alamiyah,t.t(, hal. 29
[32]Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-`Arabi, 1977), hal. 125
[33]Sudarsono, Sepuluh
Aspek Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 235
[34]Kamal al-Din Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul
Al-QodirJuz III, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah,1995), hal.
247-250
[35]Al-qur`an Karim
[36]Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah Juz I, Muhaqqiq : Muhammad Fuad Abdi Al-Baqi, (Fishal `Isa
Al-Babi Al-Halbi- Dar Ihya` Al-Kitab Al-`Arabiah,t,t), hal. 605
[37]At-Tirmdhzi, Sunan
Tirmidhzi Juz III, Muhaqqiq dan Mu`aliq : Ahmad Muhammad Syakir dan
Muhammad Fuad `Abdi Al-Baqi,..., hal. 399
[38]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,..., hal.
246
[39]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab
Al-`Ilmiyah, 1986), hal. 238-239
[40]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 268-269
[42]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[43]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[44]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[45]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 252
[46]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 10
[47]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 247
[48]Sulaiman
Al-Asyqar, dkk, Masail fi Fiqhi al-Muqarrin, (Iran : Dar-An-Nafis,
1997), hal. 171
[49]Muahammad Jawad
Mughniyah, al-Fiqh `Ala Madzahibi al-Khamsah
Ja`fari-Hanafi-Maliki-Syafi`i-Hambali, (Tahran : Muasasah ash-Shadiq
Litab`ah wa An-Nasyir,t,t), hal. 321
[50]Sulaiman
Al-Asyqar, dkk, Masail fi Fiqhi al-Muqarrin,..., hal. 170
[51]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 11-12
[52]Al-qur`an Karim
[53]Al-qur`an Karim
[54]Al-qur`an Karim
[55]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 11
[56]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[57]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 11
[58]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 259, Lihat juga `Alauddin Abi Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz
II,...hal. 248
[59]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 248
[60]Muslim, Shahih
Muslim, Juz I, ( Indonesia : Maktabah wa Matba`ah Putra Semarang, t,t,),
hal. 594
[61]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[62]Muslim, Shahih
Muslim, Juz I,..., hal. 594
[63]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 262
[65]Imam Muhammad
bin Ismail Al-Kahlani, Subululssalam Syarah Bulughul Maram min Jami`i Adilati
Al-Ahkamjuz III, Bab Nikah..., hal.
117
[66]At-Tirmdhzi, Sunan
Tirmidhzi Juz III,..., hal. 264
[67]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 259
[68]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 260
[69]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 260
[70]`Alauddin Abi
Bakr Ibn Mas’ud, Badai’u Al-Shonai’, Juz II,...hal. 248
[71]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[72]Muhammad bin
Abi Sahal Aimmah as-Sarkhsy, Al-Mabsuth Juz III,..., hal. 12
[73]Kamalu al-Din
Muhammad ibn al-Himami al-Hanafi, Sharkh Fathul Al-QodirJuz III,...,
hal. 261
👍👍👍
ReplyDelete