BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
sebagai agama yang sempurna ajarannya diperuntukan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagai agama, Islam
mempunyai sumber ajaran. Sumber ajaran Islam adalah asal atau tempat ajaran Islam itu
diambil sebagai sumber mengindikasikan makna bahwa ajaran Islam berasal dari suatu yang
dapat digali dan dipergunakan untuk kepentingan operasionalisasi
ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam. Setiap
prilaku dan tindakan umat Islam baik secara individu maupun kelompok harus dilakukan
berdasarkan sumber tersebut. Oleh karena itu, sumber ajaran Islam berfungsi pula sebagai
dasar pokok ajaran Islam. Sebagai dasar, maka sumber itu menjadi landasan semua prilaku dan
tindakan umat Islam sekaligus sebagai referensi tempat orientasi dan konsulitasi serta tolak ukurnya.
Sebagaimana yang disepakati oleh pakar-pakar hukum Islam
bahwa sumber pertama dalam Islam adalah Al-Qur`an dan kemudian hadis Nabi.
Penetapan hadis Nabi sebagai sumber hukum kedua dalam Islam ini ditetapkan
berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, Ijma` bahakan dalil rasional.
Sebagaimana yang diketahui pada masa Nabi, bahwa Al-Qur`an
merupakan sumber yang dipegang oleh para sahabat dan Nabi sebagai penjelas Al-Qur`an
melalui sabda-sabdanya. Dengan demikian hadis Nabi memiliki fungsi guna untuk
memberikan pemahaman terhadap Al-Qur`an. Namun, dalam perkembangannya para
ulama mencoba merumuskan fungsi hadis dalam ajaran Islam ini dengan membagi
fungsi hadis tersebut ke dalam beberapa bentuk.
Dengan demikian melalui tulisan ini penulis akan mencoba
untuk menjelaskan mengenai fungsi hadis dalam ajaran Islam. yang akan penulis
paparkan pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah penulis dalam menyusun makalah ini, maka ada beberapa masalah yang hendak penulis
bahas dalam makalah ini, diantaranya :
1.
Pengertian Sumber Ajaran
2.
Kedudukan Hadis Sebagai Bayan Terhadap Al-Qur`an
3.
Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Secara
Mandiri
BAB II
FUNGSI HADIS DALAM AJARAN ISLAM
A. Pengertian Sumber Ajaran
Sumber merupakan pengalihan makna dari bahasa
Arab “mashdar” yang berarti “asal dari sesuatu atau tempat munculnya
sesuatu”. Sebagai contoh : sumber air adalah tempat muncul, asal atau
datangnya air. Sumber dalam bahasa Indonesia diartikan dengan tempat keluarnya
sesuatu atau sumber keluar air (mata air).[1]
Sedangkan untuk pengertian ajaran dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan dalam bentuk kata ajaran, melainkan
disajikan dalam kata baku “ajar” yang mana kata tersebut bermakna petunjuk yg diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut);[2].
Namun, dapat ditemui dalam Kamus Online bahwa ajaran bermakna segala sesuatu yg diajarkan; nasihat; petuah;
petunjuk: ia senantiasa memegang teguh - orang tuanya; paham: - terlarang;.[3]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sumber
ajaran adalah tempat atau asal munculnya sesuatu yang diajarkan kepada orang
banyak. Namun, dalam hal ini yang dimaksud dengan sumber ajaran di sini adalah
sumber ajaran Islam. sehingga dapat kita pahami bahwa sumber ajaran Islam
adalah asal munculnya atau tempat mengambil segala ajaran yang berkaitan dengan
Agama Islam.
Mengenai sumber ajaran dalam Islam para ulama
sepakat bahwa Al-Qur`an dan hadis merupakan sumber utama dalam Islam. Al-Qur`an
adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan
sumber utama ajaran Islam. di dalamnya terdapat berbagai aturan menyangkut
aqidah, akhlak dan hukum. Al-Qur`an hanya mengatur secara garis besar mengenai
berbagai aturan itu. Eksistensinya tidak diragukan lagi oleh setiap kaum
muslimin. Artinya Al-Qur`an adalah qath`i al-tsubut.
Nabi Muhammad sebagai penyampai ajaran
Al-Qur`an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah
diwahyukan kepadanya. Dengan demikian dia (Nabi) adalah sebagai penjelas, dan
pelaksana dari apa yang ditulis dalam Al-Qur`an. Dari sini dapat diketahui
bahwa hadis (sunnah) baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi,
merupakan sumber ajaran dalam Islam kedua setelah Al-Qur`an. Hal ini sudah
disepakati oleh seluruh umat Islam.[4]
Dengan demikian secara hirarki hadis menempati
tempat kedua setelah Al-Qur`an sebagai sumber ajaran Islam. meskipun demikian
Al-Qur`an dan hadis (Sunnah) merupakan sumber syari`at yang saling berkaitan.
Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari`at kecuali dengan merujuk
kepada keduanya sekaligus, dan seorang mujtahid atau orang alim tidak mungkin
mengabaikan salah satunya.
Banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang
mengindikasikan bahwa hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur`an.
Salah sataunya sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa` 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Menurut Ibn Qayyim sebagaimana
yang dikutip oleh Muhammad `Ajaj Al-Khatib bahwa ayat di atas menjelaskan Allah
SWT memerintahkan taat kepada-Nya dan Rasul-Nya. Dia (Allah) mengulang kata
kerjanya, untuk menunjukkan bahwa taat kepada Rasul wajin secara mandiri tanpa
harus dipaparkan dengan perintah taat kepada Al-Qur`an. Bahkan apabila Rasul
memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada
di dalam Al-Qur`an maupun tidak.[5]
Selain ayat Al-Qur`an bahkan Nabi
sendiri memproklamirkan bahwa hadis memang sebagai sumber ajaran Islam melalui
hadis :
مَالِكٌ؛ أَنَّهُ
بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
(رواه مَالِكٌ)[6]
Artinya : “Malik :
sesungguhnya telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah bersabda : Aku tinggalkan
kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama masih berpegang
kepada keduanya, yaitu kitabullah dan Sunnahku” (H.R Malik)
Serta adanya ijma` umat Islam telah bersepakat
bersama untuk megamalkan hadis. Bahkan hal itu mereka anggap sejalan dengan
memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yang terpecercaya. Kamum muslimin
menerima hadis seperti mereka menerima Al-Qur`an karim, karena berdasarkan
kesaksian dari Allah, hadis merupakan
salah satu sumber syari`at.[7]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa hadis dari segi keberadaannya wajib diamalkan dan
menjadi sumber ajaran dalam Islam. hadis berada pada posisi setelah Al-Qur`an
jika dilihar dari segi kekuatannya. Karena Al-Qur`an yang bersifat qath`i baik
secara global maupun rinci. Sedangkan hadis berkualitas qath`i seara
global saja dan tidak secara rinci. Di samping itu Al-Qur`an merupakan pokok
sedangkan hadis merupakan cabang karena posisinya menjelaskan dan menguraikan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa pokok didahulukan dan uraian diakhirkan.
Sedangkan
sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa hadis merupakan cabang yang
menjelaskan terhadap poko (Al-Qur`an). Maka untuk itu akan dijelaskan bagaimana
kedudukan hadis sebagai bayan (penjelas) terhadap Al-Qur`an.
B. Kedudukan Hadis Sebagai Bayan Terhadap Al-Qur`an
Sebagian besar umat Islam sepakat menetapkan sumber
ajaran Islam itu adalah Al-Qur`an, sunnah (hadis) dan ijtihad. sunnah (hadis)
yang mempunyai pengertian menurut ulama hadis sebagai segala sesuatu yang berasal
dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti,
perjalanan hidup, baik sebelum menjadi rasul maupun sesudah menjadi rasul,[8] inilah yang menjadikan kedudukan sunnah (hadis) menjadi
dasar dalam ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur`an. Kedudukan sunnah (hadis)
dalam
sumber ajaran Islam sangat strategis bagi kehidupan dan penghidupan umat. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada sumber hukum selain Al-Qur`an
dan Sunnah. Di dalam Kitabullah terdapat pokok-pokok yang umum bagi hukum-hukum
syari`at, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya dan pencabangannya.[9] Maka
dengan demikian dijadikanlah Sunnah (hadis)
sebagai penjabar (bayan)
dari
ayat-ayat Al-Qur`an.[10]
Menurut Muhammad `Ajaj Al-Khatib bahwa secara global,
sunnah sejalan dengan Al-Qur`an, menjelaskan yang muhbam, merinci yang mujmal,
membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan
hukum-hukum dan tujuan-tujuannya.[11]
Dengan demikian fungsi sunnah sangat kuat dalam hal sebagai bayan
terhadap Al-Qur`an. Sehingga sunnah menempati posisi sebagai sumber ajaran
dalam Islam yang kedua setelah Al-Qur`an.
Menurut A. Rahman Ritonga dalam bukunya Studi
Ilmu-Ilmu Hadis, bahwa ada lima metode yang digunakan Rasulullah untuk
menjelaskan Al-Qur`an sebagai berikut :[12]
1.
Bayan Taqrir
Bayan Taqrir ialah mengkonfirmasi makna ayat yang sudah jelas maknanya
dengan hadis. Bayan taqrir bukan kapasitasnya untuk menguatkan ayat Al-Qur`an,
karena Al-Qur`an memiliki kebenaran yang cukup kuat. Hadis hanya bersifat
konfrmatif terhadap makna ayat atau memberitahukan mengenai hukum yang sudah
ada di dalam ayat Al-Qur`an.[13]
Sebagian ulama menyebut bayan taqrir atau bayan ta`kid.
Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan Al-Qur`an[14],
misalnya hadis Nabi yang menjelaskan mengenai penetapan puasa :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ
ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ» (متفق
عليه)[15]
Artinya : “Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Bukairin, dia berkata : telah menveritakan
kepadaku Al-Laits, dari `Uqail, dari Ibn Syihab, dia berkata : Salim bin Abdull
bin Umar memberi kabar kepada bahwa Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya,
dia berkata : aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Apabila Kamu
melihat anak bulan (awal Ramadhan) berpuasalah dan apabila kamu melihat anak
bulan (awal Syawal) berbukalah kamu” (H.R Muttafaq Alaih)
Dalam hal ini hadis
di atas berfungsi sebagai bayan taqrir terhadap ayat Al-Qur`an yang
berbicara mengenai perintah puasa di bulan Ramadhan dalam surat Al-Baqarah 185
:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
Artinya : “(Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulanyang di dalamnya diturunkan, (permulaan) Al-Qur`an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di
antara kamu hadir (di tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur” (Q.S
Al-Baqarah : 185)[16]
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa hadis mempunyai
fungsi sebagai bayan taqrir terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Dengan
memahami bahwa hadis mengkonfirmasi dan memperkuat ayat Al-Qur`an mengenai
kewajiban puasa, yang mana kewajiban puasa tersebut ditandai dengan sudah
terlihatnya hilal awal Ramadhan. Dengan demikian kewajiban puasa tersebut jelas
baik dari segi awal pelaksanaannya dan berkahirnya kewajiban puasa
tersebut.
2.
Bayan Tafsir
Bayan tafsir
adalah penjelasan suatu nash baik dari segi Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah yang dipandang masih samar sehingga
sulit menerapkannya. Oleh karena
itu hakekat dari bayan tafsir
itu ialah suatu penjelasan terhadap nash yang lazim disebut dengan istilah bayan
tafsir nushush. Kata nushush merupakan
bentuk jamak dari nash yang berarti perkataan yang dinashkan.[17] Maksudnya
nash-nash yang dijadikan dalil dalam penerapan hukum di dalam kitab Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul.[18]
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan bayan tafsir
nushush adalah penjelasan dan penafsiran atas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis
Rasul yang lafaznya dipandang masih samar agar dapat diterapkan dalam
menetapkan hukum
Penafsiran atau perincian yang didatangkan oleh hadis
merupakan penjelasan maksud terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur`an.
Karena sebenarnya Allah SWT telah memberikan kepada Rasul-Nya otoritas untuk
menjelaskan nash-nash Al-Qur`an melalui firman-Nya berkenaan dengannya :[19]
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan” (Q.S An-Nahl : 44)[20]
Menurut Faturrahman Djamil fungsi
ini merupakan fungsi yang paling dominan, misalnya hadis-hadis yang berhubungan
dengan tata cara salat, zakat, puasa, dan haji. Praktik Rasul merupakan
penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat Al-Qur`an yang bersifat mujmal.[21]
Hadis memberikan penjelasan secara terperinci pada
ayat-ayat Al-Qur`an, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sehingga
ulama menyebutnya bayan tafsir.[22]
Contoh bahwa hadis berfungsi sebagai bayan tafsir terhadap Al-Qur`an
adalah sebagai berikut :
....وَصَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.... (رواه البخاري)[23]
Artinya : “Dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melaksanakan
salat” (H.R Bukhari)
Hadis di atas berfungsi untuk menjelaskan tata
cara pelaksanaan salat yang kewajibannya telah disampaikan melalui Al-Qur`an
yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 43 :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “Dan dirikanlah salat dan bayarkanlah zakat
dan rukuklah bersama orang yang rukuk” (Q.S Al-Baqarah : 43)
Secara fi`li (hadis fi`li) Nabi SAW, mendemosntrasikan tata cara pelaksanaan salat
di hadapan para sahabat, mulai dari yang sekecil-kecilnya, seperti kapan dan cara
mengangkat tangan ketika bertakbir, sampai kepada hal-hal yang yang harus
dilakukan dan merupakan rukun dalam pelaksanaan salat, seperti membaca surat Al-Fatihah,
sujud, rukuk, serta jumlah rakaat rakaat masing-masing salat dan sebagainya.[24]
3.
Bayan Takhsis
Selain bersifat
umum mujmal (global), Al-Qur`an
juga memiliki ayat-ayat yang bersifat
umum, dari sini fungsi sunnah adalah mengkususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah
kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan,
sedangkan pada bagian takhsish ini di samping sunnah sebagai bayan, juga antara Al-Qur`an
dan sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.[25]
Dalam konteks keumuman suatu ayat ini ialah kalimat yang
mengandung makna yang mencakup kepada semua jenis dan nau` (macam) yang
dapat ditampung oleh makna ayat. Misalnya kalimat al-insan, kata ini
bermakna umum karena maknanya mencakup semua jenis manusia, tanpa ada petunjuk
manusia mana yang dimaksud oleh kata tersebut.[26]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis juga berfungsi
sebagai takhsis terhadap lafaz-lafaz ayat yang umum. Meskipun hampir
mirip dengan fungsi hadis sebagai tafshil namun sebenarnya ada perbedaan
yang membuat antara tafshil dan takhsis ini sangat berbeda dalam
aplikasinya sebagai bayan terhadap Al-Qur`an.
Sebagai contoh takhsis hadis terhadap Al-Qur`an di
antaranya :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ
الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ
وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا» (رواه البخاري)[27]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah
mengkabarkan kepada kami Malik, dari Abu Az-Zinaad, dari `Araj, dari Abi
Hurairah RA : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : tidak boleh seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan `ammah (saudara bapaknya), dan
seorang wanita dengan khallah (saudara ibunya)” (H.R Bukhari)
Hadis di atas merupakan salah satu contoh bayan
takhsis terhadap keumuman ayat Al-Qur`an tentang kebolehan poligami yang
terdapat dalam surat An-Nisa` ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا (3)
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya” (Q.S An-Nisa` : 3)
Dapat dipahami bahwa hadis sebagai
takhsis terhadap Al-Qur`an dari contoh di atas adalah bahwa dalam surat
An-Nisa` ayat 3 berbica mengenai adanya indikasi kebolehan untuk berpoligami.
Dalam ayat tersebut tampak bahwa poligami di atas bersifat umum dengan memahami
boleh berpoligami dengan wanita siapa saja yang bukan mahram. Namun, hadis
mengkhususkan keumuman ayat tersebut dengan melarang untuk memadu (berpoligami)
antara seorang wanita dengan `ammah (saudara bapaknya) ataupun khallah
(saudara ibunya).
4.
Bayan Taqyid
Salah satu yang menyebabkan sulitnya memahami ayat Al-Qur`an
dikarenakan sifatnya yang mutlak atau absolut. Maksudnya ialah makna yang
terkandung di dalam ayat itu tidak dibatasi oleh syarat, sifat, batas akhir dan
sebagainya.
Dengan keterangan di atas semakin jelas bahwa makna
mutlak itu adalah makna hakikat. Makna hakikat itu hanya satu, tetapi untuk
menentukan mana yang satu dari sekian banyak jenis-jenis yang dicakupnya itu
tidak ada penjelasan. Semua satuan yang dicakupnya itu memiliki kesempatan yang
sama untuk menjadi makna hakikat. Apabila ditentukan satu di antaranya maka
dengan sendirinya satuan yang lain keluar dari cakupannya ayat tersebut.[28]
Dengan demikian hal yang dapat dipahami adalah, hadis
diperlukan untuk memahami ayat-ayat dalam Al-Qur`an, khususnya dalam kemutlakan
ayat dalam konteks ini. Sehingga fungsi hadis dalam membatasi ayat-ayat yang
mutlak disebut dengan bayan taqyid. Mentaqyid yang mutlaq
artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Salah satu contoh fungsi hadis sebagai bayan taqyid terhadap
Al-Qur`an adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Laki-Laki ayng mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Pemotongan tangan pencuri dalam
ayat di atas secara mutlak nama tangan, tanpa dijelaskan batas tangan yang
harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan
mutlak meliputi hasta dari bahu, pundak, lengan, dan sampai telapak tangan.
Selain itu pencuri di atas adalah mutlak semua pencuri tanpa ada sifat yang
menjelaskan pencurian yang semacam apa yang dipotong tangan.
Pembatasan itu baru dijelaskan
dengan hadis :
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَهَارُونُ بْنُ
سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى، وَاللَّفْظُ لِهَارُونَ،
وَأَحْمَدَ، قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ الْآخَرَانِ:
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مَخْرَمَةُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سُلَيْمَانَ
بْنِ يَسَارٍ، عَنْ عَمْرَةَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ، تُحَدِّثُ، أَنَّهَا
سَمِعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا تُقْطَعُ
الْيَدُ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَمَا فَوْقَهُ» (رواه مسلم)[29]
Artinya : Telah menceritakan kepadaku Abu
Thahir, dan Harun bin Sa`id Ailiyu, dan Ahmad bin Isa, dan lafaz dari Harun dan
Ahmad, telah berkata Abu Thahir : Telah mengkabarkan kepada kami, dan berkata
dua orang yang lain : telah menceritakan kepada kami Ibn Wahab, telah
mengkabarkan kepadaku Makhramah dari Ayahnya, dari Sulaiman bin Yasar, dari
`Amrah, sesungghuhnya dia telah mendengar Aisyah menceritakan, sesungguhnya
Aisyah telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jangan engkau potong tangan
(pencuri) kecuali pada seperempat dinar atau lebih” (H.R Muslim)
وَقَالَ: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ فِي القَطْعِ الكَفَّيْنِ،
إِنَّمَا هُوَ الوَجْهُ وَالكَفَّانِ «، يَعْنِي التَّيَمُّمَ، » هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ "(رواه الترمذي)[30]
Artinya : “ Dan firman Allah :
(pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan keduanya), maka
sunnah pada potong kedua telapak tangan yaitu hanya satu bagian, dan dua
telapak tangan yaitu tayammum”. Ini hadis hasan shahih (H.R At-Turmudzi)
Kedua Hadis di atas menjelaskan kemutlakkan ayat pada surat
Al- Maidah ayat 38 yang tidak menjelaskan batasannya, maka kedua hadis di atas,
yang pertama menjelaskan ukuran yang dicuri sehingga berlakunya hukuman potong
tangan. Dan hadis kedua
menjelaskan batasan tangan
yang akan dipotong, yaitu hingga pergelangan
tangan dari salah satu tangan.
5.
Bayan Nasikh
Pada dasarnya nasikh lebih populer dalam bidang ilmu
ushul fiqh yang mana nasikh tersebut didefinisikan dengan pembatan pemberlakuan
hukum syari` dengan dalil yang datang belakangan dari hukum-hukum yang
sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau
secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau pun pembatalan
sebagian saja karena suatu kemashlahatan yang menghendakinya, atau nasikh ialah
menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang
terdahulu.[31]
Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan
dalam Al-Qur`an. Menurut ulama Hanafiyah dengan syarat hadis mutawatir atau
masyhur.[32]
Sedangkan sebagaimana yang penulis kutip dari buku Studi Ilmu-ilmu Hadis
yang ditulis oleh A. Rahman Ritonga bahwa para ulama sepakat membolehkan hadis
yang mutawattir untuk menasakh Al-Qur`an, karena hadis mutawattir memiliki
kebenaran yang qath`i (pasti), setara dengan Al-Qur`an. Dalil yang
kekuatannya setara dengan ayat dapat menasikhkan ayat tersebut.[33]
Hal ini juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Abdul Wahab Khallaf bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash
yang sejajar kekuatannya atau lebih kuat daripadanya. Sehingga beradasarkan
prinsip umum tersebut selain nash-nash Al-Qur`an yang dapat menasikhkan satu
sama lain terkadang ayat Al-Qur`an juga dinasakhkan dengan hadis yang mutawattir.[34]
Hal ini dikarenakan dari segi wurudnya antara Al-Qur`an dan hadis mutawattir
adalah qath`i al-wurud.
Salah satu contoh hadis mensakhkan hukum yang terdapat
dalam ayat Al-Qur`an adalah :
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غُنْمٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ خَارِجَةَ، قَالَ: خَطَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ
أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»(رواه النسائي)[35]
Artinya : “Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id, dia berkata : telah menceritakan
kepada kami Abi Awanah, dari Qatadah, dari Syahri bin Hausyab, dari Abdurrahman
bin Ghunmi, dari Amr bin Khaarijah, dia berkata : Rasulullah berkhutbah dan
beliau bersabda: Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai
hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris. (H.R An-Nasa`i)
Hadis di atas mensakhkan
kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al-Baqarh ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا
عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Sedangkan yang menjadi
pertentangan dalam permasalahan ini adalah ketika hadis ahad yang menasakh ayat
Al-Qur`an, maka ada beberapa pendapat, di antaranya :
Pendapat yang membolehkan adalah
jumhur ulama dengan alasan : pertma, bahwa nasikh hanya sekedar
penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum. Masa berlaku hukum bukan
sesuatu yang qath`i sebab hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan
situasi dan tempat. Kedua, adanya ayat Al-Qur`an yang mengindikasikan
bahwa antara Al-Qur`an dan hadis memiliki kesetaraan sehingga hadis ahad
dianggap dapat menasakhkan ayat Al-Qur`an, hal ini sebagaimana yang terdapat
dalam surat An-Najm ayat 3-4. Ketiga, adanya ayat 80 surat An-Nisa` yang
menyatakan keseimbangan mentaati Allah dengan mentaati Rasul-Nya. Jika ketaatan
kepada Allah setara dengan mentaati Rasul-Nya, maka hadis boleh menasikh
Al-Qur`an dan sebaliknya.
Sedangkan ulama yang tidak
menerima hadis ahad sebagai penasakh terhadap Al-Qur`an beraegumen dengan
beberapa alasan yaitu : Pertama, Para ulama sepakat bahwa Al-Qur`an
dilihat dari segi kebenarannyasebagai yang bersumber dari Allah dan bersifat qath`i,
sedangkan hadis ahad dilihat dari segi kebenarannya sebagai yang bersumber
dari Nabi bersifat zhanni. Kedua, Adanya indikasi yang terdapat dalam
surat Al-Baqarah ayat 106 bahwa penasikh atau pengganti harus lebih kuat atau
minimal sama dengan ayat yang dinasikh atau diganti. Sedangkan dari segi wurud
hadis ahad tidak setara dengan Al-Qur`an.[36]
C. Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Secara Mandiri
Dalam kamus bahasa Arab, kemandirian
diistilahkan dengan istiqlal, secara bahasa, sama artinya dengan
merdeka, bebas, dan tidak terikat. Istilah istiqlal al-hadis sebagai
sumber hukum adalah kemandirian hadis sebagi sumber dalam menetapkan hukum
baru. Kemandirianlah hadis yang dimaksud ialah hadis menetapkan hukum yang
belum ditetapkan oleh Al-Qur`an. Hal ini baru terjadi apabila hukum yang
diambil dari hadis itu sama sekali tidak tersentuh oleh ayat-ayat Allah baik
secara eksplisit atau implisit. Apabila hukum yang diambil dari hadis sudah
dibicarakan oleh Al-Qur`an, maka sumber hukum itu bukanlah dari hadis melainkan
dari Al-Qur`an. Hadis dalam hal ini hanya sekedar menjelaskan hukum yang ada
dalam ayat dengan berbagai metode di atas.[37]
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa sesuatu
hal yang perlu diingat bahwasanya ijtihad Rasulullah mengenai pembentukan hukum
Islam. asasnya adalah Al-Qur`an dan ruh tasyri` dan dasar-dasarnya yang
tersebar di dalam dirinya. Dalam pembentukan hukum Islam, beliau bersandar
kepada qiyas atas apa yang terdapat di dalam Al-Qur`an, atau kepada penerapan
prinsip-prinsip umum bagi pembentukan hukum Islam. dengan demikian acuan dari
hukum-hukum sunnah adalah kepada hukum-hukum Al-Qur`an.[38]
Dalam beberapa literatur dapat dilihat bahwa dalam pembahasan ini ulama
berbeda pendapat mengenai fungsi hadis sebagai sumber hukum mandiri. Para ulama dalam menanggapi masalah ini, terbagi menjadi
dua kelompok, pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sunnah mempunyai
kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, baik sunnah yang berfungsi sebagai
penjelas terhadap al-Qur`an maupun sunnah yang berfungsi sebagai penetap dan
pembentuk hukum, meskipun tidak ada dalil yang menjelaskannya di dalam al-Qur`an.
Kedua,
ulama yang berpendapat bahwa hadis tidak mempunyai kewenangan
didalam menetapkan suatu hukum,
kecuali ada dalilnya dalam al-Qur`an. Ini berarti mustahil bagi Rasul untuk melakukan
suatu perbuatan syari` yang tidak berdasarkan kepada
al-Qur`an.
Kelompok
yang menyetujui mendasarkan
pendapatnya pada ismah (keterpeliharaan nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syari`at)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya
kewenangan kemandirian Nabi SAW untuk ditaati. Selain itu, kelompok ini juga
berargumen dengan adanya kewajiban untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam firman-Nya surat An-Nisa` ayat
80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظً
Artinya : ”Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah
Ayat ini menegaskan
bahwa mentaati Rasul adalah identik dengan mentaati Allah. Di samping itu
sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7 :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : ”Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu terimalah
dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah”.
Allah telah
memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya dengan memberikan sesuatu yang harus
ditaati dan tidak boleh didurhakai yaitu sunnah yang beliau bawa dan tidak terdapat
dalam Al-Qur`an.[39]
Ibn al-Qayyim
mengatakan : sunnah merupakan tambahan dari apa yang belum dijelaskan Al-Qur`an
merupakan pensyari`atan dari Nabi SAW. Yang harus ditaati dan tidak dihalalkan
menduharkainya. Hal itu tidaklah merupakan sikap mendahului Al-Qur`an. Tetapi
justru merupakan wujud taat kepada Rasulullah SAW yang Allah SWT perintahkan.
Seandainya berkenaan dengan ini Rasulullah tidak ditaati, maka ketaatan kepada
beliau tidak ada artinya sama sekali. Dan gugurlah ketaatan khusus terhadap
yang ada dalam Al-Qur`an, tidak berkenaan dengan hukum tambahan dan beliau
juga, maka tidak ada ketaatan khusus untuk beliau.[40]
Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Innal hukm illa
lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-
Qur`an),
ketika hendak menetapkan hukum. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sunnah
Rasul tidak lain hanyalah sekedar penjelasan terhadap tuntunan yang diterima
dari Allah SWT, sebagaimana penjelasan beliau tentang tata cara salat, ketentuan
hukum jual beli serta hukum syara` yang lainnya.
Ketentuan-ketentuan hukum itu berlaku secara keseluruhan telah ada di dalam
ayat Al-Qur`an baik secara global maupun secara rinci. Adapun firman Allah yang
menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah saw seperti dalam Q.S. An-Nisa`: 80 yang
dijadikan dasar bagi ulama yang mengakui atas kemandirian sunnah, merupakan
kewajiban untuk mentaati segala penjelasan dan semua keterangannya.[41]
Kalau persoalannya
hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya
mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi sunnah terhadap Al-Qur`an didefinisikan
sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia
merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya
bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul SAW melarang seorang suami memadu istrinya
dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda
dengan nash ayat An-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut
adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut. Tentu,
jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Qur`an
yang bersifat qathi`iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang
berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy
al-wurud. Di sini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali
dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits,
menyatakan bahwa “Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang
luas berdasarkan pada Al-Qur`an terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka
menemukan dalam tumpukan riwayat (hadis) yang sejalan dengan Al-Qur`an, mereka
menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Qur`an lebih
utama untuk diikuti”.
Pendapat di atas
tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqh. Yang menerapkan secara utuh
hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan
membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak
dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak
disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa
hadis dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Qur`an, selama
terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut seperti adanya pengamalan
penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis yang dimaksud, atau dengan
adanya ijma` ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka,
hadis melarang memadu seorang wanita dengan bibinya haram hukumnya, walaupun
tidak sejalan dengan lahir teks ayat surat An-Nisa` ayat 24. Imam Syafi`i yang
mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela
sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat
ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Amlik yang lebih moderat. Menurutnya, sunnah dalam berbagai ragamnya
boleh saja berbeda dengan Al-Qur`an, baik dalam bentuk pengecualian maupun
penambahan terhadap kandungan Al-Qur`an. Bukankah Allah sendiri telah
mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digaris
bawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh
ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik
segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan
kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Qur`an) dan
mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).[42]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas maka secara keseluruhan dapat
disimpulkan :
1.
Bahwa yang dimaksud dengan sumber ajaran adalah tempat
asal ajaran tersebut. Yang dalam hal ini dibicarakan adalah sumber ajaran
Islam. dan salah satu sumber ajaran Islam adalah hadis. Hal ini dikuatkan
dengan beberapa ayat Al-Qur`an, hadis Nabi, serta Ijma` yang menyatakan bahwa
hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur`an.
2.
Dalam kedudukannya sebagai sumber ajaran maka hadis
berfungsi sebagai bayan terhadap Al-Qur`an yang mana fungsi itu terdiri
dari ; Bayan taqrir, bayan tafsir, bayan takhsis, bayan taqyid, dan bayan
nasakh. Yang maana masing-masing bayan berfungsi sebagai penguraian
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an.
3.
Dalam hal hadis sebagai sumber hukum mandiri tidak semua
ulama menyepatinya, hal ini dikarenakan terhadap pemahaman mereka yang berbeda
serta dengan argumen yang berbeda pula. Sehingga dalam hal ini terdapat dua
kelompok, yaitu kelompok yang menerima bahwa hadis dapat berfungsi sebagai
sumber hukum mandiri dalam Islam. Kedua, pendapat yang menyatakan meskipun
hadis menetapkan hukum secara mandiri, namun, pada dasarnya itu hanyalah
penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Sehingga mereka tidak menerima bahwa
hadis menjadi sumber hukum mandiri.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk dapat menuliskan makalah lebih baik
kedepannya. Semoga dengan adanya makalah ini juga dapat berguna bagi mahasiswa,
pelajar dan semua kalangan di lingkungan akademisi serta semua pihak untuk
dijadikan bahan bacaan.
[2]Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pusat Bahasa, 2008),
hal. 24
[3]https://www.artikata.com/arti-357356-ajaran.html diakses pada tanggal 18 Oktober 2017
jam 13.45 WIB
[4]Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999), hal. 92-93
[6]Imam Malik, Muwatha`Juz VI, Muhaqqiq : Muhammad Musthafa A`Zhami,
(Emirat : Muasasah Zaid bin SulthanAli Nahyan bin A`mal Al-Khirriyah wa
Al-Insaniyah, 2004), hal. 1323
[10]Shuhudi
Ismail, Hadits
Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal. 1
[12]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 214
[13]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 214
[15]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz
III¸ Muhaqqiq : Muhammad bin Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H),
hal. 25. Lihat Juga Muslim, Shahih Muslim Juz II, Muhaqqiq : Muhammad
Fuadi Abdul Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi), hal. 759
[18]Muhammad Adib
Shalih, Tafsir al-Nushush fi al-Fiqh al-Islamy Juz I, (Beirut:
al-Maktabah al-Islami, 1984), hal.59
[19]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang : Toha Putera Group, 1994), hal. 47
[23]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz
I,..., hal. 128
[25]Relit Nur Edi, ”As-Sunnah (Hadits) Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah”, Vol.6
No.2 ASAS 2014, hal. 137
[27]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz
VII,..., hal. 12
[29]Muslim, Shahih Muslim Juz III, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul
Al-Baqi,..., hal. 1312
[30]At-Tirmdhzi, Sunan
Tirmidhzi Juz I, Muhaqqiq dan Mu`aliq : Ahmad dan Mustafa Adzahabi, (Kairo
: Darul Hadis, 2010), hal. 272
[32]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,..., hal. 21
[33]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 219
[35]An-Nasa`i, Sunan Sughra li An-Nas`i Juz 6, Muhaqqiq : Abdul fatah
Abu Ghaddah, (Hilbi : Maktabah Matbu`at Al-Islamiyah, 1986), Cetakan Kedua,
hal. 247
[37]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 222
[39]Ahmad Umar Hasyim. Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. (t.tp.Maktabah
Gharib.t.t.), hal.35
[40]Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 34
[41]Ahmad Umar Hasyim. Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha,..., hal.35
[42]Relit Nur Edi, ”As-Sunnah (Hadits) Suatu Kajian Aliran Ingkar
Sunnah”,..., hal. 140-141
Bantu share ya, semoga tulisan-tulisannya bermanfaat :)
ReplyDelete