Wednesday, January 16, 2019

ILMU HADITS (FUNGSI HADITS DALAM AJARAN ISLAM)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna ajarannya diperuntukan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagai agama, Islam mempunyai sumber ajaran. Sumber ajaran Islam adalah asal atau tempat ajaran Islam itu diambil sebagai sumber mengindikasikan makna bahwa ajaran Islam berasal dari suatu yang dapat digali dan dipergunakan untuk kepentingan operasionalisasi ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam. Setiap prilaku dan tindakan umat Islam baik secara individu maupun kelompok harus dilakukan berdasarkan sumber tersebut. Oleh karena itu, sumber ajaran Islam berfungsi pula sebagai dasar pokok ajaran Islam. Sebagai dasar, maka sumber itu menjadi landasan semua prilaku dan tindakan umat Islam sekaligus sebagai referensi tempat orientasi dan konsulitasi serta tolak ukurnya.
Sebagaimana yang disepakati oleh pakar-pakar hukum Islam bahwa sumber pertama dalam Islam adalah Al-Qur`an dan kemudian hadis Nabi. Penetapan hadis Nabi sebagai sumber hukum kedua dalam Islam ini ditetapkan berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, Ijma` bahakan dalil rasional.
Sebagaimana yang diketahui pada masa Nabi, bahwa Al-Qur`an merupakan sumber yang dipegang oleh para sahabat dan Nabi sebagai penjelas Al-Qur`an melalui sabda-sabdanya. Dengan demikian hadis Nabi memiliki fungsi guna untuk memberikan pemahaman terhadap Al-Qur`an. Namun, dalam perkembangannya para ulama mencoba merumuskan fungsi hadis dalam ajaran Islam ini dengan membagi fungsi hadis tersebut ke dalam beberapa bentuk.
Dengan demikian melalui tulisan ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan mengenai fungsi hadis dalam ajaran Islam. yang akan penulis paparkan pada bab selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mempermudah penulis dalam menyusun makalah ini, maka ada beberapa masalah yang hendak penulis bahas dalam makalah ini, diantaranya :
1.      Pengertian Sumber Ajaran
2.      Kedudukan Hadis Sebagai Bayan Terhadap Al-Qur`an
3.      Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Secara Mandiri



BAB II
FUNGSI HADIS DALAM AJARAN ISLAM
A.    Pengertian Sumber Ajaran
Sumber merupakan pengalihan makna dari bahasa Arab “mashdar” yang berarti “asal dari sesuatu atau tempat munculnya sesuatu”. Sebagai contoh : sumber air adalah tempat muncul, asal atau datangnya air. Sumber dalam bahasa Indonesia diartikan dengan tempat keluarnya sesuatu atau sumber keluar air (mata air).[1]
Sedangkan untuk pengertian ajaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan dalam bentuk kata ajaran, melainkan disajikan dalam kata baku “ajar” yang mana kata tersebut bermakna petunjuk yg diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut);[2]. Namun, dapat ditemui dalam Kamus Online bahwa ajaran bermakna segala sesuatu yg diajarkan; nasihat; petuah; petunjuk: ia senantiasa memegang teguh - orang tuanya; paham: - terlarang;.[3]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sumber ajaran adalah tempat atau asal munculnya sesuatu yang diajarkan kepada orang banyak. Namun, dalam hal ini yang dimaksud dengan sumber ajaran di sini adalah sumber ajaran Islam. sehingga dapat kita pahami bahwa sumber ajaran Islam adalah asal munculnya atau tempat mengambil segala ajaran yang berkaitan dengan Agama Islam.
Mengenai sumber ajaran dalam Islam para ulama sepakat bahwa Al-Qur`an dan hadis merupakan sumber utama dalam Islam. Al-Qur`an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan sumber utama ajaran Islam. di dalamnya terdapat berbagai aturan menyangkut aqidah, akhlak dan hukum. Al-Qur`an hanya mengatur secara garis besar mengenai berbagai aturan itu. Eksistensinya tidak diragukan lagi oleh setiap kaum muslimin. Artinya Al-Qur`an adalah qath`i al-tsubut.
Nabi Muhammad sebagai penyampai ajaran Al-Qur`an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya. Dengan demikian dia (Nabi) adalah sebagai penjelas, dan pelaksana dari apa yang ditulis dalam Al-Qur`an. Dari sini dapat diketahui bahwa hadis (sunnah) baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi, merupakan sumber ajaran dalam Islam kedua setelah Al-Qur`an. Hal ini sudah disepakati oleh seluruh umat Islam.[4]
Dengan demikian secara hirarki hadis menempati tempat kedua setelah Al-Qur`an sebagai sumber ajaran Islam. meskipun demikian Al-Qur`an dan hadis (Sunnah) merupakan sumber syari`at yang saling berkaitan. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari`at kecuali dengan merujuk kepada keduanya sekaligus, dan seorang mujtahid atau orang alim tidak mungkin mengabaikan salah satunya.
Banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang mengindikasikan bahwa hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur`an. Salah sataunya sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa` 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Menurut Ibn Qayyim sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad `Ajaj Al-Khatib bahwa ayat di atas menjelaskan Allah SWT memerintahkan taat kepada-Nya dan Rasul-Nya. Dia (Allah) mengulang kata kerjanya, untuk menunjukkan bahwa taat kepada Rasul wajin secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah taat kepada Al-Qur`an. Bahkan apabila Rasul memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada di dalam Al-Qur`an maupun tidak.[5]
Selain ayat Al-Qur`an bahkan Nabi sendiri memproklamirkan bahwa hadis memang sebagai sumber ajaran Islam melalui hadis :
مَالِكٌ؛ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مَالِكٌ)[6]
Artinya : “Malik : sesungguhnya telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah bersabda : Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu kitabullah dan Sunnahku” (H.R Malik)

 Serta adanya ijma` umat Islam telah bersepakat bersama untuk megamalkan hadis. Bahkan hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yang terpecercaya. Kamum muslimin menerima hadis seperti mereka menerima Al-Qur`an karim, karena berdasarkan kesaksian  dari Allah, hadis merupakan salah satu sumber syari`at.[7]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis dari segi keberadaannya wajib diamalkan dan menjadi sumber ajaran dalam Islam. hadis berada pada posisi setelah Al-Qur`an jika dilihar dari segi kekuatannya. Karena Al-Qur`an yang bersifat qath`i baik secara global maupun rinci. Sedangkan hadis berkualitas qath`i seara global saja dan tidak secara rinci. Di samping itu Al-Qur`an merupakan pokok sedangkan hadis merupakan cabang karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dan tidak diragukan lagi bahwa pokok didahulukan dan uraian diakhirkan.
Sedangkan sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa hadis merupakan cabang yang menjelaskan terhadap poko (Al-Qur`an). Maka untuk itu akan dijelaskan bagaimana kedudukan hadis sebagai bayan (penjelas) terhadap Al-Qur`an.
B.     Kedudukan Hadis Sebagai Bayan Terhadap Al-Qur`an
Sebagian besar umat Islam sepakat menetapkan sumber ajaran Islam itu adalah Al-Qur`an, sunnah (hadis) dan ijtihad. sunnah (hadis) yang mempunyai pengertian menurut ulama hadis sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi rasul maupun sesudah menjadi rasul,[8] inilah yang menjadikan kedudukan sunnah (hadis) menjadi dasar dalam ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur`an. Kedudukan sunnah (hadis) dalam sumber ajaran Islam sangat strategis bagi kehidupan dan penghidupan umat. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada sumber hukum selain Al-Qur`an dan Sunnah. Di dalam Kitabullah terdapat pokok-pokok yang umum bagi hukum-hukum syari`at, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya dan pencabangannya.[9] Maka dengan demikian dijadikanlah Sunnah (hadis) sebagai penjabar (bayan) dari ayat-ayat Al-Qur`an.[10]  
Menurut Muhammad `Ajaj Al-Khatib bahwa secara global, sunnah sejalan dengan Al-Qur`an, menjelaskan yang muhbam, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya.[11] Dengan demikian fungsi sunnah sangat kuat dalam hal sebagai bayan terhadap Al-Qur`an. Sehingga sunnah menempati posisi sebagai sumber ajaran dalam Islam yang kedua setelah Al-Qur`an.
Menurut A. Rahman Ritonga dalam bukunya Studi Ilmu-Ilmu Hadis, bahwa ada lima metode yang digunakan Rasulullah untuk menjelaskan Al-Qur`an sebagai berikut :[12]
1.      Bayan Taqrir
Bayan Taqrir ialah mengkonfirmasi makna ayat yang sudah jelas maknanya dengan hadis. Bayan taqrir bukan kapasitasnya untuk menguatkan ayat Al-Qur`an, karena Al-Qur`an memiliki kebenaran yang cukup kuat. Hadis hanya bersifat konfrmatif terhadap makna ayat atau memberitahukan mengenai hukum yang sudah ada di dalam ayat Al-Qur`an.[13]
Sebagian ulama menyebut bayan taqrir atau bayan ta`kid. Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan Al-Qur`an[14], misalnya hadis Nabi yang menjelaskan mengenai penetapan puasa :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ» (متفق عليه)[15]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukairin, dia berkata : telah menveritakan kepadaku Al-Laits, dari `Uqail, dari Ibn Syihab, dia berkata : Salim bin Abdull bin Umar memberi kabar kepada bahwa Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya, dia berkata : aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Apabila Kamu melihat anak bulan (awal Ramadhan) berpuasalah dan apabila kamu melihat anak bulan (awal Syawal) berbukalah kamu” (H.R Muttafaq Alaih)

Dalam hal ini hadis di atas berfungsi sebagai bayan taqrir terhadap ayat Al-Qur`an yang berbicara mengenai perintah puasa di bulan Ramadhan dalam surat Al-Baqarah 185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
Artinya : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulanyang di dalamnya diturunkan, (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur” (Q.S Al-Baqarah : 185)[16]

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa hadis mempunyai fungsi sebagai bayan taqrir terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Dengan memahami bahwa hadis mengkonfirmasi dan memperkuat ayat Al-Qur`an mengenai kewajiban puasa, yang mana kewajiban puasa tersebut ditandai dengan sudah terlihatnya hilal awal Ramadhan. Dengan demikian kewajiban puasa tersebut jelas baik dari segi awal pelaksanaannya dan berkahirnya kewajiban puasa tersebut. 
2.      Bayan Tafsir
Bayan tafsir adalah penjelasan suatu nash baik dari segi Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah yang dipandang masih samar sehingga sulit menerapkannya. Oleh karena itu hakekat dari bayan tafsir itu ialah suatu penjelasan terhadap nash yang lazim disebut dengan istilah bayan tafsir nushush. Kata nushush merupakan bentuk jamak dari nash yang berarti perkataan yang dinashkan.[17] Maksudnya nash-nash yang dijadikan dalil dalam penerapan hukum di dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[18]
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan bayan tafsir nushush adalah penjelasan dan penafsiran atas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Rasul yang lafaznya dipandang masih samar agar dapat diterapkan dalam menetapkan hukum
Penafsiran atau perincian yang didatangkan oleh hadis merupakan penjelasan maksud terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur`an. Karena sebenarnya Allah SWT telah memberikan kepada Rasul-Nya otoritas untuk menjelaskan nash-nash Al-Qur`an melalui firman-Nya berkenaan dengannya :[19]
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S An-Nahl : 44)[20]

Menurut Faturrahman Djamil fungsi ini merupakan fungsi yang paling dominan, misalnya hadis-hadis yang berhubungan dengan tata cara salat, zakat, puasa, dan haji. Praktik Rasul merupakan penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat Al-Qur`an yang bersifat mujmal.[21]
Hadis memberikan penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-Qur`an, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sehingga ulama menyebutnya bayan tafsir.[22] Contoh bahwa hadis berfungsi sebagai bayan tafsir terhadap Al-Qur`an adalah sebagai berikut :
....وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.... (رواه البخاري)[23]
Artinya : “Dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melaksanakan salat” (H.R Bukhari)

Hadis di atas berfungsi untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan salat yang kewajibannya telah disampaikan melalui Al-Qur`an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 43 :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “Dan dirikanlah salat dan bayarkanlah zakat dan rukuklah bersama orang yang rukuk” (Q.S Al-Baqarah : 43)

Secara fi`li (hadis fi`li) Nabi SAW, mendemosntrasikan tata cara pelaksanaan salat di hadapan para sahabat, mulai dari yang sekecil-kecilnya, seperti kapan dan cara mengangkat tangan ketika bertakbir, sampai kepada hal-hal yang yang harus dilakukan dan merupakan rukun dalam pelaksanaan salat, seperti membaca surat Al-Fatihah, sujud, rukuk, serta jumlah rakaat rakaat masing-masing salat dan sebagainya.[24]
3.      Bayan Takhsis
Selain bersifat umum mujmal (global), Al-Qur`an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat umum, dari sini fungsi sunnah adalah mengkususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bagian takhsish ini di samping sunnah sebagai bayan, juga antara Al-Qur`an dan sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.[25]
Dalam konteks keumuman suatu ayat ini ialah kalimat yang mengandung makna yang mencakup kepada semua jenis dan nau` (macam) yang dapat ditampung oleh makna ayat. Misalnya kalimat al-insan, kata ini bermakna umum karena maknanya mencakup semua jenis manusia, tanpa ada petunjuk manusia mana yang dimaksud oleh kata tersebut.[26]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis juga berfungsi sebagai takhsis terhadap lafaz-lafaz ayat yang umum. Meskipun hampir mirip dengan fungsi hadis sebagai tafshil namun sebenarnya ada perbedaan yang membuat antara tafshil dan takhsis ini sangat berbeda dalam aplikasinya sebagai bayan terhadap Al-Qur`an.
Sebagai contoh takhsis hadis terhadap Al-Qur`an di antaranya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا» (رواه البخاري)[27]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Abu Az-Zinaad, dari `Araj, dari Abi Hurairah RA : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan `ammah (saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan khallah (saudara ibunya)” (H.R Bukhari)

Hadis di atas merupakan salah satu contoh bayan takhsis terhadap keumuman ayat Al-Qur`an tentang kebolehan poligami yang terdapat dalam surat An-Nisa` ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S An-Nisa` : 3)

Dapat dipahami bahwa hadis sebagai takhsis terhadap Al-Qur`an dari contoh di atas adalah bahwa dalam surat An-Nisa` ayat 3 berbica mengenai adanya indikasi kebolehan untuk berpoligami. Dalam ayat tersebut tampak bahwa poligami di atas bersifat umum dengan memahami boleh berpoligami dengan wanita siapa saja yang bukan mahram. Namun, hadis mengkhususkan keumuman ayat tersebut dengan melarang untuk memadu (berpoligami) antara seorang wanita dengan `ammah (saudara bapaknya) ataupun khallah (saudara ibunya).
4.      Bayan Taqyid
Salah satu yang menyebabkan sulitnya memahami ayat Al-Qur`an dikarenakan sifatnya yang mutlak atau absolut. Maksudnya ialah makna yang terkandung di dalam ayat itu tidak dibatasi oleh syarat, sifat, batas akhir dan sebagainya.
Dengan keterangan di atas semakin jelas bahwa makna mutlak itu adalah makna hakikat. Makna hakikat itu hanya satu, tetapi untuk menentukan mana yang satu dari sekian banyak jenis-jenis yang dicakupnya itu tidak ada penjelasan. Semua satuan yang dicakupnya itu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi makna hakikat. Apabila ditentukan satu di antaranya maka dengan sendirinya satuan yang lain keluar dari cakupannya ayat tersebut.[28]
Dengan demikian hal yang dapat dipahami adalah, hadis diperlukan untuk memahami ayat-ayat dalam Al-Qur`an, khususnya dalam kemutlakan ayat dalam konteks ini. Sehingga fungsi hadis dalam membatasi ayat-ayat yang mutlak disebut dengan bayan taqyid. Mentaqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Salah satu contoh fungsi hadis sebagai bayan taqyid terhadap Al-Qur`an adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Laki-Laki ayng mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan, tanpa dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu, pundak, lengan, dan sampai telapak tangan. Selain itu pencuri di atas adalah mutlak semua pencuri tanpa ada sifat yang menjelaskan pencurian yang semacam apa yang dipotong tangan.
Pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadis :
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَهَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى، وَاللَّفْظُ لِهَارُونَ، وَأَحْمَدَ، قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مَخْرَمَةُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ عَمْرَةَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ، تُحَدِّثُ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا تُقْطَعُ الْيَدُ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَمَا فَوْقَهُ» (رواه مسلم)[29]
Artinya : Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir, dan Harun bin Sa`id Ailiyu, dan Ahmad bin Isa, dan lafaz dari Harun dan Ahmad, telah berkata Abu Thahir : Telah mengkabarkan kepada kami, dan berkata dua orang yang lain : telah menceritakan kepada kami Ibn Wahab, telah mengkabarkan kepadaku Makhramah dari Ayahnya, dari Sulaiman bin Yasar, dari `Amrah, sesungghuhnya dia telah mendengar Aisyah menceritakan, sesungguhnya Aisyah telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jangan engkau potong tangan (pencuri) kecuali pada seperempat dinar atau lebih” (H.R Muslim)

وَقَالَ: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ فِي القَطْعِ الكَفَّيْنِ، إِنَّمَا هُوَ الوَجْهُ وَالكَفَّانِ «، يَعْنِي التَّيَمُّمَ، » هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ "(رواه الترمذي)[30]
Artinya : “ Dan firman Allah : (pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan keduanya), maka sunnah pada potong kedua telapak tangan yaitu hanya satu bagian, dan dua telapak tangan yaitu tayammum”. Ini hadis hasan shahih (H.R At-Turmudzi)

Kedua Hadis di atas menjelaskan kemutlakkan ayat pada surat Al- Maidah ayat 38 yang tidak menjelaskan batasannya, maka kedua hadis di atas, yang pertama menjelaskan ukuran yang dicuri sehingga berlakunya hukuman potong tangan. Dan hadis kedua menjelaskan batasan tangan yang akan dipotong, yaitu hingga pergelangan tangan dari salah satu tangan.
5.      Bayan Nasikh
Pada dasarnya nasikh lebih populer dalam bidang ilmu ushul fiqh yang mana nasikh tersebut didefinisikan dengan pembatan pemberlakuan hukum syari` dengan dalil yang datang belakangan dari hukum-hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau pun pembatalan sebagian saja karena suatu kemashlahatan yang menghendakinya, atau nasikh ialah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.[31]
Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-Qur`an. Menurut ulama Hanafiyah dengan syarat hadis mutawatir atau masyhur.[32] Sedangkan sebagaimana yang penulis kutip dari buku Studi Ilmu-ilmu Hadis yang ditulis oleh A. Rahman Ritonga bahwa para ulama sepakat membolehkan hadis yang mutawattir untuk menasakh Al-Qur`an, karena hadis mutawattir memiliki kebenaran yang qath`i (pasti), setara dengan Al-Qur`an. Dalil yang kekuatannya setara dengan ayat dapat menasikhkan ayat tersebut.[33]
Hal ini juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash yang sejajar kekuatannya atau lebih kuat daripadanya. Sehingga beradasarkan prinsip umum tersebut selain nash-nash Al-Qur`an yang dapat menasikhkan satu sama lain terkadang ayat Al-Qur`an juga dinasakhkan dengan hadis yang mutawattir.[34] Hal ini dikarenakan dari segi wurudnya antara Al-Qur`an dan hadis mutawattir adalah qath`i al-wurud.
Salah satu contoh hadis mensakhkan hukum yang terdapat dalam ayat Al-Qur`an adalah :
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غُنْمٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ خَارِجَةَ، قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»(رواه النسائي)[35]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Abi Awanah, dari Qatadah, dari Syahri bin Hausyab, dari Abdurrahman bin Ghunmi, dari Amr bin Khaarijah, dia berkata : Rasulullah berkhutbah dan beliau bersabda: Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris. (H.R An-Nasa`i)

Hadis di atas mensakhkan  kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al-Baqarh ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Sedangkan yang menjadi pertentangan dalam permasalahan ini adalah ketika hadis ahad yang menasakh ayat Al-Qur`an, maka ada beberapa pendapat, di antaranya :
Pendapat yang membolehkan adalah jumhur ulama dengan alasan : pertma, bahwa nasikh hanya sekedar penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum. Masa berlaku hukum bukan sesuatu yang qath`i sebab hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan situasi dan tempat. Kedua, adanya ayat Al-Qur`an yang mengindikasikan bahwa antara Al-Qur`an dan hadis memiliki kesetaraan sehingga hadis ahad dianggap dapat menasakhkan ayat Al-Qur`an, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Najm ayat 3-4. Ketiga, adanya ayat 80 surat An-Nisa` yang menyatakan keseimbangan mentaati Allah dengan mentaati Rasul-Nya. Jika ketaatan kepada Allah setara dengan mentaati Rasul-Nya, maka hadis boleh menasikh Al-Qur`an dan sebaliknya.
Sedangkan ulama yang tidak menerima hadis ahad sebagai penasakh terhadap Al-Qur`an beraegumen dengan beberapa alasan yaitu : Pertama, Para ulama sepakat bahwa Al-Qur`an dilihat dari segi kebenarannyasebagai yang bersumber dari Allah dan bersifat qath`i, sedangkan hadis ahad dilihat dari segi kebenarannya sebagai yang bersumber dari Nabi bersifat zhanni. Kedua, Adanya indikasi yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 bahwa penasikh atau pengganti harus lebih kuat atau minimal sama dengan ayat yang dinasikh atau diganti. Sedangkan dari segi wurud hadis ahad tidak setara dengan Al-Qur`an.[36]
C.    Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Secara Mandiri
Dalam kamus bahasa Arab, kemandirian diistilahkan dengan istiqlal, secara bahasa, sama artinya dengan merdeka, bebas, dan tidak terikat. Istilah istiqlal al-hadis sebagai sumber hukum adalah kemandirian hadis sebagi sumber dalam menetapkan hukum baru. Kemandirianlah hadis yang dimaksud ialah hadis menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur`an. Hal ini baru terjadi apabila hukum yang diambil dari hadis itu sama sekali tidak tersentuh oleh ayat-ayat Allah baik secara eksplisit atau implisit. Apabila hukum yang diambil dari hadis sudah dibicarakan oleh Al-Qur`an, maka sumber hukum itu bukanlah dari hadis melainkan dari Al-Qur`an. Hadis dalam hal ini hanya sekedar menjelaskan hukum yang ada dalam ayat dengan berbagai metode di atas.[37]
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa sesuatu hal yang perlu diingat bahwasanya ijtihad Rasulullah mengenai pembentukan hukum Islam. asasnya adalah Al-Qur`an dan ruh tasyri` dan dasar-dasarnya yang tersebar di dalam dirinya. Dalam pembentukan hukum Islam, beliau bersandar kepada qiyas atas apa yang terdapat di dalam Al-Qur`an, atau kepada penerapan prinsip-prinsip umum bagi pembentukan hukum Islam. dengan demikian acuan dari hukum-hukum sunnah adalah kepada hukum-hukum Al-Qur`an.[38]
Dalam beberapa literatur dapat dilihat bahwa dalam pembahasan ini ulama berbeda pendapat mengenai fungsi hadis sebagai sumber hukum mandiri. Para ulama dalam menanggapi masalah ini, terbagi menjadi dua kelompok, pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, baik sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur`an maupun sunnah yang berfungsi sebagai penetap dan pembentuk hukum, meskipun tidak ada dalil yang menjelaskannya di dalam al-Qur`an. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa hadis tidak mempunyai kewenangan didalam menetapkan suatu hukum, kecuali ada dalilnya dalam al-Qur`an. Ini berarti mustahil bagi Rasul untuk melakukan suatu perbuatan syari` yang tidak berdasarkan kepada al-Qur`an.
Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ismah (keterpeliharaan nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syari`at) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya kewenangan kemandirian Nabi SAW untuk ditaati. Selain itu, kelompok ini juga berargumen dengan adanya kewajiban untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam firman-Nya surat An-Nisa` ayat 80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظً
Artinya : Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah  

Ayat ini menegaskan bahwa mentaati Rasul adalah identik dengan mentaati Allah. Di samping itu sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7 :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : ”Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah”.

Allah telah memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya dengan memberikan sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai yaitu sunnah yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam Al-Qur`an.[39]
Ibn al-Qayyim mengatakan : sunnah merupakan tambahan dari apa yang belum dijelaskan Al-Qur`an merupakan pensyari`atan dari Nabi SAW. Yang harus ditaati dan tidak dihalalkan menduharkainya. Hal itu tidaklah merupakan sikap mendahului Al-Qur`an. Tetapi justru merupakan wujud taat kepada Rasulullah SAW yang Allah SWT perintahkan. Seandainya berkenaan dengan ini Rasulullah tidak ditaati, maka ketaatan kepada beliau tidak ada artinya sama sekali. Dan gugurlah ketaatan khusus terhadap yang ada dalam Al-Qur`an, tidak berkenaan dengan hukum tambahan dan beliau juga, maka tidak ada ketaatan khusus untuk beliau.[40]
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Innal hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al- Qur`an), ketika hendak menetapkan hukum. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sunnah Rasul tidak lain hanyalah sekedar penjelasan terhadap tuntunan yang diterima dari Allah SWT, sebagaimana penjelasan beliau tentang tata cara salat, ketentuan hukum jual beli serta hukum syara` yang lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu berlaku secara keseluruhan telah ada di dalam ayat Al-Qur`an baik secara global maupun secara rinci. Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah saw seperti dalam Q.S. An-Nisa`: 80 yang dijadikan dasar bagi ulama yang mengakui atas kemandirian sunnah, merupakan kewajiban untuk mentaati segala penjelasan dan semua keterangannya.[41]
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi sunnah terhadap Al-Qur`an didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul SAW melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat An-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut. Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Qur`an yang bersifat qathi`iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Di sini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa “Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Qur`an terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadis) yang sejalan dengan Al-Qur`an, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Qur`an lebih utama untuk diikuti”.
Pendapat di atas tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqh. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa hadis dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Qur`an, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis yang dimaksud, atau dengan adanya ijma` ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis melarang memadu seorang wanita dengan bibinya haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat surat An-Nisa` ayat 24. Imam Syafi`i yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Amlik yang lebih moderat.  Menurutnya, sunnah dalam berbagai ragamnya boleh saja berbeda dengan Al-Qur`an, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Qur`an. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digaris bawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Qur`an) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).[42]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas maka secara keseluruhan dapat disimpulkan :
1.      Bahwa yang dimaksud dengan sumber ajaran adalah tempat asal ajaran tersebut. Yang dalam hal ini dibicarakan adalah sumber ajaran Islam. dan salah satu sumber ajaran Islam adalah hadis. Hal ini dikuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur`an, hadis Nabi, serta Ijma` yang menyatakan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur`an.
2.      Dalam kedudukannya sebagai sumber ajaran maka hadis berfungsi sebagai bayan terhadap Al-Qur`an yang mana fungsi itu terdiri dari ; Bayan taqrir, bayan tafsir, bayan takhsis, bayan taqyid, dan bayan nasakh. Yang maana masing-masing bayan berfungsi sebagai penguraian hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an.
3.      Dalam hal hadis sebagai sumber hukum mandiri tidak semua ulama menyepatinya, hal ini dikarenakan terhadap pemahaman mereka yang berbeda serta dengan argumen yang berbeda pula. Sehingga dalam hal ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima bahwa hadis dapat berfungsi sebagai sumber hukum mandiri dalam Islam. Kedua, pendapat yang menyatakan meskipun hadis menetapkan hukum secara mandiri, namun, pada dasarnya itu hanyalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Sehingga mereka tidak menerima bahwa hadis menjadi sumber hukum mandiri.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dapat menuliskan makalah lebih baik kedepannya. Semoga dengan adanya makalah ini juga dapat berguna bagi mahasiswa, pelajar dan semua kalangan di lingkungan akademisi serta semua pihak untuk dijadikan bahan bacaan.


[1]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis, (Yogyakarta : Interpena, 2011), hal. 205
[2]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pusat Bahasa, 2008), hal. 24
[3]https://www.artikata.com/arti-357356-ajaran.html diakses pada tanggal 18 Oktober 2017 jam 13.45 WIB
[4]Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 92-93
[5]Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Beirut : Dar Al-Fikr, 2011), hal. 25
[6]Imam Malik, Muwatha`Juz VI, Muhaqqiq : Muhammad Musthafa A`Zhami, (Emirat : Muasasah Zaid bin SulthanAli Nahyan bin A`mal Al-Khirriyah wa Al-Insaniyah, 2004), hal. 1323
[7]Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 28
[8]Mudatsir, Ilmu Hadits, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 23
[9]Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 31
[10]Shuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal. 1
[11]Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 31
[12]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 214
[13]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 214
[14]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta : Hamzah, 2012), Edisi Kedua, hal. 18-19
[15]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz III¸ Muhaqqiq : Muhammad bin Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H), hal. 25. Lihat Juga Muslim, Shahih Muslim Juz II, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi), hal. 759
[16]Al-Qur`an Karim
[17]Lowes Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah. (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hal. 881
[18]Muhammad Adib Shalih, Tafsir al-Nushush fi al-Fiqh al-Islamy Juz I, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1984), hal.59
[19]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang : Toha Putera Group, 1994), hal. 47
[20]Al-Qur`an Karim
[21]Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 97
[22]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,..., hal. 19
[23]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz I,..., hal. 128
[24]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 71
[25]Relit Nur Edi, ”As-Sunnah (Hadits) Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah”, Vol.6 No.2 ASAS 2014, hal. 137
[26]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 217
[27]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz VII,...,  hal. 12
[28]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 218
[29]Muslim, Shahih Muslim Juz III, Muhaqqiq : Muhammad Fuadi Abdul Al-Baqi,..., hal. 1312
[30]At-Tirmdhzi, Sunan Tirmidhzi Juz I, Muhaqqiq dan Mu`aliq : Ahmad dan Mustafa Adzahabi, (Kairo : Darul Hadis, 2010), hal. 272
[31]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 356
[32]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,..., hal. 21
[33]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 219
[34]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 356
[35]An-Nasa`i, Sunan Sughra li An-Nas`i Juz 6, Muhaqqiq : Abdul fatah Abu Ghaddah, (Hilbi : Maktabah Matbu`at Al-Islamiyah, 1986), Cetakan Kedua, hal. 247
[36]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 220-221
[37]Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 222
[38]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 49
[39]Ahmad Umar Hasyim. Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. (t.tp.Maktabah Gharib.t.t.), hal.35
[40]Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 34
[41]Ahmad Umar Hasyim. Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha,..., hal.35
[42]Relit Nur Edi, ”As-Sunnah (Hadits) Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah”,..., hal. 140-141

1 comment:

  1. Bantu share ya, semoga tulisan-tulisannya bermanfaat :)

    ReplyDelete