PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna, telah
mengatur segala aspek yang beraitan dengan umatnya. Baik itu hal yang
menyangkut aqidah, hukum, akhlak. Semua itu dapat ditelusuri dengan mengkaji
secara mendalam Al-Qur`an dan Sunnah.
Dalam perkembangannya khususnya di bidang
hukum, seorang mujtahid menkaji teks-teks keagamaan tersebut dengan menggunakan
ilmu ushul fiqh. Dengan menggunakan ilmu ushul fiqh tersebut mujtahid dapat
mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur`an maupun sunnah.
Salah satu yang sangat diperhatikan dalam
kajian ushul fiqh ini adalah hal yang berkaitan dengan lafaz dari teks-teks
keagaaman ini. Di antara lafaz yang mendapatkan perhatian besar tersebut adalah
mengenai lafaz amar. Dengan adanya perhatian besar terhadap lafaz amar
tersebut maka terdapat materi khusus yang mebahasa mengenai segala hal yang
terkait dengan lafaz amar dan nahi tersebut. Begitu juga dengan adanya beberapa
pendapat dari kalangan ulama ushul fiqh dalam memahami lafaz amar
tersebut, di antaranya adalah ulama Hanafiyah dnan Syafi`iyyah.
Untuk itu dalam makalah ini penulis akan
menjelaskna beberapa hal yang berkaitan dengan dalalah lafaz amar,
perbedaan ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah terhadap petunjuk lafaz amar,
perbedaan ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah terhadap lafaz-lafaz yang terkait
dengan lafaz amar.
PEMBAHASAN
A. Dilalah Lafaz Amar
Menurut bahasa arab, amar artinya
perintah, menurut istilah amar adalah suatu lafadz yang di dalamnya
menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada
bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa amar itu tidak
hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) amar
saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung
arti perintah. Jadi Amar
merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan.[1]
Amar menurut Abu Zahrah ialah perintah dari
pihak yang lebih tinggi tingkatannya keapda pihak yang lebih rendah. Dalam
bahasa Arab, bentuk amar dengan menggunakan shigat if`al (افعال ) yang berarti “kerjakan” dan litaf`al yang
berarti “hendaklah engkau mengerjakan”. Menurut aslinya, bentuk shigat amar adalah
menunjukkan perintah. Sedangkan jika bentuk sighat amar tersebut
dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah seperti memimbing (irsyad), menakut-nakuti
(tahdid), doa atau penghinaan maka penggunaan sighat amar tersebut
bersifat majaz (kiasan). [2]
Di samping itu Rahmat Syafe’i dalam bukunya
ilmu ushul fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS menyatakan bahwa “Amr adalah lafaz
yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu
pekerjaan”.[3]
Khudari Biek mendefinisikan bahwa amar ialah bentuk (sighat) tertentu
atau yang searti dan dimaksudkan untuk melakukan sesuatu secara pasti disertai
adanya kekuasaan.[4]
Beradasarkan dari beberapa definisi tersebut
dapat kita pahami bahwa amar
merupakan sebuah kata yang menunjukkan perintah dan perintah tersebut datang
dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Menurut Amir Syarifudin bahwa dalam setiap amar
mengandung tiga unsur, yaitu :
a. Yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh,
b. Yang dikenai kata amar atau yang disuruh,
c. Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.[5]
Terkait dengan masalah amar ini, Abdul Wahab
Khallaf mengungkapkan bahwa apabila lafaz yang khusus dalam nash syar`i datang
dalam sighat amar (perintah) atau sighat khabar yang mengandung arti perintah,
maka lafaz itu menunjukkan wajib. Artinya menuntut perbuatan yang diperintahkan
itu atau yang dikhabarkan itu secara penetapan dan pemastian.
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah
(indikator) yang memalingkan sighat perintah dari makna wajib kepada makna
lain, maka shigat amar tersebut dipahami sesuai dengan apa yang
ditunjuki oleh indikator tersebut.[6]
Sebagai contoh sebagaimana firman Allah :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan mereka, pembalasan dari
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (Q.S Al-Maidah : 38)
Dapat diapahami bahwa kata فَاقْطَعُوا merupakan amar yang menunjukkan wajib pemotongan
tangan terhadap pencuri laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan tidak
ditemukannya indikator lain yang menunjukkan pemalingan dari makna wajib kepada
makna yang lain. Sehingga bentuk perintah di sana dipahami merupakan tuntutan
yang wajib.
Adapun beberapa bentuk (shigat) yang
dimiliki amar yang semuanya menuntut dilaksanakannya suatu perbuatan,
yaitu :
1. Fi`il Amar (kata kerja imperatif)
2. Fi`il Mudhari` yang disertai huruf lam yang berfungsi
imperatif
3. Isim Mashdar yang berfungsi sebagai fi`il Amar
4. Ism Fi`il Amar[7]
5. Jumlah Khabariyah
6. Pernyataan yang disertai dengan unsur Amar
7. Pernyataan dengan unsur Al-Fardh
8. Pernyataan dengan unsur Al-Khitabah
9. Pemberitaan bahwa sesuatu perbuatan dijadikan sebagai balasan
atas syarat
10. Pemberitaan bahwa suatu perbuatan itu baik
11. Pemberitaan suatu perbuatan yang dikaitkan dengan suatu
janji.[8]
Selama lafaz amr itu tetap dalam kemuthlaqannya, ia
selalu menunjukkan kepada arti yang haqiqi, yakni wajib, yang memang diciptakan
untuknya dan tidak akan dialihkan kepada arti yang lain, jika tidak ada qarinah
yang mengalihkannya. Di bawah ini penulis akan memaparkan beberapa petunjuk
(dilalah) lafaz amar :[9]
a. Menunjukkan wajib
Dr. Zakariya Al
Bardisy menjelaskan bahwa jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar
menunjukkan wajib suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah
(hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga
ada yang mengatakan bahwa arti pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib
(wajibnya perbuatan yang diperintahkannya).
Contoh :
اُسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا الَّا اِبْلِيْسَ
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut,
yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah
menunjukkan kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian
Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa
suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang
lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).[10]
b. Menunjukkan
anjuran (nadb)
Berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar/suruhan
ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb). Suruhan itu memang adakalanya untuk
suruhan (wajib), seperti salat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb),
seperti salat dluha. Di antara kemestian dan
anjuran yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah). Kesimpulannya, amar tetap mengandung
arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat
qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula,
yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum
sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.[11]
c. Untuk
suruhan bersifat mendidik
Adakalanya shigat amar yang
bersifat untuk mendidik, hal ini sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah
Q.S Al-Baqarah : 282 :
....وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ....
Artinya : “....dan saksikanlah
oleh dua orang saksi....
Dalam ayat ini Allah SWT mendidik
umat untuk mendatangkan dua saksi pada saat berlangsungnya transaksi utang
piutang untuk kemaslahatan mereka. sehingga وَاسْتَشْهِدُوا di sana
meskipun merupakan bentuk shigat amar, namun di sana merupakan bentuk
suruhan yang bersifat mendidik saja.
d. Untuk
hukum ibahah
Jika di dalam Al-Qur`an terdapat
beberapa perintah yang menunjukkan pada hukum mubah, maka hal itu adalah karena
ada dalil-dalil (qarinah) lain. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S
Al-A`raf ayat 31 :
....وَكُلُوا وَاشْرَبُوا....
Artinya : “Makan dan minumlah dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan...
Menurut Abu Zahrah dalam hal ini,
terdapat qarinah lain yang menunjukkan bahwa perintah tersebut bersifat
mubah. Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa secara total perintah di atas
menunjukkan wajib. Sehingga seseorang dilarang tidak makan secara total, karena
akan menyebabkan kematiannya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa secara
parsial perintah tersebut menunjukkan mubah, akan tetapi secara total (kully)
menunjukkan wajib.[12]
e. Untuk
tahdid
Dalam hal Amar berfaidah
untuk tahdid atau menakut-nakuti dapat kita temukan dalam firman Allah
Q.S Ibrahim ayat 30 :
....تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّار
Artinya : “Bersenang-senanglah
kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”.
Meskipun dalam ayat ini digunakan kata Amar, akan
tetapi tidak mengandung tuntutan apa-apa. Bedanya dengan ibahah di atas,
adalah dalam bentuk tahdid ini disebutkan janji yang tidak enak.[13]
f. Untuk
Imtinan
Kata imtinan ini diartikan oleh Amir Syarifuddin dengan
merangsang keinginan. Seperti dalam firman Allah Q.S Al-An`am ayat 142 :
....كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ....
Artinya : “....Makanlah apa-apa yang diberikan Allah
kepadamu...”
Meskipun imtinan ini sama
dengan ibahah dari segi tidak mengandung tuntutan, namun, di antara
keduanya ada perbedaan. Pada ibahah hanya semata izin untuk berbuat,
sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa kebutuhan kita
kepadanya dan ketidakmampuan kita untuk mengerjakannya.[14]
g. Untuk
ikram
Ikram atau
memuliakan, yang mana Amar dalam bentuk ini tidak mengandung tuntutan
apa-apa terhadap yang menerima perintah tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat
dalam firman Allah Q.S Al-Hijr ayat 46 :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ
آمِنِينَ
Artinya : “Masuklah kepadanya dengan
selamat dan aman”
h. Untuk
taskhir (menghinakan)
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat
65 :
كُونُوا قِرَدَةً
خَاسِئِينَ
Walaupun dalam ayat di atas
terdapat kata dalam bentuk Amar, namun tidak mengandung arti tuntutan;
tidak mungkin Allah menuntut orang untuk menjadi kera.
i.
Untuk ta`jiz
Ta`jiz yang berarti menyatakan
ketidakmampuan seseorang. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 23 :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي
رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ.....
Artinya : “Jika kalian
meragukan terhadap apa yang diturunkan kepada hamba kami. Maka datangkanlah
satu surat yang menyamainya....”
Allah sebenarnya mengetahui bahwa orang yang
disuruh dalam ayat itu tidak akan mungkin mampu berbuat satu ayat pun yang
semisal dengan ayat Al-Qur`an. Namun Allah menyuruhnya juga untuk berbuat demikian.
Suruhan ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi hanya sekedar menyatakan
ketidakmampuan manusia.[15]
j.
Untuk ihanah
Megengai amar untuk ihanah adalah amar
tersebut bukanlah untuk harus dilakukan melainkan berupa ejekan dalam sikap
merendahkan. Sebagai contoh dalam firman Allah Q.S Ad-Dukhan ayat 49 :
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ
الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Artinya :”Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.
Dalam ayat ini Allah berkata kepada orang kafir yang
masuk neraka. Tentu maksudnya bukan menyuruh berbuat seperti apa yang
dikatakan, tetapi hanya sekedar mengejek orang kafir.
k. Untuk
taswiyah
Taswiyah atau untuk menyamakan pengertian setara berbuat
atau tidak berbuat. Seperti firman Allah dalam surat at-Thur ayat 16 :
....فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ....
Artinya :”Baik kamu bersabar
atau tidak, sama saja bagimu....”
Amar dalam ayat ini tentu bukan
menyuruh mereka untuk sabar, tetapi menyatakan bahwa apakah mereka akan sabar
atau tidak, adalah sama saja bagi mereka.
Perbedaan antara taswiyah dan
ibahah adalah bahwa pada ibahah pihak yang dikenai amar mengira
bahwa ia tidak mungkin melakukan perbuatan, kemudian dibolehkan untuk berbuat.
Sedangkan pada taswiyah yang diberi amar mengira bahwa salah satu
di antara kedua hal itu lebih kuat, tetapi kemudian perkiraan itu
dikesampingkan dengan menyamakan antara keduanya.[16]
l.
Untuk do`a
Hal ini sebagaimana firman Allah :
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
Artinya :”Ya... Allah ampunilah dosa kedua orang
tuaku....”.
Amar yang diucapkan oleh seorang hamba
kepada tuhannya tentu tidak dapat dikatakan sebaga amar dalam arti
sebenarnya, oleh karena itu, amar di sini berarti permohonan.
m. Untuk
tamanni
Hal ini berarti mengangankan
sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi. Umpanya amar dalam sya`ir Arab
:
“Wahai malam yang panjang kenapa engkau tidak
segera berganti dengan subuh, sekalipun subuh itu tidak akan lebih baik darimu”
Menyuruh malam segera berganti
dengan subuh sebagaimana tersebut dalam permintaan penyair ini tentu tidak
dapat dianggap sebagai suruhan atau perintah, selain karena malam tidak dapat
dijadikan sasaran suruhan juga suruhan itu tidak mungkin terwujud.
n. Untuk
ihtiqar (menganggap enteng)
Sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syuara
ayat 43 :
أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ
مُلْقُونَ....
Artinya :”Jatuhkanlah apa yang hendak kamu
jatuhkan”
Dalam
ayat ini Allah mengisahkan Nabi Musa menyuruh tukang sihir Fir`aun alat
sihirnya, yang tali lebih dahulu sebelum ia sendiri memulai. Jelas apa yang
menganggap enteng para ahli sihir itu, bukan dalam arti sebenarnya untuk
menyuruh.
o. Unutk
takwin
Takwin atau
yang berarti penciptaan. Dapat dilihat dalam firman Allah surat Yasin ayat 82 :
....إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya
: “Apabila menghendaki sesuatu, maka hanya berkata kepadanya, “jadilah” maka
terjadilah”
Amar dalam
ayat ini yang diarahkan kepada alam, tentu bukan berarti Allah menyuruh alam
untuk jadi sekaligus, tetapi melalui proses penciptaan alam, sesuai dengan
hukum alam.
p. Untuk
takhyir (memberi pilihan)
Sebagaimana firman Allah dalam
sabda Nabi :
اذا لم تستح
فاصنع ماشئت
Artinya :”Bila kamu tidak malu, perbuatlah
sekehendak hatimu”
Amar dalam hadis ini menyuruh berbuat
apa yang diinginkan untuk berbuat, adalah bukan dalam arti suruhan sebenarnya,
tetapi untuk meberi pilihan dalam berbuat.[17]
B. Perbedaan Ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah Terhadap Petunjuk Lafaz Amar
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum-hukum yang ditunjukkan oleh Al-Amar secara mutlak (hakikat).
Apakah menunjukkan hukum wajib, mandub, mubah, atau yang lainnya. Perbedaan
pendapat mereka itu dapat dikemukakan sebagai berikut : [18]
1. Menurut Jumhur Ulama, bahwa pada makna hakikatnya Amar secara mutlak
menunjukkan hukum wajib. Selain itu adalah makna kiasan dan hal ini disebabkan
karena adanya indikator yang menunjukkan atas hal tersebut. Menurut Al-Amidi
pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi`i, para ulama fiqih, sebagian
mutakallimin seperti Abu Husein Al-Bashri dan Al-Jubba`i. demikian juga mazhab
Zahiriyah.
Berarti bahwa Amar itu meskipun tidak
disertai oleh penjelasan atau qarinah apa pun, menghendaki wajibnya
pihak yang dikenai amar untuk berbuat. Tidak dapat dipahami dari amar
itu ada maksud lain kecuali bila ada keterangan lain yang menjelaskannya.
Atas dasar ini Jumhur ulama mengemukakan kaidah :[19]
الاصل في الأمر للوجوب[20]
Adapun dalil-dalil yang dikemukakan oleh
Jumhur Fuqaha untuk memperkuat pendapatnya tersebut adalah :
a. Allah mencerca iblis ketika menolak perintah-Nya untuk bersujud (memberi
penghormatan) kepada Adam A.S, Allah berfirman :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا
تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ....
Artinya :”Kenapa kalian menolak bersujud ketika aku perintahkan untuk
sujud?
Jika amar dalam ayat ini tidak menunjukkan keharusan yang
pasti, niscaya Allah tidak akan mencerca iblis ketika menolak untuk bersujud.[21]
b. Orang yang meninggalkan suruhan berarti ia mengingkari kemauan yang
menyuruh. Dan orang yang melakukan (mematuhi) suruhan berarti ia setuju (patuh)
dengan yang menyuruh. Mengingkari suruhan adalah lawan dari menyetujui. Bila
kita katakan bahwa orang yang mematuhi suruhan berarti menyetujuinya (patuh),
maka orang yang meninggalkannya berarti mengingkari perintah Allah akan
menerima azab sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An-Nur ayat 63 :
....فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya :”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.
c. Allah mencela suatu kaum yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah, tercantum dalam Q.S Al-Mursalah ayat 48 :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ
ارْكَعُوا لَا يَرْكَعُونَ
Artinya :”Dan Apabila dikatakan kepada mereka, “Ruku`lah, niscaya mereka
tidak mau ruku`.”
Mereka tidak disuruh kecuali dengan ucapan ارْكَعُوا dalam bentuk amar tanpa ada qarinah apa-apa. Hal
itu menunjukkan bahwa amar, meskipun tanpa ada penjelasan apa pun,
menunjukkan hukum wajib.[22]
2. Pada hakikatnya Amar menunjukkan hukum mandub[23]
secara mutlak, sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa amar itu
wajib. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hasyim, mayoritas kaum Mu`tazilah, dan
sebagian ulama fiqh.
Dalam hal ini mereka mengemukakan argumen sebagai berikut
:
a. Amar adalah untuk menuntut dari pihak yang menerima amar mengenai apa
yang diperintahkan. Hal ini menguatkan segi pelaksanaanya apa yang disuruh itu.
Bentuk penguatan itu kadang dalam bentuk hukum yang mengharuskan (wajib) dan
kadang dalam bentuk hukum nadb. Maka ditetapkan mana yang lebih kecil
dari dua kemungkinan tersebut. Perintah dalam bentuk nadb itulah yang
,eyakinkan sehingga ditemukan dalil yang menyatakan lebih dari nadb itu
wajib.
b. Amar dalam ucapan “kerjakanlah”, ditempatkan pada posisi yang paling rendah dari
apa yang terhimpun dalam ucapan itu antara wajib dan nadb, yaitu suruhan
untuk berbuat. Perbuatan yang disuruh lebih baik dikenakan daripada
ditinggalkan. Hal ini cukup dimaklumi. Adapun berlakunya sanksi atau ancaman
untuk yang meninggalkan adalah hal yang belum dimaklumi. Karena itu untuk
sampai pada hukum wajib, harus ditangguhkan sampai ada dalil yang
menerangkannya.
c. Nabi pernah bersabda dalam hadis :
“Bila kamu disuruh melakukan perbuatan, lakukanlah
semampu kamu”.
Dalam sabda Nabi di atas, diserahkan amar itu
kepada kita untuk mengamalkannya. Dengan begitu amar tersebut bukan
suatu keharusan (wajib).[24]
Pendapat yang kedua kurang begitu kuat, karena
andaikan “dalalah amar” yang asalnya adalah hanya untuk
anjuran, maka apa fungsinya dari amar itu, apalagi seseorang tidak akan
memerintahkan sesuatu kecuali untuk dilaksanakanya, yang mana hal itu akan
sulit terealisasi kecuali bila perintah itu untuk kewajiban. Selain itu, alasan kedua yang digunakan juga kurang tepat, karena manusia lahir ke dunia juga untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan
oleh Allah. Namun permasalahan yang muncul, ketika ditemukan bentuk lafaz amar,
maka yang pertama kali harus terbersit dalam benak kita adalah amar
tersebut digunakan untuk suatu kewajiban, serta keharusan meyakini kewajiban
dan melaksanakan apa yang terkandung dalam amar sebelum ditemukan
keterangan yang dapat mengalihkan kewajiban pada yang lainnya.
Dengan beberapa alasan tersebut, sehingga
mayoritas kaum Mu`tazilah dan sebagian ulama fiqh menganggap bahwa pada
dasarnya amar itu bersifat nadb sehingga ada dalil yang
menunjukkan bahwa amar itu wajib.
3. Pada hakikatnya lafaz Amar merupakan lafaz musytarak (bermakna
ganda) yang menunjukkan hukum wajib dan mandub. Pendapat ini dinukil dari Asy-Syafi`i.
4. Pada hakikatnya Amar itu dikira-kirakan musytarak antara
hukum wajib dan mandub serta merupakan tuntutan (thalab). Pendapat ini
dinisbahkan pada Abu Manshur Al-Maturidi dari madzhab Hanafiyah dan para ulama
Samarkand.
5. Menurut madzhab Al-Waqfiyah, Amar senantiasa digunakan dalam makna
banyak, sebagian merupakan makna hakiki yang disepakati dan sebagian yang
lainnya merupakan makna majazi yang disepakati. Secara mutlak Amar mengandung
kemungkinan arti yang banyak, sehingga madzhab ini mengambil sikap diam (wuquf)
sampai ada keterangan mengenai makna yang dimaksud.
6. Pada hakikatnya Amar dikira-kirakan musytarak antara hukum wajib,
mandub, dan mubah yang merupakan kebolehan melepaskan kesukaran dari perbuatan.
C. Perbedaan Ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah Terhadap Kaidah-Kaidah yang Terkait
dengan lafaz Amar
Pada sub ini penulis akan mencoba memaparkan
beberapa kaidah yang terkait dengan amar yang mana dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kaidah-kaidah tersebut.
1. Lafaz amar yang di dahului oleh larangan
Ulama berbeda pendapat tentang tunjukan makna
lafaz amar yang di dahului oleh larangan. Sebagian berpendapat, tidak
adanya pengaruh hukum suatu perintah yang datang setelah di dahului oleh
larangan. Sehingga hukumnya tetap wajib. Pendapat yang populer ialah, lafaz amar
yang datang setelah di dahului larangan menunjuk pengertian mubah. [25]
Pendapat yang kedua ini merupakan pendapat dari sebagian besar ulama fiqh,
termasuk Asy-Syafi`i, dan Al-Maturidi. [26]
Kelompok yang mengatakan bahwa amar yang
datang setelah larangan berubah menjadi mubah dengan argumen :
a. Berdasarkan `urf dan kebiasaan dalam pembicaraan seseorang, bila ia
menyuruh sesudah sebelumnya melarangnya, maka suruhan itu bukan lagi dalam
bentuknya yang semuala (keharusan), tetapi berubah menjadi kebolehan.
b. Berdasarkan `urf syari`, amar yang berada sesudah larangan berubah
hukumnya menjadi ibahah sebagaimana dapat dipahami dalam beberapa contoh
ayat Al-Qur`an dan hadis Nabi :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور
Aku pernah melarangmu ziarah kubur
Setelah itu Nabi menyuruh umat menziarahi
kubur, dalam sabdanya :
والان فزوروها
“Sekarang lakukanlah ziarah”
Berdasarkan itu, dalah hal contoh menziarahi
kubur hukumnya hanyalah ibahah.[27]
Sehingga adanya kaidah yang berbunyi :
الامر بعد النهي يفيد الاباحة[28]
Meskipun demikian sebagaimana yang dikutip Abu Zahrah bahwa jumhur fuqaha
beperndapat, amar yang jatuh setelah larangan tidak secara otomatis
menunjukkan hukum mubah, tapi tergantung pada qarinah-qarinah yang
jatuh setelah larangan. Jika setiap amar yangjatuh setelah larangan
menunjukkan hukum mubah, niscaya berperang itu wajib.[29]
Sedangkan pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa amar yang
terdapat sesudah larangan adalah tetap pada posisi asalnya, baik dalam bentuk wajib
maupun mubah. Pendapat ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh
golongan mu`tazilah dengan argumen :
a. Amar menurut asalnya menunjukkan hukum wajib (menurut ulama yang berpendapat
demikian). Jika amar datang sesudah larangan, tidaklah berarti harus
menolah amar, sehingga jadi menolak apa yang telah ditetapkan sebagai
keharusan; karena wujub dan ibahah itu merupakan dua hal yang
bertentangan dengan haram. Meskipun demikian tidaklah terhalang
beralihnya dari hukum haram kepada ibahah.
b. Amar yang menimbulkan hukum ibahah tidak mengandung unsur “baik”, sebab
keadaannya tidak membawa arti, karena pihak yang disuruh tidak akan memperoleh
pahala apa-apa bila ia berbuat. Ileh karena itu, tidak mungkin amar di
sini hanya menimbulkan hukum ibahah.
c. Larangan, bila terletak sesudah amar tetap hukumnya haram sebagaimana
keadaannya semula. Demikian pula bila amar terletak sesudah larangan,
harus diarahkan pula kepada hukum wajib sebagaimana keadaannya semula ketika
tidak didahului oleh larangan.[30]
Sebagian ulama berkata : apabila amar menunjukkan perintah, maka
perintah tersebut adakalanya bersifat wajib, adakalanya bersifat sunnah,
tergantung pada qarinah yang menentukannya. Pendapat ini didasarkan
kepada pengertian bahasa.[31]
2. Pengulangan pada perintah amar
Di kalangan ulama terjadi keragaman pendapat
tentang jawaban pertayaan : apakah suatu perintah harus dilakukan
berulang-ulang atau hanya cukup sekali saja?. Menurut Khudari biek pada
dasarnya bentuk amar tidak menunjukkan arti sekali dilakukaan ataupun
berulang-ulang, karena kesepakatan ahli bahasa atas pengertian bahwa ia
mengandung tuntutan dan perbuatan pada waktu tertentu. Dan tuntutan khusus
hanya ditemukan dari materinya dan tidak ada dalalah kecuali atas
perbuatan semata. Maka lazim saja jika pada kesempatan penuntukan bentuk itu
hanya tuntutan untuk melakukan perbuatan. Jika demikian, maka terbebas dari
tanggung jawab adalah hanya sekali, yaitu hanya terjadi tergantung masuknya
perbuatan di dalamanya.[32]
Para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa amar yang
dihubungkan dengan syarat dan sifat itu menunjukkan pengulangan.[33]
Misalnya perintah salat ketika bergesernya matahari. Akan tetapi berbeda
pendapat ketika adanya amar dalam bentuk mutlak. Sehingga adanya kaidah
:
الاصل في الامر
يقتضي تكرار[34]
Sebagian ahli ushul berpendapat : sesungguhnya
bentuk amar menuntut pengulangan, dikiaskan dengan larangan. Ini adalah
batal, karena merupakan qiyas dalam bahasa sedangkan bahasa tidak
ditetapkan dengan qiyas.[35]
Adalagi pendapat yang menyatakan bahwa amar
secara mutlak hanya menuntut terpenuhinya perbuatan, tanpa menunjukkan
bilangan sekali atau berulang-ulang.[36]
Karena secara substansial, amar tidak menunjukkan demikian. Dan
pemenuhan perbuatan itu paling sedikit satu kali. Pendapat ini dinisbahkan
kepada mazhab Hanafiyah, Al-Amidi, Ibn Hajib, Al-Juqaini, Al-Baidlawi,
kebanyakan ulama mazhab Syafi`iyah, golongan mu`tazilah Abu Al-Husein
Al-Bashri, dan Abu Hasan Al-Karakhi serta Al-Razi. Kemudian ada lagi pendapat yang
menyatakan amar secara mutlak secara lafziyah menuntut pelaksanaan
perbuatan satu kali. Oleh Abu Ishaq Al-Syirazi pendapat ini disandarkan kepada
pengikut mazhab Syafi`iyah. Sedangkan oleh Al-Syaukani dinisbahkan kepada Abu
Ali Al-Juba`i, Abu Hasyim, Abu Abdullah Al-Bashri, dan segolongan mazhab salaf
Al-Hanafiyah. Ada lagi pendapat yang menyatakan amar mutlak menunjukkan
pelaksanaan satu kali, tetapi memungkinkan berulang-ulang. Pendapat ini
diriwayatkan dari Asy-Syafi`i. kemudian amar mutlak itu mengandung
petunjuk ganda antara satu kali dan berulang kali. Golongan ini disebut
Waqfiyah, karena berhenti dan tidak tahu apakah amar mutlak digunakan
satu kali atau berulang-ulang.[37]
3. Tuntutan lafaz amar secara berulang
Sering ditemukan lafaz amar yang disebutkan berulang kali dalam sebuah
ucapan. Contohnya : “Salatlah kamu dua rakaat, salatlah kamu”. Apakah amar yang
disebutkan lebih dari sekali itu, juga menuntut dipenuhi lebih dari sekali?
Dalam contoh di atas, apakah perintah salat yang dua kali disebutkan itu
menuntut melakukan dua kali salat? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat:
(1) Kalangan ulama yang berpendapat amar yang mutlak tidak menuntut
untuk dipenuhi berulang kali berbeda pendapat dalam hal ini :
a. Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini ada dua kemungkinan :
-
Jika pada amar yang kedua adalah berupa
penjelasan terhadap amar pertama, maka tidak harus ada tuntutan untuk
melaksanakan perintah secara berulang kali, tetapi cukup hanya mengerjakan
perintah yang pertama saja. Contohnya, ucapan “salatlah dua rakaat”, kemudian
disusul dengan ucapan “Lakukanlah sebuah salat”. Dalam hal ini cukup satu kali
saja melakukan salat dua rakaat itu, yaitu salat apa saja yang termasuk salat
dua rakaat.
-
Jika amar yang kedua berbeda dengan
yang pertama, maka perintah yang kedua bukanlah penjelasan perintah yang
pertama, sehingga ada tuntutan untuk dilakukan secara berulang kali. Umpamanya
ucapan, “salatlah dua rakaat”, kemudian disusul dengan “salatlah empat rakaat”.
Abu Hanifah sendiri menyebutkan kasus
seseorang mengakui berutang kepada seseorang sebanyak sepuluh kemudian
diulanginya; maka setiap kali mengulang maka ia wajib membayar sebanyak yang
diakuinya.
b. Di kalangan ulama Syaf`iyah terdapat perbedaan pendapat :
-
Mengatakan bahwa tuntutan untuk melakukan
berulang kali itu adalah pada amar yang kedua.
Alasannya, bahwa sewaktu berulang apa yang diperintahkan
menurut zahir-nya, dalam hal ini ada perintah atas amar yang
lain. karena kalau yang dikehendaki adalah melakukan perintah amar yang pertama berarti menuntut untuk kembali
kepada yang pertama itu.
-
Berpendapat bahwa pengulangan amar itu
hanyalah menguatkan amar yang pertama.
Alasannya, bahwa amar yang kedua mungkin maksudnya
adalah membentuk lagi amar baru, dan mungkin pula menguatkan amar yang
pertama. Tidak boleh menggantungkan tuntutan yang wajib atas dasar keraguan.
-
Bersikap tawaquf sampai menemukan dalil
yang menjelaskannya.
Alasannya, bahwa adanya pengulangan amar itu ada
kemungkinan timbulnya kewajiban baru dan ada kemungkinan hanya menguatkan
kewajiban pertama. Memutuskan masalah ini harus ditangguhkan sampai ada
petunjuk yang menerangkannya.
(2) Kalangan ulama Hanabali berpendapat bahwa amar pertama menuntut untuk perulangan.
Mereka tidak perlu menambahkan penjelasan karena
menurutnya amar yang kedua itu tidak menuntut, kecuali apa yang dituntut
amar pertama.[38]
4. Melaksanakan perintah dengan segera
Setiap lafaz amar yang pelaksanaannya
dihubungkan kepada suatu waktu yang ditentukan dan kesempatan untuk
melaksanakan apa yang dituntut akan hilang dengan berlalunya waktu itu, maka amar
itu harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditangguhkan pelaksanannya.
Umpanya perintah melaksanakan salat lima waktu yang dibatasi pelaksanaannya
dengan waktu tertentu. Perintah salat itu dilaksanakan sesegara mungkin selama
masih berada dalam waktu. Dalam hal ni tidak terdapat perbedaan di kalangan
ulama.
Dalam hal amar yang pelaknsaannya tidak
disertai oelh waktu tertentu, apakah pelaksanaannya harus segera setelah amar
atau dapat ditangguhkan? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama ushul. Beda pendapat di kalangan ulama ini terjadi bila amar
itu disertai petunjuk yang menjelaskan bahwa ia hanya berlaku untuk satu
kali, sedangkan bila amar itu untuk dilaksanakan berulang kali, maka
tidak mungkin ditangguhkan pelaksanaannya, juga tidak dapat dipercepat.
Pendapat para ulama dalam hal ini adalah sebagai berikut :
(1) Ulama Hanbali berpendapat bahwa amar mutlak menghendaki segera
dilaksanakan setelah adanya amar itu.
الاصل في الامر يقتضي الفور[39]
Argumentasi yang mereka kemukakan adalah :
a. Amar itu dapat ditangguhkan, maka apa yang disuruh dalam amar itu tidak
terlepas dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, perintah itu dapat
ditangguhkan untuk selamanya dan orang yang dikenai amar tidak mendapat
sanksi bila mati sebelum melaksanakannya. Kemungkinan kedua, yang dikenai amar
itu dianggap teledor dan terkena sanksi bila ia mati sebelum melaksanakan
perintah.
Bila seseorang teledor meninggalkan perintah sampai ia
mati berarti ia keluar dari batas kewajiban, sehingga amar itu adalah amar
yang hukumnya sunah. Bila dipandang ia terkena sanksi dengan kematiannya,
maka berarti Allah menuntut melakukan sesuatu dengan batasan waktu yang
disertai petunjuk untuk mengetahui hal itu. Hal yang demikian tidak mungkin,
karena dengan demikian, ia dituntut untuk melakukan suatu perbuatan dalam
batasan waktu yang tidak diketahui. Jika kedua memungkinkan itu tidak dapat
diterima, maka jelaslah bahwa amar itu adalah untuk faur.
b. Larangan adalah perintah untuk meninggalkan, sedangkan amar adalah
perintah untuk berbuat. Larangan itu menuntut untuk segera meninggalkan hal yang
dilarang. Dengan demikian, amar pun menuntut segera dilaksanakan.
c. Perintah untuk berbuat mengandung tiga hal, yaitu amar untutk ber-azzam (kesedian berbuat).
Telah ditetapkan amar untuk azzam dan amar untuk beritikad
harus dengan segera. Dengan demikian amar untuk berbuat pun menuntut
untuk segera dilaksanakan.
d. Allah mencela iblis karena tidak mau sujud kepada Adam sebagaimana firman
Allah :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ....
Artinya :”Kenapa kalian menolak bersujud ketika aku perintahkan untuk
sujud?
Seandainya amar yang disebut dalam ayat ini bukan
untuk faur (segera dilakukan), maka tentunya iblis tidak berhak mendapat
celaan dan iblis akan mempertanyakan, “Engkau tidak menyuruh kami untuk segera
sujud, tapi kenapa kami harus dicela”.[40]
(2)
Kebanyakan ulama Syafi`iyah, ulama mu`tazilah,
sebagian ulama Hanafi dan Abu Bakr Al-Baqilani berpendapat bahwa amar mutlak
tidak menuntut segera dilaksankan, jadi dapat ditangguhkan pelaksanaannya.
Alasan mereka adalah :
a. Allah berfirman dalam surat Al-Fath ayat 27 :
“Kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan aman”
Ayat ini merupakan berita tentang terjadinya perbuatan
yang mutlak dan tidak disebutkan waktunya, oleh karena itu dalam pelaksanaannya
pun tidak ditentukan waktunya. Hal yang demikian berlaku pula pada amar karena
amar itu iaah perintah untuk terjadinya perbuatan mutlak tanpa waktu;
karenanya tidak ditentukan waktunya.
b. Seandainya amar itu pelaksanaannya ditentukan dengan waktu yang
ditangguhkan, maka pelaksanaannya harus ditangguhkan. Demikian juga
didahulukan, maka wajib juga amar didahulukan pelaksanaannya sesuai
ketentuan waktunya.
c. Amar untuk berbuat mengandung ketentuan dalam pelaksanaannya dengan waktu dan
tempat tertentu. Jika kemudian ditetapkan bahwa pelaksanaan suatu perbuatan
tertentu tidak mesti di tempat tertentu. Dengan demikian, pelaksanaan amar itu
juga mesti dalam masa tertentu.
d. Seandainya amar itu harus
dilakukan secra faur, tentu tidak perlu dipertanyakan tentang pelaksanan
suatu amar. Ternyata pada beberapa bentuk amar dalam firman Allah
dan hadis Nabi, masih perlu keterangan mengenai waktu pelaksanaannya. Hal itu
menunjukkan bahwa amar mutlak itu tidak menuntut untuk segera
dilaksanakan.[41]
Dengan demikian meskipun ulama berbeda pendapat dalam
menentutkan apakah amar mutlak menuntut segera atau dapat ditunda. Bagi
ulama yang bersikap tawaqquf menyatakan bahwa pada dasarnya amar berkemungkinan
untuk menuntut kesegaraan dan juga dapat ditangguhkan. Karena lafaz mutlak dapat ditafsirkan dengan
berbagai penafsiran yang beragam. Sehingga mereka bertawaquf.
5. Amar dan mediumnya
Persoalan lain yang terkait dengan amar adalah
apakah sesuatu yang menjadi sarana atau medium bagi terlaksananya suatu
kewajiban hukumnya wajib pula. Dalam masalah ini, sebagian ulama ushul
mengatakan bahwa sarana itu menjadi wajib selama bisa dikerjakan manusia.
Misalnya, kewajiban salat menyebabkan kewajiban wudhu, sebab wudhu itu syarat
bagi salat. Sedangkan fuqaha berkata bahwa jika sarana merupakan sebab
terealisasinya suatu kewajiban, maka sarana itu wajib terpenuhi. Misalnya,
pergi ke Makkah merupakan sabab terlaksananya ibadah haji, maka ia menjadi
wajib. Tetapi jika sarana itu merupakan syarat terpenuhinya suatu kewajiban,
maka ia tidak wajib dipenuhi, kecuali ada
nash syara` lain yang mewajibkannya. Misalnya, wudhu merupakan syarat
terpenuhinya kewajiban salat, maka kewajiban wudhu tidak didasarkan pada
kewajiban salat, tetapi karena adanya nash lain yang mewajibkannya.[42]
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan di atas dapat
disimpulkan bahwa amar merupakan
suatu tuntutan yang mana tuntutan tersebut dari atas kebawah (yang
memerintahkan memiliki kekuasaan) sehingga amar seperti inilah yang
bermakna amar sebenarnya. Di samping itu lafaz amar tidak hanya
berbentuk fi`il amar akan tetapi ada beberapa bentuk di luar itu namun, berfungsi
sebagai amar.
Ada sekitar 17 dilalah amar sebagaimana yang telah
penulis paparkan, hal ini karena adanya indikator yang menyebabkan beralihnya
makna amar. Pada dasaranya amar tersebut bersifat wajib namun
beralih kepada dilalah amar yang
lain karena indikator yang mengalihkan amar tersebut.
Kemudian ada
perbedaan di kalangan ulama mengenai apakah amar tersebut pada asalnya
wajib atau mubah. ada ulama yang mentakan pada dasarnya amar merupakan
suatu yang wajib sampai ada indikator yang memalingkan makna wajib tersebut
kepada makna yang lain. ada juga ulama yang mengemukakan pada dasarnya amar itu
adalah mubah sampai adanya dalil yang menunjukkan untuk wajib terhadap amar
tersebut.
Ulama juga berbeda pendapat dalam beberapa kaidah yang
terkait dengan amar diantara
kaidah tersebut : mengenai amar yang datang setelah larangan, amar menuntut
kesegaran atau tidak, amar menuntut pengulangan atau tidak, dan amar dan
wajibnya wasilahnya. Perbedaan ini agaknya dikarenakan pemahaman mereka
terhadap amar tersebut sehingga ketika adanya perbedaan tersebut para
ulama juga mengemukakan argumentasi yang menguatkan pendapat mereka.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul
Fikih), (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2016), cet-9, hal. 284
[4]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul
Fiqh), (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hal. 426
[6]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad
Qarib, (Ilmu Ushul Fiqh), Semarang : Dina Utama, 1994), hal. 305-306
[7] Abdullah bin Yusuf bin Isa Al-Ya`qub Al-Jadi` Al-Auzi`, Taisir Ilmu
Ushul Fiqh, (Libanon : Muasasah Ar-Riyan Litaba`ah wa An-Nasyir wa Tauzi`,
1997), hal. 245
[8]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras,
2008), hal. 163-164
[9]Sa`ad Ad-Din Mas`ud bin Umar At-Taftazani, Syarah Talwih `Ala Taudih Juz
I, (Maktabah Shabih bi Mishri, tth), hal. 296
[12]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul
Fikih),..., hal. 286
[13]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 178
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 179
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 179-180
[16]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 180
[18]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 165-166
[19]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 182
[20]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta : Pustaka Sa`adiyah putra,
tth), hal. 15
[21]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul
Fikih),..., hal. 285
[22]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 183-183
[23]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 166
[24]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 184
[26]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 168
[27]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 187
[29]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul
Fikih),..., hal. 286
[30]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 188
[31]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul
Fikih),..., hal. 287
[33]Muhammad Adib Saleh,Tafsir Al-Nushus fi Al-Fiqh Al-Islami Juz II, cet
ke III, (Beirut : Al-Maktab Al-Islami, 1984), hal. 318
[34]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan,..., hal. 18
[35]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul
Fiqh),..., hal. 439
[36]Sulaiman bin Abdil Qawi bin Karim, Syarah Mukhtashar Ar-Raudah Juz II, muhaqqiq
: Abdullah bin Abdullah bin Muhsin At-Tarakhi, (Muasasah Risalah, 1987), hal.
374
[37]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 169
[38]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 195-196
[40]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 197-198
[42]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 173
No comments:
Post a Comment