Wednesday, January 16, 2019

USHUL FIQH (DILALAH LAFAZ AMAR)



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segala aspek yang beraitan dengan umatnya. Baik itu hal yang menyangkut aqidah, hukum, akhlak. Semua itu dapat ditelusuri dengan mengkaji secara mendalam Al-Qur`an dan Sunnah.
Dalam perkembangannya khususnya di bidang hukum, seorang mujtahid menkaji teks-teks keagamaan tersebut dengan menggunakan ilmu ushul fiqh. Dengan menggunakan ilmu ushul fiqh tersebut mujtahid dapat mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur`an maupun sunnah.
Salah satu yang sangat diperhatikan dalam kajian ushul fiqh ini adalah hal yang berkaitan dengan lafaz dari teks-teks keagaaman ini. Di antara lafaz yang mendapatkan perhatian besar tersebut adalah mengenai lafaz amar. Dengan adanya perhatian besar terhadap lafaz amar tersebut maka terdapat materi khusus yang mebahasa mengenai segala hal yang terkait dengan lafaz amar dan nahi tersebut. Begitu juga dengan adanya beberapa pendapat dari kalangan ulama ushul fiqh dalam memahami lafaz amar tersebut, di antaranya adalah ulama Hanafiyah dnan Syafi`iyyah.
Untuk itu dalam makalah ini penulis akan menjelaskna beberapa hal yang berkaitan dengan dalalah lafaz amar, perbedaan ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah terhadap petunjuk lafaz amar, perbedaan ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah terhadap lafaz-lafaz yang terkait dengan lafaz amar.


PEMBAHASAN
A.    Dilalah Lafaz Amar
Menurut bahasa arab, amar artinya perintah, menurut istilah amar adalah suatu lafadz yang di dalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.[1]
Amar menurut Abu Zahrah ialah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya keapda pihak yang lebih rendah. Dalam bahasa Arab, bentuk amar dengan menggunakan shigat if`al (افعال ) yang berarti “kerjakan” dan litaf`al yang berarti “hendaklah engkau mengerjakan”. Menurut aslinya, bentuk shigat amar adalah menunjukkan perintah. Sedangkan jika bentuk sighat amar tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah seperti memimbing (irsyad), menakut-nakuti (tahdid), doa atau penghinaan maka penggunaan sighat amar tersebut bersifat majaz (kiasan). [2]
Di samping itu Rahmat Syafe’i dalam bukunya ilmu ushul fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS menyatakan bahwa “Amr adalah lafaz yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan”.[3] Khudari Biek mendefinisikan bahwa amar ialah bentuk (sighat) tertentu atau yang searti dan dimaksudkan untuk melakukan sesuatu secara pasti disertai adanya kekuasaan.[4]
Beradasarkan dari beberapa definisi tersebut dapat kita  pahami bahwa amar merupakan sebuah kata yang menunjukkan perintah dan perintah tersebut datang dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Menurut Amir Syarifudin bahwa dalam setiap amar mengandung tiga unsur, yaitu :
a.    Yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh,
b.    Yang dikenai kata amar atau yang disuruh,
c.    Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.[5]
Terkait dengan masalah amar ini, Abdul Wahab Khallaf mengungkapkan bahwa apabila lafaz yang khusus dalam nash syar`i datang dalam sighat amar (perintah) atau sighat khabar yang mengandung arti perintah, maka lafaz itu menunjukkan wajib. Artinya menuntut perbuatan yang diperintahkan itu atau yang dikhabarkan itu secara penetapan dan pemastian.
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (indikator) yang memalingkan sighat perintah dari makna wajib kepada makna lain, maka shigat amar tersebut dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh indikator tersebut.[6]
Sebagai contoh sebagaimana firman Allah :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan mereka, pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S Al-Maidah : 38)

Dapat diapahami bahwa kata فَاقْطَعُوا merupakan amar yang menunjukkan wajib pemotongan tangan terhadap pencuri laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya indikator lain yang menunjukkan pemalingan dari makna wajib kepada makna yang lain. Sehingga bentuk perintah di sana dipahami merupakan tuntutan yang wajib.
Adapun beberapa bentuk (shigat) yang dimiliki amar yang semuanya menuntut dilaksanakannya suatu perbuatan, yaitu :
1.      Fi`il Amar (kata kerja imperatif)
2.      Fi`il Mudhari` yang disertai huruf lam yang berfungsi imperatif
3.      Isim Mashdar yang berfungsi sebagai fi`il Amar
4.      Ism Fi`il Amar[7]
5.      Jumlah Khabariyah
6.      Pernyataan yang disertai dengan unsur Amar
7.      Pernyataan dengan unsur ­Al-Fardh
8.      Pernyataan dengan unsur Al-Khitabah
9.      Pemberitaan bahwa sesuatu perbuatan dijadikan sebagai balasan atas syarat
10.  Pemberitaan bahwa suatu perbuatan itu baik
11.  Pemberitaan suatu perbuatan yang dikaitkan dengan suatu janji.[8]
Selama lafaz amr itu tetap dalam kemuthlaqannya, ia selalu menunjukkan kepada arti yang haqiqi, yakni wajib, yang memang diciptakan untuknya dan tidak akan dialihkan kepada arti yang lain, jika tidak ada qarinah yang mengalihkannya. Di bawah ini penulis akan memaparkan beberapa petunjuk (dilalah) lafaz amar :[9]
a.       Menunjukkan wajib
Dr. Zakariya Al Bardisy menjelaskan bahwa jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan wajib suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa arti pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkannya).
Contoh :
اُسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا الَّا اِبْلِيْسَ
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).[10]
b.      Menunjukkan anjuran (nadb)
Berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar/suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb). Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah). Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.[11]
c.       Untuk suruhan bersifat mendidik
Adakalanya shigat amar yang bersifat untuk mendidik, hal ini sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah Q.S  Al-Baqarah : 282 :
....وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ....
Artinya : “....dan saksikanlah oleh dua orang saksi....

Dalam ayat ini Allah SWT mendidik umat untuk mendatangkan dua saksi pada saat berlangsungnya transaksi utang piutang untuk kemaslahatan mereka. sehingga وَاسْتَشْهِدُوا di sana meskipun merupakan bentuk shigat amar, namun di sana merupakan bentuk suruhan yang bersifat mendidik saja.
d.      Untuk hukum ibahah
Jika di dalam Al-Qur`an terdapat beberapa perintah yang menunjukkan pada hukum mubah, maka hal itu adalah karena ada dalil-dalil (qarinah) lain. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-A`raf  ayat 31 :
....وَكُلُوا وَاشْرَبُوا....
Artinya : “Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan...

Menurut Abu Zahrah dalam hal ini, terdapat qarinah lain yang menunjukkan bahwa perintah tersebut bersifat mubah. Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa secara total perintah di atas menunjukkan wajib. Sehingga seseorang dilarang tidak makan secara total, karena akan menyebabkan kematiannya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa secara parsial perintah tersebut menunjukkan mubah, akan tetapi secara total (kully) menunjukkan wajib.[12]
e.       Untuk tahdid
Dalam hal Amar berfaidah untuk tahdid atau menakut-nakuti dapat kita temukan dalam firman Allah Q.S Ibrahim ayat 30 :
....تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّار
Artinya : “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”.

Meskipun dalam ayat ini digunakan kata Amar, akan tetapi tidak mengandung tuntutan apa-apa. Bedanya dengan ibahah di atas, adalah dalam bentuk tahdid ini disebutkan janji yang tidak enak.[13]
f.       Untuk Imtinan
Kata imtinan  ini diartikan oleh Amir Syarifuddin dengan merangsang keinginan. Seperti dalam firman Allah Q.S Al-An`am ayat 142 :
 ....كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ....
Artinya : “....Makanlah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu...”

Meskipun imtinan ini sama dengan ibahah dari segi tidak mengandung tuntutan, namun, di antara keduanya ada perbedaan. Pada ibahah hanya semata izin untuk berbuat, sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa kebutuhan kita kepadanya dan ketidakmampuan kita untuk mengerjakannya.[14]
g.      Untuk ikram
Ikram atau memuliakan, yang mana Amar dalam bentuk ini tidak mengandung tuntutan apa-apa terhadap yang menerima perintah tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah Q.S Al-Hijr ayat 46 :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
Artinya : “Masuklah kepadanya dengan selamat dan aman”
h.      Untuk taskhir (menghinakan)
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 65 :
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Walaupun dalam ayat di atas terdapat kata dalam bentuk Amar, namun tidak mengandung arti tuntutan; tidak mungkin Allah menuntut orang untuk menjadi kera.
i.        Untuk ta`jiz
Ta`jiz yang berarti menyatakan ketidakmampuan seseorang. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 23 :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ.....
Artinya : “Jika kalian meragukan terhadap apa yang diturunkan kepada hamba kami. Maka datangkanlah satu surat yang menyamainya....”

Allah sebenarnya mengetahui bahwa orang yang disuruh dalam ayat itu tidak akan mungkin mampu berbuat satu ayat pun yang semisal dengan ayat Al-Qur`an. Namun Allah menyuruhnya juga untuk berbuat demikian. Suruhan ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi hanya sekedar menyatakan ketidakmampuan manusia.[15]
j.        Untuk ihanah
Megengai amar untuk ihanah adalah amar tersebut bukanlah untuk harus dilakukan melainkan berupa ejekan dalam sikap merendahkan. Sebagai contoh dalam firman Allah Q.S Ad-Dukhan ayat 49 :
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Artinya :”Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.

Dalam ayat ini Allah berkata kepada orang kafir yang masuk neraka. Tentu maksudnya bukan menyuruh berbuat seperti apa yang dikatakan, tetapi hanya sekedar mengejek orang kafir.
k.      Untuk taswiyah
 Taswiyah atau untuk menyamakan pengertian setara berbuat atau tidak berbuat. Seperti firman Allah dalam surat at-Thur ayat 16 :
....فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ....
Artinya :”Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu....”
Amar dalam ayat ini tentu bukan menyuruh mereka untuk sabar, tetapi menyatakan bahwa apakah mereka akan sabar atau tidak, adalah sama saja bagi mereka.
Perbedaan antara taswiyah dan ibahah adalah bahwa pada ibahah pihak yang dikenai amar mengira bahwa ia tidak mungkin melakukan perbuatan, kemudian dibolehkan untuk berbuat. Sedangkan pada taswiyah yang diberi amar mengira bahwa salah satu di antara kedua hal itu lebih kuat, tetapi kemudian perkiraan itu dikesampingkan dengan menyamakan antara keduanya.[16]
l.        Untuk do`a
Hal ini sebagaimana firman Allah :
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
Artinya :”Ya... Allah ampunilah dosa kedua orang tuaku....”.

Amar yang diucapkan oleh seorang hamba kepada tuhannya tentu tidak dapat dikatakan sebaga amar dalam arti sebenarnya, oleh karena itu, amar di sini berarti permohonan.
m.    Untuk tamanni
Hal ini berarti mengangankan sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi. Umpanya amar dalam sya`ir Arab :
“Wahai malam yang panjang kenapa engkau tidak segera berganti dengan subuh, sekalipun subuh itu tidak akan lebih baik darimu”

Menyuruh malam segera berganti dengan subuh sebagaimana tersebut dalam permintaan penyair ini tentu tidak dapat dianggap sebagai suruhan atau perintah, selain karena malam tidak dapat dijadikan sasaran suruhan juga suruhan itu tidak mungkin terwujud.
n.      Untuk ihtiqar (menganggap enteng)
Sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syuara ayat 43 :
أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ....
Artinya :”Jatuhkanlah apa yang hendak kamu jatuhkan”
Dalam ayat ini Allah mengisahkan Nabi Musa menyuruh tukang sihir Fir`aun alat sihirnya, yang tali lebih dahulu sebelum ia sendiri memulai. Jelas apa yang menganggap enteng para ahli sihir itu, bukan dalam arti sebenarnya untuk menyuruh.
o.      Unutk takwin
Takwin atau yang berarti penciptaan. Dapat dilihat dalam firman Allah surat Yasin ayat 82 :
....إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya : “Apabila menghendaki sesuatu, maka hanya berkata kepadanya, “jadilah” maka terjadilah”

Amar dalam ayat ini yang diarahkan kepada alam, tentu bukan berarti Allah menyuruh alam untuk jadi sekaligus, tetapi melalui proses penciptaan alam, sesuai dengan hukum alam.
p.      Untuk takhyir (memberi pilihan)
Sebagaimana firman Allah dalam sabda Nabi :
اذا لم تستح فاصنع ماشئت
Artinya :”Bila kamu tidak malu, perbuatlah sekehendak hatimu”
Amar dalam hadis ini menyuruh berbuat apa yang diinginkan untuk berbuat, adalah bukan dalam arti suruhan sebenarnya, tetapi untuk meberi pilihan dalam berbuat.[17]
B.     Perbedaan Ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah Terhadap Petunjuk Lafaz Amar
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum yang ditunjukkan oleh Al-Amar secara mutlak (hakikat). Apakah menunjukkan hukum wajib, mandub, mubah, atau yang lainnya. Perbedaan pendapat mereka itu dapat dikemukakan sebagai berikut : [18]
1.      Menurut Jumhur Ulama, bahwa pada makna hakikatnya Amar secara mutlak menunjukkan hukum wajib. Selain itu adalah makna kiasan dan hal ini disebabkan karena adanya indikator yang menunjukkan atas hal tersebut. Menurut Al-Amidi pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi`i, para ulama fiqih, sebagian mutakallimin seperti Abu Husein Al-Bashri dan Al-Jubba`i. demikian juga mazhab Zahiriyah.
Berarti bahwa Amar itu meskipun tidak disertai oleh penjelasan atau qarinah apa pun, menghendaki wajibnya pihak yang dikenai amar untuk berbuat. Tidak dapat dipahami dari amar itu ada maksud lain kecuali bila ada keterangan lain yang menjelaskannya. Atas dasar ini Jumhur ulama mengemukakan kaidah :[19]
الاصل في الأمر للوجوب[20]
Adapun dalil-dalil yang dikemukakan oleh Jumhur Fuqaha untuk memperkuat pendapatnya tersebut adalah :
a.       Allah mencerca iblis ketika menolak perintah-Nya untuk bersujud (memberi penghormatan) kepada Adam A.S, Allah berfirman :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ....
Artinya :”Kenapa kalian menolak bersujud ketika aku perintahkan untuk sujud?

Jika amar dalam ayat ini tidak menunjukkan keharusan yang pasti, niscaya Allah tidak akan mencerca iblis ketika menolak untuk bersujud.[21]
b.      Orang yang meninggalkan suruhan berarti ia mengingkari kemauan yang menyuruh. Dan orang yang melakukan (mematuhi) suruhan berarti ia setuju (patuh) dengan yang menyuruh. Mengingkari suruhan adalah lawan dari menyetujui. Bila kita katakan bahwa orang yang mematuhi suruhan berarti menyetujuinya (patuh), maka orang yang meninggalkannya berarti mengingkari perintah Allah akan menerima azab sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An-Nur ayat 63 :
....فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya :”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.

c.       Allah mencela suatu kaum yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, tercantum dalam Q.S Al-Mursalah ayat 48 :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لَا يَرْكَعُونَ
Artinya :”Dan Apabila dikatakan kepada mereka, “Ruku`lah, niscaya mereka tidak mau ruku`.”

Mereka tidak disuruh kecuali dengan ucapan ارْكَعُوا dalam bentuk amar tanpa ada qarinah apa-apa. Hal itu menunjukkan bahwa amar, meskipun tanpa ada penjelasan apa pun, menunjukkan hukum wajib.[22]
2.      Pada hakikatnya Amar menunjukkan hukum mandub[23] secara mutlak, sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa amar itu wajib. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hasyim, mayoritas kaum Mu`tazilah, dan sebagian ulama fiqh.
Dalam hal ini mereka mengemukakan argumen sebagai berikut :
a.       Amar adalah untuk menuntut dari pihak yang menerima amar mengenai apa yang diperintahkan. Hal ini menguatkan segi pelaksanaanya apa yang disuruh itu. Bentuk penguatan itu kadang dalam bentuk hukum yang mengharuskan (wajib) dan kadang dalam bentuk hukum nadb. Maka ditetapkan mana yang lebih kecil dari dua kemungkinan tersebut. Perintah dalam bentuk nadb itulah yang ,eyakinkan sehingga ditemukan dalil yang menyatakan lebih dari nadb itu wajib.
b.      Amar dalam ucapan “kerjakanlah”, ditempatkan pada posisi yang paling rendah dari apa yang terhimpun dalam ucapan itu antara wajib dan nadb, yaitu suruhan untuk berbuat. Perbuatan yang disuruh lebih baik dikenakan daripada ditinggalkan. Hal ini cukup dimaklumi. Adapun berlakunya sanksi atau ancaman untuk yang meninggalkan adalah hal yang belum dimaklumi. Karena itu untuk sampai pada hukum wajib, harus ditangguhkan sampai ada dalil yang menerangkannya.
c.       Nabi pernah bersabda dalam hadis :
“Bila kamu disuruh melakukan perbuatan, lakukanlah semampu kamu”.
Dalam sabda Nabi di atas, diserahkan amar itu kepada kita untuk mengamalkannya. Dengan begitu amar tersebut bukan suatu keharusan (wajib).[24]
Pendapat yang kedua kurang begitu kuat, karena andaikan “dalalah amar”  yang asalnya adalah hanya untuk anjuran, maka apa fungsinya dari amar itu, apalagi seseorang tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali untuk dilaksanakanya, yang mana hal itu akan sulit terealisasi kecuali bila perintah itu untuk kewajiban. Selain itu, alasan kedua yang digunakan juga kurang tepat, karena manusia lahir ke dunia juga untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh Allah. Namun permasalahan yang muncul, ketika ditemukan bentuk lafaz amar, maka yang pertama kali harus terbersit dalam benak kita adalah amar tersebut digunakan untuk suatu kewajiban, serta keharusan meyakini kewajiban dan melaksanakan apa yang terkandung dalam amar sebelum ditemukan keterangan yang dapat mengalihkan kewajiban pada yang lainnya.
Dengan beberapa alasan tersebut, sehingga mayoritas kaum Mu`tazilah dan sebagian ulama fiqh menganggap bahwa pada dasarnya amar itu bersifat nadb sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa amar itu wajib.
3.      Pada hakikatnya lafaz Amar merupakan lafaz musytarak (bermakna ganda) yang menunjukkan hukum wajib dan mandub. Pendapat ini dinukil dari Asy-Syafi`i.
4.      Pada hakikatnya Amar itu dikira-kirakan musytarak antara hukum wajib dan mandub serta merupakan tuntutan (thalab). Pendapat ini dinisbahkan pada Abu Manshur Al-Maturidi dari madzhab Hanafiyah dan para ulama Samarkand.
5.      Menurut madzhab Al-Waqfiyah, Amar senantiasa digunakan dalam makna banyak, sebagian merupakan makna hakiki yang disepakati dan sebagian yang lainnya merupakan makna majazi yang disepakati. Secara mutlak ­Amar mengandung kemungkinan arti yang banyak, sehingga madzhab ini mengambil sikap diam (wuquf) sampai ada keterangan mengenai makna yang dimaksud.
6.      Pada hakikatnya Amar dikira-kirakan musytarak antara hukum wajib, mandub, dan mubah yang merupakan kebolehan melepaskan kesukaran dari perbuatan.
C.    Perbedaan Ulama Hanafiyah dan Syafi`iyyah Terhadap Kaidah-Kaidah yang Terkait dengan lafaz Amar
Pada sub ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa kaidah yang terkait dengan amar yang mana dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kaidah-kaidah tersebut.
1.      Lafaz amar yang di dahului oleh larangan
Ulama berbeda pendapat tentang tunjukan makna lafaz amar yang di dahului oleh larangan. Sebagian berpendapat, tidak adanya pengaruh hukum suatu perintah yang datang setelah di dahului oleh larangan. Sehingga hukumnya tetap wajib. Pendapat yang populer ialah, lafaz amar yang datang setelah di dahului larangan menunjuk pengertian mubah. [25] Pendapat yang kedua ini merupakan pendapat dari sebagian besar ulama fiqh, termasuk Asy-Syafi`i, dan Al-Maturidi. [26]
Kelompok yang mengatakan bahwa amar yang datang setelah larangan berubah menjadi mubah dengan argumen :
a.       Berdasarkan `urf dan kebiasaan dalam pembicaraan seseorang, bila ia menyuruh sesudah sebelumnya melarangnya, maka suruhan itu bukan lagi dalam bentuknya yang semuala (keharusan), tetapi berubah menjadi kebolehan.
b.      Berdasarkan `urf syari`, amar yang berada sesudah larangan berubah hukumnya menjadi ibahah sebagaimana dapat dipahami dalam beberapa contoh ayat Al-Qur`an dan hadis Nabi :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور
Aku pernah melarangmu ziarah kubur
Setelah itu Nabi menyuruh umat menziarahi kubur, dalam sabdanya :
والان فزوروها
“Sekarang lakukanlah ziarah”
Berdasarkan itu, dalah hal contoh menziarahi kubur hukumnya hanyalah ibahah.[27] Sehingga adanya kaidah yang berbunyi :
الامر بعد النهي يفيد الاباحة[28]
Meskipun demikian sebagaimana yang dikutip Abu Zahrah bahwa jumhur fuqaha beperndapat, amar yang jatuh setelah larangan tidak secara otomatis menunjukkan hukum mubah, tapi tergantung pada qarinah-qarinah yang jatuh setelah larangan. Jika setiap amar yangjatuh setelah larangan menunjukkan hukum mubah, niscaya berperang itu wajib.[29]
Sedangkan pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa amar yang terdapat sesudah larangan adalah tetap pada posisi asalnya, baik dalam bentuk wajib maupun mubah. Pendapat ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh golongan mu`tazilah dengan argumen :
a.       Amar menurut asalnya menunjukkan hukum wajib (menurut ulama yang berpendapat demikian). Jika amar datang sesudah larangan, tidaklah berarti harus menolah amar, sehingga jadi menolak apa yang telah ditetapkan sebagai keharusan; karena wujub dan ibahah itu merupakan dua hal yang bertentangan dengan haram. Meskipun demikian tidaklah terhalang beralihnya dari hukum haram kepada ibahah.
b.      Amar yang menimbulkan hukum ibahah tidak mengandung unsur “baik”, sebab keadaannya tidak membawa arti, karena pihak yang disuruh tidak akan memperoleh pahala apa-apa bila ia berbuat. Ileh karena itu, tidak mungkin amar di sini hanya menimbulkan hukum ibahah.
c.       Larangan, bila terletak sesudah amar tetap hukumnya haram sebagaimana keadaannya semula. Demikian pula bila amar terletak sesudah larangan, harus diarahkan pula kepada hukum wajib sebagaimana keadaannya semula ketika tidak didahului oleh larangan.[30]
Sebagian ulama berkata : apabila amar menunjukkan perintah, maka perintah tersebut adakalanya bersifat wajib, adakalanya bersifat sunnah, tergantung pada qarinah yang menentukannya. Pendapat ini didasarkan kepada pengertian bahasa.[31]
2.      Pengulangan pada perintah amar
Di kalangan ulama terjadi keragaman pendapat tentang jawaban pertayaan : apakah suatu perintah harus dilakukan berulang-ulang atau hanya cukup sekali saja?. Menurut Khudari biek pada dasarnya bentuk amar tidak menunjukkan arti sekali dilakukaan ataupun berulang-ulang, karena kesepakatan ahli bahasa atas pengertian bahwa ia mengandung tuntutan dan perbuatan pada waktu tertentu. Dan tuntutan khusus hanya ditemukan dari materinya dan tidak ada dalalah kecuali atas perbuatan semata. Maka lazim saja jika pada kesempatan penuntukan bentuk itu hanya tuntutan untuk melakukan perbuatan. Jika demikian, maka terbebas dari tanggung jawab adalah hanya sekali, yaitu hanya terjadi tergantung masuknya perbuatan di dalamanya.[32]
Para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa amar yang dihubungkan dengan syarat dan sifat itu menunjukkan pengulangan.[33] Misalnya perintah salat ketika bergesernya matahari. Akan tetapi berbeda pendapat ketika adanya amar dalam bentuk mutlak. Sehingga adanya kaidah :
الاصل في الامر يقتضي تكرار[34]
Sebagian ahli ushul berpendapat : sesungguhnya bentuk amar menuntut pengulangan, dikiaskan dengan larangan. Ini adalah batal, karena merupakan qiyas dalam bahasa sedangkan bahasa tidak ditetapkan dengan qiyas.[35]
Adalagi pendapat yang menyatakan bahwa amar secara mutlak hanya menuntut terpenuhinya perbuatan, tanpa menunjukkan bilangan sekali atau berulang-ulang.[36] Karena secara substansial, amar tidak menunjukkan demikian. Dan pemenuhan perbuatan itu paling sedikit satu kali. Pendapat ini dinisbahkan kepada mazhab Hanafiyah, Al-Amidi, Ibn Hajib, Al-Juqaini, Al-Baidlawi, kebanyakan ulama mazhab Syafi`iyah, golongan mu`tazilah Abu Al-Husein Al-Bashri, dan Abu Hasan Al-Karakhi serta Al-Razi. Kemudian ada lagi pendapat yang menyatakan amar secara mutlak secara lafziyah menuntut pelaksanaan perbuatan satu kali. Oleh Abu Ishaq Al-Syirazi pendapat ini disandarkan kepada pengikut mazhab Syafi`iyah. Sedangkan oleh Al-Syaukani dinisbahkan kepada Abu Ali Al-Juba`i, Abu Hasyim, Abu Abdullah Al-Bashri, dan segolongan mazhab salaf Al-Hanafiyah. Ada lagi pendapat yang menyatakan amar mutlak menunjukkan pelaksanaan satu kali, tetapi memungkinkan berulang-ulang. Pendapat ini diriwayatkan dari Asy-Syafi`i. kemudian amar mutlak itu mengandung petunjuk ganda antara satu kali dan berulang kali. Golongan ini disebut Waqfiyah, karena berhenti dan tidak tahu apakah amar mutlak digunakan satu kali atau berulang-ulang.[37]
3.      Tuntutan lafaz amar secara berulang
Sering ditemukan lafaz amar  yang disebutkan berulang kali dalam sebuah ucapan. Contohnya : “Salatlah kamu dua rakaat, salatlah kamu”. Apakah amar yang disebutkan lebih dari sekali itu, juga menuntut dipenuhi lebih dari sekali? Dalam contoh di atas, apakah perintah salat yang dua kali disebutkan itu menuntut melakukan dua kali salat? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat:
(1)   Kalangan ulama yang berpendapat amar yang mutlak tidak menuntut untuk dipenuhi berulang kali berbeda pendapat dalam hal ini :
a.       Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini ada dua kemungkinan :
-          Jika pada amar yang kedua adalah berupa penjelasan terhadap amar pertama, maka tidak harus ada tuntutan untuk melaksanakan perintah secara berulang kali, tetapi cukup hanya mengerjakan perintah yang pertama saja. Contohnya, ucapan “salatlah dua rakaat”, kemudian disusul dengan ucapan “Lakukanlah sebuah salat”. Dalam hal ini cukup satu kali saja melakukan salat dua rakaat itu, yaitu salat apa saja yang termasuk salat dua rakaat.
-          Jika amar yang kedua berbeda dengan yang pertama, maka perintah yang kedua bukanlah penjelasan perintah yang pertama, sehingga ada tuntutan untuk dilakukan secara berulang kali. Umpamanya ucapan, “salatlah dua rakaat”, kemudian disusul dengan “salatlah empat rakaat”.
Abu Hanifah sendiri menyebutkan kasus seseorang mengakui berutang kepada seseorang sebanyak sepuluh kemudian diulanginya; maka setiap kali mengulang maka ia wajib membayar sebanyak yang diakuinya.
b.      Di kalangan ulama Syaf`iyah terdapat perbedaan pendapat :
-          Mengatakan bahwa tuntutan untuk melakukan berulang kali itu adalah pada amar yang kedua.
Alasannya, bahwa sewaktu berulang apa yang diperintahkan menurut zahir-nya, dalam hal ini ada perintah atas amar yang lain. karena kalau yang dikehendaki adalah melakukan perintah amar  yang pertama berarti menuntut untuk kembali kepada yang pertama itu.
-          Berpendapat bahwa pengulangan amar itu hanyalah menguatkan amar yang pertama.
Alasannya, bahwa amar yang kedua mungkin maksudnya adalah membentuk lagi amar baru, dan mungkin pula menguatkan amar yang pertama. Tidak boleh menggantungkan tuntutan yang wajib atas dasar keraguan.
-          Bersikap tawaquf sampai menemukan dalil yang menjelaskannya.
Alasannya, bahwa adanya pengulangan amar itu ada kemungkinan timbulnya kewajiban baru dan ada kemungkinan hanya menguatkan kewajiban pertama. Memutuskan masalah ini harus ditangguhkan sampai ada petunjuk yang menerangkannya.
(2)   Kalangan ulama Hanabali berpendapat bahwa amar  pertama menuntut untuk perulangan.
Mereka tidak perlu menambahkan penjelasan karena menurutnya amar yang kedua itu tidak menuntut, kecuali apa yang dituntut amar pertama.[38]
4.      Melaksanakan perintah dengan segera
Setiap lafaz amar yang pelaksanaannya dihubungkan kepada suatu waktu yang ditentukan dan kesempatan untuk melaksanakan apa yang dituntut akan hilang dengan berlalunya waktu itu, maka amar itu harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditangguhkan pelaksanannya. Umpanya perintah melaksanakan salat lima waktu yang dibatasi pelaksanaannya dengan waktu tertentu. Perintah salat itu dilaksanakan sesegara mungkin selama masih berada dalam waktu. Dalam hal ni tidak terdapat perbedaan di kalangan ulama.
Dalam hal amar yang pelaknsaannya tidak disertai oelh waktu tertentu, apakah pelaksanaannya harus segera setelah amar atau dapat ditangguhkan? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul. Beda pendapat di kalangan ulama ini terjadi bila amar itu disertai petunjuk yang menjelaskan bahwa ia hanya berlaku untuk satu kali, sedangkan bila amar itu untuk dilaksanakan berulang kali, maka tidak mungkin ditangguhkan pelaksanaannya, juga tidak dapat dipercepat. Pendapat para ulama dalam hal ini adalah sebagai berikut :
(1)   Ulama Hanbali berpendapat bahwa amar mutlak menghendaki segera dilaksanakan setelah adanya amar itu.
الاصل في الامر يقتضي الفور[39]
Argumentasi yang mereka kemukakan adalah :
a.       Amar itu dapat ditangguhkan, maka apa yang disuruh dalam amar itu tidak terlepas dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, perintah itu dapat ditangguhkan untuk selamanya dan orang yang dikenai amar tidak mendapat sanksi bila mati sebelum melaksanakannya. Kemungkinan kedua, yang dikenai amar itu dianggap teledor dan terkena sanksi bila ia mati sebelum melaksanakan perintah.
Bila seseorang teledor meninggalkan perintah sampai ia mati berarti ia keluar dari batas kewajiban, sehingga amar itu adalah amar yang hukumnya sunah. Bila dipandang ia terkena sanksi dengan kematiannya, maka berarti Allah menuntut melakukan sesuatu dengan batasan waktu yang disertai petunjuk untuk mengetahui hal itu. Hal yang demikian tidak mungkin, karena dengan demikian, ia dituntut untuk melakukan suatu perbuatan dalam batasan waktu yang tidak diketahui. Jika kedua memungkinkan itu tidak dapat diterima, maka jelaslah bahwa amar itu adalah untuk faur.
b.      Larangan adalah perintah untuk meninggalkan, sedangkan amar adalah perintah untuk berbuat. Larangan itu menuntut untuk segera meninggalkan hal yang dilarang. Dengan demikian, amar pun menuntut segera dilaksanakan.
c.       Perintah untuk berbuat mengandung tiga hal, yaitu amar  untutk ber-azzam (kesedian berbuat). Telah ditetapkan amar untuk azzam dan amar untuk beritikad harus dengan segera. Dengan demikian amar untuk berbuat pun menuntut untuk segera dilaksanakan.
d.      Allah mencela iblis karena tidak mau sujud kepada Adam sebagaimana firman Allah :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ....
Artinya :”Kenapa kalian menolak bersujud ketika aku perintahkan untuk sujud?

Seandainya amar yang disebut dalam ayat ini bukan untuk faur (segera dilakukan), maka tentunya iblis tidak berhak mendapat celaan dan iblis akan mempertanyakan, “Engkau tidak menyuruh kami untuk segera sujud, tapi kenapa kami harus dicela”.[40]
(2)        Kebanyakan ulama Syafi`iyah, ulama mu`tazilah, sebagian ulama Hanafi dan Abu Bakr Al-Baqilani berpendapat bahwa amar mutlak tidak menuntut segera dilaksankan, jadi dapat ditangguhkan pelaksanaannya. Alasan mereka adalah :
a.       Allah berfirman dalam surat Al-Fath ayat 27 :
“Kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan aman”

Ayat ini merupakan berita tentang terjadinya perbuatan yang mutlak dan tidak disebutkan waktunya, oleh karena itu dalam pelaksanaannya pun tidak ditentukan waktunya. Hal yang demikian berlaku pula pada amar karena amar itu iaah perintah untuk terjadinya perbuatan mutlak tanpa waktu; karenanya tidak ditentukan waktunya.
b.      Seandainya amar itu pelaksanaannya ditentukan dengan waktu yang ditangguhkan, maka pelaksanaannya harus ditangguhkan. Demikian juga didahulukan, maka wajib juga amar didahulukan pelaksanaannya sesuai ketentuan waktunya.
c.       Amar untuk berbuat mengandung ketentuan dalam pelaksanaannya dengan waktu dan tempat tertentu. Jika kemudian ditetapkan bahwa pelaksanaan suatu perbuatan tertentu tidak mesti di tempat tertentu. Dengan demikian, pelaksanaan amar itu juga mesti dalam masa tertentu.
d.      Seandainya amar  itu harus dilakukan secra faur, tentu tidak perlu dipertanyakan tentang pelaksanan suatu amar. Ternyata pada beberapa bentuk amar dalam firman Allah dan hadis Nabi, masih perlu keterangan mengenai waktu pelaksanaannya. Hal itu menunjukkan bahwa amar mutlak itu tidak menuntut untuk segera dilaksanakan.[41]
Dengan demikian meskipun ulama berbeda pendapat dalam menentutkan apakah amar mutlak menuntut segera atau dapat ditunda. Bagi ulama yang bersikap tawaqquf  menyatakan bahwa pada dasarnya amar berkemungkinan untuk menuntut kesegaraan dan juga dapat ditangguhkan. Karena  lafaz mutlak dapat ditafsirkan dengan berbagai penafsiran yang beragam. Sehingga mereka bertawaquf.
5.      Amar dan mediumnya
Persoalan lain yang terkait dengan amar adalah apakah sesuatu yang menjadi sarana atau medium bagi terlaksananya suatu kewajiban hukumnya wajib pula. Dalam masalah ini, sebagian ulama ushul mengatakan bahwa sarana itu menjadi wajib selama bisa dikerjakan manusia. Misalnya, kewajiban salat menyebabkan kewajiban wudhu, sebab wudhu itu syarat bagi salat. Sedangkan fuqaha berkata bahwa jika sarana merupakan sebab terealisasinya suatu kewajiban, maka sarana itu wajib terpenuhi. Misalnya, pergi ke Makkah merupakan sabab terlaksananya ibadah haji, maka ia menjadi wajib. Tetapi jika sarana itu merupakan syarat terpenuhinya suatu kewajiban, maka ia tidak wajib dipenuhi, kecuali ada  nash syara` lain yang mewajibkannya. Misalnya, wudhu merupakan syarat terpenuhinya kewajiban salat, maka kewajiban wudhu tidak didasarkan pada kewajiban salat, tetapi karena adanya nash lain yang mewajibkannya.[42]


PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan di atas dapat disimpulkan bahwa  amar merupakan suatu tuntutan yang mana tuntutan tersebut dari atas kebawah (yang memerintahkan memiliki kekuasaan) sehingga amar seperti inilah yang bermakna amar sebenarnya. Di samping itu lafaz amar tidak hanya berbentuk fi`il amar akan tetapi ada beberapa bentuk di luar itu namun, berfungsi sebagai amar.
Ada sekitar 17 dilalah amar sebagaimana yang telah penulis paparkan, hal ini karena adanya indikator yang menyebabkan beralihnya makna amar. Pada dasaranya amar tersebut bersifat wajib namun beralih kepada dilalah amar  yang lain karena indikator yang mengalihkan amar tersebut.
 Kemudian ada perbedaan di kalangan ulama mengenai apakah amar tersebut pada asalnya wajib atau mubah. ada ulama yang mentakan pada dasarnya amar merupakan suatu yang wajib sampai ada indikator yang memalingkan makna wajib tersebut kepada makna yang lain. ada juga ulama yang mengemukakan pada dasarnya amar itu adalah mubah sampai adanya dalil yang menunjukkan untuk wajib terhadap amar tersebut.
Ulama juga berbeda pendapat dalam beberapa kaidah yang terkait dengan amar  diantara kaidah tersebut : mengenai amar yang datang setelah larangan, amar menuntut kesegaran atau tidak, amar menuntut pengulangan atau tidak, dan amar dan wajibnya wasilahnya. Perbedaan ini agaknya dikarenakan pemahaman mereka terhadap amar tersebut sehingga ketika adanya perbedaan tersebut para ulama juga mengemukakan argumentasi yang menguatkan pendapat mereka.


[1]Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh, (JawaTimur : Darul Hikmah, 2008), hal. 52
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih), (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2016), cet-9, hal. 284
[3]Syafi’i Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih. (Pustaka Setia: Bandung. 1999), hal. 200
[4]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul Fiqh), (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hal. 426
[5]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta : Kencana, 2011), hal. 172
[6]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, (Ilmu Ushul Fiqh), Semarang : Dina Utama, 1994), hal. 305-306
[7] Abdullah bin Yusuf bin Isa Al-Ya`qub Al-Jadi` Al-Auzi`, Taisir Ilmu Ushul Fiqh, (Libanon : Muasasah Ar-Riyan Litaba`ah wa An-Nasyir wa Tauzi`, 1997), hal. 245
[8]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2008), hal. 163-164
[9]Sa`ad Ad-Din Mas`ud bin Umar At-Taftazani, Syarah Talwih `Ala Taudih Juz I, (Maktabah Shabih bi Mishri, tth), hal. 296
[10]Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal. 117 
[11]Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,..., hal. 117
[12]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),..., hal. 286
[13]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 178
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 179
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 179-180
[16]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 180
[17]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 181-182
[18]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 165-166
[19]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 182
[20]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta : Pustaka Sa`adiyah putra, tth), hal. 15
[21]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),..., hal. 285
[22]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 183-183
[23]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 166
[24]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 184
[25]Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Hamzah, 2014), hal. 249-250
[26]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 168
[27]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 187
[28]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan,..., hal. 28
[29]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),..., hal. 286
[30]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 188
[31]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),..., hal. 287
[32]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul Fiqh),..., hal. 439
[33]Muhammad Adib Saleh,Tafsir Al-Nushus fi Al-Fiqh Al-Islami Juz II, cet ke III, (Beirut : Al-Maktab Al-Islami, 1984), hal. 318
[34]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan,..., hal. 18
[35]Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul Fiqh),..., hal. 439
[36]Sulaiman bin Abdil Qawi bin Karim, Syarah Mukhtashar Ar-Raudah Juz II, muhaqqiq : Abdullah bin Abdullah bin Muhsin At-Tarakhi, (Muasasah Risalah, 1987), hal. 374
[37]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 169
[38]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 195-196
[39]Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan,..., hal. 19
[40]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 197-198
[41]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 198-199
[42]Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam,..., hal. 173

No comments:

Post a Comment